• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Interaksi Muson, Dipole Mode dan ENSO

Keunikan wilayah Asia Tenggara berakibat variabilitas dan proses dinamika laut-atmosfer menjadi sangat kompleks. Proses interaksi yang paling dominan di wilayah ini adalah interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Interaksi antara Muson dengan DM masih sedikit dipelajari oleh kalangan peneliti, meskipun demikian terdapat beberapa hasil penelitian yang mengkaji interaksi antara DM dengan South Asian Monsoon (SAM). Pada sebelah timur regim SAM mencakup wilayah Indonesia barat, sehingga hasil kajian tersebut dapat dimanfaatkan pada

penelitian ini. Kulkarni et al. (2007) menemukan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara aktifitas SAM dengan DM dimana saat fase Muson panas yang sangat kuat di bulan Juni-Agustus-September (JAS) akan membantu proses pembentukan fase negatif DM dan pada fase sebaliknya akan membantu proses terbentuknya fase positif DM. Hasil korelasi dengan menggunakan data dari 1871-2002 antara curah hujan di regim SAM dengan anomali SPL dan pola sirkulasi Samudera Hindia, memperlihatkan bahwa pengaruh SAM terhadap DM semakin melemah setelah tahun 1960.

Fischer et al. (2005) dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer berhasil menjelaskan bahwa proses dinamika datangnya DM dan ENSO tidak selalu bersamaan. DM dan ENSO merupakan fenomena yang berdiri sendiri dimana proses interaksinya terdapat di pertemuan antara sirkulasi Hadley dan Walker. Terjadinya DM tanpa ENSO ternyata dipicu oleh adanya perubahan aktifitas Muson di sebelah barat Sumatera dimana anomali angin tenggara dengan kuat berhembus dari pantai utara Australia yang datang sebelum waktunya pada saat mulai memasuki musim panas di BBU. Anamoli angin ini mengakibatkan terjadinya upwelling dan pelemahan Gelombang Kelvin yang menyebabkan naiknya lapisan termoklin, penurunan SPL dan menurunnya aktifitas konveksi di sebelah barat Sumatera. Anomali angin ini terus menguat ke arah barat di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Perubahan pola Muson ini mengakibatkan terjadinya anomali sirkulasi Hadley yang mulai bergeser ke arah utara dengan cepat. Pada saat DM dan ENSO terjadi bersamaan, DM terjadi karena adanya pergeseran sel sirkulasi Walker ketika ENSO mulai terbentuk yang mengakibatkan DM terpicu untuk mulai aktif. Kondisi ini disebut fase terkunci (phase locking) dari DM.

Ashok et al. (2004) sebelumnya telah mengkaji variabilitas curah hujan di wilayah SAM dengan membandingkan antara kejadian DM dan ENSO yang terjadi bersamaan maupun secara individual. Ketika DM dan ENSO terjadi bersamaan akan mereduksi efek kekeringan dari ENSO yang terjadi di tengah dan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia. Pada saat ENSO terbentuk, sirkulasi Walker termodulasi yang mengakibatkan terjadinya daerah divergen di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan munculnya anomali daerah konvergen di

ekuatorial Samudera Pasifik. Perairan Myanmar dan Cina selatan juga terpicu terbentuknya anomali daerah konvergen. Daerah konvergen ini menyebabkan terjadinya anomali zona subsidence dan penurunan curah hujan yang menimbulkan daerah divergen di sebelah timur Samudera Hindia. Daerah divergen ini kemudian bergerak ke arah barat di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Ketika ENSO mulai melemah, terjadi daerah divergen di tengah Samudera Pasifik kemudian memicu munculnya daerah konvergen di daerah SAM Samudera Hindia. Pengaruh ENSO terhadap zona subsidence dan menurunnya curah hujan mulai berkurang. Seiring dengan bergeraknya daerah konvergen dari tengah ekuatorial Samudera Hindia ke arah barat, kemudian bergerak menuju utara ketika sampai di sebelah barat Samudera Hindia, daerah konvergen ini menyebabkan peningkatan curah hujan di sebelah barat India dan Pakistan. Peningkatan curah hujan ini meredam dampak kekeringan yang ditimbulkan oleh ENSO di wilayah ini.

Zhang dan Li (2008) melalui analisis komposit dari angin, SPL dan curah hujan antara fase ENSO dan non-ENSO di Samudera Hindia memperlihatkan secara jelas perubahan proses dinamika pergerakan ketiga parameter tersebut terhadap aktifitas South Asian Summer Monsoon dan North Australian Summer Monsoon serta kaitannya dengan sirkulasi Hadley. Pada fase ENSO mengakibatkan penurunan SPL di sebelah timur Samudera Hindia dan menyebar merata sampai di tengah ekuatorial Samudera Hindia. Pada fase non-ENSO terjadi peningkatan SPL di sebelah barat dan penurunan SPL di sebelah tenggara ekuatorial Samudera Hindia pada musim panas di BBU. Kolam air hangat mulai bergerak kembali ke arah timur melalui perairan sebelah utara Samudera Hindia dan sampai pada perairan barat Sumatera di sekitar perairan utara Australia pada musim dingin di BBU. Peningkatan SPL di sebelah utara perairan Australia pada musim panas Australia (austral summer) dan perairan Filipina meningkatkan aktifitas sirkulasi Hadley regional. Interaksi antara kembalinya fase positif ke negatif DM memicu aktifitas gerakan arah meridional sirkulasi Hadley dan berpengaruh terhadap kondisi normal Muson di wilayah BMI.

Berbeda dengan proses yang disampaikan oleh Zhang dan Li (2008), Terray et al. (2007) dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer melakukan

analisis sensitifitas untuk menguji respon Samudera Hindia dengan meningkatkan dan menurunkan SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia tanpa melibatkan fase ENSO. Perairan ini penting karena dari hasil penelitian sebelumnya terdapat anomali SPL dari hasil interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Pada saat gangguan SPL di perairan ini ditingkatkan di akhir musim dingin di BBU, hasil model memperlihatkan terjadi perambatan ke arah utara selama musim ini yang meningkatkan curah hujan pada musim panas di India (Indian Summer Monsoon/ISM) dan akhirnya memicu pola SPL seperti pada fase negatif DM pada musim gugur di BBU. Model ini sesuai dengan hasil observasi dari penelitian sebelumnya. Ketika SPL di perairan tenggara Samudera Hindia diturunkan kondisi sebaliknya terjadi dimana terjadi peningkatan kecepatan angin ke arah utara mendorong massa air hangat di sebelah barat Sumatera diikuti dengan terjadinya upwelling, menaiknya lapisan termoklin dan meningkatnya proses penguapan sepanjang pergerakan massa air hangat di ekuatorial sampai di perairan sebelah barat Samudera Hindia sehingga terbentuk pola DM positif. Komponen ENSO kemudian dimasukan kedalam model untuk menguji pengaruh ENSO positif dan negatif. Proses interaksi antara Samudera Pasifik dan Hindia melalui mekanisme jembatan atmosfer (Atmospheric Bridge) di atas wilayah Indonesia (Alexander et al., 2002). Hasilnya memperlihatkan bias model yang cukup besar dimana terjadi anomali SPL yang sangat tinggi di sebelah tenggara Samudera Hindia sehingga mengakibatkan tingginya variabilitas pola SPL pada fase positif maupun negatif DM. Kesimpulan terpenting yang dapat diambil adalah bahwa fase negatif maupun positif DM dapat terjadi tanpa adanya ENSO. Terray et al. (2007) menduga anomali SPL di perairan sebelah tenggara dipicu oleh pengaruh Pulse of Mascarene High (getaran tinggi Mascarene). Getaran tinggi Mascarene adalah daerah tekanan udara tinggi yang berada di sekitar pulau di tengah lautan luas atau samudera (Goddard dan Graham, 1999; Feng et al., 2003). Getaran tinggi Mascarene menjadi parameter penting untuk memprediksi ISM dan DM beberapa bulan sebelumnya.

Hong et al. (2008) memperkuat pendapat bahwa antara DM dan ENSO merupakan dua fenomena dengan mekanisme proses yang berbeda satu dengan lainnya. Analisis komposit dari data SPL, angin dan kandungan bahang laut pada

saat fase positif dan negatif DM dibandingkan dengan aktif tidaknya El Nino memperlihatkan perbedaan yang besar baik secara spasial maupun temporal. Perbedaan ini membuktikan bahwa antara DM dan ENSO memiliki mekanisme proses pemicu yang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada saat fase positif maupun negatif DM tanpa adanya El Nino, anomali angin ke arah barat di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan besar dalam anomali pembentukan pola SPL yang bergerak dari arah timur menuju barat ekuatorial Samudera Hindia, sedangkan proses kembalinya kolam air hangat dari perairan sebelah barat menuju timur mengikuti mekanisme dinamika lautan sampai dalam keadaan yang stabil.

Pada beberapa dekade terakhir, SPL di daerah tropis Samudera Hindia dan Pasifik mengalami peningkatan suhu dari kondisi normalnya. Peningkatan suhu ini akibat dari pemanasan global. Ding et al. (2010) telah melakukan analisis interaksi antara East Asian Summer Monsoon (EASM) dengan DM dan ENSO dengan menggunakan dua periode data SPL yang berbeda yaitu tahun 1953-1975 dan tahun 1978-2000. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan data tahun 1978-2000 korelasi antara indeks EASM dengan SPL di Samudera Hindia dan Pasifik semakin menguat dibandingkan dengan data tahun 1953-1975. Peningkatan nilai korelasi ini menunjukkan bahwa proses DM dan ENSO semakin aktif dan interaksi keduanya dengan aktifitas Muson semakin kuat.

Rao et al. (2010) memperkuat pendapat Ding et al. (2010) dengan menemukan peningkatan liniear SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia pada tahun 2008. Mekanisme yang bekerja dari peningkatan SPL ini akibat dari pemanasan global disebabkan oleh downwelling Gelombang Rossby dan adveksi bahang antara laut-atmosfer. Peningkatan SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia akan menyebabkan terjadinya zona konveksi dan terbentuknya anomali sirkulasi antisiklon di Teluk Bengal dan di tengah Samudera Hindia. Rao et al. (2010) kemudian menguji mekanisme ini dengan melakukan uji sensitifitas melalui model gabungan laut-atmosfer dengan meningkatkan SPL dalam kaitannya dengan pemanasan global di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia. Hasilnya bahwa peningkatan SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia akan bergeser ke tengah Samudera Hindia sampai di

ekuator, kemudian bergerak ke perairan sebelah timur Samudera Hindia dan menuju Teluk Bengal.

Teluk Bengal dan perairan di selatan pantai barat Sumatera memiliki anomali tersendiri berkaitan dengan interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Yang et al. (2010) telah menemukan interaksi antara Muson dan DM dengan menghilangkan sinyal pengaruh dari ENSO. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode EOF. Setelah sinyal ENSO dari data SPL dihilangkan didapat mode dominan pertama adalah Indian Ocean Basin Mode (IOBM) yang berinteraksi kuat dengan Muson musim panas di BBU dan mode dominan kedua sama seperti halnya dengan pola pada fase positif DM dimana perairan selatan pantai barat Sumatera memiliki variabilitas SPL besar yang berinteraksi kuat dengan Muson musim dingin di BBU. IOBM ini berkaitan erat dengan proses delayed relay sinyal ENSO dari Samudera Pasifik. Ketika sinyal IOBM dihilangkan dari data SPL dan sinyal ENSO diikutsertakan, mode dominan pertama sama seperti halnya dengan fase positif DM dan ditambah adanya anomali di Teluk Bengal. Mode ini memperlihatkan keterlibatan ENSO di Samudera Hindia dimana anomalinya terdapat di Teluk Bengal dan di selatan perairan barat Sumatera.

Zuluaga et al. (2010) memperkuat pendapat Yang et al. (2010) bahwa Teluk Bengal memiliki anomali yang berbeda dibandingkan dengan Samudera Hindia umumnya. Zuluaga et al. (2010) menggunakan data Convective and Stratiform Heating (CSH) level 3 dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) untuk mengkaji variabilitas dalam musiman sampai antar tahun bahang laten di Samudera Hindia dan kaitannya dengan Muson Asia. SPL yang tinggi, perbedaan paparan antara daratan dan lautan yang besar dan variasi topografi yang besar akan menghasilkan pemanasan di atmosfer yang besar dan meningkatkan bahang latennya. Variabilitas bahang laten yang besar dari siklus dalam musiman sampai antar tahunan terjadi di atas Teluk Bengal, perairan Barat Sumatera dan perairan di ekuatorial Samudera Hindia. Interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat kuat di daerah ini.

Interaksi Muson dan ENSO berperan pula dalam dinamika laut-atmosfer di perairan timur BMI. Kitoh et al. (1999) telah melakukan pemodelan gabungan

laut-atmosfer dengan menggunakan model Coupled General Circulation Model (CGCM) untuk mengkaji interaksi antara Muson dan ENSO. Muson didefinisikan dengan perubahan arah angin yang berlawanan. Model ini tidak berhasil mensimulasikan dengan baik kondisi angin di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan variasi sinyal Muson tidak terlihat dengan baik dibandingkan dengan hasil pengamatan data in-situ. Model ini baik untuk mensimulasikan ENSO dan kaitannya dengan variabilitas antar tahunan. Model ini berhasil mensimulasi interaksi antara Muson dan La Nina pada semua musim, tetapi kurang baik untuk mensimulasikan kondisi angin pada saat El Nino.

Pada penelitian lainnya, berpendapat bahwa ketika ENSO mulai terbentuk, sistem sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik mengalami anomali dari satu regim sel di musim panas (Juni-Agustus) menjadi dua regim sel di musim dingin (Desember-Januari). Kedua sel tersebut membentuk posisi simetris di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dan Hindia dan pada saat transisi membentuk posisi asimetris. Kondisi simetris dan asimetris ini disebabkan oleh TBO dengan siklus dua tahunan. Muson panas (Desember-Januari) berperan pada saat mulai terjadi ENSO dan membantu terbentuknya posisi asimetris (Kawamura et al., 2003).

Anomali angin timur dan gangguan sistem Muson di wilayah Indonesia juga ditemukan oleh Susanto et al. (2001) dimana di perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera pada Muson tenggara angin berhembus dari tenggara ke arah barat laut (Juni-Oktober). Kondisi ini mengakibatkan transpor massa air menjauhi pantai karena adanya parameter Coriolis dan menimbulkan upwelling di sepanjang pantai selatan Jawa dan barat Sumatera. Proses upweling ini akan terhenti ketika arah angin berbalik pada Muson barat daya (November-Desember) diiringi dengan menguatnya Gelombang Kelvin ekuatorial Samudera Hindia. Pada saat El Nino, anomali angin timur terjadi pada musim ini diikuti dengan proses upwelling yang lebih kuat di sepanjang pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera. Anomali angin timur ini kemungkinan berkaitan dengan dugaan Terray et al. (2007) yang menyatakan bahwa fase positif DM dapat terjadi tanpa harus bersamaan dengan El Nino dimana anomali angin timur ini dipicu oleh adanya pengaruh getaran tinggi Mascarene. Penguatan Gelombang Kelvin di sepanjang

ekuatorial Samudera Pasifik yang disebutkan oleh Susanto et al. (2001) diduga pada periode tersebut terjadi fase negatif DM.

Pola topografi ternyata sangat berperan dalam sirkulasi atmosfer, laut bahkan samudera. Kitoh (2007) melakukan penelitian menggunakan uji sensitifitas dengan model gabungan laut-atmosfer untuk mengetahui seberapa besar pengaruh topografi terhadap dinamika ENSO di Samudera Pasifik. Ketika ketinggian topografi daratan diturunkan lebih rendah dari keadaan sebenarnya akan mengakibatkan melembahnya Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Pergerakan Kolam air hangat dari tengah Samudera Pasifik ke arah barat menuju perairan timur Indonesia melemah. Kondisi El Nino menjadi lebih kuat, terjadi lebih lama dan siklus terjadinya lebih cepat. Kondisi sebaliknya terjadi, apabila ketinggian topogarfi dinaikan maka kembalinya massa air hangat ke perairan sebelah barat Samudera Pasifik ke kondisi normal menjadi lebih cepat. Siklus El Nino menjadi jarang, terjadi lebih cepat dan kekuatan dari El Nino melemah akibat menguatnya Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut. Pantulan Gelombang Rossby menjadi melemah sehingga siklus El Nino jarang terjadi. Pola perubahan variabilitas SPL arah meridional di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik menjadi lebih besar dan lebar sehingga memungkinkan teori recharge oscillator (Jin, 1997) berfungsi baik pada saat El Nino maupun kembalinya kolam air hangat ke sebelah timur perairan BMI.

Interaksi darat-laut-atmosfer berkaitan erat dengan mekanisme proses terjadinya DM dan ENSO yang memicu pergeseran fase TBO dari satu tahunan atau lebih (Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001; Guan dan Yamagata, 2003; Yuan et al. 2008), selain itu Loschnigg et al. (2003) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa interaksi DM dan Muson merupakan bagian yang penting dari proses dinamika TBO dengan kecenderungan memiliki siklus dua tahunan yang berperan penting dalam mengatur pergerakan meridional transpor bahang di sebelah timur Samudera Hindia dan berasosiasi dengan Monsun dan respon lautan untuk bergerak ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia. Berbeda halnya dengan pendapat dari Tamura et al. (2011), dimana hasil penelitiannya dengan menggunakan analisis korelasi sederhana dan analisis komposit antara Muson

musim panas Asia, DM dan ENSO memperlihatkan kondisi sebaliknya bahwa Muson memberikan sinyal yang kuat dengan siklus dua tahunan dan diduga adalah siklus dari TBO. Selain itu, DM memberikan kontribusi kepada TBO dengan memicu pergeseran fase dari ENSO pada musim dingin. Munculnya DM bersamaan dengan ENSO akan memicu terjadinya ENSO pada satu tahun berikutnya dengan pola TBO dari hasil pergeseran Muson menjadi siklus dua tahunan. Kondisi sebaliknya terjadi, jika terjadi ENSO tanpa diiringi dengan DM tidak mengakibatkan pergeseran siklus Muson menjadi dua tahunan dan tidak ditemukan pola TBO pada 2 tahun berikutnya.

Peneliti sebelumnya mendefinisikan TBO adalah suatu fenomena dari hasil interaksi antara laut dan atmosfer dalam skala luas dimana terdapat fase tinggi SPL pada suatu musim yang mengakibatkan terjadinya konveksi yang besar diiringi dengan angin kuat yang mengakibatkan terjadi proses penguapan yang besar dan pada 2 tahun berikutnya terjadi fase dingin dari SPL pada musim yang sama (Meehl, 1993; Goswami, 1995). Penelitian berikutnya menyimpulkan bahwa TBO merupakan hasil interaksi antara darat-laut-atmosfer yang berinteraksi dengan sistem Muson dan berperan dalam pergeseran fase variabilitas SPL di ekuatorial Samudera Pasifik (Meehl, 1997; Ogasawara et al., 1999). Namun tidak demikian menurut pendapat dari Tamura et al. (2011) yang menyatakan bahwa TBO merupakan hasil pergeseran fase Muson dari tahunan menjadi dua tahunan.

Karakteristik darat-laut-atmosfer-samudera wilayah perairan Asia Tenggara dan sekitarnya dengan enam keunikannya memberikan konstribusi yang besar terhadap fenomena Muson, DM dan ENSO. Interaksi antara ketiga fenomena tersebut dengan melihat keunikan wilayah perairan Asia Tenggara mengakibatkan proses dinamika yang terjadi sangat rumit dan kompleks. Terlepas dari tingkat variabilitas darat-laut-atmosfer yang besar di wilayah BMI, memberikan kemungkinan yang besar bahwa pemicu DM dan ENSO serta interaksinya dengan Muson berada di wilayah BMI. Penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan hanya terfokus untuk mengkaji secara terpisah dari masing-masing fenomena. Kajian yang mendalam mengenai interaksi diantara ketiganya sangat diperlukan untuk mengungkap bagaimana dinamika proses yang berkerja dan indikator apa

saja yang dapat mengidentifikasikan kapan DM dan ENSO terjadi serta bagaimana interaksinya dengan Muson.