• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Definifsi Induksi Persalinan

Induksi persalinan ialah usaha agar persalinan mulai berlangsung sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his. Induksi persalinan merujuk dimana kontraksi uterus diawali secara medis maupun bedah sebelum terjadinya partus spontan. (Prawirohardjo, 2007; Mochtar, 1992).

Referensi lain memberikan definisi Induksi persalinan merupakan suatu tindakan buatan atau memberikan perlakuan untuk merangsang kontraksi uterus yang dilanjutkan oleh dilatasi progresif dan pendataran dari serviks kemudian diakhiri dengan kelahiran bayi (Wannmacher, 2005).

b. Indikasi Induksi Persalinan

Induksi diindikasikan apabila manfaat bagi ibu atau janin melebihi manfaat apabila persalinan dibiarkan berlanjut. Indikasi-indikasi penting dilakukannya antara lain postmaturitas, hipertensi apapun sebabnya, pada kehamilan lebih dari 37 minggu. Disamping itu,

commit to user

induksi dapat dilakukan pada rhesus antagonimus, diabetes mellitus, ketuban pecah dini tanpa timbulnya his, preeklamsi, insufisiensi plasenta, suspek terjadi retardasi pada perkembangan intrauterin (Prawirohardjo, 2007; Decherney, 1994).

c. Kontraindikasi Induksi persalinan

Sejumlah kondisi di uterus, janin, atau ibu merupakan kontraindikasi induksi persalinan. Kontraindikasi ini serupa dengan yang meniadakan kemungkinan persalinan spontan. Kontraindikasi pada uterus terutama berkaitan dengan riwayat cidera uterus misalnya insisi seksio sesarea klasik atau bedah uterus. Plasenta previa juga tidak memungkinkan terjadinya persalinan spontan. Kontra indikasi pada janin antara lain makrosomia yang cukup besar, beberapa anomali janin misalnya hydrocephalus, malpresentasi. Kontraindikasi pada ibu berkaitan dengan ukuran ibu, anatomi panggul, dan beberapa penyakit medis misalnya herpes genetalia aktif (Chunningham, 2005).

Pada beberapa sumber membagi kontraindikasi induksi persalinan menjadi kontraindikasi absolut yaitu disproporsi kepala panggul, plasenta previa, plasenta yang prolaps, struktur pelvis yang abnormal, infeksi herpes pada genital, kanker serviks yang invasif, bekas luka pada uterus karena seksio sesarea, miomektomi, histerektomi, insisi uterus atau miometrium yang memasuki rongga uterus. Dan kontraindikasi relatif yaitu polihidramnion, kehamilan ganda, grande

commit to user

multipara, kehamilan prematur, breech presentation, penyakit jantung kongenital (Decherney, 1994; Harman, 1999)

d. Risiko Induksi Persalinan

Risiko induksi persalinan yang mungkin terjadi diantaranya adalah : 1) Adanya kontraksi rahim yang berlebihan. Itu sebabnya induksi

harus dilakukan dalam pengawasan yang ketat dari dokter yang menangani. Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan, biasanya proses induksi dihentikan dan dilakukan operasi caesar.

2) Janin akan merasa tidak nyaman sehingga dapat membuat bayi mengalami gawat janin (stress pada bayi). Itu sebabnya selama proses induksi berlangsung, penolong harus memantau gerak janin. Bila dianggap terlalu berisiko menimbulkan gawat janin, proses induksi harus dihentikan.

3) Dapat merobek bekas jahitan operasi caesar. Hal ini bisa terjadi pada yang sebelumnya pernah dioperasi caesar, lalu menginginkan kelahiran normal.

4) Emboli. Meski kemungkinannya sangat kecil sekali namun tetap harus diwaspadai. Emboli terjadi apabila air ketuban yang pecah masuk ke pembuluh darah dan menyangkut di otak ibu, atau paru-paru. Bila terjadi, dapat merenggut nyawa ibu seketika (Israr, Christopher, 2009).

commit to user

e. Metode Pematangan Serviks dan Induksi Persalinan Secara Farmakologi

1) Prostaglandin

Prostaglandin bereaksi pada serviks untuk membantu pematangan serviks melalui sejumlah mekanisme yang berbeda.

Ia menggantikan substansi ekstraseluler pada serviks, dan PGE2 meningkatkan aktivitas kolagenase pada serviks. Ia menyebabkan peningkatan kadar glikosaminoglikan dan asam hialuronat pada serviks. Relaksasi pada otot polos serviks menyebabkan dilatasi.

Pada akhirnya, prostaglandin menyebabkan peningkatan kadar kalsium intraseluler, sehingga menyebabkan kontraksi otot miometrium (wittler, 2000)

Prostaglandin E2 dan PGF 2α yang dioleskan langsung ke serviks menginduksi perubahan-perubahan pematangan kearah perlunakan serviks yaitu perubahan kolagen dan perubahan konsentrasi relatif glikosaminoglikan. Supositoria prostaglandin yang dipasang intravagina didekat serviks digunakan secara klinis untuk menimbulkan perlunakan serviks dan digunakan untuk mempermudah induksi persalinan (Cunningham et al., 2005).

2) Mifepristone

Mifepristone (Mifeprex) adalah agen antiprogesteron.

Progesteron menghambat kontraksi uterus, sementara mifepristone melawan aksi ini. Agen ini menyebabkan

commit to user

peningkatan asam hialuronat dan kadar dekorin pada serviks.

Dilaporkan Cochrane, ada 7 percobaan yang melibatkan 594 wanita yang menggunakan mifepristone untuk pematangan serviks. Hasilnya menunjukkan bahwa wanita yang diterapi dengan mifepristone cenderung memiliki serviks yang matang dalam 48 sampai 96 jam jika dibandingkan dengan plasebo.

Sebagai tambahan, para wanita ini cenderung melahirkan dalam waktu 48-96 jam dan tidak dilakukan seksio sesaria. Namun demikian, hanya sedikit informasi yang tersedia mengenai luaran janin dan efek samping pada ibu, sehingga tidak cukup mendukung bukti keamanan mifepristone dalam pematangan serviks (Tenore, 2003).

3) Relaksin

Hormon relaksin merupakan hormon polipeptida yang diproduksi oleh beberapa jaringan diantaranya korpus luteum dan decidua yang efektif untuk pematangan serviks. Relaksin mengaktifkan proses kolagenasi pada serviks dan menghambat kontraksi uterus yang menyebabkan pematangan serviks tanpa hiperstimulasi (Arias, 1993). Berdasarkan evaluasi telaah Cochrane mengenai hasil dari 4 penelitian yang melibatkan 267 wanita disimpulkan bahwa kurangnya dukungan dalam penggunaan relaksin saat ini, sehingga masih dibutuhkan

commit to user

penelitian lebih lanjut mengenai agen-agen induksi persalinan (Tenore, 2003)

4) Oksitosin

Oksitosin merupakan hormon yang dikeluarkan neurohipofise yang merangsang secara langsung jaringan miometrium. Mekanisme pematangan serviks oleh oksitosin terjadi secara tidak langsung dimana oksitosin merangsang decidua untuk memproduksi prostaglandin E dan prostaglandin F.

Prostaglandin E meningkatkan degradasi kolagen, asam hyaluronik hidrofilik, dilatasi pembuluh darah kecil di serviks, sedangkan PGF meningkatkan glikosaminoglikan sehingga serviks menjadi lunak. Pada sel miometrium, oksitosin meningkatkan aktifitas phospodiesterase yang menyebabkan pengeluaran kalsium dari retiulum endoplasmik. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluller mengaktifkan mekanisme kontraksi otot (Arias, 1993).

3. Misoprostol

Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 yang telah diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) yang diberikan oral untuk mencegah dan mengobati ulcus peptic yang diinduksi oleh obat NSAID. Prostaglandin (PG)E2 dan PGE1 adalah prostaglandin utama yang disintesis oleh mukosa gastrik. Senyawa ini menghambat produksi asam dengan cara berikatan dengan reseptornya pada sel-sel parietal. PGE juga

commit to user

dapat mencegah terjadinya luka lambung berkat efek sitoprotektifnya yang meliputi stimulasi sekresi musin dan bikarbonat serta peningkatan aliran darah mukosa. Namun, efek supresi asam tampaknya merupakan efek yang paling penting. Karena NSAID menghambat pembentukan prostaglandin, maka prostaglandin sintetik memberikan sebuah pendekatan rasional untuk mengurangi kerusakan akibat NSAID (Goodman, 2008; Goldberg, 2001).

Misoprostol (15-deoksi-16hidroksi-16-metil-PGE1; CYTOTEC) adalah analog sintetik prostaglandin E1 dengan tambahan gugus metil ester pada C1 (menyebabkan peningkatan potensi serta durasi efek anti sekretori) dan pemindahan gugus hidroksi dari C15 ke C16, disertai dengan penambahan satu gugus metil (menyebabkan peningkatan aktivitas jika di berikan secara oral, peningkatan durasi kerja, serta memperbaiki profil keamanan) (Goodman, 2008).

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, misoprostol menjadi salah satu obat penting dalam bidang ilmu kandungan dan kebidanan karena misoprostol memiliki efek uterotonik dan efek pematangan serviks (Goldberg, 2001). Misoprostol bekerja dengan jalan meningkatkan kalsium bebas intraseluller. Pada saat yang sama terjadi gap junction miometrium yang memudahkan kontraksi pada uterus. Pematangan serviks terjadi akibat kenaikan asam hialuronidase dan cairan serta penurunan dermatan sulfat dan kondrotin sulfat yang merupakan bahan dasar pembentuk kolagen (Dwijanto, 2003). Misoprostol juga menstimulasi aktivitas Matriks Metalloprotease (MMP) yang berpengaruh pada

commit to user

pematangan serviks (Tommiska, 2006). Misoprostol dapat digunakan diantaranya sebagai aborsi medis, pematangan serviks sebelum tindakan operasi aborsi, evaluasi uterus pada kasus embrionik atau kematian fetus dan induksi persalinan. Misoprostol juga dapat digunakan untuk mengatasi perdarahan postpartum (Goldberg, 2001).

a. Farmakokinetik Misoprostol

Misoprostol, suatu ester, mengalami de-esterifikasi secara cepat dan sempurna menjadi bentuk farmakologis aktif asam karboksilat dalam lambung setelah pemberian oral. Penyerapan asam misoprostol terjadi cepat, dengan konsentrasi puncak dalam plasma yang dicapai dalam 15-30 menit (Goldberg, 2001).

Bioaviabilitas misoprostol menurun karena kontaminan berupa faktor makanan dan antasid. Misoprostol terutama dimetabolisme di hati dan kurang dari 1 persen dari metabolit aktifnya diekskresikan melalui urine. Pasien dengan penyakit hati harus menerima dalam dosis yang lebih rendah (Goldberg, 2001).

b. Efek Misoprostol

Efek misoprostol pada saluran reproduksi meningkat dan efek pada gastrointestinal menurun bila misoprostol diberikan secara pervaginam. Ketika tablet misoprostol ditempatkan pada forniks posterior dari vagina, konsentrasi plasma dari asam misoprostol

commit to user

mencapai puncaknya dalan satu sampai dua jam dan kemudian menurun secara perlahan (Goldberg, 2001).

Misoprostol yang diberikan pervaginam atau secara oral dapat memberikan efek pematangan serviks sebelum induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin. Misoprostol sendiri juga efektif untuk induksi persalinan. Dalam penelitian yang telah dilakukan pada tahun 1997, difokuskan pada pematangan serviks dan induksi persalinan, total 488 wanita yang menerima misoprostol dan 478 kontrol (menerima gel prostaglandin E2) waktu dari induksi sampai terjadinya kelahiran memperlihatkan 4,6 jam lebih cepat dan tingkat kejadian kelahiran dengan seksio sesarea menurun pada kelompok misoprostol (Goldberg, 2001).

Efek samping yang paling sering terjadi pada penggunaan misoprostol diantaranya nausea, muntah-muntah, nyeri pada perut, menggigil, dan demam. Meskipun jenis prostaglandin lain (Prostaglandin E2 dan Prostaglandin F2α) dapat menyebabkan infrak myocardial dan brokospasme, misoprostol tidak memberikan efek serupa (Goldberg, 2001).

c. Dosis Misoprostol

Misoprostol pervaginam (25 sampai 100 µg) lebih efektif dibandingkan penggunaan oksitosin atau prostaglandin E2 untuk induksi kelahiran pervaginam dalam 24 jam. Hiperstimulasi uterus

commit to user

dan perubahan denyut jantung fetus lebih sering terjadi pada wanita yang menerima misoprostol dibandingkan pada wanita yang menerima oksitosin atau prostaglandin E2. Frekuensi terjadinya meconium-stained amniotic fluid lebih besar pada kelompok

misoprostol dibandingkan dengan kelompok prostaglandin E2, meskipun tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok oksitosin (Goldberg, 2001).

Usaha selanjutnya untuk menemukan dosis yang efektif penggunaan misoprostol yang tidak meningkatkan frekuensi hiperstimulasi uterus, penelitian akhir-akhir ini memfokuskan pada dosis rendah misoprostol. Pada penelitian ini 522 wanita diberikan dosis 25µg misoprostol pervaginam setiap tiga jam ( untuk 8 dosis maksimum) atau 25 µg setiap 6 jam (untuk 4 dosis maksimum), regimen dengan interval yang lebih lama memberikan hasil waktu melahirkan yang lebih lama dan kebutuhan tambahan oksitosin.

Diantara kedua kelompok tersebut tidak ada perbedaan yang berarti dalam respek hiperstimulus uterus dengan perubahan denyut jantung fetus, meconium passage, kelahiran dengan seksio sesarea, dan nilai APGAR (Goldberg, 2001).

Dokumen terkait