• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

G. Instrumen Penelitian

menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji Wilcoxon

Jumlah responden pada variabel pengetahuan (Pre) kategori baik 48%, cukup 39%, buruk 13%. Pada Post-1 kategori baik 64%, cukup 26%, buruk 10% (p<0,05), Post-2 kategori baik 61%, cukup 36%, buruk 3% (p<0,05), Post-3 kategori baik 58%, cukup 39%, buruk 3% (p<0,05). Variabel sikap dan variabel tindakan tidak meningkat signifikan (p>0,05). Kesimpulan penelitian adalah metode CBIA dapat meningkatkan pengetahuan mengenai DM (p<0,05) namun tidak demikian pada sikap dan tindakan.

ABSTRACT

Insufficient knowledge about Diabetes causes complication. Thus, preventive actions are necessary. CBIA is a method to enhance people’s knowledge in a way to prevent complication. The objective of this study is to measure the increase of knowledge, attitude, and practice after CBIA intervention.

This study is basically a quasi-experimental study in a time-series nature: before intervention, 1 month , and 2 months after intervention. This study took place in SMK 2 Depok where 31 male employees and teachers aged 26-45 years old became the subjects of this study. This study used nonrandom sampling method (quota sampling). The research instruments were in the forms of validated questionnaires. Data analysis method used the Shapiro-Wilk normality test. Wilcoxon Test was utilized for all variable.

Amount respondent of knowledge before the intervention kategorized good 48%,fair 39%,poor 13%, Post-1 kategorized good 64%,fair 26%,poor 10% (p<0,05), Post-2 kategorized good 61%,fair 36%,poor 3% (p<0,05), Post-3 kategorized good 58%,fair 39%,poor 3% (p<0,05). Attitude and practice variable not increase (p>0,05). Thus, it can be concluded that CBIA can increase respondent’s knowledge about DM (p<0,05) but not their attitude and practice. Keyword : Diabetes Mellitus , CBIA, knowledge, attitude, practice

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

DM merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. DM ada beberapa tipe yaitu DM tipe 1, DM tipe 2 dan diabetes gestasional. Pada penelitian ini sasarannya adalah diabetes tipe 2 yang pada umumnya diderita setelah dewasa karena pola hidup yang kurang sehat (RISKESDAS, 2013).

DM berdasarkan wawancara pada masyarakat Indonesia dengan usia >15 tahun (722.329 responden) terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,4 persen (2013). Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9 persen (RISKESDAS, 2013). Persentase peningkatan kejadian DM ini perlu menjadi suatu perhatian baik bagi semua tenaga kesehatan maupun bagi masyarakat luas.

Dilihat dari prevalensi DM yang cukup tinggi akan membutuhkan pelayanan dan tenaga kesehatan yang lebih banyak, oleh karena itu perlu adanya

care giver untuk membantu tenaga kesehatan. Tujuan tersebut dapat diraih dengan

adanya pemberian edukasi pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai diabetes. Salah satu pemberian edukasi yang tepat adalah CBIA. CBIA (Cara Belajar Insan Aktif) adalah metode yang digunakan untuk edukasi publik yang mana lebih menekankan pada keaktifan partisipan dalam mencari informasi. Edukasi publik ini dapat juga berupa edukasi kesehatan

seperti edukasi mengenai DM. Untuk meningkatkan kepedulian maupun kewaspadaan mengenai diabetes tidak hanya ditargetkan pada penderita/pasien tetapi edukasi juga ditujukan pada keluarga ataupun kader kesehatan. Oleh karena itu CBIA sangat cocok untuk diaplikasikan di kalangan masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai DM (Hartayu, 2012).

Pemberian edukasi dengan metode CBIA mengenai DM pada masyarakat cukup penting dikarenakan beberapa faktor. Faktor usia merupakan salah satu yang membedakan pemahaman tentang pengatasan penyakit pada dirinya sendiri. Dalam model sistem kesehatan menyatakan umur termasuk dalam faktor sosial demografi yang mempengaruhi seseorang untuk mencari pengobatan dan menggunakan pelayanan kesehatan. Semakin dewasa maka semakin mengerti akan pemilihan pemanfaatan pelayanan kesehatan karena berhubungan dengan pola pikir (Notoatmodjo, 2010). Selain itu DM berdasarkan diagnosis dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥65 tahun cenderung menurun (RISKESDAS, 2013). Dari dasar bahwa usia dewasa sudah cukup matang untuk mengerti tentang pentingnya kesehatan dan juga semakin bertambah usia kemungkinan menderita DM semakin tinggi oleh karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan berdasarkan usia yaitu pada usia dewasa. Menurut DepKes rentang usia dewasa adalah 26 sampai 45 tahun, sehingga rentang usia tersebutlah yang dijadikan subjek uji peneliti.

 

Selain faktor usia, jenis kelamin juga merupakan hal yang cukup penting untuk menjadi kriteria dalam penelitian ini. Pria dan wanita memiliki perbedaan-perbedaan yang dimana dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan tindakan dalam suatu hal. Perempuan tampil lebih baik dalam tugas verbal, ingatan, kefasihan dalam kata, dan penalaran induktif, sedangkan laki-laki lebih berprestasi dalam orientasi spasial dan angka (Yuwono, 2008). Selain itu faktor resiko juga menjadi salah satu pembeda antara pria dan wanita, salah satu faktor resiko Diabetes adalah obesitas. Pada usia diatas 20 tahun, pria yang mengalami obesitas sebesar 74% sedangkan wanita 64% (NHANES, 2010). Gula darah puasa (GDP) pada pria dan wanita juga berbeda. GDP terganggu adalah keadaan yang beresiko tinggi untuk berkembang menjadi DM, pada pria GDP 40,4% sedangkan pada wanita 34,4% (RISKESDAS, 2013). Melihat adanya perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita tersebut dimana dari data yang sudah disebut ternyata pria cenderung mengalami kemungkinan menderita DM maka peneliti ingin mengidentifikasi pengetahuan, sikap, dan tindakan pada pria dewasa di SMKN 2 Depok mengenai DM. Dilakukan pengambilan data di SMKN 2 Depok dikarenakan dua alasan yaitu tersedianya jumlah responden yang mencukupi dan sesuai dengan kriteria inklusi peneliti.

Diharapkan edukasi mengenai DM dengan metode CBIA bisa menjadi salah satu cara yang cukup baik sebagai bentuk pencegahan ataupun meningkatkan derajat kesehatan bagi masyarakat yang mengalami DM maupun tidak mengalami. Dalam penelitian ini khususnya ditujukan kepada pria dewasa

sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pria dewasa memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk terkena DM.

1. Perumusan masalah

a. Seperti apakah karakteristik demografi responden?

b. Seperti apakah tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat mengenai DM sebelum dilakukan intervensi ?

c. Seperti apakah tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat mengenai DM setelah dilakukan intervensi ?

d. Apakah ada peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan sebelum dan sesudah intervensi mengenai DM?

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang penulis ketahui, penelitian berjudul “Peningkatan

pengetahuan sikap dan tindakan pria dewasa di SMKN 2 Depok Yogyakarta mengenai Diabetes Melitus dengan metode CBIA” belum pernah dilakukan dan

dipublikasikan oleh para peneliti sebelumnya.

Penelitian sejenis yang sudah pernah dilakukan dan dipublikasikan di antaranya adalah

a. Perbedaan pengaruh metode edukasi secara CBIA dan ceramah mengenai kanker serviks dan papsmear terhadap peningkatan pengetahuan, perubahan sikap, dan tindakan ibu-ibu di Kecamatan Mlati dan Kecamatan Gamping ditinjau dari faktor usia (Firstya, 2010).

 

Perbedaan penelitian yang dilakukan Firstya (2010) dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada perbandingan metode. Pada penelitian Firstya (2010) membandingkan dua metode untuk menentukan mana yang lebih efektif apakah CBIA atau ceramah sedangkan peneliti hanya menggunakan metode CBIA saja karena ingin mengetahui apakah ada peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan yang terjadi dengan metode CBIA

b. Efektifitas metode cara belajar insan aktif untuk DM (CBIA-DM) dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap pola hidup sehat pada penyandang DM tipe 2 di Yogyakarta Indonesia (Hartayu, 2010).

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Hartayu (2010) dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada subjek uji. Pada penelitian oleh Hartayu (2010) dilakukan penelitian pada penderita Diabetes dengan skala lokasi yang lebih luas yaitu Yogyakarta sedangkan peneliti melakukan penelitian pada lingkup yang lebih spesifik yaitu hanya di satu sekolah dan umum dalam arti tidak harus penderita Diabetes.

3. Manfaat peneltian

a. Manfaat teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau referensi mengenai pemahaman DM yang baik dari segi pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat khususnya pada guru dan karyawan di SMKN 2 DEPOK.

b. Manfaat praktis.

1) Bagi tenaga kesehatan dan masyarakat (kader kesehatan)

Data yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pihak-pihak terkait dalam menangani masalah yang berkaitan dengan Diabetes sehingga dapat digunakan untuk mencegah ataupun menekan jumlah penderita Diabetes.

2) Bagi pemerintah

Data yang diperoleh diharapkan dapat membantu menurunkan anggaran pemerintah di bidang kesehatan dan membantu meningkatkan program-program kesehatan pemerintah yang terkait.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh edukasi dengan metode CBIA tentang DM terhadap tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan pria dewasa di SMKN 2 Depok kota Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik demografi responden.

b. Mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat mengenai DM sebelum dilakukan intervensi dengan metode CBIA.

c. Mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat mengenai DM setelah dilakukan intervensi dengan metode CBIA.

 

d. Mengukur peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan saat sebelum intervensi dan sesudah intervensi mengenai DM dengan metode CBIA.  

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Maulana, 2009). Pengetahuan menjadi penyebab atau motivator bagi seseorang untu bersikap dan berperilaku (Azwar, 2008)

2. Faktor-faktor yang memengaruhi aspek pengetahuan a. Faktor internal.

1). Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk memperoleh informasi berupa hal-hal yang menunjang kesehatan untuk meningkatkan kesehatan. Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah

2). Umur

Tingkat kematangan seorang individu dalam berfikir dan bekerja sebanding dengan pertambahan usia. Semakin tingginya umur seorang

 

individu, semakin meningkat pula kemampuan seseorang untuk memutuskan perilaku yang akan dilakukannya

3). Pekerjaan

Pekerjaan diartikan sebagai kegiatan mencari nafkah yang dilakukan seorang individu untuk menunjang kehidupannya. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung

b. Faktor eksternal. 1). Faktor lingkungan

Lingkungan merupakan kondisi di sekitar manusia yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku seorang individu.

2). Sosial budaya

Sistem sosial budaya yang berlaku di masyarakat dapat mempengaruhi sikap individu dalam menerima informasi. (Wawan dan Dewi, 2011). 3. Pengukuran tingkat pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Pengukuran kualitatif dengan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus (Notoatmodjo, 2010).

Pengukuran tingkat pengetahuan responden dilakukan dengan menjawab pertanyaan kuesioner “ya” atau “tidak”. Nilai dilihat dari apakah responden benar

dalam menjawab atau tidak. Apabila jawaban responden benar akan dinilai satu sedangkan apabila salah akan dinilai nol (Notoatmodjo, 2010). Setelah itu responden di kategorikan apakah masuk kategori tinggi, sedang atau rendah sesuai aturan berikut

a. Tingkat pengetahuan baik, apabila jawaban responden benar 76-100% b. Tingkat pengetahuan cukup/sedang, apabila jawaban responden benar antara 56-75%

c. Tingkat pengetahuan kurang, apabila jawaban responden benar antara <56% (Nursalam, 2013).

B. Sikap

1. Pengertian

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).

2. Faktor yang memengaruhi sikap a. Hal-hal yang mempengaruhi sikap

1). Pengalaman pribadi merupakan dasar pembentukan sikap karena sifatnya yang kuat dalam meninggalkan kesan.

 

2). Pengaruh orang lain yang dianggap penting menimbulkan kecenderungan seorang individu untuk patuh dan searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

3). Pengaruh kebudayaan tanpa disadari telah menanamkan dan mengarahkan sikap seorang individu terhadap berbagi masalah.

4). Media massa berupa surat kabar, radio dan televisi seharusnya menyampaikan pesan yang bersifat obyektif, namun adanya pengaruh dari penulis mempengaruhi sikap seorang individu.

5). Lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan yang nantinya akan mempengaruhi aspek sikap seorang individu.

6). Faktor emosional terkadang dapat mendasari suatu bentuk dari aspek sikap (Wawan dan Dewi, 2011).

b. Hal-hal yang dapat memengaruhi sikap adalah : 1). Adopsi

Suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kegiatan yang berulang dan terus-menerus sehingga lama kelamaan secara bertahap akan diserap oleh individu (misalnya pola asuh dalam keluarga)

2). Diferensiasi

Terbentuk dan berubahnya sikap karena individu telah memiliki pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan bertambahnya umur. Hal yang pada awalnya dipandang sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan lepas dari jenisnya sehingga membentuk sikap tersendiri. Sebagai contoh, anak

yang semula takut terhadap orang yang belum dikenalnya, berangsur-angsur mengetahui mana yang baik dan yang jahat sehingga mulai dapat bermain dengan orang yang disukainya.

3). Integrasi

Sikap terbentuk secara bertahap. Diawali dari pengetahuan dan pengalamab terhadap objek sikap tertentu (misalnya, mahasiswa keperawatan yang rajin mengikuti perkuliahan, praktik klinik, dan mengikuti seminar-seminar keperawatan, akhirnya akan bersikap positif terhadap profesi keperawatan).

4). Trauma

Pembentukan dan perubahan sikap terjadi melalui kejadian yang tiba-tiba dan mengejutkan sehingga menimbulkan kesan mendalam. Sebagai contoh, individu yang pernah sakit perut karena membeli dan makan rujak di pinggir jalan sampai masuk rumah sakit, akan bersikap negatif terhadap makanan tersebut.

5). Generalisasi

Sikap terbentuk dan berubah karena pengalaman traumatic pada individu terhadap hal tertentu dapat menimbulkan sikap tertentu (positif atau negatif) terhadap semua hal. Sebagai contoh, pasien yang pernah mendapat perawatan yang tidak professional dari seorang perawat akan memiliki sikap negatif terhadap semua perawat (Maulana, 2009).

  3. Pengukuran tingkat sikap

Dalam penelitian sikap digunakan skala likert disebut pula dengan

summated-rating scale. Skala ini merupakan skala yang paling sering dan paling

luas digunakan dalam penelitian, karena skala ini memungkinkan peneliti untuk mengungkapkan tingkat intensitas sikap/perilaku atau perasaan responden. Untuk mendapatkan skala linkert tersebut, instrumen harus didesain sedemikian rupa, umumnya menggunakan pertanyaan tertutup dengan lima (5) alternative jawaban secara berjenjang. Jenjang jawaban tersebut adalah : “sangat setuju”, “setuju”, “netral”, “ tidak setuju”, “sangat tidak setuju”. Penetuan skor pada jenjang skala linkert tersebut harus disesuaikan dengan jenis narasi pertanyannya, yaitu apakah narasi pertanyaan bersifat negative (unfavourable) atau pertanyaannya positif (favourable) (Mustafa, 2009).

Pada pernyataan sikap dan tindakan menggunakan skala Likert disini responden diminta melakukan agreement dan disagreement untuk masing – masing item dalam kuisioner dengan skala yang terdiri dari 4 point, Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS)). Semua pertanyaan positif (favorable) kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu diberi skor 4 untuk “sangat setuju”, 3 untuk “setuju”, 2 untuk “tidak setuju” , dan 1 untuk “sangat tidak setuju”. Untuk jawaban pertanyaan negatif (unfavourable) diberi skor 4 untuk “sangat tidak setuju”, 3 untuk “tidak setuju”, 2 untuk “setuju” , dan 1 untuk “sangat setuju” (Notoatmodjo, 2010). Kemudian langkah selanjutnya adalah memasukan responden dalam kategori Baik, Cukup, atau Buruk sesuai aturan berikut:

a. Baik, apabila jawaban responden benar 76-100%

b. Cukup/sedang, apabila jawaban responden benar antara 56-75%

c. Buruk, apabila jawaban responden benar antara <56 (Nursalam, 2013).

C. Tindakan

1. Pengertian

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas dan faktor pendukung (Maulana, 2009).

2. Faktor yang memengaruhi tindakan a. Tingkatan tindakan.

1). Persepsi

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama (misalnya, seorang ibu memilih makanan bergizi bagi bagi anak balitanya)

2). Respon terpimpin

Hal ini berarti dapat melakukan sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

3). Mekanisme

Mekanisme berarti dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau telah merupakan kebiasaan.

  4). Adopsi

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang telah berkembang dengan baik. Hal ini berati tindakan tersebut telah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (misalnya, ibu dapat memilih dan memasak makanan bergizi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan sederhana).

b. Gangguan tindakan. 1). Kelambatan

Gangguan yang ditandai dengan gerakan dan reaksi tubuh secara umum lambat

2). Peningkatan

Aktivitas dan reaksi umum meningkat seperti gaduh- gelisah katatonik 3). Gangguan somatomotorik pada reaksi konversi

Keadaan ini sering menggambarkan secara simbolik suatu konflik emosional (Maulana, 2009)

3. Pengukuran tingkat tindakan

Pengukuran tindakan dapat dilakukan melalui 2 metode yaitu langsung dan tidak langsung. Metode langsung adalah peneliti langsung mengamati atau mengobservasi perilaku subjek yang diteliti. Metode tidak langsung adalah peneliti tidak secara langsung mengamati perilaku orang yang diteliti. Untuk melakukan metode langsung dapat dilakukan dengan metode mengingat

kembali,melalui orang ketiga yang dekat dengan subjek, dan melalui indicator (Notoatmodjo, 2010).

Pengukuran tindakan menggunakan skala yang sama dengan variabel sikap yaitu skala Linkert sehingga cara pengukurannya sama persis seperti pengukuran sikap.

D. Upaya untuk Meningkatkan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan

Pendidikan dalam arti formal adalah suatu proses penyampaian bahan atau materi pendidikan oleh pendidik kepada sasaran pendidikan guna mencapai perubahan tingkah laku. Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan literatur, didapatkan bahwa perilaku masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat terbentuk melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan memiliki peranan penting dalam mengubah dan menguatkan faktor perilaku (predisposisi, pendukung, dan pendorong) sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat. Pendidikan kesehatan yang dilakukan bisa seperti penyuluhan ataupun seminar (Maulana, 2009).

Beberapa metode edukasi kesehatan yang dapat digunakan adalah

a. untuk satu orang dapat digunakan metode bimbingan dan penyuluhan serta wawancara

 

b. untuk kelompok besar (peserta lebih dari 15) dapat digunakan metode ceramah dan seminar

c. untuk kelompok kecil (peserta kurang dari 15) dapat digunakan metode diskusi kelompok, curah pendapat, memainkan peran, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007)

Metode pendidikan kelompok harus memperhatikan apakah kelompok itu besar atau kecil, karena metodenya akan lain. Efektifitas metodenya pun akan tergantung pada besarnya

1. Kelompok Besar

a. Ceramah. Metode yang cocok untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Ceramah cenderung interaktif yaitu melibatkan peserta melalui adanya tanggapan balik atau perbandingan dengan pendapat dan pengalaman peserta

b. Seminar. Hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian dari satu ahli atau beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat dimasyarakat.

2. Kelompok Kecil

a. Diskusi kelompok. Pembahasan suatu topik dengan cara tukar pikiran antara dua orang atau lebih, dalam kelompok-kelompok kecil, yang direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu (Fitriani, 2011).

Metode ceramah akan berhasil bila penceramah dapat mempersiapkan diri dengan mempelajari materi menurut sistematika yang baik dan

mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran. Metode edukasi kesehatan lainnya yang dapat dipakai adalah metode Cara Belajar Insan Aktif. Metode ini dilaksanakan dalam bentuk kelompok kecil yaitu 6-8 orang, yang melakukan diskusi intensif berbasis masalah. Metode CBIA dapat meningkatkan pengetahuan responden setelah 1 bulan pemberian edukasi mengenai kanker serviks dan

papsmear jika dibandingkan dengan edukasi dengan metode seminar

(Anggayasta, 2010)

Upaya meningkatkan tindakan diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas dan dukungan (support) (Maulana, 2009). Salah satu faktor pendukungnya adalah peningkatan pengetahuan dan sikap sehingga upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap berbanding lurus dengan peningkatan tindakan responden seperti halnya metode CBIA.

CBIA adalah metode yang lebih mengacu pada keaktifan responden dalam mencari informasi. CBIA selain dapat meningkatkan pengetahuan juga dapat meningkatkan sikap dan tindakan responden. CBIA berhasil sebagai metode yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan responden mengenai DM dalam kurun waktu 6 bulan (Hartayu, 2010)

E. Diabetes Melitus

Diabetes adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa

 

darah di atas nilai normal, disebabkan karena adanya gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif (Goldstein, 2008)

F. Diabetes Melitus tipe 2 1. Pengertian

DM tipe 2 atau sering disebut Non Insulin Dependent DM. DM tipe ini terjadi karena resistensi insulin dan atau kurangya sekresi insulin. Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pancreas tidak dapat memenuhi jumlah yang dibutuhkan sehingga menyebabkan hiperglikemia (Goldstein, 2008).

2. Patogenesis

DM tipe 2 disebakan oleh kurangnya produksi insulin yang disebabkan oleh 2 hal yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel beta. Resistensi insulin merupakan keadaan dimana kemampuan jaringan perifer untuk berespon terhadap insulin berkurang. Disfungsi sel beta bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia (Mitchell, 2008).

Gambar 1. Patogenesis DM (Porth, 2004)

a. Resistensi Insulin. Sekresi dari hormon-hormon kontrainsulin dapat menyebabkan resisten pada insulin. Mekanisme yang mungkin sebagai penyebab resistensi insulin antara lain mekanisme down-regulasi, defisiensi atau polimorfisme genetic dari fosforilasi tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau abnormalitas fungsi GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal (Wilcox, 2005).

b. Disfungsi Sel β. Disfungsi sel β pada diabetes tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel ini beradaptasi terhadap kebutuhan jangka panjang resistensi insulin perifer dan peningkatan sekresi insulin. Pada

 

keadaan resistensi insulin, sekresi insulin mula-mula meningkat karena adanya peningkatan kadar glukosa. Namun karena insulin yang disekresikan berlebih (hiperinsulinemia), sel β merespons untuk mengurangi produksi insulin. Respon pengurangan produksi insulin yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sel β (Robbins & Cotran, 2008)

3. Faktor resiko

Ada beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap resistensi atau

Dokumen terkait