• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Tetraploid Tunas Samping Jeruk Siam Simadu

Menggunakan Kolkisin secara In Vitro

Pola respon kematian tunas samping jeruk terhadap berbagai konsentrasi kolkisin menghasilkan respon linear. Persamaaan respon kematian tunas samping jeruk terhadap berbagai konsentrasi kolkisin yaitu y = 279.9x + 5.447, nilai LD50 diperoleh pada konsentrasi kolkisin sebesar 0.16%. Gambar 19 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kolkisin, maka semakin tinggi persentase tunas samping jeruk yang mati. Kematian tunas samping ini terjadi beberapa hari setelah

22

perlakuan kolkisin, tunas samping jeruk yang awalnya berwarna hijau, kemudian berubah perlahan menjadi warna coklat dan mati (Gambar 20).

Gambar 19 Kurva LD50 tunas samping jeruk Siam Simadu satu bulan setelah perlakuan kolkisin

Gambar 20 Tunas samping jeruk Siam Simadu yang mati akibat perlakuan kolkisin

Semakin tinggi konsentrasi kolkisin yang diberikan maka rata-rata jumlah tunas baru yang muncul semakin sedikit (Gambar 21). Hal ini disebabkan karena kolkisin yang bersifat racun sehingga mengakibatkan penundaan regenerasi dan induksi tunas. Penelitian Nilanthi et al. (2009) pada tanaman Echinacea purpurea L. memberikan hasil yang sama, semakin tinggi konsentrasi kolkisin yang diberikan maka jumlah tunas yang dihasilkan semakin sedikit.

Perlakuan konsentrasi kolkisin memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi tunas dan lebar daun, tetapi tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun dan panjang daun tunas jeruk Siam Simadu. Semakin tinggi konsentrasi kolkisin yang diberikan maka tunas yang dihasilkan akan semakin tinggi dan memiliki daun yang lebih lebar (Gambar 22 dan Gambar 25). Hal ini diduga karena tunas yang baru muncul telah mengalami penggandaan kromosom sehingga jumlah set kromosom (ploidi) meningkat. Peningkatan jumlah set kromosom dapat meningkatkan ukuran tanaman. Penelitian Gmitter et al. (1991) pada tanaman jeruk Orlando Tangelo memberikan hasil yang sama, tanaman tetraploid memiliki ukuran yang lebih tinggi dan daun yang lebih lebar dibandingkan dengan tanaman diploid.

23 Tunas kontrol dan tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki jumlah daun dan panjang daun yang hampir sama (Gambar 23 dan Gambar 24). Gambar 26 merupakan gambar tunas baru yang muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu yang berumur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin.

Gambar 21 Rata-rata jumlah tunas baru yang muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu pada umur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin

Gambar 22 Tinggi tunas yang baru muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu pada umur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 0.1 0.2 0.3 0.55 0.4 0.25 0.10 J u m la h t u n a s b a ru y a n g m u n c u l Perlakuan kolkisin (%) 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 0 0.1 0.2 0.3 1.27b 1.29b 1.44b 1.95a T in g g i tu n a s (c m ) Perlakuan kolkisin (%)

24

Gambar 23 Jumlah daun tunas yang baru muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu pada umur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin

Gambar 24 Panjang daun tunas yang baru muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu pada umur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin

Gambar 25 Lebar daun tunas yang baru muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu pada umur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin 0.00 1.00 2.00 3.00 0 0.1 0.2 0.3 2.82 2.63 2.40 2.00 J u m la h d a u n Perlakuan kolkisin (%) 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0 0.1 0.2 0.3 0.37 0.39 0.38 0.45 P a n ja n g d a u n ( c m ) Konsentrasi kolkisin (%) 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0 0.1 0.2 0.3 0.32b 0.35ab 0.36ab 0.4a L e b a r d a u n ( c m ) Konsentrasi kolkisin (%)

25

Gambar 26 Tunas baru yang muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu yang berumur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin (A) 0%, (B) 0.1%, (C) 0.2%, dan (D) 0.3%

Data Tabel 8 menunjukkan bahwa daun tunas yang diberikan perlakuan kolkisin lebih tebal dibandingkan dengan daun tunas kontrol. Semakin tinggi konsentrasi kolkisin, semakin tebal juga daun yang dihasilkan (Gambar 27). Hasil penelitian Chen et al. (2010) pada Anthurium andraeanum menunjukkan bahwa tanaman tetraploid memiliki daun yang lebih tebal dibandingkan dengan tanaman diploid.

Gambar 27 Tebal daun tunas yang baru muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu yang berumur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin (A) 0%), (B) 0.1%, (C) 0.2%, dan (D) 0.3%

Induksi akar dilakukan dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) golongan auksin. Penambahan auksin IBA 3 ppm dapat menginduksi pertumbuhan akar tunas pucuk kontrol (kolkisin 0%) sedangkan tunas pucuk yang diberikan perlakuan kolkisin tidak (Tabel 6). Tunas pucuk hasil induksi tetraploid diinduksi akar kembali menggunakan media MS + vitamin MS + NAA 3 ppm. Media ini juga belum mampu untuk menginduksi akar tunas pucuk yang diberikan perlakuan kolkisin (Tabel 7) sehingga analisis tingkat ploidi tidak dapat dilakukan dengan cara menghitung kromosom karena tunas belum memiliki akar.

26

Tabel 6 Jumlah dan panjang akar tunas pucuk jeruk Siam Simadu yang diberikan perlakuan kolkisin pada media MS + vitamin MS + IBA 3 ppm selama satu bulan

Perlakuan kolkisin (%) Jumlah akar Panjang akar (cm)

0 0.5 1.8

0.1 0 0

0.2 0 0

0.3 0 0

Tabel 7 Jumlah dan panjang akar tunas pucuk jeruk Siam Simadu yang diberikan perlakuan kolkisin pada media MS + vitamin MS + NAA 3 ppm selama satu bulan

Perlakuan kolkisin (%) Jumlah akar Panjang akar (cm)

0 0.3 1.6

0.1 0 0

0.2 0 0

0.3 0 0

Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki jumlah kloroplas lebih banyak daripada jumlah kloroplas tunas kontrol (Tabel 8), sehingga dapat diduga bahwa tunas yang diberikan perlakuan kolkisin telah mengalami penggandaan kromosom. Penelitian Ye et al. (2010) pada tanaman Lagerstroemia indica L. memberikan hasil yang sama, tanaman hasil perlakuan kolkisin memiliki jumlah kloroplas yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman diploid.

Peningkatan jumlah kloroplas pada sel penjaga mengakibatkan ukuran stomata menjadi lebih besar (Gambar 28). Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dibandingkan dengan tunas kontrol karena memiliki jumlah kloroplas yang lebih banyak (Tabel 9). Ukuran stomata yang semakin besar mengakibatkan kerapatan stomata menjadi semakin rendah (Tabel 9). Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki kerapatan stomata lebih rendah dibandingkan dengan tunas kontrol karena memiliki ukuran stomata yang lebih besar. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Ye et al. (2010) pada tanaman Lagerstroemia indica L. tanaman yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki ukuran stomata yang lebih besar dan kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman diploid.

Tabel 8 Pengaruh perlakuan konsentrasi kolkisin terhadap tebal daun dan jumlah kloroplas per pasang sel penjaga

Konsentrasi

kolkisin (%) Rata-rata tebal daun (µm)

Jumlah kloropas/pasang sel penjaga

0 130.88 ± 2.42 8 ± 2

0.1 150.41 ± 1.21 28 ± 5.29

0.2 156.91 ± 3.40 28.33 ± 1.53

27 Tabel 9 Pengaruh perlakuan konsentrasi kolkisin terhadap ukuran panjang

dan lebar stomata serta kerapatan stomata Konsentrasi kolkisin (%) Panjang stomata (µ m) Lebar stomata (µ m) Kerapatan stomata (jumlah stomata mm-2) 0 16.81 ± 0.38 14.44 ± 0.40 68.12 ± 2.06 0.1 29.51 ± 7.74 30.80 ± 5.11 45.21 ± 5.49 0.2 34.48 ± 1.47 35.42 ± 0.55 43.26 ± 2.19 0.3 38.32 ± 0.34 38.42 ± 0.23 40.77 ± 1.07

Gambar 28 Stomata daun tunas yang baru muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu yang berumur delapan minggu setelah perlakuan kolkisin (A) 0%), (B) 0.1%, (C) 0.2%, dan (D) 0.3%

Percobaan III. Induksi Tetraploid Embrio Somatik Jeruk Siam Simadu

Menggunakan Kolkisin secara In Vitro

Pola respon kematian embrio somatik jeruk terhadap berbagai konsentrasi kolkisin menghasilkan respon linear. Persamaaan respon kematian embrio somatik jeruk terhadap berbagai konsentrasi kolkisin yaitu y = 257.1x - 0.221, nilai LD50 diperoleh pada konsentrasi kolkisin sebesar 0.19%. Gambar 29 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kolkisin, maka semakin tinggi persentase embrio somatik jeruk yang mati.

28

Gambar 29 Kurva LD50 embrio somatik jeruk Siam Simadu satu bulan setelah perlakuan kolkisin

Perlakuan kolkisin mempengaruhi persentase planlet normal yang dihasilkan. Embrio somatik kontrol (kolkisin 0%) menghasilkan planlet normal yang lebih banyak dibandingkan dengan embrio somatik yang diberikan perlakuan kolkisin (Tabel 10). Semakin tinggi konsentrasi kolkisin maka semakin rendah planlet normal yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal akibat perlakuan kolkisin sehingga dapat meningkatkan planlet abnormal. Zeng et al. (2006) efek samping dari penggunaan kolkisin menyebabkan pertumbuhan dan morfologi yang abnormal. Gambar 30 merupakan gambar planlet normal dan abnormal pada setiap perlakuan kolkisin.

Tabel 10 Persentase planlet normal dan abnormal yang dihasilkan setelah perlakuan kolkisin

Konsentrasi kolkisin (%) Planlet normal (%) Planlet abnormal (%)

0 100 (25/25) 0

0.1 80 (16/20) 20 (4/20)

0.2 50 (5/10) 50 (5/10)

0.3 28 (2/7) 72 (5/7)

Keterangan : Jumlah planlet normal atau abnormal/jumlah keseluruhan planlet

Berdasarkan analisis kromosom (Gambar 31), planlet tetraploid hanya dihasilkan pada perlakuan kolkisin 0.2% dan 0.3%, sedangkan perlakuan kolkisin 0.1% tidak (Tabel 11). Hal ini diduga karena perlakuan kolkisin 0.1% belum mampu untuk menghambat pembentukan benang-benang spindle akibat konsentrasi yang rendah. Pelakuan kolkisin 0.3% menghasilkan jumlah planlet tetraploid yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan kolkisin 0.2% (Tabel 11). Hal ini diduga karena perlakuan kolkisin 0.3% menyebabkan kematian embrio yang cukup tinggi. Planlet tetraploid yang dihasilkan cukup solid karena berdasarkan perhitungan jumlah kromosom, standar deviasi yang dihasilkan kecil sehingga jumlah kromosom pada sel tetraploid berkisar antara 34-36 kromosom (Tabel 12).

29

Gambar 30 Planlet normal dari perlakuan kolkisin (A) 0%, (B) 0.1%, (C) 0.2%, (D) 0.3% dan planlet abnormal dari perlakuan kolkisin (E) 0.1%, (F) 0.2%, (G) 0.3%

Tabel 11 Persentase planlet diploid dan tetraploid yang dihasilkan setelah perlakuan kolkisin

Konsentrasi kolkisin (%) Persentase planlet yang dihasilkan

Diploid Tetraploid

0 100%(25/25) -

0.1 100%(20/20) -

0.2 80%(8/10) 20%(2/10)

0.3 86%(6/7) 14%(1/7)

Keterangan : Jumlah planlet diploid atau tetraploid/jumlah keseluruhan planlet Tabel 12 Jumlah kromosom planlet diploid dan tetraploid

Planlet Jumlah kromosom

Diploid 17.33 ± 0.58

Tetraploid 35.00 ± 1.00

Gambar 31 Sel diploid 2n=2x=18 (atas) dan sel tetraploid 2n=4x=36 (bawah) planlet jeruk Siam Simadu

30

Perbandingan antara Induksi Tetraploid Tunas Pucuk, Tunas Samping, dan Embrio Somatik Jeruk Siam Simadu Menggunakan Kolkisin

secara In Vitro

Induksi tetraploid jeruk Siam Simadu lebih baik menggunakan eksplan embrio somatik fase globular daripada tunas pucuk dan tunas samping karena embrio somatik fase globular memiliki jumlah sel yang lebih sedikit dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping sehingga munculnya kimera dapat berkurang. Embrio somatik dapat secara langsung menghasilkan akar dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping yang harus melalui tahap induksi akar terlebih dahulu karena embrio somatik berbentuk bipolar yaitu mempunyai calon meristem yaitu akar dan meristem tunas (Husni et al. 2010). Induksi tetraploid tunas pucuk dan tunas samping sampai saat ini belum dapat menginduksi akar, walaupun telah ditanam pada media yang ditambahkan auksin sehingga tidak dapat dilakukan analisis kromosom. Induksi tetraploid embrio somatik memerlukan waktu perendaman yang lebih cepat dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping karena embrio somatik memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping.

Pembahasan Umum

Induksi tetraploid menggunakan kolkisin dapat menurunkan pertumbuhan tunas jeruk Siam Simadu. Semakin tinggi konsentrasi kolkisin yang diberikan maka pertambahan tinggi, jumlah daun, jumlah buku, panjang daun dan lebar daun tunas juga semakin sedikit sehingga ukuran tanaman menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman kontrol. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu pada beberapa tanaman rentan terhadap perlakuan kolkisin yang menyebabkan penurunan pertumbuhan pada tanaman Gossypium arboretum L (Rauf et al. 2006), Plantanus acerifolia (Liu et al. 2007), dragonhead (Omidbaigi et al. 2010a), dan Pelargonium x hortorum (Jadrna et al. 2010).

Terhambatnya pertumbuhan tunas diduga karena proses pembelahan sel yang abnormal akibat pengaruh kolkisin. Damayanti dan Mariska (2003) menyebutkan pemberian kolkisin dapat mengakibatkan penundaan pertumbuhan akibat jaringan yang rusak dan memerlukan waktu lama untuk tumbuh. Menurut Suryo (2007) pembelahan sel menjadi lambat disebabkan jumlah kromosom yang mengganda.

Salah satu ciri fisik tunas poliploid yang umum adalah meningkatnya ukuran sel sehingga mengakibatkan daun menjadi lebih tebal (Griffith et al. 1999). Daun tunas pucuk yang diberikan perlakuan kolkisin lebih tebal dibandingkan dengan daun tunas pucuk kontrol. Semakin tinggi konsentrasi kolkisin, semakin tebal juga daun yang dihasilkan. Hasil penelitian Omidbaigi et al. (2010) pada Ocimum basilicum L. menunjukkan bahwa tanaman tetraploid memiliki daun yang lebih tebal dibandingkan dengan tanaman diploid.

31 Identifikasi tingkat ploidi dapat dilakukan dengan analisis stomata. Teknik ini cepat, murah, tidak merusak, tidak memerlukan peralatan yang canggih, dan memiliki akurasi yang cukup tinggi hingga 90% (Ascough et al. 2008). Menurut Rego et al. (2011), metode penghitungan jumlah kloroplas dalam sel penjaga adalah cara yang efektif dan cepat untuk menentukan tingkat ploidi. Jumlah kloroplas dalam sel penjaga dapat mengidentifikasi tanaman diploid dan tetraploid. Gu et al. (2005) dan Yu et al. (2009) juga telah meneliti tingkat ploidi berdasarkan jumlah kloroplas.

Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin 0.1% memiliki jumlah kloroplas dua kali lebih banyak daripada jumlah kloroplas tunas kontrol (diploid) sehingga dapat diduga bahwa tunas yang diberikan perlakuan kolkisin 0.1% merupakan tunas tetraploid jeruk Siam Simadu. Penelitian Rego et al. (2011) pada tanaman Passiflora edulis Sims. memberikan hasil yang sama, daun tetraploid memiliki jumlah kloroplas dua kali lebih banyak dari daun diploid.

Lozykowska (2003) menyatakan bahwa ukuran stomata berhubungan dengan jumlah kloroplas pada sel penjaga. Peningkatan jumlah kloroplas pada sel penjaga mengakibatkan ukuran stomata menjadi lebih besar. Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dibandingkan dengan tunas kontrol karena tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki jumlah kloroplas yang lebih banyak. Tunas perlakuan kolkisin 0.1% memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar daripada tunas kontrol. Hasil penelitian Tang et al. (2011), tanaman diploid memiliki ukuran stomata yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman tetraploid turunannya.

Ukuran stomata yang semakin besar mengakibatkan kerapatan stomata menjadi semakin rendah. Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki kerapatan stomata lebih rendah dibandingkan dengan tunas kontrol karena tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki ukuran stomata yang lebih besar. Tunas perlakuan kolkisin 0.1% memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah daripada tunas kontrol. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Rego et al. (2011) pada tanaman Passiflora edulis Sims., daun tetraploid memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan dengan daun diploid.

Induksi tetraploid menggunakan kolkisin dapat menurunkan rata-rata jumlah tunas baru yang muncul dari tunas samping jeruk Siam Simadu. Hal ini disebabkan karena kolkisin yang bersifat racun sehingga mengakibatkan penundaan regenerasi dan induksi tunas. Penelitian Nilanthi et al. (2009) pada tanaman Echinacea purpurea L. memberikan hasil yang sama, semakin tinggi konsentrasi kolkisin yang diberikan maka jumlah tunas yang dihasilkan semakin sedikit.

Semakin tinggi konsentrasi kolkisin yang diberikan maka tunas baru yang muncul dari tunas samping akan semakin tinggi dan memiliki daun yang lebih lebar. Hal ini diduga karena tunas yang baru muncul telah mengalami penggandaan kromosom sehingga jumlah set kromosom (ploidi) meningkat. Peningkatan jumlah set kromosom dapat meningkatkan ukuran tanaman. Penelitian Gmitter et al. (1991) pada tanaman jeruk Orlando Tangelo memberikan hasil yang sama, tanaman tetraploid memiliki ukuran

32

yang lebih tinggi dan daun yang lebih lebar dibandingkan dengan tanaman diploid.

Daun dari tunas yang diberikan perlakuan kolkisin lebih tebal dibandingkan dengan daun tunas kontrol. Semakin tinggi konsentrasi kolkisin, semakin tebal juga daun yang dihasilkan. Hasil penelitian Chen et al. (2010) pada Anthurium andraeanum menunjukkan bahwa tanaman tetraploid memiliki daun yang lebih tebal dibandingkan dengan tanaman diploid.

Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki jumlah kloroplas lebih banyak daripada jumlah kloroplas tunas kontrol sehingga dapat diduga bahwa tunas yang diberikan perlakuan kolkisin telah mengalami penggandaan kromosom. Penelitian Ye et al. (2010) pada tanaman Lagerstroemia indica L. memberikan hasil yang sama, tanaman hasil perlakuan kolkisin memiliki jumlah kloroplas yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman diploid.

Tunas yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dan kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan dengan tunas kontrol. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Ye et al. (2010) pada tanaman Lagerstroemia indica L. tanaman yang diberikan perlakuan kolkisin memiliki ukuran stomata yang lebih besar dan kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman diploid.

Induksi akar pada tunas hasil induksi tetraploid dilakukan dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) golongan auksin yaitu IBA dan NAA. Penambahan IBA 3 ppm dapat menginduksi pertumbuhan akar tunas kontrol (kolkisin 0%) sedangkan tunas yang diberikan perlakuan kolkisin tidak. Tunas hasil induksi tetraploid diinduksi akar kembali menggunakan media yang ditambahkan NAA 3 ppm. Penambahan NAA 3 ppm belum mampu untuk menginduksi akar tunas yang diberikan perlakuan kolkisin sehingga analisis tingkat ploidi tidak dapat dilakukan dengan cara menghitung kromosom karena tunas belum memiliki akar.

Perlakuan kolkisin mempengaruhi persentase planlet normal yang dihasilkan dari embrio somatik. Embrio somatik kontrol (kolkisin 0%) menghasilkan planlet normal yang lebih banyak dibandingkan dengan embrio somatik yang diberikan perlakuan kolkisin. Semakin tinggi konsentrasi kolkisin maka semakin rendah planlet normal yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh pembelahan sel yang abnormal akibat perlakuan kolkisin sehingga dapat meningkatkan planlet abnormal. Zeng et al. (2006) efek samping dari penggunaan kolkisin menyebabkan pertumbuhan dan morfologi yang abnormal.

Berdasarkan analisis kromosom, planlet tetraploid hanya dihasilkan pada perlakuan kolkisin 0.2% dan 0.3%, sedangkan perlakuan kolkisin 0.1% tidak. Hal ini diduga karena perlakuan kolkisin 0.1% belum mampu untuk menghambat pembentukan benang-benang spindle akibat konsentrasi yang rendah. Pelakuan kolkisin 0.3% menghasilkan jumlah planlet tetraploid yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan kolkisin 0.2%. Hal ini diduga karena perlakuan kolkisin 0.3% menyebabkan kematian embrio yang cukup tinggi.

33 Induksi tetraploid jeruk Siam Simadu lebih baik menggunakan eksplan embrio somatik fase globular daripada tunas pucuk dan tunas samping karena embrio somatik fase globular memiliki jumlah sel yang lebih sedikit dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping sehingga munculnya kimera dapat berkurang. Embrio somatik dapat secara langsung menghasilkan akar dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping yang harus melalui tahap induksi akar terlebih dahulu karena embrio somatik berbentuk bipolar yaitu mempunyai calon meristem yaitu akar dan meristem tunas (Husni et al. 2010). Induksi tetraploid tunas pucuk dan tunas samping sampai saat ini belum dapat menginduksi akar, walaupun telah ditanam pada media yang ditambahkan auksin sehingga tidak dapat dilakukan analisis kromosom. Induksi tetraploid embrio somatik memerlukan waktu perendaman yang lebih cepat dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping karena embrio somatik memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan tunas pucuk dan tunas samping.

5 SIMPULAN

Simpulan

Planlet tetraploid jeruk Siam Simadu diperoleh pada perlakuan kolkisin 0.2% dan 0.3% dengan menggunakan eksplan embrio somatik fase globular. Persentase planlet tetraploid tertinggi diperoleh pada perlakuan kolkisin 0.2%.

Dokumen terkait