Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai sumber energi selain bertujuan untuk mengurangi ketergantungan daerah di pulau-pulau kecil terhadap bahan bakar minyak yang ketersediaannya semakin terbatas dan harganya terus meningkat, yang tidak kalah penting adalah untuk mengurangi beban lingkungan yang diakibatkan oleh limbah dalam proses pengelolaan energi. Dalam kasus pengelolaan energi di Nusa Penida, analisis beban lingkungan difokuskan kepada pengurangan beban lingkungan sebagai akibat pengurangan penggunaan bahan bakar fosil karena adanya kontribusi produksi energi listrik dari pembangkit listrik tenaga angin, tenaga matahari, dan penggunaan bahan bakar nabati sebagai substitusi solar untuk bahan bakar PLTD. Limbah yang dijadikan indikator pengurangan beban lingkungan dalam proses pengelolaan energi listrik adalah kandungan gas CO, SO2, NO2, dan partikel debu dalam emisi gas buang dari pembangkit listrik dan konsentrasinya di udara ambien.
Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O2 terhadap hemoglobin. Dengan demikian apabila CO masuk kedalam paru-paru akan berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Hill (1984) menyatakan bahwa gas CO sebagai gas mematikan, dampaknya tidak dapat berbalik (irreversible). Dengan demikian kemampuan darah untuk membawa oksigen sangat terhambat.
Sulfur dioksida (SO2) adalah gas asam yang bergabung dengan uap air di atmosfir menghasilkan hujan asam. Endapan SO2 baik dalam bentuk basah maupun kering dapat berdampak pada kerusakan vegetasi dan degradasi tanah, bahan bangunan dan badan-badan air. SO2 di udara sekitar dapat juga mempengaruhi kesehatan manusia, khususnya bagi yang menderita asma dan penyakit paru-paru kronis. Bahkan konsentrasi menengah dapat mengakibatkan kegagalan fungsi paru-paru bagi penderita asma. Pada konsentrasi SO2 yang tinggi, dapat terjadi dada sesak dan batuk, dan penderita asma dapat mengalami gangguan fungsi paru-paru memerlukan pertolongan medis. Pencemaran SO2 akan lebih berbahaya ketika partikulat dan pencemaran lain berada pada konsentrasi tinggi. Emisi sulfur dioksida (SO2) terutama timbul dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang
digunakan untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga. Gas yang berbau tajam tapi tak bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma karena gas ini menetap di udara, bereaksi dan membentuk partikel-partikel halus dan zat asam (BPLH, 2007). Masalah pencemaran SO2 saat ini tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga sudah menjadi masalah di pedesaan. Hal ini disebabkan karena pembangunan industri-industri cenderung berada di daerah luar perkotaan, sehingga emisi SO2 dapat mempengaruhi kualitas udara baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.
Nitrogen dioksida (NO2) adalah gas berbau tajam berwarna merah-coklat. Emisi NO2 dapat secara langsung berasal dari proses pembakaran bersuhu tinggi dan sebagai akibat dari konversi gas NO di atmosfir. Nitrogen oksida dilepaskan ke atmosfir terutama dalam bentuk NO, yang kemudian teroksidasi menjadi NO2 oleh reaksi dengan ozon. Zat nitrogen oksida ini menyebabkan kerusakan paru-paru. Setelah bereaksi di atmosfir, zat ini membentuk partikel-partikel nitrat amat halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel nitrat ini pula, jika bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air di awan akan membentuk asam. Selain itu, nitrogen oksida memiliki paruh waktu sekitar 1 hari untuk berubah menjadi asam nitrat. Asam nitrat ini kemudian terlepas dari atmosfir dan mengendap di tanah, atau berpindah menjadi tetes air (misalnya awan atau air hujan), yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pengendapan asam (BMDC, 2008).
Partikel debu yang terdapat di udara dapat menyebabkan penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan.
7.2. Dampak Lingkungan PLTD
Pengoperasian PLTD yang menggunakan bahan bakar fosil (HSD) dapat menimbulkan beberapa dampak terhadap lingkungan, yaitu dampak terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
7.2.1. Kualitas Udara
Atmosfer merupakan tempat penampungan dari semua jenis zat pencemar baik berupa gas, cair maupun padat dan oleh atmosfer zat-zat pencemar tersebut dihamburkan karena adanya sirkulasi udara. Pencemaran udara diindikasikan oleh adanya kandungan kontaminan atau kombinasinya di dalam atmosfer. Dampak terhadap kualitas udara diukur antara lain melalui udara ambien dan emisi gas yang berasal dari
cerobong asap (stack) dengan parameter pengukuran antara lain : kandungan CO, SO2, NO2, dan debu. Hasil pengukuran konsentrasi gas CO, SO2, NO2, dan partikel debu di udara ambien yang dilakukan PPLH-UNUD tanggal 16 Juni 2007 menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO, SO2, dan NO2 masih di bawah ambang batas baku mutu udara ambien yang ditentukan berdasarkan Keputusan Gubernur Bali No. 8 tahun 2007, namun konsentrasi partikel debu telah melampaui baku mutu (PLN Distribusi Bali, 2007). Tingginya konsentrasi debu diduga berasal dari proses pembangkitan energi listrik yang menggunakan bahan bakar solar. Hasil pengukuran kualitas udara ambien disajikan pada Tabel 7.1.
Tabel 7.1 Kualitas udara ambien di Lokasi PLTD Kutampi, tahun 2007
Parameter Satuan Hasil Pengukuran Baku
Mutu
Metode
Debu total µg/m3 265,879 230 Gravimetri
CO µg/m3 483,019 30.000 Iodium Pentoksida
SO2 µg/m3 37,231 900 West Gaeka
NO2 µg/m3 22,326 400 Griess Saltzman
7.2.2. Kebisingan
Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan baik di dalam maupun di luar ruangan pembangkit dengan alat Sound Level Meter. Hasil pengukuran tingkat kebisingan di sekitar lokasi PLTD Nusa Penida yang dilakukan oleh PPLH-UNUD menunjukkan bahwa baik di ruang mesin, di ruang kantor, maupun di luar ruangan telah melampaui nilai ambang batas (NAB). Data hasil pengukuran tingkat kebisingan disajikan pada Tabel 7.2.
Tabel 7.2 Tingkat kebisingan di sekitar lokasi PLTD Lokasi Pengukuran Hasil Pengukuran (dBA) NAB (dBA) Keterangan Ruang mesin 93,1 85 Melebihi NAB Ruang kantor 77,3 65 Melebihi NAB Depan kantor PLTD 84,0 55 Melebihi NAB
300 m dari depan kantor PLTD 72,9 55 Melebihi NAB Sebelah kiri kantor PLTD 79,4 55 Melebihi NAB 300 m sebelah kiri kantor PLTD 70,3 55 Melebihi NAB Sebelah kanan kantor PLTD 77,8 55 Melebihi NAB