• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macro & Micro National

DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN: Analisis di Tingkat Mikro dan Makro

Pemahaman pembangunan ekonomi seringkali diartikan sama dengan pertumbuhan ekonomi padahal keduanya merupakan hal yang berbeda. PDRB, PAD serta laju PDRB merupakan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah sedangkan indikator pembangunan ekonomi wilayah selain mencakup indikator pertumbuhan ekonomi juga mempertimbangkan indikator sosial dan kelembagaan termasuk distribusi kesejahteraan. Seringkali, tingginya pertumbuhan ekonomi diikuti oleh terjadinya peningkatan ketimpangan pendapatan antar wilayah maupun antar kelompok masyarakat yang keduanya dapat menjadi pemicu konflik dan ketidakamanan.

Pembangunan di Bali sejak dulu dijiwai oleh agama Hindu yang diperkaya oleh kebhinekaan nilai-nilai budaya seluruh daerah di Indonesia. Interaksi yang terbangun antara penduduk lokal dan pendatang, tidak saja memberi dampak pada kehidupan ekonomi namun juga perubahan kehidupan sosial. Bali sesungguhnya telah mengalami pengaruh luar sejak jaman Kerajaan Majapahit. Salah satu bukti adanya pengaruh luar tersebut adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan kasta. Ardhana (1994) menyatakan bahwa kelompok Bali asli (Bali Aga) tidak mengenal istilah kasta, artinya kelompok masyarakat Bali yang berkembang saat ini dan terikat dalam sistem kasta bukanlah penduduk asli Bali. Menurutnya kekawin Jawa, Nagarakrtagama, menguatkan fakta bahwa kebudayaan Jawa sangat mendominasi Bali sejak abad ke 14. Pengembangan kebudayaan Jawa di Bali dimulai sejak adanya pusat-pusat kerajaan di setiap kabupaten yang menyerupai galaksi mengelilingi Bali kecuali di Kabupaten Jembrana. Pusat Galaksi tersebut terdapat di Klungkung (Artadi, 1993).

Pengaruh negara asing juga telah terjadi sejak masuknya pedagang Portugis tahun 1586 yang kemudian diikuti oleh misi Belanda tahun 1597. Hubungan yang terbangun lebih bersifat hubungan penjualan orang-orang Bali sebagai budak yang didorong oleh tekanan masalah sosial bukan masalah ekonomi. Kerajaan Karangasem adalah kerajaan pertama yang meminta pertolongan pihak luar terutama untuk meningkatkan kekuatannya agar mampu

memperluas kekuasaannya di Lombok. Upaya ini diikuti oleh Kerajaan Klungkung dan Badung. Perjanjian yang mereka tandatangani menyetujui bahwa kerajaan-kerajaan tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda dan saat itu menjadi pertanda mulai masuknya pengaruh budaya asing di Bali (Couteau, 1995).

Interaksi dalam perdagangan juga mendorong masuknya pengaruh budaya daerah lain dalam budaya masyarakat di Bali saat ini, terutama dalam hal pembangunan pemukiman serta tatacara berbusana. Pitana (1994) menyatakan bahwa perubahan dan dinamika merupakan suatu yang hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan tak terkecuali perubahan dalam masyarakat Bali. Perubahan memang seringkali menimbulkan rasa kekhawatiran terhadap kelestarian kebudayaan Bali namun tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan membawa nilai-nilai positif yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia.

Perubahan dalam suatu masyarakat tidak saja meliputi perubahan nilai-nilai, norma-norma dan pola-pola perilaku sosial tetapi juga susunan kelembagaan masyarakat dan struktur sosial (Artadi, 1993). Perubahan bukan merupakan suatu masalah apabila membawa kebaikan bagi semua pihak, sebaliknya akan menjadi masalah jika perubahan tersebut hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lain, membangun satu sektor melalui peniadaaan sektor lain, atau memajukan satu wilayah dengan cara mencuci sumber daya daerah lain (backwash). Menurut Sujana (1994), proses industrialisasi di Bali telah menghasilkan manusia-manusia Bali yang majemuk, sangat berambisi menguasai status, materi dan uang. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa komponen modal sosial yang dominan di Bali sangat beragam sesuai dengan karakteristik wilayah dan komunitasnya. Bab ini ditujukan untuk menganalisis keterkaitan modal sosial dan pembangunan ekonomi wilayah. Hasil analisis diharapkan dapat menjawab apakah modal sosial berperan terhadap kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di Bali dan sebaliknya apakah kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi berperan dalam pembangunan modal sosial. Analisis keterkaitan di tingkat mikro didasarkan atas data modal sosial di empat kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana, Kabupaten

Karangasem, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, sedangkan analisis di tingkat makro didasarkan atas data panel dari seluruh kabupaten/kota di Bali.

Struktur Perekonomian Bali

Perkembangan pesat di sektor pariwisata menyebabkan terjadinya loncatan dari sektor primer ke sektor tersier dalam perekonomian Bali. Transformasi sektoral tersebut dapat dilihat dari dominasi kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran menggantikan dominasi sektor pertanian dalam produk regional domestik bruto (PDRB) Provinsi Bali. Sesungguhnya, perkembangan kepariwisataan di Bali sangat didukung oleh sektor pertanian mengingat icon kepariwisataan di Bali adalah pariwisata budaya dengan keindahan alam termasuk pemandangan lahan sawah dan terasering yang dibangun oleh masyarakat pertanian di perdesaan. Sayangnya, perkembangan kepariwisataan diduga menjadi penyebab terjadinya alih fungsi lahan produktif ke penggunaan non-produktif yang secara tidak langsung mengancam keberadaan sektor pertanian dan menghilangkan beberapa kelembagaan pertanian yang sudah mapan seperti subak (rata-rata 1675 ha/tahun lahan sawah yang terkonversi pada periode tahun 1999 – 2004).

Hampir seluruh usaha pertanian di Bali merupakan usaha pertanian tradisional (berupa usahatani padi dan palawija, vanili, cengkeh, kopi serta tanaman hortikultura), tidak ada perkebunan besar, baik milik negara (BUMN) maupun swasta. Posisi tawar petani lemah dan upaya pemerintah provinsi maupun kabupaten untuk memperkuat posisi tawar ini belum optimal. Luasan lahan pertanian yang diusahakan oleh rumah tangga petani relatif sempit. Sebaliknya, sektor pariwisata adalah sektor modern yang pengelolaannya dilakukan secara profesional. Perkembangan pesat di sektor pariwisata telah menjadi faktor penarik bagi tenaga kerja produktif yang berada di sektor pertanian dan mendorong sebagian petani untuk menjual lahan mereka, pindah berusaha di sektor jasa karena bekerja di sektor pertanian tidak lagi menarik.

Berbeda dengan peran pemerintah di sektor pertanian, peran pemerintah dalam memperkuat kepariwisataan relatif lebih besar. Pada saat kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran melemah dan berada pada keadaan paling

tertekan di tahun 2003, pertumbuhan sektor ini turun hingga mencapai angka 0.46 yang disebabkan oleh terjadinya keadaan tidak aman (ledakan bom) pada Oktober 2002, pemerintah terus menerus menggiatkan aktivitas promosi ke berbagai pasar wisata di dalam dan luar negeri. Sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional, gangguan keamanan memang sangat mempengaruhi jumlah kunjungan wisata dan lama tinggal wisatawan di Bali.

0 5 10 15 20 25 30 35 1996* 1997* 1998* 1999* 2000* 2001* 2002* 2003* 2004** P ertumbuhan P DRB P ertanian

P ertumbuhan P DRB P erdagangan, Ho tel dan resto ran Distribusi persentase P DRB P ertanian

Distribusi persentase P DRB P erdagangan, Ho tel dan Resto ran

Sumber: Data Bali Membangun Tahun 1999 – 2004 Berdasarkan harga konstan 1993

** Berdasarkan harga konstan tahun 2000

Gambar 33 Perkembangan Pertumbuhan dan Kontribusi Sektoral terhadap PDRB Bali Tahun 1996 – 2004

Salah satu kebijakan pemerintah dalam menciptakan keamanan dilakukan dengan melibatkan organisasi tradisional seperti desa pakraman dengan harapan dapat meningkatkan kontrol terhadap lingkungannya. Sistem kontrol yang dikembangkan mengadopsi aturan dan norma dalam desa pakraman tersebut yang sebagian besar dijiwai Agama Hindu. Aturan dan norma-norma yang mengatur tata cara berperilaku dan melaksanakan aktivitas sosial dan keagamaan tersebut memang tidak bersifat kaku (rigid) karena masyarakat Bali mengenal adanya desa, kala, patra1. Fleksibilitas tersebut merupakan salah satu faktor yang mendukung upaya untuk mewujudkan kerukunan antar etnis dan pemeluk agama yang berdomisili di Bali. Kerjasama dan kerukunan antar umat akan mewujudkan

1

kondisi yang kondusif bagi perkembangan kepariwisataan yang selama ini merupakan sektor andalan dalam perekonomian di Bali.

Tabel 28 Struktur Perekonomian Bali, Tahun 2004

SEKTOR Tingkat Tenaga kerja (%) Pertumbuhan PDRB* Kontribusi Sektoral (%)*

2002 2004 2002 2004 2002 2004 Pertanian 32.2 37.13 3.67 3.66 22.26 22.07 Pertambangan dan Penggalian 0.5 1.02 2.00 4.38 0.64 0.65 Industri Pengolahan 14.50 10.38 5.00 3.71 9.55 9.58 Listrik, Gas dan

Air Bersih 0.1 0.44 16.82 3.76 1.51 1.47 Bangunan 7.9 5.69 4.14 5.09 3.97 3.90 Perdagangan, Hotel dan Restoran 24.2 26.69 -0.08 4.65 30.18 30.63 Pengangkutan dan Komunikasi 5.1 4.69 4.54 5.17 10.80 10.28 Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.2 1.17 3.60 7.97 7.24 7.32 Jasa-jasa 14.3 12.79 2.50 4.02 13.84 14.10 Bali (total) 1715452 (100) 1835165 (100) 3.04 4.62 18423860 juta 19963243 juta Sumber: Bali dalam Angka, 2005; Data Bali Membangun, 2005

* Berdasarkan harga konstan tahun 2000

Norma yang fleksibel dan bersifat universal2 karena didasarkan atas desa, kala, patra, ternyata memberi peluang bagi sekelompok kecil masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang mementingkan kelompok atau golongannya. Dominasi kelompok atau golongan tertentu terhadap kelompok atau golongan lain seringkali menimbulkan kesenjangan, konflik dan perlawanan dari kelompok minoritas yang berpeluang menciptakan keadaan yang tidak aman.

Collier (1998) menyatakan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk maka interaksi sosial semakin intensif karena jarak tidak lagi menjadi penghambat untuk membangun interaksi tersebut. Aktivitas bersama yang dihasilkan dari adanya interaksi sosial yang intensif tersebut dapat meningkatkan produktivitas ekonomi. Sesungguhnya, pendapat Collier tersebut tidak sepenuhnya sesuai di setiap wilayah karena tingginya kepadatan penduduk seringkali disertai dengan adanya peningkatan konflik dan kriminalitas. Kepadatan penduduk yang tinggi

2

seharusnya disertai dengan penguatan norma-norma dan penetapan sanksi apabila norma-norma tersebut tidak dipatuhi. Di Bali, perakitan dan peledakan bom justru terjadi di daerah pariwisata paling padat di Bali yaitu Denpasar dan Kuta. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya kepadatan penduduk di wilayah maju disertai dengan melemahnya norma dan sanksi sehingga sistem kontrol sosial masyarakat terhadap aktivitas orang lain semakin melemah dan tidak efektif.

Pendapatan, Pemerataan Pendapatan dan Kemiskinan di Bali

Modal sosial berperan penting dalam upaya mengurangi jumlah kemiskinan (Woolcock, 2000). Adanya hubungan yang erat antar individu dalam suatu kelompok masyarakat, yang disebut modal sosial mengikat (bonding social capital), menjadi aset penting untuk mengatasi risiko terutama ketika terjadinya goncangan (shock) dalam perekonomian dan sering kali ia menjadi jaminan kredit dan asuransi bagi si miskin. Sementara semakin banyak jaringan kerja yang terbina antar wilayah dan antar karakteristik penduduk yang berbeda (modal sosial menyambung atau bridging social capital) berperan mengurangi ketidakmerataan distribusi pendapatan (Alesina dan La Ferara, 2000). Menurut Granovetter (1973), modal sosial menyambung (bridging social capital) yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja sosial ekonomi bukan modal sosial mengikat.

Masyarakat dalam suatu komunitas kecil lebih mampu membangun interaksi dan komunikasi personal yang intensif sehingga dapat memilih individu-individu yang dapat dipercaya. Norma bersama dan resiprositas yang terbangun dalam komunitas mendorong terjadinya pengelolaan sumber daya bersama (common resource ) secara lebih efisien seperti terpeliharanya sistem irigasi dan tanah desa (Ostrom dalam North, 1990). Norma dapat pula menjadi penghambat ketika kelompok tersebut mengisolasi anggotanya dari pengaruh eksternal maupun mengurangi akses individu lainnya untuk masuk dalam kelompok tertentu seperti terjadi di Italia Selatan (Putnam, 1993). Menurut Knowles (2005), modal sosial tidak hanya berperan positif dalam pembangunan ekonomi, namun dapat pula berperan sebagai rem yang membatasi perkembangan teknologi dan ide-ide baru.

Di Bali, ada indikasi peningkatan jumlah kemiskinan. Hingga tahun 2004, jumlah keluarga (KK) miskin per 1000 penduduk terus meningkat. Pada periode tahun 1998 hingga 2001, peningkatan jumlah KK miskin tersebut diikuti dengan penurunan tingkat penggangguran sedangkan tahun 2002 dan 2004 terjadi sebaliknya, peningkatan jumlah penduduk miskin diiringi dengan peningkatan tingkat pengangguran. Hal ini disebabkan karena menurunnya jumlah kedatangan wisatawan ke Bali sehingga banyak industri pariwisata yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.

1999 2002 1998 2000 2001 2003 2004 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 0 1 2 3 4 5

Tingkat Pengangguran di Bali (%)

Jumlah p e n dudu k Miski n 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Sumber: Bali Membangun, 2005

Gambar 34 Tingkat pengangguran dan Jumlah Penduduk Miskin Di Bali Tahun 1998 - 2004

Di sisi lain, pada periode tahun 1998 hingga tahun 2000, angka Gini ratio terus menerus menurun yang menunjukkan bahwa distribusi pendapatan semakin baik. Periode tersebut merupakan periode krisis di Indonesia. Pendapatan per kapita mengalami tekanan dan berada pada kondisi stagnan. Tahun 2001, terjadi peningkatan pendapatan per kapita yang tajam namun disertai pula dengan distribusi pendapatan yang semakin memburuk (Gini ratio meningkat tajam). Pada periode tahun 2001 hingga tahun 2004, saat terjadi peledakan bom di Bali, pendapatan perkapita kembali stagnan walaupun berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode 1998-2000. Distribusi pendapatan tahun 2004 kembali membaik dibandingkan dengan tahun 2001. Keadaan tersebut

mengindikasikan bahwa membaiknya sektor pariwisata di Bali akan menyebabkan pendapatan per kapita meningkat sebaliknya dstribusi pendapatan memburuk. Dapat dinyatakan bahwa perbaikan sektor pariwisata hanya dinikmati oleh kelompok tertentu. 1998 1999 2000 2004 2001 2002 2003 0.205 0.21 0.215 0.22 0.225 0.23 0.235 0.24 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

Pendapatan Per Kapita Rp000

Gi ni R a ti o 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Sumber: Data Bali Membangun, 2005

Gambar 35 Distribusi Pendapatan Penduduk (Gini Ratio) dan Jumlah Keluarga Miskin di Bali, Tahun 2004

Indeks Pembangunan dan Indeks Kemiskinan Manusia di Bali

Indikator keberhasilan pembangunan di suatu wilayah diukur berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM) yang terdiri atas komponen daya beli, indeks harapan hidup dan indeks pendidikan. Pada Tabel 29 ditunjukkan bahwa Badung merupakan kabupaten dengan kinerja ekonomi terbaik di Bali ditinjau dari kemampuannya mencapai pendapatan asli daerah (PAD) maupun pendapatan per kapita tertinggi. Namun, indeks pembangunannya lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar. Tingginya pendapatan wilayah ternyata tidak serta merta diikuti oleh kemampuan wilayah tersebut mencapai tingkat pembangunan yang tinggi maupun menekan kemiskinan.

Tingginya angka harapan hidup di Kabupaten Badung merupakan konsekwensi logis dari tingginya tingkat pendapatan per kapita penduduk. Angka harapan hidup tersebut diukur berdasarkan dua komponen yaitu rata-rata bayi yang lahir hidup dan rata-rata anak yang hidup dari ibu yang berusia 15-49 tahun. Sebaliknya, Kabupaten Karangasem yang memiliki tingkat pendapatan per kapita

terendah juga memiliki angka harapan hidup terendah. Rendahnya angka harapan hidup dapat disebabkan oleh tekanan faktor kemiskinan yang menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan serta keadaan gizi ibu dan anak di wilayah tersebut.

Tabel 29 Indikator Keberhasilan Pembangunan di Bali, 2004

Kabupaten/ Kota

PAD PDRB Per

kapita (Juta Rupiah)

IPM IKM Angka Harapan Hidup Jembrana 7 949 226 000 6 056.07 71.9 23.5 68.60 Tabanan 33 970 626 324 5 019.78 70.4 16.8 68.30 Badung 114 056 502 993 12 593.26 70.1 15.4 72.85 Gianyar 43 958 660 000 6 763.53 67.7 18.2 68.27 Klungkung 10 276 421 541 6 709.84 64.6 17.9 64.40 Bangli 6 400 114 949 4 910.15 66.7 19.4 69.23 Karangasem 23 228 140 850 3 959.81 59.3 25.7 63.43 Buleleng 19 697 819 000 4 917.03 63.9 17.4 69.37 Denpasar 85 840 426 925 8 964.74 74.9 12 71.03

Sumber : Biro Keuangan Provinsi Bali, 2005; BPS, 2005

Indeks pembangunan manusia mempertimbangkan pula komponen pengetahuan yang salah satu pengukurannya dilakukan melalui tingkat partisipasi murni (Net Enrollment atau NER). Pada setiap strata pendidikan (SD, SMP dan SMU), tingkat partisipasi murni di Kabupaten Badung berada dibawah Kabupaten Tabanan.

Tabel 30 Tingkat Partisipasi Murni di Provinsi Bali, 2004

Kabupaten/Kota NER-SD NER-SMP NER- SMA

Jembrana 100.05 80.26 35.53 Tabanan 109.81 77.36 40.43 Badung 107.30 69.73 34.57 Gianyar 95.89 75.62 27.17 Klungkung 98.43 62.62 41.40 Bangli 88.73 55.23 17.40 Karangasem 100.85 57.07 29.23 Buleleng 88.83 53.49 31.02 Denpasar 83.15 72.75 50.84

Ukuran NER memang seringkali bias. Suatu wilayah yang mudah dijangkau karena prasarana dan sarana transportasi yang memadai, memungkinkan mobilitas penduduk yang tinggi khususnya untuk mengikuti pendidikan yang lebih berkualitas di wilayah lain seperti terjadi di Kabupaten Badung. Rendahnya NER-SMP dan NER-SMA di Kabupaten Badung dibandingkan Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar, tidak selalu menunjukkan rendahnya minat masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tingginya minat masyarakat di Kabupaten Badung untuk bersekolah di sekolah-sekolah menengah yang ada di Kota Denpasar atau di Kabupaten Tabanan karena mutu proses pendidikannya memang lebih baik dibandingkan dengan sekolah menengah di Kabupaten Badung, terutama bagi masyarakat Badung yang memiliki pendapatan tinggi.

Berdasarkan komponen indeks pembangunan manusia dapat diketahui, bahwa rendahnya indeks pembangunan manusia di Bali disebabkan oleh relatif rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Bali tahun 2002 berada pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1996, walaupun lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1999. Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat yang ditunjukkan oleh indikator melemahnya pengeluaran riil per kapita. Berbagai krisis, yang dimulai sejak tahun 1997, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat tersebut. Krisis yang terjadi tidak saja berupa krisis ekonomi, namun juga krisis kepercayaan dan kepemimpinan sehingga proses pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat. Perbandingan nilai IPM dan IKM dan berbagai komponennya disajikan pada Tabel 31.

Tahun 1996, konsumsi riil per kapita di Bali mencapai angka tertinggi di Indonesia namun angka melek huruf yang mampu dicapai hanya 79.4 persen setingkat diatas Irian Jaya, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, dan Jawa Timur (Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 1996). Demikian pula dengan rata lama sekolah hanya 6.3 menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan yang dicapai masyarakat hanya setingkat sekolah dasar (SD).

Seperti halnya dengan pembangunan manusia tahun 1996, komponen pembangunan manusia tahun 1999 di Provinsi Bali mampu mempertahankan daya beli per kapita yang tinggi (rangking 3 di Indonesia) namun persentase penduduk yang melek huruf tetap rendah. Rata-rata lama pendidikan hanya 6.8 tahun, relatif rendah bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Nilai tertinggi di Indonesia untuk komponen rata-rata lama pendidikan mencapai 9.7 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa hingga tahun 1999, investasi masyarakat di bidang pendidikan masih relatif rendah yang akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Windia (2003) menyatakan bahwa tingginya tingkat pengeluaran masyarakat Bali memang relatif lebih banyak tercurah untuk kegiatan konsumtif dan upacara keagamaan.

Tabel 31 Komponen Indeks Pembangunan Manusia di Bali, 1996 – 2002

Komponen 1996 1999 2002

IPM 71.0 65.7 67.5

Usia Harapan Hidup (Tahun) 69.7 69.5 70.0

% Melek Huruf 79.4 82.7 84.2

Rata-rata Lama Pendidikan 6.3 6.8 7.6

Pengeluaran Per kapita (ribu rupiah) 609.0 587.9 596.3

IKM 18.5 18.7 17.3

Penduduk yang tidak mencapai usia 40 thn 8.2 11.7 9.5

Angka buta huruf dewasa 21.0 17.3 15.8

Penduduk tanpa akses pada air bersih 36.0 34.2 27.8

Penduduk tanpa akses pada fasilitas sarana kesehatan

4.2 14.9 19.8 Sumber: Indeks Pembangunan Manusia, 1996; Laporan Pembangunan Manusia, 2004

Komponen pengukuran kemiskinan menunjukkan terjadinya peningkatan persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun 1996. Keadaan perekonomian yang belum stabil dan diwarnai oleh krisis ekonomi, berpeluang menjadi faktor penyebab tekanan hidup sehingga meningkatkan persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 serta menurunkan usia harapan hidup masyarakat. Komponen lain yang menunjukkan terjadinya penurunan kualitas hidup adalah meningkatnya jumlah penduduk yang

tidak memiliki akses terhadap kesehatan. Komponen ini menjadi indikator bahwa kesehatan menjadi barang langka yang hanya bisa diperoleh dengan biaya tinggi.

Masalah kemiskinan bukanlah masalah yang sederhana. Namun, Pemerintah daerah seringkali menyederhanakan permasalahan tersebut dan mendefinisikannya sebagai keadaan yang tidak berkecukupan. Sesungguhnya ada aspek sosial yang melekat dalam kemiskinan tersebut. Aspek sosial yang berkaitan dengan kemiskinan tersebut meliputi empati, sikap saling bantu, kemampuan membangun jaringan kerjasama, rasa percaya, yang semuanya merupakan indikator terbangunnya modal sosial.

Analisis Modal Sosial Tingkat Mikro di Empat Kabupaten

Model yang dikembangkan untuk menganalisis keterkaitan modal sosial di tingkat rumah tangga (tingkat mikro) dinyatakan seperti pada persamaan (10) dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan keadaan sosial budaya setempat. Modal sosial diproksi dengan besarnya pengeluaran sosial masing-masing rumah tangga (sexp). Sementara tingkat kesejahteraan rumah tangga diproksi dengan besarnya pendapatan (inc) yang diperoleh keluarga.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa modal sosial di tingkat mikro di Bali dipengaruhi secara nyata (berdasarkan uji F) oleh tingkat kesejahteraan rumah tangga (inc), tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil), dan kepadatan jaringan kerja (nw). Namun dari ketiga variabel tersebut, hanya tingkat kesejahteraan rumah tangga (inc) dan tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil) yang berpengaruh nyata. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin kuat modal sosial yang mereka miliki. Meningkatnya pendapatan rumah tangga sebesar satu rupiah akan meningkatkan modal sosial sebesar 0.04, ceteris paribus. Relatif rendahnya dampak peningkatan pendapatan rumah tangga terhadap peningkatan modal sosial tampaknya berkaitan erat dengan kuatnya norma yang berlaku sehingga semua kegiatan menjadi beban bersama. Dengan kata lain, jumlah pembonceng relatif rendah.

Tingkat kemajuan ekonomi wilayah memberi kontribusi positif terhadap pembentukan modal sosial berarti modal sosial di wilayah belum berkembang lebih rendah dibandingkan dengan modal sosial di wilayah maju. Hal ini

memperkuat hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan pada bab sebelumnya dan sejalan dengan hasil penelitian Putnam (1983) di Italia.

Lebih jauh, tingkat kesejahteraan rumah tangga (inc) dipengaruhi secara nyata oleh modal sosial (sexp), jumlah anggota keluarga yang bekerja (emp), partisipasi dalam organisasi terpenting (part) dan kepadatan jaringan kerja (nw). Namun dari keempat variabel tersebut, hanya tiga variabel yaitu jumlah anggota keluarga yang bekerja (emp), partisipasi dalam organisasi terpenting (part) dan modal sosial (sexp) yang berpengaruh nyata. Variabel jumlah anggota keluarga yang bekerja tampak berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja maka semakin sejahtera rumah tangga tersebut. Variabel modal sosial (sexp) ternyata juga berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga. Meningkatnya pengeluaran untuk modal sosial sebesar satu rupiah akan meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 2.366 rupiah, ceteris paribus.

Tabel 32 Hasil Analisis Keterkaitan antara Berbagai Variabel Modal Sosial dan Pendapatan Rumah Tangga

Koefisien regresi dengan TSLS Variabel Pendapatan (inc) Modal Sosial (sexp) Konstanta -223092.9

(33847)

136352.7 (186217) Jumlah anggota rumah tangga

yang bekerja (emp) 117195.2** (64066)

Kepadatan jaringan kerja (nw) 13092.18 (37242)

-3381.959 (55275) Partisipasi dalam pengambilan

keputusan kelompok (part) 419808.9*** (76696)

Modal sosial (sexp) 2.388**

(1.277)

Dummy wilayah (wil) 70173.84***

(22439)

Pendapatan (inc) 0.040402***

(0.017) Sumber: Analisis Data Primer, 2005

Angka dalam ( ) menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen ** nyata pada 10 persen *nyata pada 20 persen

Hasil analisis pada Tabel 32 menunjukkan adanya sifat saling mempengaruhi antara modal sosial dan tingkat kesejahteraan rumah tangga

sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat mikro, ada keterkaitan yang nyata antara modal sosial dan kesejahteraan rumah tangga. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian peneliti sebelumnya yang dilakukan secara parsial seperti hasil penelitian Grootaert (2001) dan Brata (2004) yang menyatakan bahwa partisipasi menyebabkan akses masyarakat terhadap sumber finansial menjadi lebih besar sehingga dapat meningkatkan kesejahteraaan.

Analisis Modal Sosial di Tingkat Makro

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa modal sosial di tingkat makro tidak hanya memberi dampak positif namun juga negatif. Salah satu komponen modal sosial di tingkat makro dinyatakan sebagai ketersediaan organisasi olah raga dan budaya (Putnam, 1993). Modal sosial tertambat dalam struktur sosial masyarakat. Di Bali, struktur sosial masih relatif kuat dan terjaga hingga saat ini. Struktur sosial tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah migrasi penduduk. Struktur sosial yang bersifat terbuka memberi

Dokumen terkait