• Tidak ada hasil yang ditemukan

terjadi pada tahun 2012 dengan nilai Indeks Williamson sebesar 0.713. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, trend ketimpangan pendapatan tersebut cenderung menurun meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2008. Hasil akhir analisis trend ketimpangan menunjukkan nilai sebesar 0.713 pada akhir tahun analisis 2012. Nilai tersebut menunjukkan penurunan yang cukup konsisten apabila dibandingkan dengan tahun awal analisis yaitu 0.752 pada tahun 2005.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam karakteristik

0.71 0.715 0.72 0.725 0.73 0.735 0.74 0.745 0.75 0.755 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 IW Tahun

Indeks Williamson

ketimpangan dengan taraf tinggi karena nilai Indeks Williamson pada tahun awal hingga akhir analisis menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0.5. Meskipun tergolong dalam taraf ketimpangan yang tinggi, Provinsi Jawa Tengah telah berhasil mengurangi ketimpangan yang terjadi di kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Analisis Dampak Social Welfare Loss

Indeks Atkinson adalah alat analisis selain Indeks Williamson yang berhubungan dengan ketimpangan pendapatan. Perhitungan ini menggunakan indikator ekonomi yaitu indikator PDRB per kapita kabupaten/kota dan rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah yang bertujuan untuk mengetahui dampak

social welfare loss atau dampak kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya

ketimpangan pendapatan setiap individu dalam wilayah kabupaten/kota.

Hasil perhitungan indeks Atkinson dapat ditunjukkan oleh Tabel 7 yang menyertakan parameter kesenjangan ε yang bernilai 0.5 sampai dengan 3. Dapat dilihat bahwa persentase ketimpangan cenderung menurun dari tahun ke tahun, meskipun masih mengalami peningkatan pada tahun 2010 dan 2011. Pada tahun 2005 hingga 2008 untuk A(0.5) terjadi penurunan persentase ketimpangan dari 0 persen menurun sebesar 0.24 persen untuk tahun 2008, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 1.15 persen setelah itu kembali menurun sebesar 1.09 persen pada 2011. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa implikasi kebijakan meningkatkan PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil dinilai cukup berhasil dan cukup efektif untuk meminimalisir ketimpangan pendapatan. Besarnya persentase untuk A(2) dan A(3) dapat dilihat pada Tabel 7.

Oleh karena itu, transfer pendapatan masyarakat untuk meningkatkan PDRB per kapita yang dilakukan pada kabupaten/kota dengan PDRB per kapita terkecil dinilai efektif karena tingkat ketimpangan yang makin menurun dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena ketimpangan di Provinsi Jawa Tengah yang tinggi atau cenderung belum merata, sehingga mekanisme transfer pendapatan dinilai efektif meminimalisir ketimpangan jika dilakukan dengan tepat sasaran.

Tabel 7 menggambarkan kecenderungan ketimpangan pendapatan yang berfluktuasi ketika ε bervariasi untuk penggunaan data PDRB per kapita. Pola ketimpangan pendapatan untuk ε=0,5, ε=2, dan ε=3 cenderung berfluktuasi pada periode tahun 2005 hingga tahun 2012. Semakin besar ε menunjukkan social

welfare loss yang semakin tinggi.

Tahun 2005 dengan ε=0.5 Indeks Atkinson sebesar 0.08420 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 8.42 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2006 hingga tahun 2009 social welfare loss menurun dan kembali meningkat pada tahun 2010 menjadi 7.96 persen pada tahun 2011 dan tahun 2012 kembali menurun pada level 7.86 persen.

Tahun 2005 dengan ε=2 Indeks Atkinson sebesar 0.24334 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 24.3 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2006 hingga tahun 2009 social welfare loss menurun mencapai

0.23047 pada tahun 2009 dan kembali meningkat pada tahun 2010 dan 2011 kemudian tahun 2012 kembali menurun pada level 23.2 persen.

Tahun 2005 dengan ε=3 indeks Atkinson sebesar 0.3 yang berarti terdapat

social welfare loss sebesar 30 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju

ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Tahun 2006 hingga tahun 2009 social welfare loss menurun mencapai 0.28636 pada tahun 2009 dan kembali meningkat pada tahun 2010 dan 2011 kemudian tahun 2012 kembali menurun pada level 28.8 persen.

Tabel 7 Indeks Atkinson dan persentase pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2012

Sumber: BPS, 2013 (diolah).

Analisis Sektor Ekonomi Basis di Provinsi Jawa Tengah

Penentuan sektor ekonomi basis dan sektor ekonomi nonbasis pada suatu wilayah dengan menggunakan analisis Location Quotient yang diperoleh dengan membandingkan sektor perekonomian yang berupa pendapatan pada tingkat bawah dengan pendapatan pada tingkat atas. Bagi pemerintah dan pemerintah daerah, analisis tersebut sangat penting karena dapat mengetahui sektor ekonomi basis yang dapat dikembangkan dan dapat menjadi prioritas dalam pembangunan suatu wilayah ke depannya.

Sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan analisis Location Quotient dengan indikator PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di dapat lima sektor ekonomi basis Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005-2012 yaitu: sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor jasa-jasa. Ke lima sektor ekonomi tersebut dikatakan sebagai sektor basis karena masing-masing sektor ekonomi memiliki nilai LQ lebih besar dari satu. Nilai LQ yang lebih besar dari satu dapat diartikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki peranan yang besar dalam kegiatan ekspor dan memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah.

Dilihat dari sumbangan terhadap PDRB maka sektor industri pengolahan menyumbang PDRB terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut dikarenakan tidak sedikitnya keberadaan industri di Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap memiliki beberapa industri besar diantaranya: PLTU Karangkandri, pabrik semen Holcim

Tahun Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan

A(0,5) % A(2) % A(3) %

2005 0.08420 0.00 0.24334 0.00 0.30057 0.00 2006 0.08155 -3.24 0.23719 -2.59 0.29378 -2,25 2007 0.08033 -1.49 0.23456 -1.10 0.29103 -0.93 2008 0.08013 -0.24 0.23362 -0.4 0.28968 -0.46 2009 0.07869 -1.82 0.23047 -1.34 0.28636 -1.14 2010 0.0796 1.15 0.23347 1.3 0.28918 0.98 2011 0.07952 -0.10 0.23382 0.14 0.28982 0.22 2012 0.07865 -1.09 0.23214 -0.71 0.28810 -0.59

Indonesia Pabrik Cilacap, pabrik Gula Rafinasi, pabrik Tepung Panganmas Inti Persada, Pertamina Refinery Unit IV, Pengolahan Ikan PT Juifa Internasional. Kabupaten Kudus juga memiliki beberapa industri besar antara lain: PT Djarum (industri rokok), industri elektronik, industri kertas dan percetakan. Kota Semarang juga terdapat beberapa industri besar di antaranya: industri garmen, perusahaan manufaktur tekstil PMA, perusahaan pakan ternak, perusahaan PMA Jepang. Tidak sedikitnya jumlah perusahaan besar atau industri besar di Jawa Tengah menjadikan sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor ekonomi basis yang dapat diindikasikan sektor tersebut menjadi sektor andalan ekspor di Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 8 Nilai LQ sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 periode 2005-2012

Lapangan Usaha Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Pertanian 1.442 1.448 1.449 1.460 1.465 1.420 1.398 1.392

Pertambangan dan Penggalian 0.107 0.122 0.129 0.133 0.134 0.138 0.144 0.152

Industri Pengolahan 1.147 1.149 1.167 1.183 1.178 1.272 1.286 1.279 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.246 1.257 1.225 1.163 1.073 1.107 1.107 1.123

Bangunan 0.94 0.923 0.918 0.914 0.911 0.909 0.910 0.908

Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.252 1.248 1.229 1.215 1.271 1.238 1.225 1.227

Pengangkutan dan Komunikasi 0.782 0.732 0.698 0.648 0.598 0.557 0.549 0.537

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0.384 0.389 0.388 0.388 0.397 0.394 0.395 0.403

Jasa-jasa 1.089 1.109 1.120 1.141 1.155 1.081 1.094 1.114

Sumber : BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah). Keterangan : dicetak tebal adalah sektor basis

Sektor pertanian menjadi salah satu sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 2005-2012 meskipun nilainya berfluktuatif. Banyaknya kabupaten/kota yang tergolong dalam sektor dominan pertanian mengindikasikan bahwa sektor pertanian secara garis besar termasuk sektor yang diandalkan oleh sebagian besar masyarakat di kabupaten/kota tersebut.

Sektor listrik, gas, dan air bersih meskipun memberikan sumbangan terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah paling kecil di antara ke delapan sektor lainnya, namun sektor ini menjadi salah satu sektor ekonomi basis. Hal ini dikarenakan sektor ini menjadi sektor penunjang seluruh kegiatan ekonomi di seluruh sektor perekonomian terutama sektor industri pengolahan. Seluruh masyarakat di Jawa Tengah sudah memanfaatkan energi listrik, air bersih, dan gas dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga sektor ini terus berkembang ke depannya.

Sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor jasa-jasa merupakan sektor terakhir yang tergolong sebagai sektor ekonomi basis. Hal ini berarti kedua sektor ini dapat dikembangkan menjadi sektor andalan ekspor di Jawa Tengah.

Sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan tidak termasuk sektor basis. Hal ini dapat dilihat dari nilai LQ sektor

ini lebih kecil daripada satu. Sektor pertambangan dan penggalian belum mampu menjadi sektor ekonomi basis diduga penyebabnya karena sektor ekonomi basis ini hanya dihasilkan dari wilayah tertentu di Jawa Tengah seperti: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Magelang. Sektor bangunan memiliki nilai LQ yang terus menurun, diduga penyebabnya adalah makin banyaknya penambahan bangunan seperti pertokoan, tempat perbelanjaan di kota-kota besar sehingga peranan kabupaten dan desa semakin menurun.

Sektor pengangkutan dan komunikasi belum mampu menjadi sektor ekonomi basis karena diduga sektor ini belum mampu menjadi sektor yang berorientasikan ekspor. Hal tersebut dapat dilihat dari masih buruknya sarana pengangkutan baik darat maupun laut serta masih terdapat beberapa keterbatasan dalam komunikasi dan alat komunikasi di kalangan masyarakat pedesaan yang masih minim pendapatannya.

Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan juga belum mampu dijadikan sektor ekonomi basis diduga karena masih banyaknya masyarakat yang belum mempunyai tabungan baik di bank maupun asuransi sehingga sektor ini belum bisa dijadikan andalan di Jawa Tengah.

Sektor ekonomi basis di tingkat kabupaten/kota dapat dihitung juga dengan menggunakan analisis yang sama yaitu analisis Location Quotient dengan cara membandingkan indikator perekonomian yaitu PDRB di tingkat bawah yaitu tingkat kabupaten/kota dengan PDRB di tingkat atas yaitu Jawa Tengah. Nilai LQ menunjukkan bahwa sektor ekonomi basis masing-masing kabupaten/kota tidak sama dengan sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut dikarenakan masing-masing kabupaten/kota mempunyai potensi daerahnya masing-masing. Sektor ekonomi basis masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini:

Tabel 9 Sektor ekonomi basis kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah

Sumber: BPS, 2013 (diolah).

Kabupaten/Kota Sektor Ekonomi Basis

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Kab. Cilacap 2,3 2,3 2,3,6 2,3,6 2,3,6 2,3,6 2,3,6 2,3,6 Kab. Banyumas 1,2,4,5,7,8,9 1,2,4,5,7,8,9 1,2,4,5,7,8,9 1,2,4,5,7,8,9 1,2,4,5,7,8,9 1,2,4,5,7,8,9 1,2,4,5,7,8,9 1,2,4,5,7,8,9 Kab. Purbalingga 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 Kab. Banjarnegara 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 Kab. Kebumen 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 Kab. Purworejo 1,2,7,8,9 1,2,7,8,9 1,2,7,8,9 1,2,7,8,9 1,2,7,8,9 1,2,7,8,9 1,2,7,8,9 1,2,7,8,9 Kab. Wonosobo 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 Kab. Magelang 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 Kab. Boyolali 1,4,6,8 1,4,6,8 1,4,6,8 1,4,6,8 1,4,6,8,9 1,4,6,8,9 1,4,6,8,9 1,4,6,8,9 Kab. Klaten 1,2,5,6,8,9 1,2,5,6,9 1,2,5,6,9 1,2,5,6,9 1,2,5,6,9 1,2,5,6,8,9 2,5,6,8,9 2,5,6,8,9 Kab. Sukoharjo 4,6 1,4,6 1,4,6 1,4,6 1,4,6 1,4,6 1,4,6 1,4,6 Kab. Wonogiri 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 1,7,8,9 Kab. Karanganyar 3,4 3,4 3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 Kab. Sragen 1,4,8,9 1,4,8,9 1,4,8,9 1,4,8,9 1,4,8,9 1,4,8,9 1,4,8,9 1,4,8,9 Kab. Grobogan 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 Kab. Blora 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 1,2,8 Kab. Rembang 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 1,2,5,7,9 Kab. Pati 1,4,5,8 1,4,5,8 1,4,5,8 1,4,5,8 1,4,5,8 1,4,5,8 1,4,5,8 1,4,5,8 Kab. Kudus 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 3,6 Kab. Jepara 1,6,7,8 1,6,7,8 1,6,7,8 1,6,7,8 1,7,8 1,6,7,8 1,5,7,8,9 1,5,7,8,9 Kab. Demak 1,5,8 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 1,5,8,9 Kab. Semarang 3,6 3,4,6 3,6 3,4,6 3,4,6 3,4,6 3,4 3,4 Kab. Temanggung 1,2,4,7,8,9 1,4,7,8,9 1,4,7,8,9 1,4,7,8,9 1,4,7,8,9 1,4,7,8,9 1,7,8,9 1,4,7,8,9 Kab. Kendal 1,3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 1,3,4 Kab. Batang 1,2,5,9 1,2,4,5,8,9 1,2,4,5,8,9 1,2,4,5,8,9 1,2,4,5,9 1,2,4,5,8,9 1,2,4,5,8,9 1,2,4,5,8,9 Kab. Pekalongan 1,2,4,8,9 1,2,4,8,9 1,4,5,8,9 1,2,4,5,8,9 1,4,5,8,9 1,4,5,8,9 1,4,5,8,9 1,4,5,8,9 Kab. Pemalang 1,2,4,6,8 1,2,4,6,8 1,2,4,6,8 1,2,4,6,8 1,2,4,6,8 1,2,4,6,8,9 1,2,4,6,8,9 1,2,4,6,8,9 Kab. Tegal 2,6,8 2,6,8 2,6,8 2,6,8 2,6,8 2,6,8 2,6,8 2,6,8 Kab. Brebes 1,2,4 1,2,4 1,2,4 1,2,4 1,2,4 1,2,4 1,2,4 1,2,4 Kota Magelang 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 Kota Surakarta 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 Kota Salatiga 4,7,8,9 4,7,8,9 4,7,8,9 4,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 4,5,7,8,9 Kota Semarang 4,5,6,7,9 4,5,6,7,9 4,5,6,7,9 4,5,6,7,9 4,5,6,7,9 4,5,6,7,9 4,5,6,7,9 4,5,6,7,9 Kota Pekalongan 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 Kota Tegal 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8 4,5,6,7,8 4,5,6,7,8 4,5,6,7,8 4,5,6,7,8 4,5,6,7,8 4,5,6,7,8

Keterangan: 1. Sektor pertanian

2. Sektor pertambangan dan penggalian 3. Sektor industri pengolahan

4. Sektor listrik, gas, dan air bersih 5. Sektor bangunan

6. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran 7. Sektor pengangkutan dan komunikasi

8. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 9. Sektor jasa-jasa

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi basis di kabupaten-kabupaten pada Provinsi Jawa Tengah karena dimiliki oleh 23 kabupaten-kabupaten. Hal ini dikarenakan di tingkat kabupaten, sektor pertanian merupakan sumber sebagian besar masyarakatnya. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, mata pencaharian yang paling banyak berada pada sektor pertanian yaitu sebesar 42.34 persen. Berdasarkan hal tersebut, sektor pertanian menjadi salah satu sektor andalan sektor ekonomi basis bagi ekspor di tingkat provinsi maupun kabupaten. Pada tingkat kota di Jawa Tengah sektor pertanian tidak menjadi sektor ekonomi basis dari tahun ke tahun di enam kota yaitu Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal. Hal ini dikarenakan pada enam kota di Jawa Tengah didominasi oleh sektor sekunder dan sektor tersier dimana luas lahan bukan sawah dua kali lebih besar daripada luas lahan sawah. Bahkan di Kota Surakarta luas lahan bukan sawah mencapai 41 kali lebih besar dari pada lahan sawahnya (BPS Jawa Tengah 2013).

Sektor jasa-jasa merupakan sektor ekonomi basis lain yang mendominasi di kabupaten/kota pada Provinsi Jawa Tengah. Sektor jasa-jasa menjadi andalan bagi ekspor baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Tengah sehingga sektor jasa-jasa menjadi sektor ekonomi basis.

Sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan tidak menjadi sektor ekonomi basis di enam kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini diduga karena enam kota di Jawa Tengah tidak didominasi oleh perusahaan atau pabrik penggalian dan pabrik-pabrik lainnya, tetapi lebih didominasi oleh sentra pusat bisnis.

Analisis Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

Provinsi Jawa Tengah memiliki lima sektor ekonomi basis, setiap sektor memiliki peranan yang berbeda dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

Peranan sektor ekonomi basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dianalisis dengan cara menghitung indeks ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor ekonomi basis dengan indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor ekonomi basis. Setelah itu, akan diketahui selisih indeks ketimpangan yang memasukkan sektor ekonomi basis dengan yang tidak memasukkan sektor ekonomi basis.

Besarnya selisih menunjukkan peranan sektor ekonomi basis tersebut dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Perhitungan besarnya peranan masing-masing sektor ekonomi basis dapat dilihat di bawah ini:

Peranan Sektor Ekonomi Basis Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

Sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor primer yang tergolong dalam sektor ekonomi basis. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi yang besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Telah diketahui berdasarkan hasil perhitungan bahwa nilai indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian. Besarnya peranan sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah

Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).

Indeks ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2005-2012 tanpa memasukkan sektor pertanian berkisar 0.89-1.005, sedangkan apabila memasukkan sektor pertanian nilai indeks ketimpangan berkisar 0.7133-0.7527. Di artikan bahwa sektor ekonomi basis pertanian selama tahun 2005-2012 mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 27.18 persen dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Peranan Sektor Ekonomi Basis Industri Pengolahan dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

Sektor industri pengolahan merupakan sektor ekonomi basis selama periode analisis tahun 2005-2012 yang menyumbang PDRB Jawa Tengah terbesar. Dilihat dari peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan, sektor industri pengolahan justru membuat ketimpangan pendapatan meningkat karena indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor industri pengolahan nilainya lebih rendah.

Tahun Indeks Williamson Seluruh Sektor Indeks Williamson Tanpa Sektor Pertanian Persentase Perubahan (persen)

2005 0.7527 0.970 28.86 2006 0.7475 1.005 34.44 2007 0.7414 0.938 26.51 2008 0.7451 0.940 26.15 2009 0.7350 0.928 26.25 2010 0.7232 0.908 25.55 2011 0.7214 0.901 24.89 2012 0.7133 0.890 24.77

Pada Tabel 11 terlihat bahwa indeks ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2005-2012 tanpa memasukkan sektor industri pengolahan berkisar 0.519-0.527 sedangkan apabila memasukkan sektor industri pengolahan nilai indeks ketimpangan berkisar 0.7133-0.7527. Di artikan bahwa sektor ekonomi basis industri pengolahan selama tahun 2005-2012 justru meningkatkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan kontribusi rata-rata sebesar 28.94 persen. Kondisi tersebut diduga karena sektor industri pengolahan ini hanya berpusat pada beberapa wilayah saja seperti: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Kendal. Dengan demikian, sektor industri pengolahan merupakan satu-satunya sektor sekunder yang menyebabkan ketimpangan pendapatan meningkat.

Tabel 11 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Tengah

Tahun Indeks Williamson Seluruh Sektor Sektor Industri Pengolahan Indeks Williamson Tanpa Persentase Perubahan (persen)

2005 0.7527 0.521 -30.78 2006 0.7475 0.516 -30.96 2007 0.7414 0.524 -29.32 2008 0.7451 0.521 -30.07 2009 0.7350 0.523 -28.84 2010 0.7232 0.519 -28.23 2011 0.7214 0.525 -27.22 2012 0.7133 0.527 -26.11

Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).

Peranan Sektor Ekonomi Basis Listrik, Gas, dan Air Bersih dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah

Tabel 12 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor listrik, gas, dan air bersih di Provinsi Jawa Tengah Tahun Indeks Williamson Seluruh Sektor Sektor Listrik, Gas, dan Air Indeks Williamson Tanpa

Bersih Persentase Perubahan (persen) 2005 0.7527 0.755 0.30 2006 0.7475 0.750 0.33 2007 0.7414 0.744 0.35 2008 0.7451 0.785 5.35 2009 0.7350 0.738 0.40 2010 0.7232 0.726 0.38 2011 0.7214 0.724 0.36 2012 0.7133 0.716 0.37

Sektor listrik, gas, dan air bersih mampu menjadi sektor ekonomi basis pada tahun analisis 2005-2012 meskipun sektor ini menyumbang PDRB Jawa Tengah terkecil. Diduga sektor listrik, gas, dan air bersih menjadi sektor ekonomi basis dikarenakan sektor ini sangat berperan dalam mendukung keberlangsungan sektor-sektor perekonomian lainnya terutama sektor industri.

Jika dilihat dari peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan selama periode 2005-2012 keberadaan sektor listrik, gas, dan air bersih sebagai sektor ekonomi basis mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Sektor listrik, gas, dan air bersih merupakan sektor sekunder yang mampu mengurangi ketimpangan pendapatan dengan kontribusi rata-rata sebesar 0.98 persen.

Peranan Sektor Ekonomi Basis Perdagangan, Hotel, dan Restoran dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah

Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan salah satu sektor tersier yang tergolong dalam sektor ekonomi basis. Berdasarkan hasil perhitungan bahwa nilai indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran lebih rendah dibandingkan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian. Hasil perhitungan sektor perdagangan, hotel, dan restoran dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor perdagangan, hotel, dan restoran di Provinsi Jawa Tengah Tahun Indeks Williamson Seluruh Sektor Sektor Perdagangan, Hotel, Indeks Williamson Tanpa

dan Restoran Persentase Perubahan (persen) 2005 0.7527 0.615 -18.29 2006 0.7475 0.694 -7.15 2007 0.7414 0.685 -7.60 2008 0.7451 0.688 -7.66 2009 0.7350 0.674 -8.29 2010 0.7232 0.661 -8.60 2011 0.7214 0.657 -8.92 2012 0.7133 0.646 -9.43

Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).

Hasil perhitungan tanpa memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran didapatkan bahwa indeks ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan meskipun masih berada dalam taraf ketimpangan yang tinggi. Selama tahun analisis 2005-2012 indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran berkisar 0.615-0.694. Sedangkan apabila memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran nilai ketimpangannya berkisar 0.7133-0.7527. Rata-rata kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar -9.49 persen dalam mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Dapat di artikan bahwa keberadaan sektor perdagangan, hotel, dan restoran meningkatkan ketimpangan

pendapatan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 9.49 persen. Hal tersebut diduga karena perkembangan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang besar hanya terjadi di beberapa wilayah seperti: Kabupaten Semarang, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Kudus.

Peranan Sektor Ekonomi Basis Jasa-jasa dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

Sektor jasa-jasa merupakan sektor tersier terakhir yang menjadi sektor ekonomi basis serta mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Sektor ini menjadi satu-satunya sektor tersier yang mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 14 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor jasa-jasa di Provinsi Jawa Tengah

Tahun Indeks Williamson Seluruh Sektor Indeks Williamson Tanpa Sektor Jasa-jasa Persentase Perubahan (persen)

2005 0.7527 0.811 7.74 2006 0.7475 0.808 8.09 2007 0.7414 0.801 8.03 2008 0.7451 0.808 8.44 2009 0.7350 0.798 8.57 2010 0.7232 0.788 8.96 2011 0.7214 0.787 9.09 2012 0.7133 0.778 9.07

Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).

Tanpa memasukkan PDRB sektor jasa-jasa didapat nilai indeks ketimpangan berkisar 0.778-0.811 yang lebih besar dibandingkan dengan memasukkan PDRB sektor jasa-jasa yang nilai indeks ketimpangannya berkisar 0.7133-0.7527. Berdasarkan nilai tersebut, didapatkan selisih indeks ketimpangan tanpa PDRB sektor jasa-jasa dengan PDRB seluruh sektor sebesar 8.5 persen. Di artikan bahwa sektor jasa-jasa mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 8.5 persen.

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Sektor Pertanian

Provinsi Jawa Tengah mempunyai lima sektor ekonomi basis, setelah dianalisis peranan dari kelima sektor tersebut dalam mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah, sektor pertanian mempunyai peranan paling besar yaitu dengan rata-rata kontribusinya sebesar 27.18 persen. Sektor pertanian mempunyai lima sub sektor yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan, dan perikanan.

Tabel 15 Kontribusi sub sektor pertanian terhadap PDRB sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah (persen)

Sub Sektor Pertanian 2005 2006 2007 2008 2009 Tanaman Bahan Makanan 71.87 71.35 70.09 69.92 69.81

Tanaman Perkebunan 9.18 9.2 9.54 9.44 9.60

Peternakan 11.00 11.62 12.66 13.12 13.34

Kehutanan 2.31 1.87 1.82 1.65 1.65

Perikanan 5.62 6.11 5.86 5.84 5.57

Sumber: BPS, 2010 (diolah).

Tabel 15 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen PDRB sektor pertanian disumbang oleh PDRB sub sektor tanaman bahan makanan. Hal ini yang menjadi dasar memilih variabel-variabel yang akan di analisis pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian yaitu: luas lahan teririgasi, luas panen tanaman bahan makanan, jumlah tenagakerja sektor pertanian, dan jumlah penduduk. Komoditi yang dimasukkan dalam kategori tanaman bahan makanan dibatasi yaitu padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedele, kacang hijau, bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, cabai, tomat, wortel, kacang panjang, buncis, ketimun, bawang daun, sawi, kacang merah, terong, labu siam, kangkung, bayam, jamur, melon, semangka.

Pertimbangan hanya menggunakan komoditi-komoditi tersebut di antara banyak komoditi tanaman bahan makanan yang lain dikarenakan satuan dari komoditi tanaman bahan makanan tersebut tidak homogen. Di antara komoditi-komoditi tersebut ada yang luas panennya dengan satuan hektar, pohon, dan rumpun. Dari ke tiga satuan tersebut diputuskan untuk mengambil komoditi yang mempunyai satuan luas panennya hektar dikarenakan satuan hektar tersebut lebih mewakili dan lebih spesifik perhitungannya dibandingkan satuan dalam pohon dan rumpun. Satuan dalam pohon dan rumpun tidak ikut dimasukkan dalam analisis dikhawatirkan akan menjadikan hasil analisisnya menjadi tidak baik karena dalam satu komoditi menggunakan satuan yang berbeda-beda. Selain itu satuan dalam pohon dan rumpun untuk satu komoditi dengan komoditi lain

Dokumen terkait