• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1.2 Insiden persalinan preterm

Angka kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap Negara. Di negara berkembang angka kejadiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Eropa,angkanya berkisar 5-11%, USA 11,9%, Australia sekitar 7%. Di India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Malaysia 10%, di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm nasional belum ada, namun angka kejadian BBLR dapat mencerminkan angka kejadian persalinan preterm secara kasar. Angka kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9% (Widjayanegara, 2009). Sedangkan angka kejadian persalinan preterm di beberapa Rumah Sakit pemerintah pada tahun-tahun terakhir menunjukkan persentasi yang bervariasi. Di RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar periode 1 Juli 2000 sampai 31 Juli 2003 dari 1171 persalinan didapatkan sebanyak 86 kasus persalinan preterm (7,3%) (Suhartini, 2004). Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2001 tercatat insiden persalinan preterm sebesar 6,7% (Santoso, 2002). Dan berdasarkan data persalinan yang tercatat di bagian SMF Obstetri Ginekologi RSU Sanglah Denpasar terdapat sebanyak 852 kasus persalinan preterm (9,12%) terhitung sejak tahun 2008 hingga bulan Oktober tahun 2011.

✞ ✟✠ ✟✡ ❑ ☛☞✌ ✍✎✍✏ ☞✌ ✍ Persalinan Preterm

Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)

10

Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan preterm spontan. Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan preterm yang didasari oleh faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan karena faktor infeksi (korioamnionitis).

Saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena ternyata setelah diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan preterm, maka sebagian besar penyebab persalinan preterm dapat digolongkan kedalamnya. Apabila faktor-faktor penyebab lain tidak ada sehingga penyebab persalinan preterm tidak dapat diterangkan, maka penyebab persalinan preterm ini disebut idiopatik.

2. Iatrogenik/Elektif

Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya (Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan janin, janin akan dipindahkan kedalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan/iatrogenik yang

disebut juga sebagai elective preterm. Sekitar 25% persalinan preterm

11

a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm adalah : - Preeklamsi berat dan eklamsi,

- Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solution plasenta), - Korioamnionitis,

- Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal yang berat. b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm adalah :

- Gawat janin, - Infeksi intrauterin,

- Pertumbuhan janin terhambat (IUGR), - Isoimunisasi Rhesus.

Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)

1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu.

2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32 minggu. 3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27

minggu.

2.1.4 ❋ ✑✒✓✔ ✕❘✖✗ ✖✒✔ Persalinan Preterm

Sangat disayangkan jika hingga kini, sulit untuk menentukan secara dini dan akurat seorang wanita hamil akan mengalami persalinan preterm. Bahkan sistim skoring yang meliputi : jumlah kehamilan, status sosial ekonomi, umur wanita saat hamil dan riwayat persalinan preterm/abortus, pernah dikembangkan

12

untuk menentukan wanita-wanita mana saja yang perlu mendapat pemantauan lebih intensif. Tapi kenyataanya sistem ini belum dapat menurunkan insiden persalinan preterm (Arias, 1993). Meskipun demikian ada beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan persalinan preterm yang dibagi dalam dua kriteria (Hole, 2001), yaitu:

1. Kriteria Mayor : a. Kehamilan ganda b. Hidramnion c. Anomali uterus

d. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu

e. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan TVS)

f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm i. Riwayat konisasi

j. Iritabilitas uterus

k. Penggunaan cocaine atau amfetamin 2. Kriteria Minor :

a. Penyakit-penyakit yang disertai demam

b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu c. Riwayat pielonefritis

13

d. Merokok lebih dari 10 batang per hari e. Riwayat abortus pada trimester II

f. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x

Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).

2.1.5 ✘ ✙✚ ✛✙✜ Persalinan Preterm

Persalinan preterm merupakan masalah serius di bidang obstetri. 70% kasus kematian perinatal/neonatal disebabkan oleh persalinan preterm (Hole dan Tressler, 2001). Di Amerika Serikat 54% kematian bayi preterm terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu. Berbagai usaha telah dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup bayi lahir prematur, terutama difokuskan bagi bayi yang lahir setelah 28 minggu, dimana angka kelangsungan hidup akan meningkat hingga 95% pada umur kehamilan 28 minggu (perempuan) dan 30 minggu (laki-laki) atau berat badan lahir diatas 1000 g (Cunningham dkk, 2010).

Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan imaturitas sistem organnnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir

sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress

syndrome(RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH), bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP)

14

(Iam,2002). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko

retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di

samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2003).

Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya. Karena adanya morbiditas jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas, maka akan dapat menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Selain itu perawatan bayi preterm juga membutuhkan tehnologi kedokrteran yang canggih dan mahal. Mengingat penyulit - penyulit yang bisa terjadi, tingginya biaya perawatan intensif bayi baru lahir dan pengelolaan penyulit jangka panjang pada bayi yang lahir preterm tersebut, tindakan pencegahan sebelum persalinan terjadi, akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat dan lebih menghemat biaya dibanding dengan apabila telah terjadi persalinan (Iam, 2003).

2.1.6 Mekanisme ❚ ✢✣✤✥ ✦✧★✩✥ Persalinan Preterm

Persalinan pada wanita melibatkan serangkaian peristiwa yang progresif

dimulai dengan aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) dan

peningkatan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) plasenta. Hal ini

15

akan mengaktivasi Contraction Assosiated Proteins (CAPs) termasuk reseptor

oksitosin, oksitosin dan prostaglandin. Peristiwa biologis ini akan menyebabkan pematangan serviks, kontraksi uterus, aktivasi desidua dan membrane janin serta pada kala dua persalinan akan meningkatkan oksitosin ibu. Terdapat suatu hipotesa tentang persalinan preterm dan aterm yang memiliki persamaan dan pada persalinan patologis bisa berlangsung bersama – sama dengan proses persiapan untuk persalinan fisiologis normal, terutama pada kehamilan di atas 32 minggu. Sebelum usia 32 minggu, dibutuhkan stimulus patologis yang lebih besar untuk memulai persalinan. Perbedaan mendasar antara persalinan spontan aterm dan

preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen pathway tersebut pada

persalinan aterm (physiologic activation), sedangkan pada persalinan preterm berasal dari proses patologis yang mengaktivasi salah satu atau beberapa komponen pathway tersebut (pathologic activation) (Romero, 2009).

Hingga saat ini pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa dijelaskan secara pasti. Berdasarkan studi epidemiologi dan patofisiologi, terdapat 4 mekanisme yang mengatur terjadinya persalinan preterm (Handono, 2009 ; Nesin, 2007 ; Esplin, 2005), yaitu :

1) Aktivasi dari poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) fetus maternal yang dicetuskan oleh stress.

Pada janin dapat sebagai respon dari keadaan intra uterine yang tidak bersahabat seperti aliran uteroplasenta tergangggu dan hipoksia. Stres pada

16

ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ pituitary janin dan produksi kortisol serta androgen oleh organ adrenal janin. Senyawa androgen pada janin kemudian diaromatisasi menjadi estrogen oleh plasenta. Hal ini akan menyebabkan rangkaian proses biologis yang mengarah pada jalur umum terjadinya proses persalinan,yang ditandai oleh terjadinya kontraksi uterus, pematangan serviks dan aktivasi desidua janin (Challis, dkk.,2000).

2) Inflamasi dan infeksi.

Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm termasuk infeksi intauterin (bertanggung jawab sampai 50% kelahiran preterm pada usia kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal, bakteriuria asimtomatik, dan periodontitis maternal. Produk-produk bakteri merangsang produksi sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin- sitokin ini, kemudian merangsang produksi prostaglandin oleh amnion dan desidua. Prostaglandin bekerja melalui reseptor spesifik. Prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor EP-1 dan EP-3,yang menyebabkan kontraksi miometrium melalui mekanisme peningkatan mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat produksi penghambat

cAMP intraseluler. Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang

menyebabkan kontaksi miometrium. Peningkatan prostaglandin pula dapat disebabkan oleh infeksi intraamniotik maupun defisiensi enzim korio-desidual yg memetabolisme prostaglandin E2 (hydroxyprostaglanin dehidrogenase). Sitokin yang diproduksi selama infeksi dapat pula mengaktifkan ekspresi dari

17

matriks metalloproteinase dalam serviks dan desidua yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler, pecahnya selaput amnion, dan perubahan serviks uteri. Keseluruhan proses tersebut menstimulasi terjadinya persalinan preterm.

3) Trombosis uteroplasental dan perdarahan desidua.

Lesi vascular dari plasenta secara umum dikaitkan dengan kelahiran preterm. Meskipun patofisiologinya belum jelas namun trombin dicurigai memiliki peranan besar. Trombin adalah suatu protease multifaktorial yang merangsang aktivitas kontraksi dari otot polos vaskuler, intestinal dan miometrium.

Trombin mengaktifkan sederetan reseptor yang unik termasuk

protease-activated receptor 1, protease-activated receptor 3 dan protease-activated receptor 4. Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili

protein heptahelical-G. Interaksi dengan trombin menghasilkan perubahan

konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan aktivasi fosfolipase C. Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi biokimia yang berakhir pada pelepasan kalsium intraseluler dari reticulum endoplasma. Kombinasi antara pelepasan kalsium intraseluler dan influx kalsium ekstraseluler menyebabkan

osilasi sitosolik kalsium yang mengaktivasi kalmodulin, Myosin Light Chain

Kinase (MLCK), aktin dan myosin yang menghasilkan kontraksi uterus secara fasik.

Pada perdarahan desidua, juga diasosiasikan dengan infiltrasi desidua oleh netrofil dan merupakan sumber yang kaya akan protease dan matrik

18

metalloproteinase. Ini dapat menjadi dasar bagi mekanisme preterm rupture of membrane yang selanjutnya menyebabkan persalinan preterm.

4) Peregangan uterus berlebihan.

Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci pada onset persalinan preterm yang berhubungan dengan gestasional ganda, polihidramnion, dan makrosomia. Peregangan uterus mengakibatkan ekspresi dari celah hubungan

protein, seperti Conexin-43 (CX-43) dan Conexin-26 (CX-26), seperti halnya

kontraksi yang berhubungan dengan protein lain seperti reseptor oksitosin. Peregangan dari miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE. Peregangan dari otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari IL-8 dan produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi pematangan serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya persalinan preterm.

19

Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya (Elmer, 2009)

20

Beberapa studi yang lain juga menambahkan faktor kelainan pada uterus atau serviks dan faktor fetus sebagai penyebab timbulnya persalinan preterm (Krisnadi, 2009). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang mengkaitkan terbentuknya ROS dengan kejadian persalinan preterm melalui suatu mekanisme yang mempengaruhi fungsi dari pompa ion kalsium yang dapat memicu terjadinya kontraksi uterus sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya persalinan preterm (Warren dkk, 2005).

2.2 ✪ ✫✬✭✮✫✯❇ ✰✱ ✫✲✳❖ ✮✲✭✬ ✫✴✳ dan ✪✰ ✫ktif ❖ ✮✲ ✭✵✰✴ Spesies ✶✪ ❖✸✹ ✺ ✻✺ ✻✼ ✪ ✫✬✭✮✫✯ bebas dan oksidan

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki sebuah elektron

yang tidak berpasangan di orbit luarnya (unpaired electron). Struktur yang

demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan cedera sel. Terdapat 2 radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reaktif Oksigen Spesies) dan RNS (Reaktif Nitrogen Spesies), dimana target utama dari radikal bebas itu sendiri adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat (Agarwal dkk, 2005). Radikal bebas punya 2 sifat penting : 1). bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya sehingga bentuk lebih stabil. 2). dapat mengubah

21

molekul menjadi radikal. Radikal bebas mirip dengan oksidan dalam sifatnya sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya daripada oksidan oleh karena reaktifitas yang tinggi dan kecenderungannya membentuk radikal bebas yang baru (Arkhaesi, 2008).

Oksidan adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu

senyawa yang dapat menarik elektron. Sering dibaurkan pengertian antara radikal bebas dan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang sama yaitu kecenderungan untuk menarik elektron (penerima elektron). Aktivitas keduanya menghasilkan akibat yang sama walaupun prosesnya berbeda, oleh karena itu radikal bebas digolongkan dalam oksidan, namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan oksidan yang bukan radikal bebas, dikarenakan sifat radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi dan kecenderungan membentuk radikal yang baru sehingga terjadi reaksi rantai (chain reaction) dan akan berhenti apabila dapat diredam (quenched) oleh antioksidan (Arkhaesi, 2008).

2.2.2 ✽ ✾✿❀❁❂❃ oksigen spesies ❄✽❅ ❆❈

Organisme aerobik memerlukan energi sebagai bahan bakar fungsi biologis. Proses ini memerlukan ATP, di mana sumber utama ATP adalah melalui proses oksidasi fosforilasi di dalam mitokondria. Selama proses ini, molekul

oksigen direduksi membentuk H2O, reaksi ini dikatalisasi oleh enzim sitokrome c

22

dari mekanisme ini tanpa kerusakan, sedangkan 5% dari reaksi molekul oksigen hanya tereduksi partial, yang memiliki peranan penting pada produksi ROS (Slavic, dkk., 2006).

ROS merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolisme seluler

yang terdiri dari superoksida (O2⎯), radikal bebas hidroksil (OH-), hidrogen

peroksida (H2O2), serta radikal peroksil (RCOO-). ROS terus menerus dibentuk dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan proses biologis normal karena berbagai rangsangan (Kohen, dkk., 2002).

Sumber ROS dapat dibagi dua : 1) sumber endogenous misalnya dari sel (netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase), indirect-producing ROS enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria), serta penyakit (kelainan metal, proses iskemia, infeksi, maupun inflamasi). 2) sumber eksogenous misalnya iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toksin (Kohen, dkk., 2002).

ROS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Dalam jumlah yang tepat, ROS berperan sebagai tranduser signal fisiologis dan dikenal juga

sebagai secondary messengers dalam proses signaling intraselular. Secara

fisiologis, ROS akan mempengaruhi fungsi selular, menghentikan pertumbuhan, bahkan memicu kematian sel terprogram (apoptosis) dari sel yang memang dianggap bermasalah, seperti misalnya sel yang mengandung mikroorganisme asing. Tetapi pada kadar ROS yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proteksi antioksidan berkurang secara cepat, berkurangnya jumlah ATP, menyebabkan

23

kerusakan membran sel, hilangnya homeostasis ion, perubahan pada reaksi oksidasi selular, oksidasi DNA, denaturasi protein, lisis sel-sel saraf, dan menginisiasi reaksi inflamasi, hingga menyebabkan kematian sel yang seharusnya tidak terjadi (Burton & Jauniaux, 2011).

Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan radikal (Kohen & Nyska, 2002).

Tabel ❊● ❍ Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen Radikal oksigen Nama Simbol Oksigen (Bi-radikal) Ion Superoksida Hidroksil Peroksil Alkoksil Nitrit Oksida O2-. O2. OH. ROO. RO. NO.

24

Turunan nonradikal oksigen

Nama Simbol Hidrogen Peroksida Peroksida organik Asam Hipoklorit Ozon Aldehid Singlet oksigen Peroksinitrit H2O2 ROOH HOCL O3 HCOR /O2 ONOOH Sumber : Kohen & Nyska, 2002

Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS

dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain.

Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif, kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif

dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH, menyebabkan kerusakan

langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di

25

lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan biologis (Kohen & Nyska, 2002).

Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan pada dua orbit yang berbeda. (Kohen & Nyska, 2002). Penambahan satu elektron

pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯ ). Peningkatan anion

superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau katalisis metal. Radikal superoksid sendiri dihasilkan dari reaksi fosforilasi oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria (1-5% oksigen keluar dari jalur ini dan mengalami reduksi univalent membentuk radikal superoksid). Di samping itu juga, bisa dihasilkan melalui sistem oksidase NADPH-dependen, yang jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, akan mengkatalisis reaksi

reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2- (Valko, dkk.,

2005).

Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid

(O2•¯) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2).

Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan

pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik,

26

Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal

superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan

enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen & Nyska, 2002). Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak

langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH dan HClO.

Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi

enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto (Kohen & Nyska, 2002).

Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1),

waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan logam (Kohen & Nyska, 2002).

Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi

di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks

27

sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2)

bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan

radikal hidroksil (OH). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal

superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian

menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH). Adanya logam transisi

inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal hidroksil (Kohen & Nyska, 2002).

Pada persalinan spontan pervaginam sangat erat kaitannya dengan timbulnya kontraksi uterus yang terkoordinasi untuk membantu pengeluaran fetus dari jalan lahir. Pada beberapa kasus, kontraksi dapat menyebabkan timbulnya

Gambar 2.2 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies. (Kohen & Nyska, 2002)

28

kompresi dari suplai darah ke uterus. Episode alamiah tersebut merupakan proses awal terbentuknya ROS. Di sisi lain, miometrium manusia tidak hanya membentuk ROS, namun juga menciptakan sistem pertahanan antioksidan yang dapat meminimalisir efek destruktif potensial dari ROS tersebut (Jauniaux, 2011).

2.3 Antioksidan

Antioksidan secara kimia adalah semua senyawa yang mampu

memberikan elektron (electron donor). Disebut antioksidan karena zat tersebut

dapat melawan proses oksidasi. Zat-zat ini melindungi bahan kimia lain dari reaksi oksidasi yang dapat merusak sel. Dalam arti biologis, antioksidan mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam efek negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu 1) mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, 2) mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan. Bertitik tolak pada dua cara kerjanya tersebut, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus reaksi rantai. Pengelompokan antioksidan yang lain adalah berdasarkan mekanisme proteksi endogen terhadap radikal bebas (Kohen & Nyska, 2002), yaitu:

1. Mekanisme antioksidan enzimatik

Superoksid dismutase (SOD), merupakan enzim yang mengkatalisis

29

oksigen (O2). Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD

(Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, mangan-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan. Radikal superoksid dapat mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk

H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari

1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan.

Enzim SOD akan merubah superoksid menjadi H2O2 :

2O2ˉ + 2H+ SOD O2 + H2O2

Catalase (CAT), ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun

terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, catalase ditemukan di

dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O

dan O2. Kapasitas reduksi catalase tinggi pada suasana H2O2

konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya

menurun (Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan karena catalase

memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya,

sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat

rendah. Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari

Dokumen terkait