• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indikator Pembangunan Ekonomi (Makro)

Dalam dokumen TEORIDANINDIKATORpembangunanpim3 (Halaman 37-44)

BAB IV INDIKATOR PEMBANGUNAN

A. Indikator Pembangunan Ekonomi (Makro)

Beberapa indikator ekonomi makro yang akan dibahas disini merupakan bagian dari berbagai indikator yang disajikan pada

Tabel Bab 34 dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009.

Sebelum melihat arti dan implikasi dari beberapa indikator tersebut, perlu terlebih dahulu diingatkan kembali bahwa hampir semua indikator di kerangka ekonomi makro ini tidak ada yang berdiri sendiri. Konsistensi hubungan antara berbagai indikator ini dihasilkan oleh simulasi dari suatu model ekonometri yang disusun dalam rangka penyusunan rencana.14 Sebagai keterangan tambahan perlu juga dicatat bahwa dalam hubungan keterkaitan itu ada beberapa indikator yang besarannya ditentukan oleh kekuatan di luar model (disebut variabel eksogen)15, sedangkan indikator yang lain besarannya ditentukan di dalam sistem itu sendiri (disebut variabel endogen). Karena itu, rangkaian data yang disajikan pada tabel makro itu harus dilihat sebagai "perkiraan kondisional" sebab apabila dalam kenyataannya ada satu atau lebih variabel berubah besarannya maka hal ini akan segera merubah besaran variabel lain dalam keseluruhan gambaran makro itu Dengan beberapa cacatan ini, dan menunjuk pada Tabel IV. 1 dan Tabel IV.2, berikut ini akan dibahas beberapa indikator ekonomi makro tersebut, yaitu:

1. Pertumbuhan Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atas harga konstan, merupakan indikator pokok dari

14

Untuk penyusunan rencana lima tahun pasca krisis ekonomi, maka yang digunakan bukan model ekonomi dalam arti sebenarnya, tetapi lebih merupakan hasil "exercise" yang lebih sederhana, mengingat terpatahnya kontinuitas series sebelum krisis dengan yang setelah krisis. 15 Ada yang bersifat eksogen karena perkembangannya hanya sebagai data yang ditetapkan di luar (seperti harga minyak dunia), dan ada yang bersifat eksogen karena telah ditetapkan

pembangunan, sebagaimana telah diuraikan pada Bab Arti Pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan akan memungkinkan semakin besarnya tabungan yang dapat disisihkan untuk membiayai investasi pembangunan baik di bidang ekonomi maupun di bidang non-ekonomi. Hanya dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan dapat lebih dijamin berlangsungnya proses pembangunan baik jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam kaitan itu, perlu dipertimbangkan beberapa aspek penting yang menyangkut pertumbuhan ekonomi. Pertama, pertumbuhan ekonomi mempunyai batasan tertinggi dan terendah. Kalau pertumbuhan ekonomi melebihi batasan tertinggi, maka perekonomian dapat menjadi memanas yang akan tercermin pada laju inflasi yang meningkat dan terjadinya ketidakseimbangan eksternal dalam hal permintaan agregat tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga harus dipenuhi dari peningkatan impor barang dan jasa. Dilain pihak, pertumbuhan yang kurang dari batasan terendah akan menimbulkan bahaya tingkat pengangguran yang dapat mengganggu kestabilan sosial-politik yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Batasan terendah juga ditentukan oleh tingkat pertumbuhan penduduk, khususnya pertumbuhan ekonomi harus diupayakan agar tidak lebih rendah dari pertumbuhan penduduk agar pendapatan per kapita minimal tidak akan

terlebih dahulu sebagai target yang akan diupayakan tercapai (misalnya target pertumbuhan ekonomi tertentu).

menurun. Kedua, dalam mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan perlu dipelihara keseimbangan sumber-sumber pertumbuhan antara konsumsi, investasi dan neto ekspor-impor, dari segi pengeluaran, dan antara sektor pertanian, industri dan sektor lainnya, dari segi produksi. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi yang rata-rata per tahun lebih tinggi selama RPJM dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya diperkirakan lebih banyak bersumber dari pertumbuhan investasi, yaitu secara rata-rata 15,2% dari rata-rata 6,9% yang dicapai lima tahun sebelumnya, sedangkan pertumbuhan pengeluaran konsumsi, (sebesar 5,3%) walaupun masih lebih tinggi dari lima tahun sebelumnya (4.0%), peningkatannya tidak sebesar pada peningkatan pengeluaran investasi. Hal ini menunjukkan upaya untuk tidak secara lama menggantungkan sumber pertumbuhan ekonomi terutama pada pengeluaran konsumsi. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan harus terus diimbangi oleh peningkatan kapasitas produksi. Dari sisi produksi, peningkatan pertumbuhan sektor industri selama periode RPJM 2004-2009 (sebesar 50%, yaitu dari rata-rata 5,2% menjadi 7,8%) masih lebih tinggi dari peningkatan pertumbuhan sektor pertanian (sebesar 16%, yaitu dari rata-rata 3,0% menjadi rata-rata-rata-rata 3,5%).

Dalam kerangka RPJM 2004-2009, maka pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun selama lima tahun ini, akan diupayakan sebesar 6,6 persen. (lihat Tabel IV.1). Sasaran pertumbuhan ekonomi ini lebih tinggi dari rata-rata per tahun

realisasi lima tahun sebelumnya (2000-2004), sebesar 4,5 persen. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada lima tahun sebelumnya, maka diperkirakan tingkat pengangguran terbuka yang meningkat dari 6,1 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2000 menjadi 9,7 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2004, akan terus menurun dari 9,5 persen pada tahun 2005 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Sementara itu, selama RPJM juga akan diupayakan peningkatan kualitas pertumbuhan, dalam arti setiap persentase pertumbuhan mengupayakan peningkatan kesempatan kerja sebesar mungkin.

2. Struktur ekonomi. Pembangunan memang menyangkut transformasi struktural kearah struktur yang lebih baik. Dalam rangka RPJM 2004-2009, perubahan struktur ekonomi yang akan dicapai disajikan pada Tabel IV.1. Terkait dengan perubahan struktur ekonomi (distribusi PDB) adalah distribusi kesempatan kerja antara berbagai sektor ekonomi. Beberapa hal yang perlu dikaji dari perkembangan ini adalah sebagai berikut:

a. Distribusi PDB (%). Dalam proses pembangunan, suatu ukuran tentang kemajuan adalah semakin besarnya proporsi sektor industri dibandingkan dengan pertanian. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa penciptaan nilai tambah (added value) pada sektor industri lebih besar kemungkinannya daripada di sektor pertanian (pada sektor pertanian yang menghadapi kendala luas tanah terbatas lebih peka pada berlakunya kaidah menurunnya

output ketika input terus bertambah setelah batas tertentu (decreasing returns to scale). Menunjuk pada Tabel IV.1 maka nampak upaya untuk terus meningkatkan proporsi industri pengolahan dari 31,4% pada tahun 2005 menjadi 33,0% pada tahun 2009 ketika proporsi sektor pertanian menurun dari 14,4% pada tahun 2005 menjadi 12,7% pada tahun 2009. Perubahan strukur ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan yang lebih besar di sektor industri pengolahan daripada di sektor pertanian. Kalau sektor industri tumbuh sebesar 6,1% pada tahun 2005 menjadi 9,5% pada tahun 2009, maka pertumbuhan sektor pertanian tumbuh hanya sebesar 3,2% pada tahun 2005 dan menjadi 3,8% pada tahun 2009, yang masih jauh lebih rendah daripada pertumbuhan sektor industri pada tahun terakhir dari RPJM ini. Sebagai catatan tambahan, pertumbuhan sektor pertanian yang mendekati 4,0% menjelang akhir periode RPJM merupakan "sasaran" yang relatif tinggi dan mengisyaratkan adanya kebijaksanaan pertanian khusus yang dapat menyangkut perubahan teknologi. produksi dalam bidang agribisnis atau agroindustri.

b. Distribusi kesempatan kerja (%). Perkembangan yang perlu dikaji lebih lanjut dari distribusi kesempatan kerja adalah bahwa tenaga kerja lebih banyak tertampung di sektor pertanian (46,5 persen pada tahun 2005 dan 42,9 persen pada tahun 2009) dibandingkan dengan di sektor industri (11,8 persen pada tahun 2005 dan 12,6 persen

pada tahun 2009). Hal ini berarti bahwa peningkatan satu persen pertumbuhan di sektor pertanian akan mempunyai dampak tambahan kesempatan kerja yang lebih besar daripada di sektor industri, sedangkan pertumbuhan sektor industri dalam PDB tetap lebih besar daripada pertumbuhan sektor pertanian. Keadaan ini mempunyai implikasi perlunya kebijaksanaan mengenai penggunaan metode produksi yang intensitas modalnya lebih rendah (lebih padat karya) di sektor industri, agar sekaligus mencerminkan keadaan kelangkaan modal daripada tenaga kerja.

3. Stabilitas Ekonomi. Pembangunan yang berkelanjutan selain ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga ditandai oleh terpeliharanya stabilitas ekonomi. Indikator pokok dari stabilitas ekonomi adalah laju inflasi yang diukur oleh perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pemeliharaan laju inflasi yang cukup rendah ini penting karena perkembangannya menentukan daya beli riil masyarakat, yaitu pendapatan nominal masyarakat setelah dikurangi laju inflasi, sehingga akan menentukan perkembangan tingkat kesejahteraan riil masyarakat. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan beberapa ciri dari laju inflasi ini. Pertama, pada umumnya terdapat hubungan sejalan antara laju inflasi dengan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh tinggi umumnya disertai dengan kecenderungan laju inflasi yang relatif tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah umumnya disertai laju

inflasi yang relatif rendah. Suatu anomali dapat terjadi, di mana pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah (terjadi stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi) disertai oleh inflasi yang cukup tinggi, sehingga disebut sebagai fenomena "stagflasi". Kedua, terdapat dua penyebab meningkatnya laju inflasi. Satu penyebab adalah adanya gejala "demand pull", di mana permintaan agregat umumnya lebih tinggi daripada penawaran agregat. Penyebab ini menjelaskan adanya hubungan sejalan antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan laju inflasi yang relatif tinggi. Penyebab lainnya adalah gejala "cost push", di mana terjadi peningkatan unsur-unsur dari biaya produksi, seperti harga bahan bakar minyak (BBM) dan unsur ikutannya seperti tarif dasar listrik (TDL) dan biaya transportasi. Penyebab ini menjelaskan adanya anomali pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah dengan adanya inflasi yang meningkat. Ketiga, dalam mengupayakan laju inflasi yang cukup rendah, ataupun menghindarkan terjadinya peningkatan laju inflasi secara tak terkendali, maka perlu disadari bahwa penyebab laju inflasi bukan hanya faktor obyektif seperti "demand" dan "costs" tetapi juga keadaan psikologis masyarakat. Kedaan psikokologis masyarakat ini terutama ditentukan oleh tingkat kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah dapat menguasai permasalahan yang sedang dihadapi. Kalau kepercayaan ini menjadi tipis, maka dapat berkembang gejala "inflationary expectations" yang menyebabkan masyarakat melakukan pemborongan barang di luar kebutuhan sebenarnya ("panic buying") sehingga inflasi yang tadinya hanya kekuatiran akan

menjadi kenyataan. Karena itu dalam mengupayakan stabilitas ekonomi melalui pengendalian laju inflasi, sangat penting bagi pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah dapat menguasai permasalahan, atara lain dengan mengumumkan kepada masyarakat bahwa pemerintah mempunyai stok barang kebutuhan pokok yang cukup untuk mengintervensi. Selain ini, langkah untuk meyakinkan masyarakat bahwa laju inflasi masih dalam batas kewajaran adalah dapat dipelihara perkembangannya pada tingkat satu digit (di bawah sepuluh persen), di mana sepuluh persen merupakan ambang psikologis yang kalau dilewati dapat mulai menimbulkan suasana kekuatiran tadi. Dengan memperhatikan beberapa ciri dari laju inflasi sebagai indikator pembangunan, maka dalam RPJM 2004-2009, sasaran laju inflasi diupayakan untuk menurun dari 7,0% pada tahun 2005 sehingga menjadi 3,0% pada tahun 2009 (lihat Table IV.1). Selain oleh laju inflasi, maka stabilitas ekonomi juga dapat diukur oleh perkembangan nilai tukar

Rupiah terhadap US$. Selama RPJM, nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada pada level Rp 8,900 per satu US$ pada tahun 2005, menjadi Rp 8,700 per satu US$ pada tahun 2009. Ada beberapa ciri dari perkembangan nilai tukar sebagai indikator pembangunan yang perlu diperhatikan.

Pertama, nilai tukar yang melemah dapat pada satu sisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan gairah ekspor, tetapi pada sisi lainnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi apabila pelemahan tersebut menyebabkan meningkatnya harga impor bahan baku

produsen dalam negeri sehingga menurunkan daya saingnya apabila akan diekspor. Dengan demikian perlu diupayakan nilai tukar yang secara neto dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kedua, nilai tukar yang terbentuk harus mencerminkan harga ekuilibriumnya, yaitu tidak "overvalued" ataupun "undervalued". Kalau "overvalued", dalam arti nilai tukar yang terbentuk lebih kuat daripada yang sebenarnya dapat ditopang oleh fundamental ekonomi, maka akan terus terjadi tekanan pasar untuk melemahkannya, dan sebaliknya kalau "undervalued". Ketiga, perkembangan nilai tukar sebaiknya cukup stabil (tidak "gunjang ganjing") karena perkembangan yang terlalu fluktuatif dapat menciptakan ketidakpastian iklim usaha yang produktif di sektor riil, yaitu kegiatan ekonomi akan cenderung berorientasi pada kegiatan spekulatif (mengejar "capital gain" jangka pendek). Keempat, nilai tukar yang berkembang juga ditentukan oleh sistem nilai tukar yang dianut. Meskipun sejak tahun 1966, Indonesia konsisten pada sistem "open capital account" (yaitu tidak ada larangan atas masuk keluarnya devisa), sejak tahun tersebut Indonesia telah menerapkan tiga sistem penentuan nilai tukar. Dari tahun 1966 sampai dengan tahun 1978 diterapkan sistem "pegged rate", yaitu nilai tukar dipatok pada tingkat tertentu untuk suatu masa tertentu. Dari tahun 1978 sampai dengan tahun 1997, diterapkan sistem "managed float", yaitu nilai tukar diperbolehkan berfluktuasi pada batasan maximum dan minimum tertentu. Kemudian, sejak menerpanya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, Indonesia menganut

sistem "free float", dalam mana nilai tukar dapat secara relatif bebas berfluktuasi. Sistem mana yang paling sesuai sebenarnya ditentukan oleh seberapa terbukanya perekonomian dan seberapa besarnya cadangan devisa yang tersedia. Indikator pembangunan lainnya yang menyangkut stabilitas ekonomi adalah tingkat suku bunga dalam negeri. Meskipun sejak dianutnya sistem "free float", beban penyesuaian terhadap perkembangan ekonomi dunia telah dapat dialihkan dari perubahan tingkat suku bunga, penentu tingkatnya yang tepat masih harus mempertimbangkan beberapa aspek. Pertama, tingkat suku bunga dalam negeri selalu harus lebih tinggi dari laju inflasi dalam negeri. Kedua, tingkat suku bunga dalam negeri harus cukup rendah untuk dapat menggairahkan pinjaman dan menggerakkan sektor riil tetapi harus juga cukup tinggi untuk tetap menggairahkan masyarakat untuk menabung. Ketiga, tingkat suku bunga dalam negeri perlu diupayakan cukup rendah agar tidak menimbulkan beban terlalu berat bagi pemerintah dalam pembayaran utang dalam bentuk obligasi dengan tingkat bunga yang ditetapkan berdasarkan perkembangan suku bunga di pasar.

4. Defisit/Surplus APBN/PDB (%). Dalam negara yang sedang membangun dan berkonstitusi Undang-Undang Dasar 1945, maka peranan pemerintah tidak hanya untuk menjalankan roda pemerintahan tetapi juga untuk menjamin terlaksananya pembangunan sesuai dengan nilai-nilai dasar negara dan aspirasi masyarakat. Peranan pemerintah dalam

pembangunan ini tercermin terutama dalam perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Khususnya dalam hal menjamin terlaksananya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, maka defisitnya APBN dapat menjadi alat ekspansif ketika perekonomian mengalami kelesuan dan surplusnya APBN dapat menjadi alat kontraktif ketika perekonomian memanas. Dalam hal perekonomian Indonesia dewasa ini masih dalam tahap pemulihan maka dalam beberapa tahun kedepan masih diperlukan defisit APBN sebagaimana terlihat pada besaran Defisit APBN terhadap PDB dari tahun 2005, sebesar -0,7 %, sampai dengan 2007, sebesar -0,3 % (lihat Tabel IV.1). Pada tahun 2008 diperkirakan APBN menjadi berimbang dan Surplus/Defisit APBN terhadap PDB adalah 0,0%. Sedangkan pada tahun 2009, APBN menjadi surplus sebesar 0,3% terhadap PDB. Perkembangan selama periode ini merupakan upaya untuk mempertahankan "fiscal sustainability". Pada dasarnya, walaupun defisit fiskal diperlukan sebagai stimulus ekonomi, keadaan ini tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama sehingga defisit fiskal harus diperkecil dan secepatnya menjadi seimbang dan bahkan menjadi surplus. Defisit anggaran negara selain berdampak positif sebagai alat "pump priming", juga mempunyai dampak "crowding out" sektor dunia usaha masyarakat. 5. Kebutuhan Investasi dan Sumber Pembiayaan (%).

Indikator ini erat kaitannya dengan teori Harrod-Domar yang menunjukkan hubungan antara besaran investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam Tabel IV.2 tentang Kebutuhan

Investasi dan Sumber Pembiayaan yang diambil dari proyeksi jangka menengah RPJM 2004-2009 Dari angka-angka pada Tabel IV-2 tersebut, ada beberapa perkembangan yang perlu dikaji dari indikator kelompok ini. Pertama, rasio investasi, yang dalam periode 2000-2004 cenderung menurun dari 22,9% terhadap PNB pada tahun 2000 menjadi 19,4% terhadap PNB pada tahun 2004, akan diupayakan untuk meningkat dalam periode RPJM, dari 21,0 % terhadap PNB pada tahun 2005 menjadi 28,5% terhadap PNB pada tahun 2009. Kedua, kebutuhan investasi pemerintah terhadap PNB yang pada tahun 2005 sebesar 3,4% meningkat relatif kecil menjadi hanya 4.1% terhadap PNB pada tahun 2009, sedangkan kebutuhan investasi masyarakat yang sebesar 17,6% terhadap PNB pada tahun 2005 meningkat menjadi 24,4% terhadap PNB pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa peranan investasi swasta akan menjadi bertambah besar dalam upaya peningkatan kapasitas produksi dalam negeri. Ketiga, dalam tiga tahun pertama RPJM, tabungan dalam negeri bahkan lebih besar dari kebutuhan investasi, dengan besaran masing-masing sebesar 22,7% dan 21,0% pada tahun 2005, 23,6% dan 23,15 pada tahun 2006, dan 25,5% dan 25,3 % pada tahun 2007. Baru pada tahun 2008 dan 2009, kesenjangan tabungan dan investasi (S-I Gap) kembali menjadi negatif sebesar masingmasing 0.2% dan -0,5% terhadap PNB. Hal ini menunjukkan tekad untuk minimal selama tiga tahun pertama akan lebih diandalkan sumber pembiayaan dalam negeri daripada dana luar negeri.

tingkat investasi terhadap PNB selama periode RPJM, maka dengan ICOR yang menurun dari 3,9 pada tahun 2004 menjadi 3,6 pada tahun 2009, maka akan tercapai pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 5,0% pada tahun 2004 menjadi 7,6% pada tahun 2009, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun sebesar 6,6% selama RPJM 2004-2009. Hal ini menunjukkan tekad untuk meningkatkan efisiensi investasi selama RPJM 2004-2009.

Tabel IV.1

Indikator Ekonomi Makro

Sumber: RPJM 2004-2009, Bab 34

Realisasi Perki

raan Proyeksi Jangka Menengah

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertumbuhan PDB Sisi Pengeluaran (%) Konsumsi Investasi Ekspor Impor 4,9 2,0 16,7 26,5 25,9 3,8 3,9 6,5 0,6 4,2 4,3 4,7 2,2 -1,0 -4,0 4,5 4,5 1,9 6,6 2,8 5,0 5,1 7,2 9,3 17,4 5,5 4,1 14,6 5,7 10,3 6,1 5,2 17,8 6,0 8,6 6,7 5,0 16,3 6,4 10,2 7,2 5,8 14,3 7,4 10,8 7,6 6,3 12,8 10,1 11,0 Sisi Produksi (%) Pertanian Industri Lainnya 1,9 6,0 5,3 4,1 3,3 4,0 2,8 5,9 3,9 3,1 5,0 4,6 3,1 5,6 5,2 3,2 6,1 5,8 3,4 6,9 6,3 3,6 7,8 6,9 3,6 8,6 7,4 3,8 9,5 7,6 Distribusi PDB Pertanian Industri Lainnya 15,6 27,7 56,7 15,6 30,1 54,3 15,7 30,7 53,7 15,0 30,6 54,4 14,7 30,6 54,6 14,4 31,4 54,2 14,0 32,0 54,0 13,5 32,1 54,4 13,1 32,5 54,5 12,7 33,0 54,3 Tenaga Kerja Kesempatan Kerja (juta orang) Distribusi (%) Pertanian Industri Lainnya 89,8 45,1 13,0 41,9 90,8 43,8 13,3 42,9 91,6 44,3 13,2 42,4 90,8 46,3 12,0 41,7 92,3 46,6 11,9 41,5 94,2 46,5 11,8 41,7 96,7 45,9 11,9 42,2 99,7 45,1 12,0 42,9 103,0 44,1 12,3 43,6 106,6 42,9 12,6 44,5 Pengangguran Terbuka (%) 6,1 8,1 9,1 9,5 9,7 9,5 8,9 7,9 6,6 5,1 Stabilitas Ekonomi Laju Inflasi/IHK (%) Nilai Tukar (Rp/US$)

9,4 8.425 12,5 10.241 10,0 9.375 5,1 8.578 6,4 8.928 7,0 8.900 5,5 8.800 5,0 8.800 4,0 8.700 3,0 8.700 Keuangan Negara - Surplus/Defisit APBN/PDB (%) -Stok Utang Pemerintah/PDB (%) -1,6 83,5 -2,4 74,6 -1,4 65,1 -1,7 58,3 -1,1 53,9 -0.7 48,0 -0,6 43,9 -0,3 39,5 0,0 35,4 0,3 31,8 Tabel IV.2

Kebutuhan Investasi dan Sumber Pembiayaan

Realisasi

Perki-raan Proyeksi Jangka Menengah

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Kebutuhan Investasi (triliun Rp)

a. Pemerintah

persentase thd PNB (%)

b. Masyarakat

persentase thd PNB (%)

Sumber Pembiayaan (triliun Rp)

1. Tabungan Dalam Negeri persentase thd PNB (%) a. Pemerintah persentase thd PNB (%) b. Masyarakat persentase thd PNB (%) 2. Tabungan Luar Negeri persentase thd PNB (%) Tabungan-Investasi (S-I) Rasio thd PNB (%) a. Pemerintah b. Masyarakat 297,2 41,6 3,2 255,5 19,7 297,2 351,2 27,1 30,3 2,3 320,9 24,7 -54,0 -4,2 4,2 -0,2 5,0 375,1 48,6 3,0 326,5 20,1 375,1 450,2 27,7 36,0 2,2 414,2 25,5 -75,1 -4,6 4,6 -0,8 5,4 380,7 55,2 3,0 325,5 17,7 380,7 441,0 23,9 16,1 0,9 424,9 23,1 -60,4 -3,3 3,3 -2,1 5,4 405,3 68,2 3,4 337,1 16,8 405,3 465,6 23,1 3,4 0,2 462,2 22,9 -60,3 -2,9 2,9 -3,2 6,2 430,7 75,1 3,4 355,6 16,0 430,7 491,7 22,1 45,2 2,0 446,5 20,0 -61,0 -2,7 2,7 -1,3 4,1 529,3 86,9 3,4 442,5 17,6 529,3 570,9 22,7 61,7 2,4 509,2 20,2 -41,6 -1,6 1,6 -1,0 2,7 652,9 101,6 3,6 551,3 19,5 652,9 666,3 23,6 76,9 2,7 589,3 20,9 -13,4 -0,6 0,6 -0,9 1,3 805,5 113,6 3,6 691,9 21,7 805,5 808,8 25,5 97,3 3,1 711,5 22,5 -3,3 -0,1 0,1 -0,5 0,6 962,0 135,2 3,8 826,8 23,3 962,0 954,4 27,0 126,2 3,5 828,3 23,4 7,5 0,2 -0,2 -0,3 0,0 1.123,4 162,9 4,1 960,5 24,4 1.123,4 1.100,7 28,0 160,9 4,1 939,8 23,9 22,7 0,5 -0,5 -0,1 -0,5 Sumber: RPJM 2004-2009

Dalam dokumen TEORIDANINDIKATORpembangunanpim3 (Halaman 37-44)

Dokumen terkait