• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN ILMU

2. Inteligensi

1. Pengertian Inteligensi Secara Etimologis

Inteligensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga

berasal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia”. Definisi mengenai intelegensi menurut Wechsler mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional

dan menghadapi lingkungannya secara efektif. (Pal HR, Pal A, Tourani P. 2004)

2. Definisi Inteligensi Menurut Para Ahli.

Alfred Binet mendefinisikan Inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu (Gottfredson L, Saklofske DH. 2009 ) :

i. Kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan.

ii. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan.

iii.Kemampuan untuk dapat mengkritik diri sendiri atau melakukan

autocriticism.

George D. Stoddard menyebutkan Inteligensi sebagai kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan (Gottfredson L, Saklofske DH. 2009 ):

i. Mengandung kesukaran ii. Kompleks

iii.Abstrak

iv. Diarahkan pada tujuan v. Ekonomis

vi. Bernilai sosial

Inteligensi merupakan sebuah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungannya secara efisien. Inteligensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi sebenarnya

tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.Intelgensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan Inteligensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Kecerdasan intelektual berkaitan dengan keterampilan seseorang menghadapi persoalan teknis dan intelektual, serta identik dengan faktor kognitif seseorang. Inteligensi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Istilah inteligensi ini ditemukan pada tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai pengukur kualitas seseorang pada saat itu, dan masih digunakan di Indonesia saat ini. Inteligensi ini terletak di otak bagian korteks. Inteligensi adalah sebuah kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. (De Young CG. 2011; )

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah kemampuan berfikir dan bertindak secara terarah, bertujuan, dan rasional serta mampu untuk menyesuaikan diri dan merespon terhadap situasi-situasi baru, kemampuan untuk memahami massalah dan memecahkannya. (Gottfredson L, Saklofske DH. 2009; Legg, Hutter,2007)

b. Fase perkembangan inteligensi

Struktur kognitif menurut Jean Piaget dalam Huitt W; Hummel J. 2003, disebut juga sebagai skemata (Schemes), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil. Piaget memakai istilahschemesecarainterchangeablydengan istilah struktur.

Inteligensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu (Rauthmann JF. 2009): a) Struktur

Disebut jugascheme

b) Isi

Disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik ketika individu menghadapi sesuatu masalah.

c) Fungsi

Disebut juga function, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi berupa kemampuan seseorang dalam menyusun proses-proses fisis dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheren. Adaptasi adalah penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.

Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu :

i. Asimilasi

Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi massalah dalam lingkungannya. ii. Akomodasi

Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap stimuli lingkungan.

Dalam struktur kognitif setiap individu harus ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya. Dengan penjelasan diatas maka dapat diketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya ekuilibrium–disekuilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya ekuilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.

Transisi tahap perkembangan anak dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu: i. Kematangan

ii. Pengalaman fisik / lingkungan iii. Transmisi sosial

iv. Ekuilibrium

Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget dalam Huitt W; Hummel J. 2003, serta menurut Monks, Knoers, Hadinoto, 2006, mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :

i. Tahap Sensori Motor : 0–2 tahun

Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari obyek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari obyek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Obyek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan obyek fisik ke dalam simbol-simbol,

misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dan lain-lain.

Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada massa kanak-kanak ini, anak belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya.

ii. Tahap Pra Operasi : 2–7 tahun ;

Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang

(counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada

pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.

Kesimpulan pada tahap ini adalah: Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.

iii. Tahap Operasi Konkrit : 7–11 tahun

Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu obyek dari sudut pandang yang berbeda secara obyek.

Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya obyek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa obyek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.

Kesimpulan pada tahap ini adalah: Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).

iv. Tahap Operasi Formal : 11 tahun ke atas.

Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitatif. Pada tahap anak ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu melakukan penalaran tanpa harus berhadapan dengan obyek atau peristiwa yang sedang berlangsung. Penalaran yang terjadi di dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol, ide-ide,

abstraksi dan generalisasi. Anak telah memiliki kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya. Kesimpulan pada tahap ini adalah: Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argumen (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak - anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal, serta pemahaman untuk massalah-massalah filosofis. Sebaran umur pada setiap tahap tersebut adalah rata-rata dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.

Pertumbuhan intelektual anak secara singkat dapat disimpulkan mengandung tiga aspek, yaitu structure, content dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah/ berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan,masing-masing mempunyai struktur psikologi khusus yang menentukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan Inteligensi adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus. (Huitt W; Hummel J. 2003)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi

Tinggi rendahnya inteligensi seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar, inteligensi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

a. Faktor Genetis

Kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu,jika ayah dan ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula (Boeree, 2003). Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor genetik bukanlah penentu utama kecerdasan. Meskipun dukungan genetik mempengaruhi intelektual seseorang, namun pengaruh lingkungan dan kesempatan yang tersedia bagi anak juga dapat mengubah skor IQ mereka secara signifikan (Srivastava N, Lakhan R, Mittal B. 2007; Santrock, 2002). Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian, bahwa anak-anak yang diberi suplemen gizi protein selama beberapa tahun, meskipun tingkat sosial ekonomi orang tuanya rendah, menunjukkan peningkatan kinerja dalam tes kecerdasan, dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak diberikan suplemen gizi protein (Neisseret al., 2010).

b. Faktor Gizi

Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Beberapa penelitian yang terdahulu telah membuktikan bahwa status gizi anak

mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya. Anak-anak dengan defisiensi nutrisi akan mengalami penurunan daya tahan tubuh, menurunkan kemampuan perkembangan otak, meningkatkan risiko terpapar infeksi yang dapat meningkatkan frekuensi ketidakhadiran di sekolah sehingga akan menurunkan kemampuan kognitifnya (Sorhaindo, Feinstein,2006; Marti A, 2001).

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kebutuhan mental bagi anak. Kebutuhan mental meliputi kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan serta rangsangan intelektual. Kekurangan rangsangan intelektual pada massa bayi dan balita dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan kecerdasannya. Faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan anak antara lain: hubungan orang tua dan anak, tingkat pedidikan ibu, dan riwayat sosial-budaya (Selvam PKS, 2013). Menurut Mc Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang tinggi.

Pekerjaan, pendidikan, pendapatan yang diterima oleh orang tua, lingkungan di sekitar anak, pola asuh yang diterapkan orang tua, intensitas hubungan antara orang tua dan anak, status sosial ekonomi keluarga serta tingkat kesejahteraan keluarga dapat mempengaruhi kemampuan kognitif seorang anak. Hal ini dibuktikan oleh Santos, di mana anak-anak dengan

status sosial dan kesejahteraan keluarga yang baik mempunyai kemampuan kognitif lebih baik dibandingkan anak-anak yang berasal dari status sosial dan tingkat kesejahteraan yang rendah (Gregg P, Propper C, Washbrook E. 2008; Santos, et al 2008).

d. Pengukuran tingkat inteligensi

Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan ( Dunbar 2007).

Test inteligensi atau tes IQ adalah suatu jenis tes psikologis yang khusus dipergunakan untuk mengukur taraf inteligensi atau tingkat kecerdasan seseorang. Tes inteligensi dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan (Senjaya, 2009).

Beberapa macam jenis tes IQ yang sering digunakan, antara lain:

i. Stanford–Binet Intelligence Scale.

Tes ini merupakan tes tertua dan digunakan secara luas di hampir semua negara. Tes ini digunakan mulai umur 2-24 tahun. Walaupun sebagian besar terdiri dari unsur-unsur verbal, tes ini dapat dipercaya dan valid. Nilai yang didapat dari tes ini adalah nilai IQ dan umur mental (Soetjiningsih, 1995).

ii. Wechlser Scale.

Tes ini dikembangkan oleh David Wechsler, yang mencakup

Wechsler Adult Intelligence Scale Revised (WAIS-R); Wechsler

Intelligence Scale-Edisi III( WAIS-III ) bagi anak-anak yang berusia 6 -16

tahun; dan Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised

(WPPSI-R), yang digunakan bagi anak-anak yang berusia 4-6,5 tahun. Skala Wechlser dikelompokkan menjadi 12 subskala, enam skala verbal dan enam skala non-verbal. (Wechsler Intelligence Scales, 2009;Ryan JJ, 2003)

iii.Culture Fair Intelligence Test(CFIT).

Culture Fair Intelligence Test, merupakan tes yang berusaha

mengkombinasikan beberapa pertanyaan bersifat pemahaman gambar-gambar sehingga dapat mengurangi sebanyak mungkin pengaruh kecakapan verbal, iklim kebudayaan, dan tingkat pendidikan. CFIT mempunyai tiga skala(Nur’aeni, 2012)

1) Skala 1 : anak usia 4-8 tahun dan penderita retardasi mental, terdiri atas 1 formulir isian dengan 8 sub-tes.

2) Skala 2 : anak usia 8-14 tahun dan dewasa, terdiri atas 2 formulir isian, masing-masing 4 sub -tes.

3) Skala 3 : dewasa, terdiri atas 2 formulir isian, masing-masing 4 sub-tes. Hasil pengukuran disebut dengan IQ (Intelligence Quotient), dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu:

Tabel 2. Tabel Skor tes IQ (Wechsler Intelligence Scales. 2009) Skor IQ Katagori >140 Jenius 120-140 Amat cerdas 110-119 Cerdas 90-109 Normal 80-89 Bodoh 70-79 Borderline deficiency <79 Define feeble-mindedness

3. Perbedaan Tingkat Inteligensi Pada Anak Obes dan Tidak Obes

Anak dengan berat badan lebih terdapat kecenderungan mendapat stigma untuk menjadi lamban dalam segala hal, terutama yang berhubungan dengan prestasi di sekolah, pada penelitian yang dilakukan Judge S, Jahns L; 2004, didapatkan hasil yang berbeda secara signifikan di mana pada anak dengan berat badan lebih mempunyai tingkat kemampuan menyelesaikan soal matematika maupun kemampuan membaca yang lebih rendah daripada anak yang tidak dengan berat badan lebih, baik pada saat duduk di tahun pertama maupun tahun ketiga sekolah dasar.

Karakteristik orang tua, lama menonton televisi, olah raga, aktivitas fisik, perkembangan psikososial berhubungan erat terhadap kejadian obesitas dan berat badan lebih sehingga dapat mempengaruhi kemampuan kognitif anak, pada penelitian yang dilakukan oleh Yanfeng, Huang F dan Lee MJ membuktikan bahwa anak-anak yang mengalami obesitas dan berat badan lebih dengan pola aktivitas fisik, olahraga yang kurang, menonton televisi lebih dari 2 jam sehari,

perkembangan psikososial yang tidak seimbang serta karakteristik orang tua yang cenderung jarang mendampingi anak di rumah akan meningkatkan kejadian obesitas dan berat badan lebih serta kemampuan kognitif yang kurang (Huang F, Lee MJ 2007; Yanfeng,et al 2008).

Perbedaan kemampuan membaca, kemampuan untuk menyelesaikan soal aritmetika, perbedaan kemampuan visuospasial yang diperlukan untuk mendukung pemahaman terhadap suatu materi, pada anak dengan berat badan lebih menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada anak yang tidak mengalami berat badan lebih (Yanfeng dkk, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Montolalu dan Tangkilisan tentang dampak obesitas terhadap inteligensia didapatkan perbedaan yang signifikan dari IQ anak obes dengan rentang usia 12-13 tahun yaitu 108,7 dengan p value = 0,024 dibandingkan dengan anak tidak obes yaitu 114,1 (Montolalu N, Tangkilisan HA, Mayulu N, 2009).

Obesitas besar pengaruhnya terhadap tingkat inteligensi pada anak obes, di mana pada penelitian yang dilakukan oleh Z. B. Yu di Republik Rakyat Cina, didapatkan hasil IQ anak obes lebih rendah dibandingkan dengan anak tidak obes (Yu Z B, Han SP, Cao XG, Guo X. R, 2010 ).

Dokumen terkait