• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII Kesimpulan pengamatan

Lampiran 8 Indonesia dan REDD

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan komitmennya untuk mengurangi emisi dari deforestasi. Pada bulan Juli 2008 pemerintah membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim yang mencakup kelompok kerja kehutanan dan tata guna lahan. Indonesia adalah negara percontohan dalam program REDD PBB dan akan berusaha untuk melakukan tindakan REDD yang ‘cepat dimulai’ sebelum COP 15 UNFCCC pada bulan Desember 2009 (lihat Lampiran 5). Kajian atas pilihan REDD dan tindakan yang mungkin dilakukan telah dibuat oleh peneliti nasional dan internasional serta penganalisis kebijakan dalam Proyek REDD-Indonesia (REDD-I), yang melibatkan Aliansi Iklim Hutan Indonesia (Indonesia Forest Climate Alliance, IFCA) dan didanai oleh Bank Dunia serta donor bilateral termasuk DFID (Inggris), GTZ (Jerman) dan pemerintah Australia.

Peraturan REDD

Peraturan Pemerintah No. 6/2007 memberi kewenangan bagi pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten untuk menerbitkan ijin layanan lingkungan hidup, yang dapat mencakup ijin untuk konservasi atau sekuestrasi karbon dalam hutan produksi atau perlindungan. Departemen Kehutanan sedang mengembangkan Peraturan Menteri mengenai REDD yang dibuat untuk memfasilitasi penerbitan konsensi karbon bagi sektor swasta dan telah membuat rancangan keputusan menteri untuk membentuk komisi nasional REDD. Melalui rancangan peraturan ini, kendali atas REDD berada dalam kewenangan Departemen Kehutanan dan proyek REDD harus disetujui oleh Menteri Kehutanan.

Inisiatif sukarela dan pemerintah daerah

Terdapat beberapa inisiatif REDD percontohan di Indonesia yang berada dalam tahap awal perancangan dan pelaksanaan. Semua inisiatif ini terkait dengan pasar karbon sukarela. Di Kalimantan Tengah, proyek REDD tengah direncanakan bagi rehabilitasi sebagian dari sejuta hektare lahan gambut yang telah terdegradasi. J P Morgan Stanley adalah investor yang potensial dalam skema ini. Fauna dan Flora Internasional (FFI) sedang mengembangkan proyek percontohan REDD di Kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang di Kalimantan Barat untuk melindungi hutan gambut yang dalam dan terancam oleh perkebunan kelapa sawit. FFI juga tengah membahas pembuatan ‘community carbon pool’ (pengumpulan karbon masyarakat), yang akan menyediakan investasi swasta untuk membantu melindungi hutan masyarakat yang mengalami risiko konversi. Insiatif yang disebut belakangan ini bertujuan untuk memberikan manfaat REDD bagi komunitas lokal. Di Aceh, bagian utara Sumatra, FFI telah bekerja dengan pemerintah provinsi, sebuah perusahaan yang bergerak dalam perdagangan karbon dan bank AS, Merrill Lynch, (sekarang dimiliki oleh Bank of America) untuk memulai skema REDD berbasis pasar untuk mengurangi deforestasi di pegunungan Ulu Masen. Proyek ini berusaha melibatkan komunitas lokal dan pemuka adat dalam konsultasi dengan banyak pemangku kepentingan. Pada tahap ini struktur tata kelola pemerintahan masih belum final dan proyek dikecam karena langkahnya yang cepat dan kurang transparan.

Proyek REDD lainnya tengah dikembangkan oleh pemerintah provinsi Aceh dan SFM SE Asia Ltd dalam kawasan Ekosistem Leuser agar inisiatif konservasi dapat didukung oleh perdagangan karbon. Di provinsi Riau, Sumatra tengah, perusahaan perkebunan bubur kertas Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) tengah mengusulkan untuk mengelola Semenanjung Kampar, yang mengandung beberapa milyar ton karbon dalam tanah gambutnya, sebagai hutan perlindungan sambil mengembangkan 200.000 hektare tanah di semenanjung itu sebagai perkebunan kayu untuk bubur kertas. Di provinsi Papua, FFI telah bekerja dengan pemerintah provinsi untuk mempersiapkan proposal bagi proyek REDD percontohan di pegunungan Cyclops. Proyek REDD yang lain direncanakan di Papua oleh perusahaan Emerald Planet dan New Forest di Timika dan Mamberamo.

Risiko dan peluang

Program REDD nasional mengasumsikan bahwa negara memiliki kekuasaan untuk menerbitkan konsensi REDD ke pihak ketiga di semua kawasan hutan—asumsi yang dipertanyakan oleh organisasi adat dan organisasi komunitas karena sebagian besar hutan nasional Indonesia belum dimasukkan dalam lembaran negara dengan baik. Organisasi- organisasi masyarakat madani menganggap bahwa peraturan REDD yang ada dan yang diusulkan memberikan kekuasaan yang terlalu besar bagi Departemen Kehutanan yang banyak terkait dengan kepentingan politik dan komersial. Mereka mengatakan bahwa pemerintah bermaksud menerbitkan lisensi bagi konsesi REDD tanpa menghormati hak masyarakat adat untuk memberikan atau menahan pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa paksaan terhadap pembangunan yang direncanakan (sama seperti yang dilakukan Departemen Kehutanan dengan konsesi kayu dan perkebunan). Atas nama REDD, pemerintah juga dapat merampas hutan masyarakat dan menerapkan pembatasan penggunaan sumber daya secara paksa yang merupakan pelanggaran HAM.

Proposal akar rumput untuk REDD berbasis hak yang berkelanjutan

Sebagian organisasi masyarakat adat dan aktivis hutan di Indonesia menolak pendekatan ‘beraktivitas seperti biasa’ untuk REDD. Mereka ingin menggunakan pembahasan REDD sebagai kesempatan untuk menekan agar ada reformasi yang mengakui hak adat, mempromosikan hutan yang dilestarikan masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, memperjelas hak penguasaan lahan dan meningkatkan kontrol masyarakat atas hutan. Tokoh masyarakat dan pemuka adat bersikeras bahwa Program REDD-PBB harus mendukung Indonesia untuk mengadopsi pendekatan berbasis hak yang memberdayakan masyarakat adat dan penghuni hutan serta meyakinkan bahwa warga negara Indonesia dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan program REDD nasional dan lokal. Yang tak kalah pentingnya, kelompok-kelompok Indonesia telah menekankan bahwa agar dapat berkelanjutan, maka kebijakan REDD harus menanggapi seluruh spektrum isu lahan, sumber daya alam serta HAM.

Meskipun terdapat kekurangan terkait dengan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, pemerintah tengah membuat R- Plan untuk diserahkan ke Panitia Pengarah FCPF guna mendapatkan persetujuan (mungkin Juni 2009). Organisasi Indonesia seperti AMAN dan Sawit Watch telah menulis kepada Menteri Kehutanan, menyampaikan kurangnya konsultasi yang memadai dan kurangnya acuan terhadap standar hukum internasional serta kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi kian mengkhawatirkan karena Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) yang berbasis di Jenewa telah memutuskan pada bulan Maret 2009 bahwa pemerintah Indonesia harus menghormati standar hukum internasional terkait dengan hak-hak masyarakat adat, khususnya dalam hal perkebunan kelapa sawit dan REDD.241