• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Indikator Laut-Atmosfer

2.6.3 Indikator ENSO dan Variabilitas di Samudera Pasifik

Philander (1990) mengutarakan bahwa Southern Oscillation berkaitan erat dengan ENSO sehingga salah satu indikator untuk memantau kedatangan ENSO adalah dengan menggunakan SOI (Gambar 21). SOI dihitung dari selisih tekanan udara permukaan antara Tahiti dengan Darwin yang mencerminkan kekuatan Sirkulasi Walker dan berasosiasi dengan Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut di atas permukaan laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Melemahnya (menguatnya) Sirkulasi Walker menunjukkan fase awal terjadinya El Nino (La Nina) seiring dengan melemahnya (menguatnya) Angin Pasat, sehingga SOI sampai dengan saat ini masih digunakan untuk memantau aktifitas ENSO.

Indikator ENSO lainnya yang telah lama digunakan adalah indeks klasik dengan perhitungan sederhana dari anomali SPL pada Nino4 di petak J (170°BB- 120°BB, 5°LS-5°LU), Nino3.4 di petak K (160°BT-150°BB, 5°LS-5°LU), Nino3 di petak L (150°BB-90°BB, 5°LS-5°LU) dan Nino1.2 di petak M (90°BB-80°BB, 5°LS-ekuator) dengan tujuan untuk mengetahui awal kedatangan dan pola evolusi dari ENSO (Gambar 21). Sebelumnya, NOAA (2003) mendifinisikan fase El Nino (La Nina) terjadi jika selama 3 bulan berturut-turut rata-rata anomali positif (negatif) SPL di Nino3.4 diatas 0.5°C dan telah diadopsi oleh WMO region IV

sebagai fase terjadinya El Nino (La Nina). Namun pada beberapa dekade terakhir anomali positif semakin sering terjadi di Nino4 (Larkin dan Harrison, 2005a; Yu dan Kao, 2007), berbeda dengan El Nino konvensional yang umumnya terjadi di Nino3 dan Nino3.4 (Rasmusson dan Carpenter, 1982; Wallace et al., 1998). Oleh karena itu dengan terdapatnya pola evolusi yang berbeda, memotivasi peneliti untuk mendefinisikan indeks ENSO baru yang lebih mencerminkan pola perubahan karakteristik evolusi ENSO.

Trenberth dan Stepaniak (2001) telah mengidentifikasikan sebelumnya bahwa setiap pola evolusi El Nino pada setiap kejadian berbeda-beda, sehingga indeks klasik El Nino pada Nino3 dan Nino4 tidak mencerminkan perbedaan evolusi dari El Nino satu dengan yang lainnya karena indeks Nino3 dan Nino4 memiliki korelasi yang sangat besar. Oleh karena itu, Trenberth dan Stepaniak (2001) mengusulkan indeks baru yang dapat membedakan antara satu kejadian El Nino dengan kejadian El Nino yang lainnya. Indeks tersebut dinamakan Trans- Nino Index (TNI) yang dihitung dari selisih rata-rata anomali SPL antara Nino1.2 dengan Nino4 (Gambar 21) dimana korelasi antara TNI dan Nino3.4 hampir tidak ada keterkaitan sama sekali pada penyimpangan waktu nol, sehingga dengan menggunakan TNI dapat diketahui pola evolusi El Nino yang berbeda.

Dinamika ENSO tidak hanya dapat diidentifikasikan pada permukaan laut saja karena dinamika ENSO juga melibatkan lapisan kolom laut dibawahnya dari proses perubahan lapisan termoklin. Lapisan ini sangat erat kaitannya dengan perubahan kolam air hangat antara fase El Nino dan La Nina. Meinen dan McPhaden (2001) mengusulkan sebuah indeks baru ENSO yang diberi nama indeks Warm Water Volume (WWV) yaitu volume massa air di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik (120°BT-80°BB, 5°LS-5°LU) pada petak Q dimana massa air tersebut memiliki suhu diatas 20°C (Gambar 21). Indeks WWV ini berkaitan erat dengan proses dinamika ENSO yang terjadi pada lapisan termoklin yaitu paradigma recharge oscillator (Jin, 1997) yang melibatkan interaksi antara angin zonal, Ekman pumping/suction (downwelling/upwelling) dan transpor Sverdrup. Indeks ini mempunyai hubungan yang kuat dengan anomali SPL Nino3 pada 7-15 bulan sebelumnya dengan koefisien korelasi antara 0.57-0.7, sehingga WWV mampu untuk memprediksi awal kedatangan ENSO.

Indeks WWV tidak dapat mengetahui perubahan pola evolusi ENSO, tetapi baik digunakan untuk mengetahui kekuatan dari fase ENSO. Korelasi antara indeks WWV dengan fase El Nino lebih besar daripada fase La Nina, sehingga memperlihatkan bahwa terdapat kondisi asimetris antara massa air hangat El Nino dan La Nina (Meinen dan McPhaden, 2001). Perbedaan ini secara tidak langsung memperlihatkan adanya kemungkinan perubahan pola evolusi spasial antara fase El Nino, kondisi normal dan fase La Nina pada periode sebelum dan setelahnya. Ashok et al. (2007) dari hasil analisis EOF data SPL pada Mode ke-2 ditemukan pola anomali positif SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik yang menyebar ke arah BBU dan BBS sampai ke daerah subtropis memperlihatkan bahwa mekanisme transpor Sverdrup bekerja pada fase El Nino ini yang disebut Ashok et al. (2007) dengan nama El Nino Modoki.

Pola spasial El Nino Modoki ini sangat berbeda dengan El Nino konvensional, sehingga didefinisikan sebagai El Nino “semu” yang mirip dengan El Nino konvensional dengan proses dinamika laut-atmosfer yang berbeda. Oleh karena itu, Ashok et al. (2007) mengusulkan sebuah indeks baru untuk menidentifikasikan awal kedatangan jenis El Nino ini. Indeks tersebut diberi nama El Nino Modoki Index (EMI) dihitung dari petak yang berada di sebelah barat yaitu petak N (125°BT-145°BT, 10°LS-20°LU), tengah yaitu petak O (165°BT- 140°BB, 10°LS-10°LU) dan timur yaitu petak P (110°BT-70°BB, 15°LS-5°LU) perairan ekuatorial Samudera Pasifik dengan rumus selisih rata-rata anomali SPL petak O dengan setengah dari rata-rata anomali SPL petak N dan setengah petak P (Gambar 21). Ketiga petak ini digunakan karena dari hasil analisis EOF data SPL pada Mode ke-2 dengan keragaman sebesar 12% dari total keragaman SPL, ditemukan tiga kutub dengan anomali positif SPL berada di tengah dan negatif berada di sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik.

Ketiga petak yang digunakan untuk menghitung EMI terlalu luas sehingga bias dari pengaruh variabilitas lain selain ENSO juga ikut terlibat dalam perhitungan EMI, sehingga sulit membedakan antara El Nino Modoki dengan El Nino konvensional dengan hanya memanfaatkan EMI. Atas dasar tersebut, Kao dan Yu (2009) mengusulkan sebuah indeks yang cukup kompleks dalam perhitungannya dengan menghilangkan pola linier anomali SPL di Nino1.2

dengan tujuan untuk melihat anomali SPL yang murni dari kontribusi ENSO. Indeks tersebut dibangun dari hasil analisis EOF data SPL dengan koefisien ekspansi yang dimodifikasi agar sesuai dengan Nino3.4, sehingga dapat membedakan kekuatan dan lamanya CP El Nino dan La Nina serta EP El Nino dan La Nina.

EMI masih memiliki korelasi yang kuat dengan Nino3 sehingga Takahashi et al. (2011) berpendapat bahwa Mode kesatu dan kedua EOF dari Ashok et al. (2007) bukan mencerminkan dua fenomena yang berbeda, tetapi hanya sekedar pengaruh ketidak-teraturan dari pola evolusi ENSO. Hal ini dibuktikan oleh Takahashi et al. (2011) dengan memproyeksikan indeks EMI, Nino3, Nino4, Nino3.4, Nino1.2, TNI dan kedua indeks baru yang diusulkan kedalam koefisien ekspansi Mode kesatu dan kedua (PC1 dan PC2), sehingga terlihat pengelompokan kejadian CP dan EP El Nino yang terpisah dari kedua indeks yang diusulkan, sedangkan EMI dan EP El Nino masih mengelompok menjadi satu bagian. Takahashi et al. (2011) mengusulkan kedua indeks baru tersebut digunakan untuk membedakan CP El Nino dan EP El Nino. Hasil proyeksi dari PC1 dan PC2 didapat bahwa indeks CP sebanding dengan 1.7 kali Nino4 dikurangkan dengan 0.1 kali Nino1.2, sedangkan EP El Nino sebanding dengan selisih antara Nino1.2 dengan setengah dari Nino4. Hasil korelasi spasial antara kedua indeks tersebut dengan kombinasi PC1 dan PC2 sangat besar yaitu dengan nilai R2 sebesar 0.98 untuk indeks CP El Nino dan 0.95 untuk indeks EP El Nino.

Selain ENSO, di sebelah utara Samudera Pasifik pada lintang tengah dan subtropis (Gambar 21) terdapat pula fenomena lain dengan pola seperti ENSO yaitu PDO yang diperkenalkan pertama kali oleh Mantua et al. (1997) dan terdapat dugaan berinteraksi dengan ENSO (Roy et al., 2003; Chang et al., 2007; Yoon dan Yeh, 2010, Alexander et al., 2010). PDO dipantau dengan menggunakan indeks PDO dari koefisien ekspansi Mode kesatu (PC1) hasil analisis EOF dengan menggunakan data SPL. Hasil korelasi spasial antara PDO dengan SPL dan tinggi muka laut memperlihatkan pola yang sama dengan pola spasial SPL dari hasil analisis EOF. Nilai positif (negatif) indeks PDO menunjukkan di sebelah barat (timur) perairan utara Samudera Pasifik mengalami

fase dingin (hangat dan di sebelah timur (barat mengalami fase hangat (dingin) dengan siklus antara 20-30 tahunan (Mantua et al., 1997).