• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI

3.2 Inkulturasi Musik Liturgi

Makna musik liturgi menurut Konsili Vatikan II dapat dirumuskan dalam

tiga poin dimensi83:

3.2.1 Dimensi Liturgis

Musik liturgi adalah musik yang berbeda dari musik profan pada umumnya, karena fungsi dan tujuan musik ini dibuat untuk kepentingan ibadat liturgi. Tidak

mungkinlah musik dilepaskan dari konteksnya84. Musik ini menjadi tradisi Gereja

yang tidak ternilai harganya, dan lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya. Keterikatan antara nyanyian dan syairnya membuat musik ini menjadi bagian yang meriah yang penting atau integral. Musik bukanlah sekadar hiasan,

tetapi liturgi itu sendiri85. Karena menjadi bagian yang integral, pilihan nyanyian

ibadat harus bisa dipertanggungjawabkan.

83

Pembagian makna musik liturgi ke dalam tiga dimensi ini dibuat berdasarkan penjelasan yang ada pada E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195-197. 84

Karl-Edmund Prier, SJ., Pedoman untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 9.

85

Bdk. SC 112; E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195; lihat pula komentar Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1988, 3-4. Dibedakan antara nyanyian liturgi sebagai pengiring dan nyanyian sebagai liturgi itu sendiri. Nyanyian liturgi sebagai pengiring adalah nyanyian-nyanyian yang menyertai ritus tertentu, seperti perarakan imam dan para petugas liturgi menuju altar, iringan persiapan persembahan, dan iringan imam dan para petugas liturgi yang menuju ke sakristi. Nyanyian pengiring ini disebut proprium. Sedangkan, nyanyian sebagai bagian dari liturgi itu sendiri adalah bagian tertentu dari liturgi yang memang perlu dibawakan dengan cara dinyanyikan, seperti Kyrie, Gloria, mazmur tanggapan, bait pengantar Injil, prefasi, Sanctus dan Agnus Dei. Nyanyian sebagai bagian liturgi ini disebut ordinarium.

Musik liturgi menjadi musik khusus yang digunakan upacara-upacara

liturgi. Melaluinya, umat beriman dapat “mengungkapkan doa-doa secara lebih

mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya

upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni membantu

manusia untuk mengungkapkan dirinya secara lebih mendalam dalam ungkapan doa, iman dan rasa syukur pada Allah di dalam liturgi.

Berbeda dengan musik profan, musik liturgi memiliki tujuan untuk

“kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman” (SC 112). Dua hal ini

merupakan relasi vertikal-dialogis antara manusia dengan Allah: katabatis dan

anabatis86. Segi katabatis adalah gerakan turun dari Allah kepada manusia. Allah

menawarkan diri agar manusia memperoleh keselamatan. Ini merupakan pengudusan yang dilakukan Allah pada manusia. Sedangkan, segi anabatis adalah gerakan naik dari manusia kepada Allah. Manusia menganggapi tawaran Allah

tersebut dengan menyembah dan memuliakan Allah87.

Konsili membuka kesempatan agar kesenian-kesenian sejati dapat masuk ke dalam ibadat. Kriteria utamanya adalah kesesuaian dengan tujuan musik liturgi,

yaitu demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman. Karenanya,

diandaikan adanya proses pemilihan dan pemilahan antara kesenian yang sejati

dan tidak sejati88. Kriteria utama musik liturgi dalam dimensi ini adalah

bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi,

86

E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 119. 87

E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 120. 88

yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama89. Seni membantu manusia untuk masuk ke dalam misteri, untuk menemukan Allah yang tersembunyi.

3.2.2 Dimensi Ekklesiologis

Musik memiliki dimensi ekklesiologis, artinya musik liturgi dimaksudkan untuk mengungkapkan peran serta umat secara aktif. Konstitusi Liturgi

mengungkapkan bahwa perayaan liturgi hendaknya memungkinkan “semua orang

beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif” (SC

14). Musik memiliki peran penting dalam membantu memasuki misteri iman dan

menangkap sabda Tuhan dan karunia sakramen yang sedang dirayakan90.

Kesesuaian antara musik liturgi dengan tema liturgi dan tempat dilaksanakannya liturgi tersebut, dapat semakin membantu umat. Bentuk musik, lagu dan alat-alat musik juga perlu disesuaikan dengan keanggunan gedung gereja (bdk. LRI 40). Arsitektur gedung gereja juga menentukan sesuai tidaknya suatu alat musik digunakan. Orgel pipa pada umumnya dipasang bersamaan dengan dibangunnya gedung gereja. Besarnya gedung menentukan pula orgel yang akan dipasang di dalamnya. Karena hal inilah, masing-masing gereja memiliki suara orgel yang khas. Demikian pula arsitektur gedung gereja dari kebudayaan lain. Gedung gereja berarsitektur joglo sebagai bangunan khas masyarakat Jawa, sesuai

89

E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 195. 90

dengan instrumen gamelan yang digunakan di dalamnya. Kesesuaian antara arsitektur, alat musik dan liturgi, dapat membantu umat untuk menghayati perayaan Liturgi secara lebih baik.

Musik memang dapat membuat liturgi menjadi semakin semarak (bdk. SC 112). Tetapi, kemeriahan liturgi tidak tergantung dari indahnya nyanyian atau bagusnya upacara. Kemeriahan yang sejati ada pada makna perayaan atau ibadat itu sendiri, dengan memperhitungkan keterpaduan perayaan liturgi tersebut serta pelaksanaan bagian-bagian sesuai dengan ciri khasnya. Musik liturgi yang indah memang diharapkan ada, namun ukuran ini tidaklah mutlak, karena tergantung dari ketersediaan tenaga-tenaga yang dapat menjalankan tugasnya secara baik (bdk. MS 11). Pemazmur, solis, dan kor yang terlatih dan dapat bernyanyi dengan baik memang didambakan untuk memeriahkan suatu perayaan liturgi. Jika memang nyanyiannya terlalu sulit dan tidak tersedia tenaga-tenaga yang dapat menyanyikannya secara tepat, petugas tersebut bisa membawakannya tanpa menyanyi, yaitu dengan mendaraskannya dengan suara yang lantang dan jelas. Tapi hal ini tidak bisa dilakukan hanya demi mudahnya saja (bdk. MS 9).

Para pengiring, yaitu organis dan pemain alat musik lain, perlu memiliki disposisi batin yang baik saat mengiringi ibadat liturgi. Mereka hendaknya mengikuti ibadat liturgi dengan penuh kesadaran. Dengan begitu, mereka dapat memainkan alat musik tersebut dengan sebagaimana mestinya (MS 67). Bermusik di dalam liturgi adalah bermusik dalam konteks berdoa. Saat para pemain musik dapat menghayati musiknya sebagai doa, ia pun dapat membantu umat yang hadir

untuk berdoa. Peran sertanya sebagai petugas liturgi menuntutnya untuk bersikap serius dan khidmat dalam mengiringi.

Peran serta aktif para petugas liturgi dan umat akan semakin meriah jika dilakukan dengan bahasa setempat (bdk. SC 36 dan 113). Musik liturgi pun akan semakin mengena pada hati umat jika menggunakan bahasa yang diketahui umat setempat. Penggunaan bahasa Latin memang tetap dipertahankan, namun penggunaan bahasa pribumi pun dapat menjadi sangat bermanfaat bagi umat (bdk. SC 36 [1] dan [2]). Inkulturasi dalam tahap terjemahan minimal telah membantu umat untuk mengerti apa yang mereka ungkapkan.

Gereja menghargai tradisi musik orang-orang di tanah misi, baik yang sudah menjadi musik ibadat maupun yang belum. Tradisi tersebut diletakkan sewajarnya di dalam liturgi. Gereja juga masih berhati-hati dengan penyesuaian yang dilakukan, sebagai antisipasi dari penyesuaian yang bersifat serampangan. Kriteria penghargaannya adalah musik yang berperan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat (SC 119). Gereja tidak ingin mengambil begitu saja musik dari budaya setempat, tetapi musik setempat dimajukan dalam ibadat dengan melalui

proses pengolahan terlebih dahulu91.

Kriteria musik liturgi di sini adalah bagaimana musik memungkinkan umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Musik yang sesuai dengan citarasa setempat akan semakin mendorong umat untuk

berpartisipasi92.

91

Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 10. 92

3.2.3 Dimensi Kristologis

Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair dan lagunya. Isi syair dapat membantu umat untuk memperdalam misteri iman

yang sedang dirayakan di dalam liturgi93. Syair yang dibuat harus sesuai dengan

ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi (bdk. SC 121). Melalui lagu, umat dapat terbantu untuk berkontemplasi dan merenung pada misteri iman yang dirayakan. Lagu yang sesuai dengan jiwa perayaan liturgi akan menciptakan suasana yang mendukung untuk doa dan perjumpaan umat dengan Allah94.

Para pencipta lagu perlu memiliki kesadaran untuk mengembangkan musik Gereja. Mereka memiliki tanggung jawab untuk semakin memperkaya khazanah musik Gereja, entah dengan menciptakan musik vokal maupun instrumental, yang tetap disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Syaratnya, syair-syair lagu tersebut harus selaras dengan ajaran Katolik dan ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber Liturgi (bdk. SC 121), serta memiliki mutu sastra yang indah (bdk. LRI 40). Yang dinyanyikan pertama-tama adalah teks liturgi, sehingga suara umat dapat didengar dalam tindakan liturgi yang mereka lakukan (bdk. LRI 48).

Bahasa menjadi elemen penting yang secara jelas menunjukkan penyesuaian yang terjadi. Bahasa yang merupakan sarana komunikasi di antara umat,

“digunakan untuk mewartakan kabar gembira keselamatan kepada orang-orang

93

E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 196. 94

beriman dan untuk menyatakan doa Gereja kepada Tuhan” (LRI 39). Penyesuaian yang perlu diperhitungkan antara bahasa pribumi dengan lagu-lagu baru. Kekhasan bahasa pribumi tidak boleh diabaikan, dan aturan-aturan musik ibadat tetap harus dijalankan (bdk. MS 54).

Kesulitan yang dapat muncul dalam inkulturasi adalah kurang diperhatikannya keindahan dalam permainan kata pada bahasa daerah dalam lagu

baru pada versi Indonesia95. Bahasa daerah memiliki nuansa gaya sastra dan

istilah-istilah yang khas menggambarkan diri masyarakatnya. Pada lagu-lagu terjemahan, hilangnya suasana ini lebih terasa. Perlu juga diperhatikan mengenai unsur-unsur bahasa mana yang layak dimasukkan ke dalam perayaan liturgi (LRI 39).

Setelah Konsili Vatikan II dilaksanakan, perkembangan khazanah musik liturgi menjadi semakin pesat. Dinamika liturgi yang baru ternyata menghasilkan

ciptaan-ciptaan musik liturgi yang baru96; di sisi lain, perayaan liturgi berubah

secara musikal karena musik yang berbeda atau baru97. Tradisi musik ibadat

selama 2.000 tahun tetap layak untuk dilanjutkan pada zaman sekarang98.

Muncul ribuan karya yang menggunakan syair dari proprium, dengan lebih sedikit karya yang menggunakan syair ordinarium. Jumlah ini semakin bertambah bukan hanya karena banyaknya bahasa yang digunakan, tetapi juga karena banyaknya kelompok di dalam jemaat. Hasilnya adalah melimpahnya jumlah

95

Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 52.

96 Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, Concilium 132, 106; lihat pula Karl-Edmund Prier SJ., Konstitusi Liturgi Bab VI: Tentang Musik Ibadat, 12.

97Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, 106. 98

karya-karya di seluruh dunia. Karya-karya tersebut sulit untuk dikenali dan

dipertukarkan satu sama lain, tidak seperti Ordinarium Latin pada zaman dahulu99.

Dalam konteks Indonesia yang memiliki 1.128 suku bangsa100 dan 746

bahasa daerah101, keanekaragaman dapat menjadi potensi inkulturasi musik liturgi

yang sangat subur. Para pemusik daerah setempat perlu disadarkan dan menyadari, bahwa mereka memiliki potensi besar untuk mengembangkan musik liturgi setempat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki budaya tersebut dan mengetahui seluk beluk dan filosofi hidupnya. Yang menjadi pencipta musik terkadang bukanlah para ahli musik yang terbiasa mencipta dan mengolah musik,

tetapi mereka dapat pula datang dari kalangan petani, guru dan katekis102. Mereka

memiliki kemampuan untuk menyusun lagu yang puitis, menciptakan lagu baru, menghafalkan lagu-lagu daerah yang dapat digunakan sebagai contoh lagu baru,

dan mengiringi lagu dengan alat sederhana103.

Ciri khas musik tradisional ini tidak bisa diabaikan dan begitu saja diukur baik-buruknya menggunakan teori musik Barat. Sebaliknya, keunikan musik daerah dan kemampuan para musisi setempat dalam menciptakan lagu baru untuk kepentingan liturgi, semakin memperkaya khazanah musik Gereja. Kriteria musik liturgi di sini bukan pada popularitas lagu di tengah umat, tetapi pada adanya

99Bernard Huijbers, “Liturgical Music after the Second Vatican Council”, 102.

100Fitri Diana Wuryanti, “Implementasi Konvensi Diskriminasi Rasial”, 2013, Diakses dari

http://www.ham.go.id/download.php%3Fid%3D732208%26mod%3D3%2Bjumlah+suku+bangsa +di+indonesia&hl=en&tbo=d&biw=1346&bih=618&gbv=1&sei=_I8dUZbTCcW4rAeB3oHgCA &ct=clnk. (15 Februari 2013).

101Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, “10 Persen Bahasa Dunia Ada di Indonesia”, 2013, Diunduh dari http://www.menkokesra.go.id/content/10-persen-bahasa-dunia-ada-di-indonesia. (15 Februari 2013).

102

Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 49. 103

kecocokan antara musik dengan jiwa dan misteri iman akan Kristus yang

dirayakan di dalam liturgi104.

3.3 Rangkuman

Giancarlo Collet mendefinikan inkulturasi sebagai

proses ketika Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosial, politik, religius dan kultural tertentu sedemikian rupa, sehingga Injil tersebut tidak hanya terungkap dalam unsur-unsur situasinya saja, tetapi juga menjadi kekuatan yang menginspirasi, membentuk dan mengubah situasi tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja

universal105.

Inkulturasi tidak hanya terbatas pada bidang liturgi saja, tetapi pada keseluruhan segi hidup manusia.

Dalam perspektif teologi penciptaan, karya keselamatan melalui penebusan merupakan rencana Allah sejak awal. Allah Tritunggal menciptakan segalanya itu sungguh amat baik (Kej 1:31). Alam ciptaan ini berpotensi untuk ditebus sampai ke unsur-unsur jasmani, karena alam ini diciptakan sendiri dengan tangan-Nya.

Teologi inkulturasi berdasar pula pada misteri perutusan trinitaris. Misteri perutusan trinitaris ini adalah perutusan Putra oleh Bapa di dalam Roh Kudus (inkarnasi), sekaligus perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra (pentekosta). Kedua perutusan ini, perutusan Putra dan perutusan Roh Kudus, tidak bisa dipisahkan karena mengalir dari satu sumber, yaitu Allah Bapa, dan melayani

104

E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 197.

105

Giancarlo Collet seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier, SJ., Inkulturasi Musik Liturgi, 8; lihat pula E. Martasudjita, Pr., Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 266.

rencana keselamatan Bapa yang terlaksana melalui Putera-Nya dengan sengsara,

wafat dan kebangkitan-Nya, dalam Roh Kudus di dalam rentang sejarah (paskah).

Berkat penebusan Yesus Kristus, Adam kedua, penciptaan diperbarui, diperbaiki dan disusun kembali.

Inkulturasi musik liturgi menurut Konsili Vatikan II dapat dibagi dalam tiga dimensi, yaitu dimensi liturgi, dimensi ekklesiologis dan dimensi kristologis. Pertama, dimensi liturgi. Kriteria musik liturgi menurut dimensi ini adalah bagaimana suatu musik atau nyanyian dapat membantu umat dalam berliturgi,

yaitu berjumpa dengan Allah dan sesama. Kedua, dimensi ekklesiologis.

Kriterianya adalah bagaimana musik memungkinkan umat untuk berpartisipasi

secara penuh, sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Ketiga, dimensi kristologis.

Kriterianya adalah bagaimana Misteri Kristus dapat semakin diperjelas dengan musik liturgi melalui syair dan lagunya.

BAB IV

SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG

DALAM INKULTURASI MUSIK LITURGI

Gereja telah membuka diri untuk adanya inkulturasi musik liturgi. Aturan-aturan pun sudah dibuat demi terjaminnya usaha inkulturasi tersebut, agar tidak

menjauh dari tujuan musik liturgi, yaitu demi “kemuliaan Allah dan pengudusan

Umat beriman” (SC 112). Dengan musik pula, umat dapat “mengungkapkan

doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan

memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak” (SC 112). Seni

membantu manusia untuk mengungkapkan doa dan pujian secara lebih mendalam, serta menjadi jalan masuk Gereja untuk mewartakan Kabar Sukacita.

Pembicaraan mengenai inkulturasi tidak bisa dilepaskan dari dua sisi, yaitu isi iman dan bentuk pengungkapannya. Isi iman yang ingin disampaikan itu sama dan tidak berubah, sedangkan pengungkapannya itu dapat berubah-ubah sesuai dengan konteks budaya dan zaman yang dihadapi. Gamelan Jawa sebagai musik khas budaya Jawa, diangkat dan dijadikan sarana pengungkapan iman akan Misteri Paska. Isi yang ingin diungkapkan adalah pengalaman kasih Allah yang terwujud dalam karya keselamatan-Nya melalui diri Yesus Kristus di dalam Roh Kudus. Sedangkan, bentuk pengungkapannya adalah melalui gending-gending

Jawa yang secara khusus diciptakan untuk kepentingan liturgi Gereja. Menanggapi tawaran keselamatan dari Allah tersebut, manusia memuji dan menyembah Allah. Orang Jawa menyembah dan memuji Allah melalui gending Gereja.

Tangga nada pelog dan slendro memang digunakan di dalam liturgi Gereja. Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak. Seluruh gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata menggunakan tangga nada

pelog. Buku lagu Kula Sowan Gusti yang berisi lagu-lagu Gereja karangan C.

Hardjasoebrata pun seluruhnya bertangga nada pelog. Dari 547 lagu yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu bertangga nada pelog. Dengan begitu, 46,1% lagu di dalam Kidung Adi adalah lagu bertangga nada pelog. Lagu lainnya adalah lagu bertangga nada slendro (11,4%), Gregorian (3,7%), dan diatonis (38,8%). Bertolak dari fakta tersebut, penulis ingin melihat peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Pembahasan akan dibatasi pada musik vokal yang menggunakan tangga nada pelog. Proses inkulturasi ini akan ditinjau dari peran dan maknanya di dalam liturgi Gereja.