• Tidak ada hasil yang ditemukan

SERTA PRODUKSI WOL PADA STATUS FISIOLOGIS YANG BERBEDA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba Garut tipe pedaging merupakan salah satu bangsa domba yang berkembang di Indonesia terutama di Jawa Barat. Domba Garut tipe pedaging selain menghasilkan daging juga dapat menghasilkan wol yang lebih banyak dibandingkan dengan domba lokal lainnya. Hal ini disebabkan Domba Garut berasal dari persilangan antara Domba Merino (domba penghasil wool), domba lokal dan Kaapstad yang berasal dari Afrika (Devendra dan McLorey, 1982). Tingginya produksi wol Domba Garut tersebut maka memungkinkan untuk dilakukan pemanenan wol, namun pencukuran wol di Indonesia belum dilakukan secara rutin oleh semua peternak. Hal ini disebabkan sampai saat ini pencukuran wol di Indonesia masih sebatas untuk keperluan sanitasi dan kesehatan ternak dari berbagai ektoparasit. Sementara itu produksi wol memang jarang diukur karena umumnya wol hasil pencukuran dibuang begitu saja karena penggunaan wol belum banyak diketahui. Wol dapat dimanfaatkan untuk diolah sebagai bahan tambahan dalam pembuatan papan partikel yang mampu meningkatkan kemampuan insulasi panas dan absorpsi serta stabilitas dimensi papan partikel (Abid, 2010) dan berbagai produk kerajinan lainnya yang memiliki nilai jual tinggi.

Teknik pencukuran wol domba selain dapat menghasilkan efek terhadap penurunan ektoparasit diduga dapat menyebabkan perubahan terhadap tingkah laku. Pencukuran diduga akan menyebabkan adanya perubahan tingkah laku normal sehingga pengamatan tingkah laku Domba Garut saat, satu hari setelah dan beberapa minggu setelah pencukuran perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pencukuran terhadap tingkah laku Domba Garut.

Pencukuran wol selain diduga berpengaruh terhadap tingkat kebersihan dan tingkah laku juga diduga akan berpengaruh terhadap produksi wol. Wol akan tumbuh kembali setelah dicukur meskipun bagian atas wol domba telah dipotong. Hal ini karena batas pemotongan wol domba pada bagian pilary canal. Selain itu adanya bagian dermal papilla yang dapat mensintesis protein yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan panjang bulu domba. Atas dasar hal tersebut sehingga pengukuran pertumbuhan kembali wol Domba Garut setelah pencukuran perlu dilakukan. Pertumbuhan wol dapat dilihat dari pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat segar

2 dan diameter wol. Pertumbuhan wol kemungkinan akan berbeda pada status fisiologis domba yang berbeda.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan (i). tingkah laku Domba Garut sebelum, saat dan sesudah pencukuran wol. Pertumbuhan kembali wol dalam pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat segar, serta diameter wol domba setelah pencukuran Domba Garut yang dipelihara secara semi intensif pada satatus fisiologis yang berbeda.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Domba diperkirakan didomestikasi pada tahun 7.200 SM, pusat domba yang pertama kali didomestikasi di daerah Asia Tengah dan Eropa Bagian Tenggara (Hart, 1985). Domba yang pertama kali di domestikasi adalah Ovis Orientalis yang termasuk kedalam tipe domba penghasil wool. Menurut Ensminger (1991), taksonomi domba yang ada di dunia saat ini adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Philum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Arthiodactila Family : Bovidae Genus : Ovis Spesies : Ovis aries

Menurut Johnston (1983), domba merupakan hewan mamalia yaitu hewan berdarah panas (warm blooded animal) dengan ciri fisik dan fisiologi dasar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ciri-ciri Fisik dan Fisiologis Dasar pada Domba Aspek Fisik dan Fisiologis Besar dan Lama Temperatur tubuh rata-rata

Rata-rata jumlah denyut nadi Rata-rata jumlah pernafasan Siklus estrus

Periode kebuntingan Litter size

Umur dewasa kelamin a. Pejantan b. Betina Waktu hidup alami

40oC

75-80 / menit 20-30 / menit 16 hari 147 hari

1-3 ekor (normal), sampai 7 ekor

7 bulan 7 bulan 8-10 tahun Sumber : Johnston (1983)

4 Devendra dan McLorey (1982) menyatakan Domba Garut merupakan hasil persilangan antara domba lokal, Domba Kaap dan Domba Merino. Dijelaskan pula bahwa ciri pengenal Domba Garut adalah sifat pembentukkan lemak pada pangkal ekor, yang mengakibatkan ekor domba kelihatan lebar. Menurut Departemen Pertanian (1995), Domba Garut mempunyai ciri-ciri khusus:

a. Jantan bertanduk besar, melengkung kebelakang berbentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu.

b. Betina sama sekali tidak mempunyai tanduk.

c. Bentuk telinga ada yang panjang, sedang dan pendek terletak dibelakang pangkal tanduk. Banyak dijumpai yang berbentuk kecil, kuat dan agak meruncing (ngadaun hiris), dan ada pula yang tidak berdaun telinga (rumpung).

d. Ekor pendek dan pangkalnya agak besar.

e. Bobot tubuh dewasa jantan 60-80 kg dan betina 30-40 kg.

f. Warna wol bermacam-macam putih, hitam, coklat warna campuran (belang-belang) dari warna-warna tersebut.

g. Kualitas bulu relatif cukup baik dibandingkan bulu domba lokal lainnya.

Gambar 1. Domba Garut Jantan Sumber : www.dombagarut.com

Pencukuran Wol

Menurut Williamson dan Payne (1978) warna dan ketebalan wol domba merupakan mekanisme yang terjadi dalam adaptasi terhadap keadaan iklim. Wol yang halus dan pendek akan menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang

5 panas. Selanjutnya dikatakan oleh Yeates et, al., (1975) bahwa bulu pendek, warna terang, tekstur halus dan mengkilap akan meminimalkan penyerapaan panas oleh tubuh ternak. Menurut Hafez (1968) mencukur wol domba dapat menurunkan insulasi wol dan meningkatkan pelepasan panas oleh angin dan meningkatkan kualitas semen pejantan pada musim panas.

Pencukuran wol domba biasa dilakukan oleh peternak rakyat untuk tujuan menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Selanjutnya Tomazweska et, al., (1993) menyatakan bahwa pencukuran akan menambah kenyamanan ternak dan penurunan infasi ektoparasit pada ternak yang di kandangkan.

Wol

Serat wol umumnya mengandung dua lapisan sel yaitu sel epidermis dan sel korteks, tetapi beberapa serat wol domba memiliki lapisan sel yang ketiga yaitu sel medulla. Sel epidermis menutupi sebagian keratan-keratan longitudinal yang berakhir diujung serat. Sel korteks yang tidak teratur merupakan penyebab terjadinya

crimp yaitu bentuk wol domba yang bergelombang dan berpengaruh terhadap sifat elastis (Johnston, 1983). Sel medulla digambarkan sebagai bentuk globuler dan dapat ditemukan sepanjang serat wol domba atau pada beberapa bagian serat wol. Serat yang mengandung medulla umumnya kasar dan diameternya tidak sama. Serat wol demikian sulit penanganannya karena elastisitasnya rendah (Ensminger, 1991).

Wol domba terdiri dari keratin yang juga merupakan bahan utama dari rambut, kuku, tanduk dan wol. Keratin adalah komposisi dari asam-asam amino yang mengandung sulfur. Unsur-unsur kimia dari keratin adalah Karbon 50%, Oksigen 22-25%, Nitrogen 16-17% dan Sulfur 3-4% (Ensminger, 1991).

Sifat-Sifat Wol

Banyak sifat yang mempengaruhi wol, karakteristik utama wol yang diinginkan dan harus diperhatikan oleh peternak adalah, berat segar, panjang, kerapatan dan diameter wol. Karakteristik wol akan berbeda pada bangsa domba yang berbeda dan individu yang berbeda (Ensminger, 1991).

Bobot Segar

Bobot segar wol domba adalah berat wol domba termasuk semua bahan lain bukan wol domba yang terkandung dalam wol, seperti yolk dan kotoran bukan

6 rumput. Banyaknya kotoran yang terkandung dalam wol disebut sebagai penyusutan wol. Penyusutan bobot segar terhadap bobot bersih sangat bervariasi yaitu antara 30-75% dan rata-rata yang terjadi di Amerika Serikat adalah 52,3% (Ensminger, 1991). Panjang Wol

Panjang wol merupakan masalah penting yang menjadi perhatian peternak dan perusahaan pengolahan wol. Panjang wol juga berarti kemampuan produksi wol dari seekor domba. Panjang wol dijadikan dasar dalam klasifikasi dan seleksi ternak penghasil wool. Panjang wol sangat bervariasi antara 1-20 inci pertahun, rata-rata pertumbuhan wol pada Domba Merino adalah 0,2 mm/hari. (Ensminger, 1991). Diameter Wol

Diameter wol diartikan sebagai tingat kehalusan wol, digunakan sebagai parameter dalam menseleksi domba penghasil wool dan digunakan pula dalam klasifikasi wol. Wol domba dianggap baik kehalusannya jika memiliki diameter 17,70 µm ± 3,59 dan dikategorikan sebagai wol yang sangat kasar (kemp) jika memiliki diameter lebih dari 40,20 µm. Tingkat kehalusan wol dijadikan dasar untuk menentukan untuk apa wol domba tersebut akan digunakan seperti dikategorikan untuk pakaian atau wol untuk karpet (Ensminger, 1991). Rataan diameter wol domba pada berbagai bangsa domba dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Ukuran Diameter Wol Domba pada Berbagai Bangsa Domba

Bangsa Domba Bulu Halus Bulu kasar Kemp/bulk

---mm--- Rambouillet 0,0118 0,0239 - Southdown 0,0183 0,0273 - Hampshire 0,0298 0,0272 - Suffolk 0,0236 0,0351 - Priangan - 0,0310 0,0900 Merino 0,0117 0,0241 -

Sumber : Yeats et, al., 1975

Laju Pertumbuhan dan Produksi Wol

Laju pertumbuhan wol dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bangsa, umur, nutrisi dan lingkungan. Ensminger (1991) menyatakan, bahwa kualitas pakan

7 yang mempengaruhi pertumbuhan wol adalah pakan yang mengandung protein, mineral, sulfur, dan energi, baik dalam bentuk konsentrat maupun hijauan. Menurut Wiradarya (1989) pertumbuhan wol tidak dipengaruhi oleh tingkat protein ransum akan tetapi dipengaruhi oleh tipe domba.

Faktor yang berpengaruh terhadap produksi wol diantaranya adalah bangsa, jenis ternak dan lingkungan. Bangsa dan jenis ternak yang berbeda akan menghasilkan produksi wol yang berbeda baik jumlahnya maupun kualitasnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi meliputi iklim dan nutrisi.

Tingkah Laku

Ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan disebut ethology, yang berasal dari kata ethos yang berarti karakter atau alam dan logos yang berarti ilmu. Mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakter hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya (Gonyou,1991). Menurut Goin dan Goin (1978), perilaku suatu hewan dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti genetik, proses belajar dari pengalaman dan beberapa faktor fisiologis termasuk kedalamnya umur dan jenis kelamin.

Menurut Prijono (1997), perilaku dapat diartikan sebagai ekspresi seekor hewan yang dituangkan dalam bentuk gerakan-gerakan. Faktor yang mempengaruhi perilaku dinamakan rangsangan (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985). Menurut Grier (1984) tingkah laku hewan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar individu yang bersangkutan, faktor dalam antara lain hormon dan sistem syaraf sedangkan faktor luar antara lain cahaya, suhu dan kelembaban.

Menurut Scott (1987), pola perilaku dikelompokkan kedalam sistem informasi, yaitu kumpulan pola perilaku-perilaku yang memiliki satu fungsi umum. Menurut Tinberger (1979), praktisnya tingkah laku dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Terjadinya tingkah laku makan, disebabkan adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam). Demikian juga terjadinya tingkah laku kawin, disebabkan oleh adanya rangsangan dari dalam, kemudian baru terjadi perkawinan jika ada rangsangan dari lawan jenisnya.

8 Tingkah Laku Domba

Domba dapat melakukan berbagai tingkah laku untuk merespon rangsangan yang diberikan, baik rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh domba tersebut. Keseluruhan tingkah laku domba dan kambing dapat dilihat pada Tabel 3 yang berbentuk etogram.

Tabel 3. Etogram atau Gambaran Tingkah Laku Domba dan Kambing. Tingkah Laku Gambaran Karakteristik

Ingestive Merumput, makan tunas-tunas, mengunyah, menjilati garam, minum, menyusui, mendorong dengan hidung.

Shelter Seeking Bergerak kebawah pohon, kedalam kandang, berkumpul bersama untuk menjauhkan lalat, saling berdesakkan pada saat keadaan iklim dingin, membuat lubang ditanah dan berbaring.

Investigatory Mengangkat kepala, mengarahkan mata, telinga dan hidung kearah gangguan. Mencium domba atau benda lainnya.

Allelomimetic Berjalan berlari merumput dan tidur bersama. Menumbuk rintangan dengan kaki tegap bersamaan.

Agonistic Mengkais, mendorong dengan bahu, menanduk, lari bersama dan menerjang, bunching, lari, kedinginan, mendengus dan menghentakkan kaki.

Eliminatif Posisi buat kencing, membungkukkan punggung dan membengkokkan kaki pada anak domba.

Care giving Menjilati dan menggigit membran plasenta pada anak. Membungkukkan punggung untuk memberikan anak menyusu, menjilat anak domba mulai dari ekor. Mengembik atau berteriak bila mana dipisahkan dari ternak lainnya.

Sexual Perkawinan Sumber : Hafez. et al., (1969) Tingkah Laku Makan

Tingkah laku makan masing-masing ternak berbeda-beda tiap bangsa yang berbeda. Ternak tidak dapat hidup tanpa makan dan minum. Peningkatan produksi dapat dicapai jika ternak makan dengan baik sehingga memakan pakan lebih banyak, (Ensminger, 2002). Tingkah laku makan diawali pada saat domba baru dilahirkan

9 yaitu suckling. Tingkah laku makan lain adalah merumput, makan pakan hasil pemotongan atau penyimpanan dan konsentrat.

Cara makan pada domba di padang penggembalaan adalah dengan merenggut rumput dengan bibir bagian atas hingga memotong bagian bawah rumput (Ensminger, 2002). Selama siang hari domba dapat merumput hingga 4-7 kali, dengan waktu merumput sekitar 9-11 jam dengan jangkauan wilayah mencapai 1-8 mil. Lama makan di padang penggembalaan berkaitan dengan periode terang dan gelap, selain hal tersebut juga di pengaruhi oleh kualitas dan ketersediaan dari pakan atau rumput (Frasser dan Broom, 1990). Tingkah laku makan lain adalah regurgitasi, regurgitasi menurut Ensminger (2002) adalah proses mengunyah kembali pakan yang dikeluarkan dari retikulorumen, kemudian dikunyah dengan bantuan saliva. Domba melakukan ruminasi sebanyak 15 kali/hari dengan lama waktu per ruminasi sekitar 1-120 menit, sehingga dalam satu hari total waktu yang digunakan untuk ruminasi adalah antara 8-10 jam. Tingkah laku makan harian domba di padang penggem-balaan dapat dilihat pada Tabel 4:

Tabel 4. Tingkah Laku Makan Harian Domba

Karakter Nilai rata-rata per hari

Periode merumput (kali) Waktu total merumput (jam) Periode ruminasi (kali) Waktu total ruminasi (jam) Lama per ruminasi (min)

Konsumsi air pada pastura kering (l) Jarak yang ditempuh (km)

4-7 9-11 15 8-10 1-120 2-5 1,5-12 Sumber : Ensminger (2002)

Tingkah Laku Agonistic

Agonistic berasal dari kata latin yang berarti berjuang (Wodzicka-Tomazweska et al., 1991). Selanjutnya dipaparkan, bahwa agonistic mempunyai pengertian yang cukup luas menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-nakuti, berkelahi dan terbang, juga meliputi seluruh tingkah laku yang ada hubungannya dengan agresivitas, kepatuhan dan pertahanan. Hafez et, al., (1969) menyatakan, agonistic merupakan suatu kegiatan mengais, menanduk, mendorong

10 dengan bahu. Lari bersama dan menerjang (menendang dan berkelahi, melarikan diri, menanduk, pada kambing), bergerombol dan lari. Terlentang sambil tidak bergerak, menggigil (pada anak yang masih muda) mendengus dan menghentakkan kaki pada kambing.

Pola tingkah laku agonistic merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakkan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart,1985). Selanjutnya dikatakan pula bahwa tingkah laku agonistic ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Menurut, Wodzicka-Tomazweska et, al., (1991), jika sistem penggembalaan dipadang rumput dengan sumber makanan dan air banyak tersedia, keadaan perilaku dominan tidak begitu jelas terlihat, tetapi hal ini akan terlihat dengan nyata dan penting pada keadaan berdesakkan.

Menurut Ensminger (1991), tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku

agonistic adalah berkelahi, berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Hewan mamalia jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi oleh hormon, terutama oleh hormon testosteron. Menurut Craig (1981), tingkah laku agonistic juga dimiliki oleh hewan betina namun frekuensinya sangat kecil hal ini disebabkan hewan betina juga dapat memproduksi hormon androgen yang dihasilkan oleh ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi oleh jantan.

Menurut Frazer (1975), tingkah laku agonistic merupakan tingkah laku yang memperlihatkan tingkah laku aktif dan pasif, tingkah laku aktif seperti berkelahi, berlari atau terbang serta tingkah laku agresif. Menurut Ensminger (1991), tingkah laku agonistic pada domba jantan diperlihatkan pada saat berkelahi dengan mundur terlebih dahulu kemudian menyerang dengan cara menumbukkan kepalanya atau tanduknya pada kepala lawan, domba akan terus berkelahi sampai salah satu dari mereka berhenti dan menyerah, biasanya domba sebelum berkelahi akan mendengus. Tingkah Laku Membuang Kotoran

Tingkah laku membuang kotoran berkaitan dengan usaha untuk mengelu-arkan kotoran dan urin. Pada umumnya tingkah laku membuang kotoran ini terjadi

11 beberapa jam setelah makan maupun sedang makan. Tingkah laku membuang kotoran ini dipengaruhi oleh pakan yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut (Hart, 1985). Tingkah laku membuang kotoran berbeda-beda diantara hewan lainnya. Sapi, domba, ayam dan kambing memiliki tingkah laku yang berbeda-beda, baik dalam bentuk feses dan urin yang berbeda dan cara pengelu-arannya pun berbeda-beda (Taylor dan Field, 1977). Domba memiliki ciri khas dalam bentuk fesesnya, yaitu berbentuk bulat. Domba membuang feses dan urin dengan variasi postur yang berbeda, pada jantan cara pembuangan kotoran dilakukan dengan cara berdiri tegak sedangkan pada betina saat akan membuang kotoran tubuh bagian belakang dibungkukkan sehingga bagian belakang tubuhnya lebih rendah.

Kesejahteraan Hewan

Kesejahteraan hewan selalu dikaitkan dengan tingkatan stres yang diderita oleh hewan. Stres sendiri didefinisikan sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh terhadap setiap permintaan yang diminta darinya. Penyebab stres adalah kejadian yang menghasilkan stres dan ketegangan atau siksaan sebagai efek akhirnya (Wodzicka-Tomazweska et al.,1991). Appleby dan Hauges (1997), rasa sakit dan senang merupakan elemen penting yang secara alami dapat digunakan sebagai kriteria penilaian terhadap kesejahteraan pada hewan. Moss (1992) menyatakan, hewan atau ternak dinyatakan sejahtera apabila, hewan atau ternak sehat dan bebas dari luka, berproduksi secara normal dan tingkah laku yang diperlihatkan normal

Menurut peraturan dan undang-undang peternakan pasal 22 no 6 tahun 1967 untuk kepentingan kesejahteraan hewan, maka ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang tempat dan perkandangan, pemeliharaan dan perawatan, pengangkutan, penggunaan dan pemanfaatan, cara pemotongan dan pembunuhan, perlakuan dan pengayoman oleh manusia terhadap hewan atau ternak. Hewan atau ternak dikatakan sejahtera apabila hewan atau ternak tersebut terpenuhi kebutuhan dasarnya, yang meliputi bebas dari kelaparan, kehausan dan mal nutrisi. Mendapatkan kandang dan tempat yang nyaman. Mendapatkan pencegahan atau diagnosa cepat, pengobatan luka penyakit atau infasi parasit. Bebas dari perlakuan yang menyebabkan stress, penderitaan dan kesakitan. Memperoleh kebebasan untuk bergerak sesuai dengan pola perilaku hewan normal.

12 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di peternakan Domba Garut kerjasama PT. Indocement Tunggal Prakasa dengan Fakultas Peternakan IPB, Desa Tajur, Citeureup, Bogor, Serta di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010

Materi Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor Domba Garut jantan dan betina, yang terdiri atas 8 ekor Domba Garut jantan berumur 0.5-1 tahun (I0), 8 ekor Domba Garut betina berumur 0.5-1 tahun (I0), dan 8 betina induk kering umur lebih dari 1 tahun (I1).

Peralatan dan Perkandangan

Peralatan yang digunakan meliputi pencatat waktu, thermohigrometer, kamera, tali, label, kalung nomor leher, gunting cukur, pinset, mikroskop, jangka sorong, timbangan digital, plastik, penggaris serta alat tulis. Kandang yang digunakan adalah kandang kelompok tiap kelompok terdiri dari 5 ekor domba. Kandang berbentuk panggung yang terbuat dari papan kayu dan atap berupa genting dengan model atap monitor.

Pakan

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan yang biasa digunakan di peternakan ini yaitu dua jenis pakan. Pada saat domba di kandangkan pakan yang diberikan adalah pakan konsentrat komersial, diberikan pada pagi hari pukul 08.00 WIB. Padang penggembalaan yang digunakan untuk menggembalakan Domba Garut disiang hari merupakan padang rumput Brachiaria humidicola. Domba digembalakan pada siang hari pukul 13.00 WIB sampai 16.00 WIB. Domba di kandangkan kembali setelah pukul 16.00 WIB dan diberi konsentrat kembali.

Prosedur

Ternak dikelompokkan sesuai dengan status fisiologis ternak tersebut, kemudian dilakukan penimbangan bobot badan domba. Penimbangan dilakukan

13 untuk mengetahui keseragaman bobot badan Domba Garut tersebut. Identifikasi domba dilakukan dengan memberi nomor kalung leher dengan warna yang berbeda tiap status fisiologis yang berbeda. Pencukuran domba dilakukan pada empat domba jantan I0, betina I0 dan induk kering. Pencukuran dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-12.00 WIB. Pencukuran diawali pada domba jantan I0, kemudian dilanjutkan domba betina I0 dan terakhir induk kering.

Pengambilan data dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama adalah pengambilan data tingkah laku dan kedua adalah pengambilan data pertumbuhan wol.

Pengambilan Data Tingkah Laku

Pengamatan tingkah laku dilakukan dengan mengamati tingkah laku Domba Garut di kandang sebelum, saat, satu hari sesudah dan beberapa minggu sesudah pencukuran Domba Garut jantan I0, betina I0 dan induk kering yang dipelihara secara semi intensif. Pengamatan tingkah laku dibagi menjadi empat tahap yaitu,

a. Tahap pertama pengamatan tingkah laku Domba Garut satu hari sebelum pencukuran, dilakukan di kandang kelompok tiap kandang terdiri dari 5 ekor domba. Pengamatan dilakukan di kandang pada saat pagi hingga siang hari (pukul 09.00-12.00 WIB). Pengamatan tingkah laku Domba Garut saat di kandang dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antara pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit.

b. Tahap kedua adalah pengamatan tingkah laku pada saat pencukuran. Pengamatan dilakukan selama pencukuran berlangsung dari mulai hingga pencukuran selesai. Semua tingkah laku yang muncul selama pencukuran diamati. Pencukuran domba dilakukan pada pagi hingga siang hari pukul 08.00-12.00 WIB.

c. Pengamatan tahap ketiga dilakukan satu hari setelah pencukuran wol domba. Pengamatan dilakukan di kandang kelompok tiap kandang terdiri dari 5 ekor domba. Pengamatan dilakukan di kandang pada saat pagi hingga siang hari (pukul 09.00-12.00 WIB). Pengamatan tingkah laku Domba Garut saat di kandang dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antara pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit

14 Domba Garut setelah satu, dua, tiga dan empat minggu setelah pencukuran.

Dokumen terkait