• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEBARAN AGAMA KRISTEN DI TANAH BATAK

3.4. Tokoh-tokoh Misionir Penting di Tanah Batak

3.4.1. Dr. Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1918)

Penulis mengutarakan Nommensen dalam tulisan ini adalah dengan banyaknya titik perhatian yang dilakukan para peneliti sebelumnya tentang pekerjaannya di tanah Batak. Dalam buku yang ditulis para sejarahwan gereja pribumi maupun dari Barat tentang masuknya ajaran agama Kristen di tanah Batak, selalu menonjolkan sejarah pekerjaan Nommensen. Ia ditulis sebagai pendeta, sebagai Ephorus42

Dia mempresentasikan pelayanannya di bagian Utara, Tanah Batak. Dimulai pada tahun 1862, setiba dia di Barus pesisir barat Sumatera untuk mempelajari bahasa dan karakter orang Batak selama dua tahun. Nommensen meminta izin dari penguasa Belanda untuk dapat masuk ke pedalaman Silindung di tanah Batak.

, sebagai tabib dan sebagi juru damai. Kesuksesan pengembangan agama Kristen di tanah Batak diberikan kepadanya, walau bukan dia satu-satunya yang mengawali ajaran agama Kristen di tanah Batak. (lihat Simanjuntak, B.A, 2006:51)

Berbagai tantangan dihadapi dalam mengkristenkan orang Batak yang dijumpainya. Gaya hidup mengisolasi diri orang-orang Batak menjadi hambatan sulit dalam melakukan inisiasi baptisan baru bagi yang sudah masuk Kristen. Pertentangan pendapat, apakah masih ada Tuhan lain yang dibawa Nommensen selain tuhan yang

42

Pemakaian nama Ephorus pada pemimpin tertinggi gereja-gereja Batak pada mulanya bercampur dengan istilah Praeses yang bermakna sebagai pemimpin gereja. Praeses mengepalai gereja-gereja untuk tingkat distrik atau daerah. Ephorus bersama dengan praeses sebagai kepala distrik disebut dengan Ephorat. Pada akhirnya, kata Ephorus ini dipakai secara permanen sesudah gereja Batak mandiri. Tidak semua gereja Batak memakai istilah ini, ada juga dengan istilah Bishop, Ketua Moderamen, PucukPimpinan atau PimpinanPusat.

dikenal orang Batak animis, selalu muncul. Namun, dia menyakinkan bahwa kedatangannya bukanlah sebagai raja yang baru, melainkan seorang guru yang mengajak mereka menjadi pemeluk agama baru, dan menekankan bahwa yang bergabung dengan Kristen tidak perlu mengubah dan meninggalkan kebudayaan mereka yang lama dan tetap menghargai kepemimpinan harajaon mereka.

Sikap pertentangan dan ketertutupan orang-orang Batak yang dihadapi penginjil Nomensen tampak saat dia mencari tahu kebenaran berita dan duduk perkara matinya (martir) kedua missionaris Munson dan Lyman pada tanggal 28 Juli 1834. (Sihombing, 1961 dalam Simanjuntak B.A, 2006: 48). Perlu memakan waktu lama bagi Nommensen meyakinkan orang-orang di sekitar kampung si Sangkak Lobu Pining tempat martirnya kedua penginjil itu, kedatangannya bukanlah untuk memberi hukum atas kejadian itu.

Dengan pendekatan adat Batak dia menerima informasi bahwa orang yang terlibat langsung dengan kejadian itu masih hidup, yakni Raja Panggalamei dengan gelar Raja Pintubosi. Nommensen langsung bertemu dengan Raja Pintubosi tersebut tepatnya tanggal 30 Juli 1864 Nommensen mendapat jawaban atas kejadian 30 tahun sebelumnya, bahwa terbunuhnya dua pendeta Munson dan Lyman adalah akibat dari tidak terdapatnya komunikasi diantara dua pihak. Para Raja-raja Silindung saat itu membuat kesepakatan: bahwa tidak seorang pun sibontar mata boleh menginjakkan

kakinya di Silindung, karena sebelumnya ada dua pendeta Inggris, yakni Tuan Burton dan Tuan Ward yang datang ke Rura Silindung memberitakan Injil dengan tidak memahami bahasa Batak yang sebenarnya, sehingga orang-orang Batak yang ada di

Silindung memberi pengertian yang salah terhadap maksud dan tujuan penginjilan kekristenan itu. Kedua penginjil Munson dan Lyman dibunuh dengan tombak, harta mereka dirampas dan daging mereka dimakan, meskipun kedua penginjil itu membawa senjata bedil, namun tidak diperuntukkan untuk manusia hanya menjaga diri dari binatang buas. Senjata bedil itu dilihat dan ditemukan Nommensen di rumah Raja Panggalamei di si Sangkak Lobu Pining (Kecamatan Adian Koting sekarang).

Pendekatan pada tahapan berikutnya, dilakukan Nommensen terhadap raja-raja Batak di Silindung, adalah membuat kata sepakat tidak akan terjadi lagi permusuhan dan peperangan antar mereka. 15 (limabelas) Raja menyepakati perjanjian itu dengan catatan barang siapa yang melanggar peraturan itu, raja-raja lain akan memerangi pengingkar janji tersebut. Selanjutnya, Nommensen merasa terlindungi dengan keterlibatan para raja-raja Batak itu dalam memberi keputusan-keputusan penting yang berakibat bagi perkembangan kekristenan di tanah Batak.

Dari hal itu tampak, bahwa para missionaris harus memberikan kepercayaan penuh kepada orang-orang yang mendapat pengaruh di masyarakat sekitar. Ini merupakan prasyarat kesuksesan penginjilan mereka bila ingin mendapat dukungan dari para raja-raja Batak, karena para raja memiliki kemerdekaan politis yang berpengaruh pada tatanan adat lokal dan tetap dipakai dalam memimpin hukum adat.

Perangkat kebudayaan yang dipergunakan oleh Nommensen dalam meberi pendekatan (sebagian), yakni dengan mengadaptasi perangkat upacara adat ke dalam ibadah di gereja. Hal itu tampak dengan membunyikan ogung (gong Batak) sebagai

gereja. Konsep ini dianggap oleh orang-orang Batak animis sebagai pekerjaan gila karena ogung dipakai sebagai media penghormatan kepada begu (roh-roh leluhur)

menjadi dipakai sebagai media pelayanan kekristenan di gereja.

Pengkristenan yang dilakukan oleh Nommensen tidak sebatas hanya memberitakan Injil, lebih jauh didukung pula dengan keterlibatannya dalam memajukan pendidikan orang-orang Batak. Setelah empat tahun pelayanannya di tanah Batak tepatnya pada tahun 1868 Nommensen mendirikan gereja-gereja beserta sekolah (pargodungan), dan telah membaptis orang-orang Batak dengan pendidikan

dapat membaca Alkitab. Terdapat 27 orang dibaptis di huta Zoar; 116 orang di huta

Dame; 24 keluarga di Sigompulon; 9 keluarga di Pangaloan; 44 orang di Parausorat; 159 orang di Bunga Bondar dan 150 orang di Sipirok.

Metode pendekatan kepada raja-raja Batak adalah salah satu cara memenangkan daerah penginjilan. Sifat yang tidak mau kalah dan ingin lebih dihormati dari orang lain bagi orang Batak, turut menjadi salah satu faktor meluasnya gerakan kekristenan ini. Para missionaris tidak pernah menyudutkan dan mempertentangkan para raja-raja Batak, melainkan dengan mengajak mereka untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Seperti para Raja Batak berlomba-lomba sebagai yang pertama untuk mengundang makan para missionaris.

Pendekatan kebudayaan yang dilakukan misi Rheins ini, dengan tetap menggunakan pijakan umum yang berlaku dalam masyarakat yang diharapkan dapat meneruskan peranan mereka dalam ajaran baru setelah mereka memeluk agama Kristen. Sifat kolektif masyarakat Batak mendukung hal ini. Apabila seorang raja

yang menjadi panutan berafliasi kepada satu ajaran, pertobatannya menjadi seorang Kristen berimplikasi kepada orang-rang disekitarnya untuk mengikutinya. Pola ini dipakai oleh RMG di tanah Batak, melihat raja sebagai panutan Kristen, dengan

memberinya tanggungjawab dan disiplin ajaran Kristen bagi penganutnya. Mereka

(raja) diajak untuk mendiskusikan keputusan-keputusan penting. Dan ini sangat

dihargai oleh para raja-raja itu.

Hubungan para missionaris dengan pihak penguasa Belanda, mengambil peranan penting dalam menghargai para pengetua Batak. Misalnya, menghunjuk seseorang menjadi raja Jaihutan di sebuah kelompok masyarakat yang dianggap punya posisi tinggi. Pada masa sebelumnya, pihak kolonial dibawah Sir Stamford

Raffles memberi dukungan sepenuhnya terhadap penginjilan di Tapanuli setelah

upaya misi Kristen di Minangkabau dan Aceh tidak terwujud. Untuk menunjukkan kemauan pihak kolonial dalam misi ini, mereka memberi otoritas penuh kepada pihak zending yang memonopoli pelayanan di satu wilayah. Misalnya, kepercayaan itu diberikan kepada pihak RMG Sumatera Utara. Kerjasama itu nampak dari dukungan praktis Pemerintahan Belanda di Indonesia untuk memberi gaji guru-guru sekolah Kristen yang didirikan RMG di pargodungan gereja Batak, namun dipihak lain selain

peraturan Belanda satu pihak atas permintaan misi Rheins, untuk melarang penggunaan upacara pada ritus-ritus agama tradisional. Secara khusus, di daerah yang

wilayahnya di dominasi ajaran Kristen, terjadi pelarangan mengadakan upacara bius dan pemakaian gondang dalam upacara adat. 43

Pemerintahan Belanda dan misi Rhein Kongsi Barmen RMG di Sumatera adalah entitas yang berbeda. Misi RMG bukan berasal dari Belanda melainkan

Jerman (hingga pulangnya para missionaris zending ini ke Eropa, orang Batak tidak pernah memahami entitas yang berbeda ini – mereka lebih percaya pada sebutan

sababa do tuan), dan misi RMG Jerman tiba lebih awal di wilayah Tapanuli sebelum

Belanda masuk ke daerah Batak. Sehingga dalam beberapa hal pengaruh misi terkadang lebih kuat dibanding pihak kolonial.

Badan zending RMG (Rheinishe Mission Gesselschaft), mengakhiri

pelayanannya di tanah Batak selama kurun waktu 79 tahun yang berakhir pada masa Perang Dunia II. Perang itu, membuat seluruh penginjil RMG di seluruh dunia mengalami penderitaan. Termasuk para penginjil RMG di tanah Batak banyak yang ditangkap, di penjara dan diusir paksa keluar dari tanah Batak. Hingga pada tahun 1949, RMG memutuskan untuk menyerahkan segala asset dari hasil penginjilan mereka selama ini ke lembaga Gereja HKBP yang sudah berdiri sendiri.

Nommensen bekerja di tanah Batak selama 57 tahun sampai dia mengembuskan nafas pada 22 Mei 1918 saat ia berusia 84 tahun 3 bulan 17 hari, dan dikebumikan di komplek gereja HKBP Sigumpar Tobasa. Banyak orang Batak menganggap Nommensen sebagai Ompu (kakek) yaitu gelar Batak tertinggi orang

43

Batak. Rasul Batak (Apostel), gelar yang diberikan umat Kristen di tanah Batak.(ibid:

2006:51)

Gambar No. 5:

Dr. Theol. Ingwer Ludwig Nommensen

Sumber: Menyongsong 150 Tahun Jubileum HKBP