INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A. Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948
Salah satu prestasi kemanusiaan terbesar setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi ini bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Rights pada tahun 1966 yang secara umum kemudian dikenal dengan International Bill of Human Rights.
Hak asasi manusia telah disebut-sebut dalam Kovenan Liga Bangsa-Bangsa yang diantaranya , menuju pada pembentukan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Pada Konferensi di San Fransisco 1945, yang diselenggarakakn untuk merancang piagam PBB, sebuah usulan tentang “Deklarasi Tentang Hak Esential Manusia” telah diajukan namun tidak dibahas karena memerlukan pertimbangan yang lebih matang dari yang mungkin dilakukan pada saat itu. Piagam itu secara jelas menyebutkan “memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama” (pasal 1 ayat 3). Ide untuk membuat “Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia” juga dianggap oleh banyak pihak yang telah tersirat dalam Piagam tersebut.
Komisi persiapan PBB yang segera melakukan pertemuan setelah penutupan sidang Konferensi San Fransisco, merekomnedasikan agar Dewan
Ekonomi dan Sosial dalam sidang pertamanya membentuk sebuah komisi untuk memajukan hak-hak asasi manusia sebagaimana telah digambarkan dalam Pasal 68 Piagam PBB. Berdasarkan hal ini Dewan membentuk Komisi Hak Asasi Manusia di awal 1946.
Pada sidang pertama di tahun 1946, Majelis Umum membahas sebuah rancangan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar dalam persiapannya membuat ketentuan internasional tentang Hak Asasi Manusia (resolusi 43 ayat 1). Pada sidang pertamanya di awal 1947, komisi meminta pejabat-pejabatnya untuk merumuskan apa yang dinamakannya sebagai ”rancangan awal ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia”. Kemmudian, buruh tersebut diambil alih oleh suatu komite perancang formal yang terdiri dari anggota komisi dari delapan negara yang dipilih dengan memperhatikan letak geografisnya.
Pada mulanya, muncul perbedaan pendapat tentang bentuk ketentuan tentang hak asasi manusia. Komite perancang memutuskan untuk menyiapkan dua dokumen, yang pertama dibuat dalam bentuk deklarasi yang akan memuat prinsip-prinsip atau standar-standar umum hak asasi manusia, yang lainnya dalam bentuk konvensi yang akan merumuskan secara khusus hak-hak dan batas-batasannya. Sehubungan dengan itu, komisi menyampaikan rancangan pasal-pasal deklarasi internasional dan konvensi internasional tentang hak asasi manusia kepada Komisi Hak Asasi Manusia. Pada sidang yang kedua pada Desember 1947, Komisi memutuskan menggunakan istilah “Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia” untuk rangkaian dokumen yang sedang dipersiapkan dan membentuk
tiga kelompok kerja satu untuk deklarasi dan satu untuk konvensi (yang kemudian diganti menjadi kovenan) dan satu lagi untuk penerapan. Komisi merevisi rancangan dekklarasi pada sidangnya yang ketiga pada Mei –Juni 1948 dengan memperhatikan komentar-komentar yang diterima dari berbagai pemerintah. Akan tetapi, Komisi tidak memiliki waktu untuk membahas kovenan atau masalah penerapannya. Oleh karenanya Deklarasi disampaikan melalui Dewan Ekonomi dan Sosial kepada Majelis Umum dalamm pertemuannnya di Paris. Dengan Resolusi 217 A(III) tertanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum menetapkan Dekalrasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai instrumen pertama dari sekian yang telah direncanakan. DUHAM ditetapkan dan dicanangkan oleh Majelis Umum :
Sebagai standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara dengan tujuan agar setiap individu dan organ masyarakat, dengan selalu mengingat Deklarasi ini, harus mengupayakan melalui pengajaran dan pendidikan uuntuk memajukan penghormatan terhadap hak dan kebebasan ini, dan melalui upaya-upaya yang progresif , baik di lingkup nasional maupun internasional, untuk menjamin pengakuan dan pematuhannya secara universal dan efektif , baik di antara rakyat Negara Anggota sendiri, maupunn diantara rakyat yang berada di wilayah yang berada dalam wilayah hukumnya.
Empat puluh delapan negara medukung deklarasi, tidak ada yang menentang dan delapan negara tidak memberi suara. Dalam pernyataan setelah pemungutan suara, Presiden Majelis Umum mengemukakan bahwa penetapan Deklarasi ini merupakan suatu pencapaian yang luar biasa, sebuah langkah maju
dalam proses revolusi yang besar. Peristiwa ini merupakan kesempatan pertama di mana komunitas bangsa-bangsa yang terorganisir telah membuat Deklarasi Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar. Instrumen tersebut didukunng oleh otoritas pendapat PBB secara menyeluruh, dan jutaan manusia baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak seluruh dunia akan merujuk padanya untuk bantuan, pedoman dan inspirasi.
Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) diumumkan sebagai suatu standar pencapaian yang berlaku untuk semua rakyat dan semua negara. Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat “pengajaran dan pendidikan” serta lewat langkah-langkah progresif, secara nasional dan internasional, guna mnejamin pengakuan dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya.54
Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termasuk di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbaharui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan sosial seperti jaminan sosial suatu standarbagi suatu kehidupan
54
yang layak serta pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa sesungguhnya, semua orang memiliki hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.55
Suasana Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur mewarnai penurunan DUHAM kedalam instrumen hukum HAM internasional. Pertarungan antara ide sosialisme (Blok Timur) dan individualisme liberal (Blok Barat) menjadikan instrumen hukum sebagai turunan DUHAM dalam bentuk kovenan yang menjadi Kovenan Sipil dan Kovenan Ekosoc. Kovenan Sipil dan Politik Deklarasi hak asasi manusia menggantikan tiga hak umum ynag diajukan oleh Locke yaitu hak atas kehidupan, kebebasan dan kekayaan pribadi. Di antara hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi untuk memilki kehidupan, kebebasan dan keamanan utnuk bebas beragama, untuk bebas berpikir dan berekspresi, untuk bebas berkumpul dan berserikat
B. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on
Civil and Political Rights)
Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights. Pada tanggal 16 Desember 1966 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi MU PBB No.2200 A (XXI) mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) pada tanggal 23 Maret 1976.
55
. James, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 4.
pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara. Sehingga dalam hal ini hak-hak yang diatur di dalamnya disebut juga hak-hak negatif (negatif rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang diatur dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Sedangkan kovenan Ekonomi, Sosial dan Budayya justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan aktif atau menunjukkan peran minus. Sehingga hak-hak di dalam kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya disebut juga sebagai hak-hak positif (positif rights)56
Hak-hak yang termuat dalam Kovenan Sipil dan Politik dibagi atas hak-hak dalam jenis hak-hak-hak-hak yang tidak boleh dibatasi (non-derogable rights) dan hak-hak yang boleh dibatasi (derogable rights). Non- derogable rights terdiri dari : (a) hak untuk hidup ( rights to life), (b) hak untuk bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), (c) hak untuk bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery), (d) hak bebas dari pemindanaan yang berlaku surut, (e) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang), (f) hak sebagai subjek hukum, (g) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
Ekosob justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran minus. Sehingga hak-hak di dalam kovenan EKOSOC disebut juga hak-hak positif (positif rights).
56
Sedangkan hak-hak yang boleh dibatasi (derogable rights) antara lain : (a) hak atas kebebasan berkumpul secara damai, (b) hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, dan (c) hak untuk menyatakan kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan mnecari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan). Hak-hak ini hanya dapat dibatasi tanpa diskriminasi dengan alasan : (a) Menjaga ketertiban umum, moralitas umum, kesehatan atau keamanan nasional dan (b) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Negara bertanggungjawab penuh menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak sipil dan politik secara mutlak dan harus segara dilaksanakan (immediately), tidak dapat ditunda-tunda. Disamping itu, negara juga harus melakukan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan dalam Kovenan Sipil dan Politik secara efektif.
C. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights)
Economic Social and Culture Rights, atau lebih dikenal sebagai ECOSOC, adalah salah satu kovenan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memuat penegasan hak-hak dasar ekonomi, sosial dan budaya setiap manusia dibentuk pada tanggal 3 Januari 1976. Hak-hak dasar tersebut diantaranya adalah hak untuk memperoleh pekerjaan hak untuk mencapai taraf kesehatan yang tinggi dan sebagainya.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 dengan pemungutan suara 48
menyetujui, 0 menolak dan 8 abstain. DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi dan kebebasan fundamnetal manusia sebagai standart acuan pencapaian bersama bagi semua rakyat dan bangsa. Dokumen tersebut merupakan kesempatan bersama yang merujuk sebagai Magna Charta Internasional dalam hak-hak asasi manusia.
Mengklaim suatu hak sebagai hak asasi manusia sama artinya dengan menegaskan bahwa orang memiliki hak itu sebagai pribadi bukan sebagai warga negara. Sejumlah besar hak yang umumnya tidak diklasifikasikan sebagai hak ekonomi memang dapat mendatangkan implikasi-implikasi bagi apa yang diperbolehkan atau yang diharuskan dalamm bidang ekonomi. Misalnya hak atas kebebasan berkumpul akan melindungi pertemuan-pertemuan untuk membahas rencana pendirian serikat buruh baru, dan hak atas pendidikan.57
Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik memungkinkan Komite Hak Asasi Manusia, yang didirikan berdasarkan Kovenan tersebut, menerima dan membahas komunikasi dari para individu yang menyatakan dirinya korban pelanggaran hak apapun dalam kovenan ini. Berdasarkan Pasal 1 Protokol Opsional, Negara Kovenan yang juga menjadi Negara Pihak Protokol, mengakui kompetensi Komite Hak Asasi Manusia utnuk menerima dan membahas komunikasi dari individu yang berada di bawah wilayah hukumnya, yang menyatakan dirinya korban pelanggaran hak oleh Negara yang D. Protokol Opsional Pertama dan Protokol Opsional Kedua
57
diatur dalam kovenan. Para individu yang membuat pernyataan tersebut, dan telah menggupayakan segala bentuk penyelesaian secara domestik, berhak menyampaikan komunikasi tertulis kepada komite (Pasal 2). Komunikasi yang telah diputuskan dapat diterima Komite (di samping Pasal 2, Pasal 3 dan 5 [2] mengatur syarat-syarat penerimaan komunikasi) untuk diperhatikan oleh Negra Pihak yang diduga telah melanggar ketentuan dalam Kovenan. Dalam jangka waktu enam bulan, Negara tersebut harus memberikan penjelasan atau pernyataan tertulis kepada Komiter yang menjelaskan tentang masalah tersebut dan menunjukkan upaya penyelesaian apapun yang telah dilakukannya apabila ada.
Komite Hak Asasi Manusia akan membahas komunikasi yang diterima dalam sebuah rapat tertutup, dengan memperhatikan informasi tertulis yang diberikan kepadannya oleh individu dan Negara Pihak yang bersangkkutan. Komite kemudian menyampaikan pandangannya kepada Negara Pihak dan individuu (Pasal 5). Ringkasan kegiatan Komite didasarkan pada Protokol Opsional akan dimasukkan dalam laporan yang diserahkan oleh Komite setiap tahunnya kepada Majelis Umum melalui Dewan Ekonomi dan Sosial (Pasal 6). Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mulai berlaku bersamaan dengan Kovenan, setelah menerima sedikitnya 10 dokumen ratifikasi atau aksesi sebagaimana dipersyaratkan. Hingga 30 September 1995, 85 Negara Pihak Kovenan juga telah menjadi Pihak Protokol Opsional Pertama.
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang bertujuan menghapuskan hukumann mati, ditetapkann oleh Majelis Umum dalam resolusi 44/128 tertanggal 13 Desember 1989. Berdasarkan Pasal 1, tidak
seorangpun dalam wilayah hukum suatu Negara Pihak Protokol ini dapat dihukum mati. Berdasarkan Pasal 3 Protokol, Negara-negara Pihak harus mencantumkan informasi tentang upaya-upaya yang diambil untuk mewujudkan Protokol, dalam laporan yang diserahkan kepada Komite Hak Asasi Manusia.
Pasal 5 Protokol Opsional Kedua menyebutkan bahwa sehubungan dengan suatu negara yang menjadi Pihak Protokol Opsional Pertama, kompetensi Komite Hak Asasi Manusia untuk meneriam dan membahas komunikasi dari individu yang berada di bawah wilayah hukum Negara tersebut mencakup pula ketentuan yang ada dalam Protokol Opsional Kedua, kecuali jika Negara Pihak yang bersangkutan telah membuat pernyataan yang sebaliknya pada saat ratifikasi atau aksesi. Berdasarkan Pasal 6, ketentuan dalam Protokol Opsional Kedua berlaku sebgai ketentuan tambahan bagi Kovenan. Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang bertujuan menghapuskan hukuman mati berlaku pada 11 Juli 1991 setelah menerima sedikitnya 10 dokumen ratifikasi atau aksesi sebagaimana dipersyaratkan. Hingga 30 September Protokol telah diratifikasi oleh 28 negara.
E. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman lainnya, Perlakuan atau Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau Yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan (Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Pada tanggal 10 Desember 1984, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan sebuah resolusi, yaitu Resolusi Nomor 39/46 tentang pengesahan sebuah konvensi
yang dikenal dengan nama Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman lainnya, Perlakuan atau Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau Yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan), yang selanjutnya disebut konvensi. Semenjak itu, Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi, atau diaksesi oleh negara-negara anggota maupun bukan anggota PBB. Konvensi ini mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 28 Juni 1987 sesuai dengan pasal 27 ayat 1 Konvensi.
Sebelum lahirnya konvensi ini, jauh sebelumnya yaitu pada tanggal 9 Desember 1975, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan resolusi Nomor 3452 (XXX) yang berisi suatu deklarasi yang dikenal dengan Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Tindakan Kejam Lainnya, Perlakuan atau Penghukuman yang tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Kemanusiaan)58
58
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung, Yrama Widya,2004, hlm239-240.
.
F. Instrumen Internasional Lainnya tentang Hak Asasi Manusia
Pengaturan hukum internasional terhadap HAM dimulai dari piagam PBB 1945, yang akhirnya menetapkan Deklarasi Universal tentang hak-hak asasi manusia tahun 1948, yang dilanjutkan pada tahun 1949 melalui konvensi Jenewa dimana dimuat bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Lebih dari 50 perangkat hak-hak asasi manusia yang sudah dirundingkan maupun sudah ditetapkan di bawah pengawasan PBB . Sebagian besar dirancang oleh kelompok kerja dari komisi PBB mengenai hak asasi manusia yang berada di bawah dewan ekonomi dan sosial.
Konvensi pemusnahan satu golongan bangsa yang mulai berlaku pada tahun 1951 yang disetujui oleh Majelis Umum satu hari sebelum deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia tahun 1948, merupakan tanggapan langsung terhadap kekejian yang berlangsung selama Perang Dunia II. Konvensi ini menyebutkan tindakan pemusnahan kelompok bangsa, suku bangsa maupun agama adalah salah satu kejahatan dibawah hukum internasional.
Tahun 1957, ada 3 perjanjian yang lahir mengenai HAM yaitu pertama, adalah perjanjian internasional mengenai hak perekonomian, sosial , kebudayaan, kedua perjanjian internasional tentang hak-hak politik dan sipil. Ketiga Protokol Opsional atas perjanjian internasional tentang hak –hak politik dan sipil. Dilanjutkan dengan deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada negara dan rakyat jajahan pada tahun 1960 yang menyatakan kemerdekaan merupakan hak dari suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi Rasial pada tahun 1965, yang berlaku mulai tahun 1969., Konvensi ini menyakinkan negara bahwa” doktrin apapun yang didasarkan pada superioritas perbedaan ras secara ilimiah salah secara moral terkutuk, secara sosial tidak adil dan berbahaya, dan bahwa tak ada pembenaran bagi diskriminasi rasial baik dalam teori maupun praktek.
Konvensi ini merupakan satu diantara perangkat internasional mengenai hak-hak asasi manusia yang paling banyak mendapatkan pengakuan universal.
Lanjutan dari Deklarasi Universal tentang hak-hak asasi manusia 1948 adalah Proklamasi Teheran tahun 1968 dan Konferensi Wina tahun 1993. Dua dokumen ini merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional.
Konvensi mengenai penekanan dan penghukuman terhadap kejahatan apartheid pada tahun 1973 yang mulai berlaku tahun 1976. Menegakkan kembali diskriminasi rasial yang disahkan secara sistematis yang di Afrika Selatan dikenal dengan aparheid adalah suatu kejahatan di bawah hukum internasional perorangan atau kelompok yang “bersengkokol” mendorong atau bekerjasama dalam melaksanakan apartheid.
Konvensi mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita tahun 1979, yang berlaku pada tahun 1981, meliputi langkah-langkah yang harus diambil untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita di bidang politik dan kehidupan bermasyarakat, kewarganegaraan, pendidikan, lapangan pekerjaan, kesehatan, perkawinan, dan keluarga.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Penghukuman Lain yang kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia tahun 1984, yang berlaku mulai tahun 1987. Mendefinisikan penyiksaan dan mengharuskan negara untuk bertanggungjawab mencegah penyiksaan selama batas yurisdksi mereka dan membuatnya secara hukum bisa dihukum.
Konvensi mengenai hak-hak anak yang dicetuskan dan mulai berlaku pada tahun 1989. Konvensi ini memuat sejumlah deretan hak-hak anak dan setiap pelanggaran terhadap hak anak.
Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak pada tahun 2000.
Konvensi PBB Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisasi (Konvensi Palermo) tahun 2000.
Dan yang paling mendapat perhatian besar dari masyarakat internasional, sekaligus merupakan lahirnya Makhamah Pidana Internasional yang bersifat permanen adalah Statuta Roma tahun 1998. Statuta ini beriisikan tentang definisi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahataan perang dan juga memuat jurisdiksi Makhamah Pidana Internasional . Statuta Roma 1998 juga bertujuan untuk memutuskan rantai impunity yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Ada beberapa perangkat hukum internasional tentang kemanusiaan yang merupakan cetusan-cetusan dari negara-negara Eropa seperti Konferensi Paris tahun 1989, Konferensi Kopenhagen tahun 1990, Konferensi Moskow tahun 1991, Konferensi Helsinky tahun 1992.
BAB IV
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENAHANAN AUNG SAN SUU KYI OLEH JUNTA MILITER MYANMAR DIDASARKAN INSTRUMEN
INTERNASIONAL TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Dilanggar oleh Pemerintahan Junta Militer Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi
Semenjak tanggal 29 Juli 1989 penahanan yang dilakukan terhadap Aung San Suu Kyi oleh pemerintahan Myanmar telah banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran hak sipil dan hak politik, pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah Myanmar telah menahan Aung San Suu Kyi secara sewenang-wenang yang hal ini telah melanggar Pasal 9 DUHAM yang berbunyi :” Tak seorang pun boleh dikenai penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang.
Bentuk pelanggaran yang telah dilanggar oleh Junta Militer Myanmar antara lain:
1. A. Pelanggaran Hak untuk hidup (the right to life), dengan dilakukannya penahanan yang sewenang-wenang telah melanggar hak dasar Aung San Suu Kyi sebagai manusia karena dibatasinya kegiatannya dalam menjalankan kehidupannya.
B. Pelanggaran Hak untuk tidak dipenjara, sesuai pasal 11 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yaitu “tidak seorang pun dapat dipenjarakan semata-mata atas dasar ketidakmampuannya untuk
memenuhi suatu perjanjian”. Berdasarkan dengan ketentuan ini, maka pemerintahan Myanmar telah melakukan pelanggaran karena telah memenjarakan Aung San Suu Kyi tanpa melalui suatu proses hukum yang jelas dan adil. Penahanan ini juga dikaitkan dengan pasal 9 ayat (1) ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang berbunyi:” setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi, tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang, tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan atau sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Berdasarkan hal ini, maka pemerintahan Myanmar juga telah melakukan pelangggaran terhadap diri Aung San Suu Kyi yang telah ditahan dari tahun 1992 hingga sekarang tanpa dilakukannya proses pengadilan yang adil dan jujur.
C. Pelanggaran hak untuk dinyatakan tidak bersalah, sesuai dengan pasal 11 ayat (2) DUHAM menyebutkan:” Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian, yang bukan merupakan pelanggaran pidana berdasarkan hukum nasional maupun hukum interanasional ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak boleh dijatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang