2 TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Hukum Indonesia
2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki produksi perikanan tangkap 4.957.098 ton pada tahun 2008. Nilai ini adalah bukti yang nyata bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar dalam perikanan tangkap. Hal ini tergambar bahwa produksi perikanan tangkap tersebut merupakan terbesar ketiga di dunia (Tabel 2). Namun, nilai tersebut menuntut suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat berkelanjutan. Salah satunya dapat dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 5 ayat (2) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan perikanan di luar wilayah perikanan Republik Indonesia, didasarkan pada peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/standar internasional yang diterima secara umum. Hal ini menerangkan bahwa Indonesia sangat mendukung suatu kegiatan perikanan yang memperhatikan konservasi dan pengelolaannya. Sedangkan, pada Pasal 6 ayat (1) menjelaskan bahwa upaya pengelolaan perikanan tersebut dimaksudkan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan lembaga atau organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional adalah langkah yang dijelaskan pada Pasal 10.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 hadir sebagai antisipasi dan solusi yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern. Namun kemudian undang-undang tersebut dianggap perlu dilakukannya perubahan karena dirasa terdapat kekurangan dengan berjalannya waktu, sehingga ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Perubahan tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan regulasi dan kinerja dalam pelaksanaan undang-undang tersebut.
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, memposisikan Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas yang dalam pelaksanaannya didasarkan pada persyaratan atau standar internasional yang berlaku, sehingga perlu dasar hukum untuk pengelolaan sumberdaya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan teknologi.
2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan
Indonesia sangat menentang dan berupaya untuk melawan praktik IUU fishing. Hal ini tergambar dari aturan Indonesia yang mengarah ke regulasi yang memperkecil kemungkinan terjadinya IUU fishing. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan adalah salah satu aturan Indonesia yang berupaya melawan praktik IUU fishing. Pasal 1 dalam keputusan menteri tersebut menjelaskan bahwa Sertifikat Hasil Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh kepala pelabuhan perikanan yang ditunjuk oleh yang menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU fishing. Batasan pemberlakuan atau penggunaan Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut dijelaskan pada pasal 2 bahwa setiap produk perikanan laut yang merupakan hasil tangkapan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik langsung maupun tidak langsung ke Uni Eropa dilengkapi dengan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan.
2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 1 menjelaskan pengertian beberapa surat ijin yaitu SIUP, SIPI, dan SIKPI. SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan) adalah ijin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam ijin tersebut. SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yaitu Pasal 46 menjelaskan tentang pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam mengurus SIPI atau SIKPI. Penerbitan perizinan kapal sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 pada Bab VII tentang kewenangan penerbitan perizinan yaitu SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI. Menteri dapat mendelegasikan penerbitan perizinan tersebut kepada Gubernur (untuk kapal berukuran di atas 10 GT (Gross Tonnage) sampai dengan 30 GT) dan Bupati atau Walikota (untuk kapal berukuran di atas 5 GT sampai dengan 10 GT) dengan pertimbangan aturan tertentu seperti penggunaan tenaga kerja di kapal baik asing atau kapal Indonesia, wilayah domisili, dan wilayah operasi penangkapannya. Selain itu, untuk kapal yang berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010. Pemberian kewenangan penerbitan SIPI dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT kepada Gubernur (yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan), namun didasarkan pada Surat Ijin Usaha Perikanan
(SIUP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Tata cara penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap telah diatur pula pada Bab VIII Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008.
Pengawasan dan pengendaliannya di lapang, diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 78 yaitu melalui sistem pemantauan, pengendalian, dan pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI (Unit Penangkapan Ikan), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Hal lainnya yang diwajibkan, seperti kewajiban kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system atau VMS) serta mengisi logbook perikanan yang kemudian diserahkan Direktur Jenderal melalui kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI, diatur dalam pasal 88. Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan terbarunya pada juni tahun 2011 yaitu
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap akan menggantikan
PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Namun dalam waktu penelitian ini PER.14/MEN/2011 masih belum diberlakukan secara efektif karena mulai berlakunya yaitu setelah 6
(enam) bulan sejak tanggalpengundangan (6 Juni 2011).
2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan menjelaskan bahwa setiap kapal perikanan milik orang atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pendaftaran kapal perikanan adalah kegiatan pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal perikanan.
Buku kapal perikanan sekurang-kurangnya memuat informasi: 1) nama kapal;
2) nomor register;
4) tipe kapal;
5) jenis alat tangkap; 6) tonnage;
7) panjang kapal; 8) lebar kapal; 9) kekuatan mesin; 10) foto kapal;
11) nama dan alamat pemilik; 12) nama pemilik sebelumnya; dan
13) perubahan-perubahan yang terjadi dalam buku kapal perikanan
Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau notasi kapal perikanan. Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan buku kapal perikanan dan SIPI atau SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan. Tanda pengenal kapal perikanan sebagaimana yang dimaksud meliputi:
1) tanda selar;
2) tanda daerah penangkapan ikan; 3) tanda jalur penangkapan ikan; dan/atau 4) tanda alat penangkapan ikan.
Spesifikasi tanda tersebut disesuaikan dengan kondisi kapal dan lain hal sebagainya. Sedangkan untuk kapal yang beroperasi di wilayah organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO akan diberikan tanda khusus yang diatur oleh organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO tersebut. Hal ini diharapkan mampu untuk memberikan perbedaan antara kapal yang memang terdaftar secara legal di negara tertentu dengan kapal yang terindikasi melakukan praktik IUU fishing. Selain keseluruhan aturan yang telah disebutkan diatas, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal, juga merupakan aturan yang dapat mengontrol kapal perikanan untuk tidak melakukan praktik IUU fishing.
2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan juga menjelaskan kewajiban kapal perikanan untuk memberikan laporan pada pihak pelabuhan. Hal ini tercantum dalam Bab V tentang pelaporan dalam Pasal 5. Adapun pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan wajib melapor kedatangan dan/atau keberangkatannya kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan;
2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan; 3) menerima formulir logbook Perikanan;
4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.
2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut; 2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tersebut, telah jelas hal-hal apa saja yang harus dilaporkan oleh nahkoda atau pengurus kapal perikanan kepada pihak pelabuhan. Sanksi atas pelanggaran kewajiban tersebut, tercantum pula pada Bab VI Sanksi, Pasal 6 dengan sanksi terberat yaitu pembekuan atau pencabutan SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) atau SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengankut Ikan). Surat ijin dan
regulasi pelaporan masuk dan keluarnya kapal dari atau ke pelabuhan ini, merupakan langkah yang menjaga keberlanjutan perikanan dan melawan praktik IUU fishing. Proses pelaporan masuk dan keluarnya kapal akan dilanjutkan dengan pemeriksaan menyeluruh terkait ijin, kondisi, dan muatan kapal. Setiap data hasil tangkapan dari kegiatan penangkapan yang diperlukan untuk dipergunakan dalam pertimbangan keadaan potensi sumberdaya ikan ke depannya. Keseluruhan aturan nasional yang disebutkan diatas tersebut mengarahkan pada tindakan untuk mengatasi dan mengurangi praktik IUU fishing. Proses perijinan, pengawasan, pelaporan, dan pemeriksaan kapal di pelabuhan perikanan diharapakan dapat memperkecil kemungkinan akan berlangsungnya IUU fishing.