• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

C. Independensi Auditor

1. Independensi Auditor Eksternal

Menurut Arens, Elder dan Beasley (2009) dalam Auditing and Assurance Service An Integrated Approach Tenth Edision, independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Menurut Standar Audit Pemerintahan 1995, independensi merupakan suatu pendapat, kesimpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil audit yang dilaksanakan secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak ketiga yang memiliki pengetahuan mengenai hal itu. Dalam SPKN independensi ditekankan dalam paragraph 14 Pernyataan standar umum kedua: “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, eksternal, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya”.

21 Dari beberapa definisi independesi tersebut diatas, dapat kita tarik simpulan bahwa independensi merupakan suatu tindakan baik sikap perbuatan atau mental auditor dalam sepanjang pelaksanaan audit dimana auditor dapat memposisiskan dirinya dengan auditee nya secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil auditnya.

Secara umum independensi terdiri dari dua yaitu Independensi dalam kenyataan dan dalam penampilan. Independensi dalam kenyataan merupakan sikap mental yang benar-benar ada dalam kenyataan ketika auditor dapat mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan audit.

Independensi ini terutama ditujukan ke pribadi auditor dalam melaksanakan auditnya. Sehingga independensi dalam kenyataan ini sulit untuk dinilai oleh orang atau pihak lain selain auditor sendiri. Independensi dalam penampilan adalah hasil interprestasi atau presepsi orang atau pihak lain mengenai independensi auditor. Walaupun auditor dapat mempertahankan independensi dalam kenyataan, namun apabila pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan yakin bahwa auditor memihak kepada auditee maka opini dari hasil yang telah dibuat oleh auditor tidak akan credible lagi.

Independensi merupakan dasar dari struktur filosofi profesi. Bagaimana kompetennya seorang CPA dalam melaksanakan audit dan jasa atestasi lainnya, pendapatnya akan menjadi kurang bernilai bagi mereka

22 yang mengandalkan laporan auditor apabila CPA tersebut tidak independen. Dalam memberikan jasa-jasa tersebut para anggota harus bersikap independen dalam segala hal, artinya para anggota harus bertindak dengan integritas dan objektivitas (Boynton, 2003).

Dalam buku Professional Independence yang diterbitkan oleh The Institute of Chartered Accountants in Australia (1997) dijelaskan bahwa: ”Independence is a cornerstone of accountancy professional and one its most precious assets-nevertheless it is difficult to prove and easy to challenge”.

Dalam buku Standar Profesi Akuntan Publik 1999 seksi 220 PSA No.04 Alinea 2, dijelaskan bahwa:

”Independensi itu berarti tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal berpraktik sebagai auditor internal). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun, sebab bilamana tidak demikian halnya, bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang justru paling penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.”

2. Aspek Independensi

Menurut Taylor (1997), ada dua aspek independensi, yaitu:

a. Independensi sikap mental (independence of mind/independence of mental attitude), independensi sikap mental ditentukan oleh pikiran akuntan publik untuk bertindak dan bersikap independen.

b. Independensi penampilan (image projected to the public/appearance of independence), independensi penampilan ditentukan oleh kesan masyarakat terhadap independensi akuntan publik.

23 Pada lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-20/PM/2002 terdapat Peraturan nomor VIII.A.2 yang berisikan tentang independensi akuntan yang memberikan jasa audit di pasar modal. Peraturan tersebut diantaranya membatasi hubungan auditee dan auditor dalam jangka waktu tertentu, yaitu emiten harus mengganti kantor akuntan setiap lima tahun dan setiap tiga tahun untuk auditor. Selain itu, pemberian jasa non audit tertentu, seperti menjadi konsultan pajak, konsultan manajemen, disamping pemberian jasa audit pada seorang klien tidak diperkenankan karena dapat mengganggu independensi auditor.

Menurut Supriyono (1988) yang dikutip dalam penelitian Mayangsari (2003), ada enam faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, salah satunya adalah jasa-jasa lain selain audit yang dilakukan oleh auditor bagi klien. Seringkali manajemen klien meminta kantor akuntan publik untuk memberikan jasa lain selain jasa audit. Pemberian jasa lain selain jasa audit menimbulkan pertanyaan yang mendasar apakah akuntan publik tersebut dapat mempertahankan independensinya.

3. Faktor-faktor yang Menggangu Independensi Auditor Eksternal

Secara garis besar, standar-standar pemeriksaan seperti GAAS dan SPKN menyatakan ada tiga faktor gangguan yang dapat mempengaruhi independensi pemeriksa yaitu gangguan yang bersifat pribadi, gangguan yang bersifat eksternal dan gangguan yang bersifat organisatoris. Para auditor, termasuk konsultan yang dipekerjakan dan tenaga ahli serta

24 spesialis internal yang melaksanakan tugas audit, perlu mempunyai pertimbangan terhadap tiga macam gangguan ini terhadap independensi yaitu sebagai berikut:

a. Gangguan yang bersifat pribadi

Gangguan yang bersifat pribadi merupakan suatu keadaan dimana auditor secara individual tidak dapat untuk tidak memihak, atau dianggap tidak mungkin tidak memihak. Gangguan yang bersifat pribadi ini dapat berlaku bagi auditor secara individual dan juga dapat berlaku bagi organisasi. Gangguan independensi yang bersifat pribadi, antara lain sebagai berikut:

1) Hubungan dinas, profesi, pribadi, atau keuangan yang mungkin dapat menyebabkan seorang auditor membatasi pengungkapan temuan audit, memperlemah atau membuat temuan auditnya menjadi berat sebelah, dengan cara apapun

2) Prasangka terhadap perorangan, kelompok, organisasi atau tujuan suatu program, yang dapat membuat pelaksanaan audit menjadi berat sebelah.

3) Pada masa sebelumnya mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan atau pengelolaan suatu entitas, yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan atau program entitas yang sedang berjalan atau sedang diaudit.

25 4) Kecenderungan untuk memihak, karena keyakinan politik atau

sosial, sebagai akibat hubungan antar pegawai, kesetian kelompok, organisasi atau tingkat pemerintahan tertentu.

5) Pelaksanaan audit oleh seorang auditor yang sebelumnya pernah sebagai pejabat yang menyetujui faktur, daftar gaji, klaim, dan pembayaran yang diusulkan olehsuatu entitas atau progam yang diaudit.

6) Pelaksanaan audit oleh seorang auditor, yang sebelumnya pernah menyelenggarakan catatan akuntansi resmi atau lembaga/unit kerja atau program yang diaudit.

7) Kepentingan keuangan secara langsung atau kepentigan keuangan yang besar, meskipun tidak secara langsung pada entitas atau program yang diaudit.

b. Gangguan yang bersifat eksternal.

Gangguan yang bersifat eksternal bagi organisasi/lembaga audit dapat membatasi pelaksanaan audit atau mempengaruhi kemampuan auditor dalam menyatakan pendapat dan kesimpulan auditnya secara independen dan obyektif. Gangguan independensi yang bersifat eksternal, antara lain sebagai berikut:

1) Campur tangan atau pengaruh pihak eksternal yang membatasi atau mengubah secara tidak semestinya atau secara gegabah, terhadap lingkup audit.

26 2) Campur tangan pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan

prosedur audit, atau dalam pemilihan transaksi yang harus diperiksa.

3) Pembatasan waktu yang tidak masuk akal untuk penyelesaian suatu audit.

4) Campur tangan pihak luar terhadap organisasi/lembaga audit mengenai penugasan penunjukkan, dan promosi staff pelaksana audit.

5) Pembatasan terhadap sumber yang disediakan bagi organisasi/lembaga audit tersebut dalam melaksanakan tugasnya. 6) Wewenang untu menolak atau mempengaruhi peertimbangan

auditor terhadap isi semetinya dari suatu laporan audit.

7) Pengaruh yang membahayakan kelangsungan auditor sebagai pegawai, selain sebab-sebab yang berkaitan dengan kecakapan auditor atau dengan kebutuhan jasa audit.

c. Gangguan yang bersifat organisatoris.

Independensi para auditor pemerintah dapat dipengaruhi oleh

kedudukannya dalam struktur organisasi pemerintahan, tempat auditor tersebut ditugaskan, dan juga dipengaruhi oleh audit yang dilaksanakannya, yaitu apakah mereka melakukan audit internal atau audit terhadap entitas lain.

27 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor Eksternal.

Setiap auditor eksternal harus menjaga dan mempertahankan independensinya dengan cara menghindari faktor-faktor yang dapat merusak independensi. Oleh karena itu auditor eksternal harus mengetahui faktor-faktor yang mungkin dapat merusak independensinya.

Ikatan akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi tunggal profesi akuntan publik sampai saat ini belum mengeluarkan secara resmi mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi independensi auditor eksternal. Untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai factor-faktor yang mempengaruhi independensi auditor eksternal akan dijelaskan dibawah ini:

a. Komite Audit

Komite audit adalah sejumlah anggota terpilih dari dewan direksi sebuah perusahaan yang tanggung jawabnya membantu auditor untuk tetap independen dari manajemen. Kebanyakan komite audit dibuat dari tiga hingga lima atau terkadang paling banyak tujuh direktur yang bukan dari manajemen ( Arens. Et. Al, 2003).

Hasil riset yang dilakukan oleh Gul (1989) menunjukkan bahwa keberadaan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi independensi auditor eksternal. Anggota komite audit terdiri dari non direktur eksekutif perusahaan dan bertanggung jawab untuk menunjuk auditor dan menetapkan Quasi judical body (seperti badan hukum) dalam masalah-masalah yang berhubungan

28 dengan keberadaan auditor independen yang respek terhadap beberapa jasa yang disediakan oleh manajemen (Mautz dan Neary, 1993).

b. Kondisi Keuangan Perusahaan Klien.

Temuan Gul (1989) menunjukan bahwa, menurut persepsi bankir kondisi keuangan perusahaan klien terhadap independensi auditor tidak berpengaruh secara signifikan. Akan tetapi, penelitian lain menunjukan bahwa kondisi keuangan perusahaan klien berpengaruh terhadap sebagian besar auditor untuk dapat menghindari maupun tidak dapat menghindari dari tekanan kliennya. Shuctz dan Gustavon (1987) menemukan bukti bahwa aktuaris merasa bahwa resiko kewajiban hokum kantor akuntan berhubungan terbalik dengan kondisi keuangan klien. Apabila kondisi keuangan klien buruk maka auditor tidak mungkin menyerah pada tekanan kliennya sehingga merasa khawatir atau takut dalam tuntutan hukum. Hasil riset yang dilakukan oleh Knapp (1985) menemukan bukti bahwa pada saat kondisi keuangan klien buruk, persepsi bankir tentang independensi auditor meningkat. Kejadian seperti ini membuat auditor tidak mungkin menyerah pada tekanan kliennya walaupun tuntutan hokum meningkat.

c. Jasa Konsultasi Manajemen

Menurut Boynton (2003), jenis utama jasa-jasa yang diberikan oleh kantor akuntan publik adalah:

29 1) jasa akuntansi dan kompilasi

2) jasa atestasi seperti jasa audit, pemeriksaan, jasa review, prosedur yang disepakati

3) jasa-jasa lain seperti jasa teknologi, konsultasi manajemen, perencanaan keuangan, serta jasa internasional.

Aktivitas kantor akuntan selain memberikan jasa audit, juga memberikan jasa-jasa lain, pemberian jasa konsultasi ini memungkinkan hilangnya independensi akuntan publik karena akuntan publik akan cenderung memihak pada kepentingan kliennya. Menurut Supriono (1988), hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa alasan misalnya: (a) kantor akuntan yang memberikan saran-saran kepada klien cenderung memihak kepada kepentingan kliennya sehingga auditor kehilangan independensinya dalam melaksanakan pekerjaan audit. (b) kantor akuntan merasa bahwa dengan pemberian jasa lain selain audit tersebut harga dirinya dipertaruhkan untuk keberhasilan kliennya, sehingga cenderung tidak independen di dalam melaksanakan audit. (c) pemberian jasa lain selain audit mungkin menghasurkan kantor akuntan publik membuat keputusan tertentu untuk kliennya, sehingga posisi akuntan public menjadi tidak independent dalam melaksanakan audit.

d. Tingkat Persaingan antar Kantor Akuntan Publik

Persaingan antar kantor akuntan dapat diidentifikasi sebagai perubahan penting yang terjadi pada lingkungan pelayanan jasa audit

30 yang ditandai dengan adanya kantor akuntan lain yang memasuki market audit untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada dan tidak dapat meniru siasat pemasaran agresif. Tajamnya persaingan antar kantor akuntan publik, kemungkinan mempunyai pengaruh besar terhadap independensi auditor eksternal, karena tiap kantor akuntan dihadapkan pada dua pilihan yakni kehilangan kliennya karena mencari kantor akuntan lain atau mengeluarkan opininya sesuai dengan keinginan klien.

e. Lamanya Hubungan antara Kantor Akuntan Publik dengan Klien

Lamanya hubungan antara kantor akuntan dengan kliennya adalah lamanya waktu yang digunakan oleh kantor akuntan dalam melayani kebutuhan audit yang disediakan untuk kliennya (Shockley, 1981). Tingkat lamanya hubungan antara KAP dengan kliennya diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu: lima tahun/kurang dan lebih dari lima tahun. Pembagian ini konsisten dengan ketentuan yang ditetapkan oleh AICPA bagian praktik SEC yang mensyaratkan bahwa seorang partner tidak boleh mengaudit kliennya lebih dari lima tahun secara berurutan karena hal ini akan melemahkan independensi auditor dalam melaksanakan audit (Shockley, 1981).

5. Indikator Independensi

Mautz dan Sharaf (1993) memberikan beberapa indikator independensi professional. Indikator-indikatornya adalah:

31 a. Independensi dalam program audit

1) Bebas dari intervensi manajerial atas program audit 2) Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit

3) Bebas dari segal persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang disyaratkan untuk sebuah proses audit

b. Independensi dalam verifikasi

1) Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan karyawan yang relevan dengan audit yang dilakukan

2) Mendapatkan kerjasama yang aktif dari karyawan manajemen selama verifikasi audit

3) Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas yang diperiksa atau membatasi pemerolehan bahan bukti 4) Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit c. Independensi dalam pelaporan

1) Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikasi dari fakta-fakta yang dilaporkan

2) Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan dalam laporan audit

3) Menghindari penggunaan kata-kata yang menyesatkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan rekomendasi dalam interpretasi auditor

4) Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit.

32 D. Materialitas

Menurut Boynton (2003) materialitas adalah besarnya suatu pengabaian atau salah saji informasi akuntansi yang diluar keadaan disekitarnya memungkinkan bahwa pertimbangan seseorang yang bergantung pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh pengabaian atau salah saji tersebut.

Menurut Arens et al (2009) materialitas dalam kaitannya dengan akuntansi dan pelaporan audit adalah suatu salah saji dalam laporan keuangan dianggap material jika pengetahuan salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan yang rasional.

Menurut FASB No.2 materialitas adalah jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji informasi akuntansi yang kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan, mungkin membuat pertimbangan pengambilan keputusan pihak yang berkepentingan berubah atau terpengaruh oleh salah saji tersebut.

Tujuan dari penetapan materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan barang bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan bahwa tingkat materialitas rendah maka akan lebih banyak lagi bukti yang harus dikumpulkan dan begitupun jika tingkat materialitas tinggi maka hanya sedikit bahan bukti yang harus dikumpulkan.

Pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan digunakan auditor

33 dihubungakan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pedoman kuantitatif maupun pertimbagan kualitatif.

Pedoman kuantitatif yang digunakan dalam praktek auditor dalam Boyton (2006), yaitu:

1. 5 % - 10 % dari laba bersih sebelum pajak 2. ½ % - 1 % dari total aktiva

3. 1% dari ekuitas

4. ½ %-1 % dari pendapatan kotor

5. Persentase didasarkan mana yang lebih besar antara total aktiva atau total pendapatan.

Pertimbangan kualitatif dapat terjadi misalnya ketika salah saji diakibatkan oleh suatu ketidakberesan atau melanggar hukum klien.

Dalam Pernyataan Standar Audit (PSA) No.25 dijelaskan bahwa terdapat pedoman dalam mempertimbangkan resiko dan materialitas dalam mengaudit laporan keuangan, yaitu:

1. Resiko audit dan materialitas, bersama dengan hal-hal ini perlu dipertimbangkan dalam menentukan sifat, saat dan luas prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil prosedur tersebut.

2. Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut mengadung salah saji yang dampaknya secara individual atau keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai sengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan yang keliru

34 dengan prinsip akuntansi tersebut, penyimpangan fakta, atau dihilangkannya informasi yang diperlukan.

3. Dalam mengambil kesimpulan mengenai dampak suatu salah saji, secara individual atau keseluruhan, auditor umumnya harus mempertimbangkan sifat dan jumlahnya dalam hubungan dengan sifat dan pos laporan keuangan yang sedang diaudit.

4. Pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan yang memadai dan yang akan meletakan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Penggabungan mengenai materialitas yang digunakan auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangan kuantitatif maupun kualitatif.

Konsep materialitas diatas menunjukkan seberapa besar salah saji yang dapat diterima agar pemakai laporan keuangan terpengaruh oleh salah saji tersebut. Adapun konsep materialitas yang dapat digunakan dalam pertimbangan laporan keuangan sebagai berikut:

1. Jumlah yang tidak material

Jika terdapat salah saji tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai keuangan.

2. Jumlah yang material tetapi tidak mengganggu laporan keuangan secara keseluruhan

Tingkat materialitas ini terjadi jika salah saji laporan keuangan dapat dipengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan, tetapi secara

35 keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji benar sehingga tetap berguna.

3. Jumlah yang sangat material sehingga pengaruhya sangat meluas dan kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan laporan keuangan diragukan.

Menurut Arens et al (2009) dalam menetapkan tingkat materialitas ada lima langkah yang dilakuakan yaitu:

1. Tentukan pertimbangan awal mengenai materialitas (set preliminary judgment about materiality).

2. Alokasi pertimbangan awal mengenai materialitas keadaan segmen (allocate preliminary judgment about materiality segment).

3. Estimasikan total salah saji dalam segmen (estimate total misstatement in segment).

4. Estimasikan salah saji gabungan (estimate combined misstatement).

5. Bandingkan estimasi gabungan denga pertimbangan awal mengenai materialitas (compare combained estimate preliminary about materiality).

Dalam merencanakan suatu audit, auditor harus menilai materialitas pada dua tingkat berikut:

1. Tingkat laporan keuangan karena pendapat auditor mengenai kewajaran meluas sampai laporan keuangan secara keseluruhan.

2. Tingkat saldo akun karena auditor menguji saldo akun dalam memperoleh kesimpulan keseluruhan atas kewajaran laporan keuangan.

36 Standar yang tinggi dalam praktik akuntansi akan memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep materialitas. Pedoman materialitas beralasan, yang diyakini oleh sebagian besar anggota profesi akuntan adalah standar yang berkaitan dengan informasi laporan keuangan bagi para pemakai, akuntan harus menentukan berdasarkan pertimbangannya tentang besarnya suatu informasi yang dikatakan material.

Peran konsep materialitas itu adalah untuk mempengaruhi kualitas dan kuantitas yang diperlukan oleh auditor dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan bukti. Konsep materialitas menyatakan tidak semua informasi keuangan diperlukan atau tidak semua informasi seharusnya tidak dikomunikasikan. Dalam laporan akuntansi, hanya informasi yang material yang seharusnya disajikan. Informasi yang tidak material sebaiknya diabaikan atau dihilangkan. Materialitas seharusnya tidak hanya dikaitkan dengan keputusan investor, baik yang hanya berdasarkan tipe informasi tertentu maupun metode informasi yang disajikan. Beberapa peneliti tentang pertimbangan tingkat materialitas berfokus pada penemuan tentang jumlah konsisten yang ada diantara para profesional dalam membuat petimbangan tingkat materialitas.

Dokumen terkait