• Tidak ada hasil yang ditemukan

HILDA NURUL HIDAYATI

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

69

DAFTAR PUSTAKA

Agus F. 2004. Konversi dan hilangnya multifungsi lahan sawah. [Internet].

[diunduh 24 Mei 2012]. Dapat diunduh di:

httppustaka.litbang.deptan.go.id.

BPS [Badan Pusat Statistik]. 2011. Kecamatan Ciampea dalam angka.

Effendi TN, Tukiran, Sucipto HP. 1989. Pengolahan Data. Di dalam: Singarimbun M dan Effendi S. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI.

Firman T. 2005. Konversi lahan pertanian dalam perspektif pengembangan wilayah dan kota. Di dalam: Sunito S, Purwandari H, Mardiyaningsih DI, editor. Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. ISBN: 979-8637-31-3. Bogor (ID): Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM – Institut Pertanian Bogor. Hal: 37.

Hariyanto. 2010. Pola dan intensitas konversi lahan pertanian di Kota Semarang tahun 2000-2009. Jurnal Geografi. [Internet]. [dikutip 25 Maret 2012]. Vol. 7 No.1. Hal.1-10. Dapat diunduh dari: httpjournal.unnes.ac.id.

Ilham N, Syaukat Y, Friyanto S. 2005. Perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA. Vol. 5 No. 2: 123-241. Hal. 203-211. Bali (ID): Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Irawan B. 2005. Konversi lahan sawah: Potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. Forum penelitian agro ekonomi. [Internet]. [dikutip 18 Maret 2012]. Vol. 23 No. 1: 1-18. Hal. 1-16. Dapat diunduh dari: httppse.litbang.deptan.go.idindpdffilesFAE23-1a.pdf.

Maftuchah I. 2005. Evaluasi konversi lahan pertanian di pinggiran Kota Surakarta Jawa Tengah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 107 hal. Manuwoto. 1992. Sinkronisasi kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan, suatu upaya pencegahan alih fungsi lahan. Di dalam: Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. ISBN 979-8287-02-9. Bandarlampung (ID): Universitas Lampung. Hal. 31-32.

Miles, Huberman. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Di dalam: Satori D, Komariah A, editor. Bandung: Alfabeta.

Newcomb TM, Turner RH, Converse PE. 1978. Psikologi sosial. Noesjirwan J, Soewondo M, Abdullah FZ, penerjemah. Bandung (ID): Penerbit cv. Diponegoro. Terjemahan dari: Psychology. The Study of Human Interaction.

Nurjanah S. 2011. Sikap dan perilaku konsumsi masyarakat terhadap beras padi (Oryza sativa) dan beras singkong (Manihot esculenta) sebagai bahan pangan pokok (Kasus masyarakat Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Pambudi A. 2008. Analisis nilai ekonomi lahan (land rent) pada lahan pertanian dan pemukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

70

Pertiwi HD. 2011. Dampak keberadaan perusahaan pertambangan terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat di era otonomi daerah (kasus: Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rusastra IW, Budhi GS. 1997. Keragaan konversi lahan pertanian dan strategi antisipatif dalam penanggulangannya. Di dalam: Suryana A, Sudaryanto T, Mardianto S, editor. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian: Analisis Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsif. Series No.17. ISBN: 979-8094-48. Bogor (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Ruswandi A. 2005. Dampak konversi lahan pertanian terhadap perubahan kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sihaloho M. 2004. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria: Kasus di Kelurahan Mulayaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sihite NW. 2011. Analisis determinan ketahanan pangan rumah tangga di Kota Medan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Di dalam: Singarimbun M dan Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI.

Sumaryanto, Friyatno S, Irawan B. [tidak ada tahun]. Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dan dampak negatifnya. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. ISBN: 979-9474-06-X. [Internet]. [diunduh 17 Maret 2012]. Bogor (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian. Hal. 1-17. Dapat diunduh dari:

http//balittanah.litbang.deptan.go.id.

Sumaryanto, Pakpahan A, Friyatno S. 1995. Keragaan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Profil Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Sumaryanto, Sudaryanto T. 2005. Pemahaman dampak negatif konversi lahan sawah sebagai landasan perumusan strategi pengendaliannya. Di dalam: Sunito S, Purwandari H, Mardiyaningsih DI, editor. Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. ISBN: 979-8637-31-3. Bogor (ID): Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM – Institut Pertanian Bogor. Hal: 22-32.

Taneko SB. 1992. Pokok-pokok pikiran upaya penanggulangan alih fungsi lahan (Aspek budaya hukum). Di dalam: Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. ISBN 979-8287-02-9. Bandarlampung (ID): Universitas Lampung. Hal. 54-59.

Utomo M. 1992. Alih fungsi lahan: Tinjauan analitis. Di dalam: Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. ISBN 979-8287-02-9. Bandarlampung (ID): Universitas Lampung. Hal. 3. Winarni P. 2012. Sikap dan perilaku pegawai terhadap penerapan sistem

71 (BP2T) kasus Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Winoto J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan implementasinya. Dalam: Sunito S, Purwandari H, Mardiyaningsih DI, editor. Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. ISBN: 979-8637-31-3. Bogor (ID): Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM – Institut Pertanian Bogor. Hal: 16-17. Wiradi G, Makali. 2009. Penguasaan tanah dan kelembagaan. Di dalam:

Shohibuddin M, editor. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris. Yogyakarta (ID): Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Hal: 124.

Yunis T. 2001. Pemiskinan masyarakat Aceh. Di dalam: Handayani DA, editor. Analisis Jurnal Sosial. Vol. 6 No. 2. Bandung (ID): Akatiga. Hal. 43.

73

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta lokasi penelitian

Keterangan:

: Batas wilayah Kecamatan Ciampea : Desa Cihideung Ilir

74

Lampiran 2 Kerangka sampling

No. Nama Kelas Petani Alamat

1. H. Junaedi Petani berlahan luas RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 2. H. Darba Petani berlahan luas RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 3. Warta Petani berlahan luas RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 4. Oma Petani berlahan sempit RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 5. Ahyar Petani berlahan sempit RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 6. Sueb Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir

7. Mis‟ah Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir

8. Mamad Petani berlahan sempit RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 9. Majid Petani berlahan sempit RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 10. Encep Petani berlahan sempit RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 11. Uding Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 12. Anang Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 13. Ucu S Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 14. H. Kartobi Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 15. Ujang Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 16. Nunuh Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 17. Sukardi Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 18. H. Ukat Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 19. Unay Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 20. Ali Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 21. Kardi Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 22. Oding Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 23. Unar Petani berlahan luas RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 24. M. Idus Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 25. Ujas Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 26. Uwar Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 27. Uju Buruh tani RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 28. H. Encep Petani berlahan luas RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 29. H. Anwar S Petani berlahan luas RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 30. Uda Epi Petani berlahan luas RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 31. Abas Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 32. Cicih Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 33. Lili Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 34. Juman Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 35. Lukman Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 36. Tono Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 37. Atma Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 38. H. Bahri Petani berlahan luas RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 39. H. Kosim Petani berlahan luas RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 40. H. Sain Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 41. Olih Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 42. Ukar Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 43. H. Senda Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir

75 44. Asdi Petani berlahan sempit RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 45. Ilyas Petani berlahan sempit RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 46. Irawan Petani berlahan luas RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 47. Enjah Petani berlahan sempit RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 48. Hasan Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 49. Mahpud Petani berlahan sempit RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 50. Mahmur Petani berlahan sempit RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 51. Acep Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 52. Uus Petani berlahan sempit RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 53. Ukay Buruh tani RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 54. Ijah Buruh tani RT 02/01, Desa Cihideung Ilir 55. Satnah Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 56. Emas Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 57. Ani Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 58. Dadi Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 59. Amsar Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 60. Aah Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 61. Anda Buruh tani RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 62. Suhanda Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 63. Nenti Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 64. Nining Buruh tani RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 65. Iyah Buruh tani RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 66. Leman Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 67. Memed Petani berlahan luas RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 68. Ojah Buruh tani RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 69. Kokom Buruh tani RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 70. Kukun Petani berlahan sempit RT 05/01, Desa Cihideung Ilir 71. Rosyid Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 72. Muhidin Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 73. Odih Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 74. Enjum Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 75. Nasih Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 76. Aji Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 77. Aning Buruh tani RT 04/01, Desa Cihideung Ilir 78. Guru Ita Petani berlahan sempit RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 79. Umar Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 80. Enih Buruh tani RT 03/01, Desa Cihideung Ilir 81. Lilis Buruh tani RT 05/01, Desa Cihideung Ilir

76

Lampiran 3 Kasus konversi lahan pertanian di Desa Cihideung Ilir

1. Kasus HU

Persoalan lahan yang dikonversi telah lazim ditemui di wilayah Desa Cihideung Ilir. Salah satu kasus konversi lahan yang menarik untuk dikaji adalah konversi lahan sawah yang dilakukan oleh H. Umar. Beliau melakukan konversi lahan sawah pada tahun 2008 dengan luas lahan yang dikonversi sekitar 4.000 m2. Konversi lahan dilakukan dengan cara melakukan penjualan lahan sawah terlebih dahulu kepada pengembang. Kemudian pengembang akan melakukan konversi lahan sawah secara langsung menjadi perumahan. Pada tahap pembelian lahan, pemilik lahan sebelumnya masih diizinkan untuk bercocok tanam pada lahan yang telah dibeli. Aktivitas bercocok tanam hanya diizinkan selama pengembang (PT13) belum membeli seluruh lahan yang telah ditargetkan.

Kepemilikan sawah oleh H. Umar berasal dari pembagian warisan oleh orang tua seluas 2000 m2, sementara bagian lain (2000 m2) adalah sawah hasil pembelian sendiri. Sawah yang dimiliki tergolong sawah yang masih produktif. Sebelum timbul masalah kekeringan, padi merupakan salah satu komoditas utama dalam pertanian. Penanaman padi memerlukan banyak air, sehingga masih banyak petani yang bertanam padi. Bahkan saat kondisi air yang melimpah, H. Umar pernah memelihara ikan di sawah. Berdasarkan pemaparannya, H. Umar menjual sawah kepada pengembang karena sawah yang digarap mengalami kekeringan. Pada musim hujan, aliran irigasi yang berasal dari sungai tersumbat oleh sampah karena tepian sungai pernah mengalami longsor. Akibat lain yang ditimbulkan adalah sebagian sampah yang menyumbat ikut mengalir ke sawah. Hal ini menyebabkan penurunan pertumbuhan padi dan kesuburan tanah.

Sekarang sulit kalau ingin menanam padi. Kalau musim hujan, banyak sampah plastik yang ikut mengalir ke sawah-sawah. Itu karena sungai yang berada di ujung pernah jebol, jadi tersumbat oleh sampah. Ada saja sampah yang mengalir ke sawah, jadi mengganggu terhadap tanaman. Apalagi kalau musim kemarau, sawah sangat kering.”

Alasan lain yang mendasari HU untuk menjual sawah adalah faktor usia. Walaupun masih dapat bercocok tanam di usia tua, tetapi tenaga yang digunakan tidak sekuat dahulu. Akses yang cukup jauh untuk mencapai sawah menyebabkan HU tidak dapat mengontrol keadaan sawah ketika masa menunggu panen. Apalagi semakin banyak perumahan yang menyerap tenaga kerja perempuan, sehingga buruh tani wanita cenderung tidak berminat terhadap pekerjaan tani. Berbagai anggapan terhadap pekerjaan tani dapat tergambar dari minat para buruh tersebut. Mereka menganggap bahwa bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di perumahan lebih menjanjikan untuk pendapatan mereka dibandingkan dengan buruh tani dengan pendapatan yang tidak menentu. Anggapan lain muncul dari generasi muda bahwa pekerjaan tani adalah pekerjaan yang kotor dan tidak

13

PT adalah istilah lain yang digunakan oleh masyarakat Desa Cihideung Ilir untuk para pengembang (perumahan).

77 bergengsi. Apalagi jika mereka telah memiliki ijazah SMA yang dianggap dapat memperoleh pekerjaan yang lebih tinggi daripada bertani. Kondisi inilah yang menyebabkan anak-anak dari petani untuk tidak bekerja sebagai petani.

Dulu saya suka menanam padi saat banyak air. Sekarang sulit menanam padi, sawahnya juga susah, sudah jadi rumah, airnya juga tidak ada. Apalagi sekarang saya sudah tua, sudah tidak kuat lagi pergi ke sawah. Mencari buruh juga sulit karena sudah banyak yang menjadi pembantu di BTN14. Lagipula, anak muda zaman sekarang sudah tidak mau berurusan dengan sawah. Berbeda dengan saya

pada zaman dulu yang suka membantu orang tua di sawah.”

Bagi HU, bukan hanya persoalan teknis dan faktor usia yang menjadi alasan melakukan konversi lahan, tetapi lahan yang dijual dapat memberikan keuntungan lain. Keuntungan tersebut antara lain dapat membeli sawah di tempat lain dengan harga yang lebih murah, sehingga sisa uang penjualan dapat digunakan untuk menunaikan ibadah haji dan dapat dibagikan kepada anak-anaknya.

Setekah menjual sawah teh, saya bisa beli sawah lagi yang lebih murah. Alhamdulillah saya juga bisa berangkat haji sama istri. Sisanya penjualan sawah saya bagikan kepada anak-anak saya.

Kondisi seperti ini menjadi peluang besar bagi para pengembang (PT) untuk menjalankan strategi konversi lahan pertanian menjadi perumahan. Pemikiran jangka pendek petani untuk menjual lahan sangat dipengaruhi oleh keberadaan PT. Terutama pemilik lahan yang sedang mengalami keterdesakan ekonomi sangat mudah untuk melakukan penjualan sawah kepada PT. Menurut HU, keberadaan PT di Desa Cihideung Ilir merupakan hal yang wajar karena desa ini merupakan desa lingkar kampus. Jarak desa yang dekat dengan kampus menyebabkan para pendatang mencari tempat tinggal di desa ini. Semakin banyak pendatang, semakin tinggi kebutuhan untuk tempat tinggal sehingga hamparan sawah yang luas lambat laun berubah menjadi hamparan perumahan.

Teori Von Thunen (Suparmoko 1989 dalam Pambudi 2008) yang menjelaskan bahwa faktor lokasi menentukan nilai sewa lahan. Teori tersebut menjelaskan lokasi lahan yang dekat dengan pusat pasar memiliki nilai sewa yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lahan yang jauh dengan pusat pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teori tersebut telah terbukti. Menurut HU, harga lahan akan lebih mahal untuk lahan yang berlokasi dekat dengan jalan dan memiliki akses yang mudah. Harga lahan yang berada dekat dengan jalan berkisar antara Rp. 100.000 hingga jutaan rupiah per meter. Semakin jauh lokasi lahan terhadap jalan atau pusat keramaian, akan semakin murah harga lahan tersebut. Berbeda dengan kondisi sekarang, harga lahan dulu tidak memiliki perbedaan antara lokasi lahan yang dekat dengan jalan dan lokasi lahan yang jauh dengan jalan. Berdasarkan pengalaman HU, harga lahan dulu hanya mencapai sekitar Rp. 400 per meter.

Praktik jual beli lahan pada zaman dulu hanya dilakukan antar petani. Motif penjualan yang dilakukan biasanya untuk memenuhi kebutuhan seperti biaya

14

78

pembangunan rumah pribadi atau untuk modal usaha yang lain. Namun, praktik jual beli sangat jarang dilakukan karena biasanya mereka memakai sistem gadai. Sistem gadai adalah suatu bentuk hubungan saling pinjam, yaitu ketika pemilik lahan membutuhkan uang boleh meminjam uang kepada orang lain dengan jaminan sawah yang dimilikinya. Sawah tersebut boleh digarap oleh orang yang meminjamkan uang sampai pemilik asli mengembalikan uang yang dipinjamnya. Setelah selesai proses peminzaman uang, pemilik asli boleh mengambil sawahnya kembali. Berbeda dengan kondisi dulu, sekarang pemilik lahan biasanya langsung menjual lahan sawah kepada PT ketika membutuhkan uang. Akibatnya sistem gadai mulai memudar dan digantikan dengan sistem sewa atau kontrak. Sistem sewa adalah bentuk kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap dalam menggarap lahan sawah. Biasanya penyewa dapat menggarap sawah yang telah disewa dengan biaya sewa yang dihitung per tahun. Biaya dan waktu sewa dapat ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan kedua belah pihak (antara pemilik dan penyewa). Biaya sewa biasanya disetarakan dengan harga 60 gedeng padi pada saat itu. Pemilik tidak memperhitungkan banyaknya kerugian maupun keuntungan yang diperoleh dari hasil sawah. Bahkan pemilik tidak memperhitungkan jika ternyata penggarap selama jangka waktu yang ditentukan tidak menanam padi sama sekali.

Pada kasus HU, belum ada dampak konversi lahan yang dirasakan secara signifikan terhadap tingkat pendapatan. Menurut HU, pendapatan pada saat sebelum melakukan konversi lahan dengan pendapatan setelah konversi lahan tidak mengalami perubahan. Meskipun dulu banyak persawahan, namun hasil yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup karena jumlah tanggungan dalam keluarga cukup banyak. Berikut pemaparan HU:

Zaman dulu teh walaupun banyak sawah, tapi hasilnya suka dibagikan kepada anak-anak soalnya saya teh banyak anaknya. Jadi jarang jual hasilnya.

Sementara pada kondisi sekarang walaupun jumlah tanggungan dalam keluarga berkurang, namun biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan semakin mahal. Jika dilihat pada aspek ketahanan pangan keluarga, ternyata konversi lahan sawah mempengaruhi ketahanan pangan keluarga. Sebelum konversi lahan sawah, HU mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarga, bahkan hasil sawah yang berlebih dapat dijual ke pasar. Berbeda dengan kondisi dulu, konversi lahan sawah menyebabkan HU tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan (beras) keluarga. Biasanya HU memperoleh beras dari warung atau pasar karena sawah yang dimiliki jarang ditanami padi.

Hasil sawah teh tidak semuanya dijual, malah kebanyakan beras dibawa ke rumah untuk kebutuhan dapur. Kalau beras yang dijual mah sisa dari beras yang dibawa ke rumah. Kalau sekarang mah, butuh beras harus beli ke warung atau pasar.”

Pengurangan luas sawah akibat konversi lahan tentu berpengaruh terhadap kesempatan kerja dalam bertani. Petani yang memiliki sawah dengan ukuran hektar semakin berkurang, bahkan beberapa petani kehilangan sawahnya akibat konversi lahan. Buruh tani yang bekerja kepada para petani semakin sulit

79 menemukan pekerjaan mereka. Akhirnya banyak petani yang kehilangan lahan berupaya untuk mencari sawah di tempat lain. Sedangkan buruh tani mencari pekerjaan di tempat lain baik sebagai buruh tani maupun beralih ke bidang lain, seperti menjadi kuli bangunan, sopir angkot, pekerja rumah tangga (PRT), bahkan beberapa tidak bekerja karena di usia tua sulit untuk memperoleh pekerjaan lain. Kondisi ini jelas mempengaruhi penguasaan lahan oleh petani maupun buruh tani. Kasus HU mampu menggambarkan pergeseran penguasaan lahan setelah konversi lahan, yaitu berkurangnya lahan sawah yang dimiliki HU dari 4000 m2 menjadi 2000 m2.

Berbagai dampak negatif muncul setelah adanya konversi lahan pertanian menjadi perumahan. Sebenarnya HU kurang setuju terhadap adanya perumahan yang telah menggeser persawahan. Semakin banyak perumahan berarti semakin banyak masyarakat luar yang masuk ke desa ini. Akibatnya, perbedaan cara pandang, agama, budaya, maupun gaya hidup masyarakat pendatang bercampur dengan masyarakat asli. Satu contoh perbedaan tersebut adalah perbedaan pandangan terhadap Agama Islam yang tergolong dalam NU maupun Muhammadiyah. Selain itu, gaya hidup masyarakat asli mulai mengikuti gaya hidup pendatang yang sebagian besar berasal dari kota.

Disamping dampak negatif, HU merasakan dampak positif dengan adanya konversi lahan sawah menjadi perumahan yang mampu menunjukkan kemajuan. Kemajuan yang dimaksud adalah perkembangan desa yang mulai mengarah kepada kota, yaitu pembangunan toko-toko dan pusat keramaian. Menurut HU, kesejahteraan masyarakat dinilai dari kemajuan yang dialami oleh masyarakat sendiri. Berbagai pembangunan yang telah dilakukan merupakan upaya untuk memajukan masyarakat desa.

2. Kasus HE

Berbagai kasus konversi lahan yang ditemukan di Desa Cihideung Ilir memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda. HE adalah salah satu petani yang melakukan konversi lahan dengan cara alih penguasaan kepada PT. HE melakukan penjualan sebagian sawahnya pada tahun 2008 dengan luas sekitar 5000 m2. Pada awalnya, status sawah yang dijual adalah sawah gadai dari mertua HE. Namun, pada akhirnya mertua HE merelakan sawah tersebut untuk dijual karena HE membutuhkan biaya untuk menunaikan ibadah haji. Meskipun sawah masih tergolong produktif, namun persoalan teknis seperti kekurangan air pada musim kemarau menjadi bahan pertimbangan bagi HE dan mertuanya untuk menjual sawah tersebut.

Alasan lain yang memperkuat HE untuk mengkonversi lahan sawah adalah posisi sawah berada di tengah lokasi yang menjadi target untuk perumahan. Kondisi ini menyulitkan HE dalam menggarap sawah karena PT berusaha untuk menutup akses air irigasi maupun jalan. Secara tidak langsung, PT telah memaksa

Dokumen terkait