• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Pembawa (Vesicles) Dengan Model Membran Kulit pada Proses Permiasi

Penelitian untuk menentukan efek dari pelarut pada absorbsi perkutan selalu sulit untuk diinterpretasi sebab stratum corneum mempunyai sifat alamiah yang sangat kompleks dan interaksinya dengan pembawa. Membran polimer sederhana membutuhkan kondisi penanganan lebih baik, yang dapat diperoleh dalam bentuk dan ketebalan yang bervariasi dan digambarkan hanya mengalami sekit perubahan dalam permiabilitas. Keuntungan yang ditemukan pada membran sintetik ini menyebabkan digunakannya sebagai model, mempermudah metodologi validasi dan eksplorasi hubungan fisiko kimia. Jumlah pelarut yang menyebabkan perubahan pada sifat barrier memungkinkan penemuan secara empiris atau model mekanistik yang mengkarakterisasi perubahan membran. Tujuan daripada riset ini

adalah menemukan metodologi yang meliputi identifikasi, kuantitasi, dan prediksi dari efek pelarut pada sifat sifat barrier dari membran sintetik.

Pengaruh sifat pelarut/zat yang terlarut pada karakteristik permiabilitas membran dapat ditentukan dengan pemeriksaan nilai steady-state fluks. Penyimpangan dari difusi secara hukum fick's mungkin ditemukan pada konsentrasi zat terlarut yang tinggi dengan perubahan membran atau dengan interaksi pelarut-zat terlarut sampai perubahan dalam konsentrasi membran dan koefisien difusi (Poulsen, 1973; Flynn dkk, 1974). Sebagai tambahan, pelarut mungkin mengubah struktur membran dan kapasitas untuk zat terlarut (Montes dkk, 1967; Embery dan Dugard, 1971; Polano dan Ponec, 1976; Southwell dan Barry, 1983). Membran Polydimethylsiloxane (PDMS) telah digunakan dalam banyak jenis dari percobaan difusi (Nankano dan Patel, 1970; Flynn dan Smith, 1972; Yalkowsky dan Flynn, 1974; Bottari dkk, 1977; Behl dkk, 1983; Tanaka dkk, 1985). Polydimethylsiloxane (PDMS) adalah non polar, elastomer yang tidak berpori sehingga berbentuk amorph pada temperatur yang digunakan.

Polimer memperlihatkan karakteristik kelarutan yang mendekati sejajar dengan hexane (Jetzer dkk, 1986; Hagen dan Flynn, 1987). Pengisi silika (20-30%), biasanya telah membuat lapisan dari polimer resisten terhadap cairan, peranan dari fase dispersi. Permiasi melalui membran PDMS terdiri dari disolusi awal dari zat terlarut kedalam membran dan kemudian berdifusi melalui matriks polimer (Higuchi dan Higuchi, 1960). Matriks polimer adalah isotropic dan permiasi zat terlarut mengikuti hukum fick's, steady-state fluks secara langsung proporsional kepada konsentrasinya dalam larutan donor yang digunakan (Flynn dan Smith, 1972).

Sistim PDMS/alkohol alifatik disiapkan sebagai model sistim untuk penelitian interaksi pelarut terhadap karakteristik permiabilitas membran. Garret dan Chemburkar (1968) meneliti peningkatan pada keseluruhan kecepatan difusi dari 4-amino propiophenone melalui membran PDMS dari larutan jenuh etanol/air dimana kandungan etanol dilkukan meningkat. Most (1972) mengevaluasi efek dari beberapa pelarut yang tidak berkaitan terhadap permiasi benzokaine melalui membran PDMS. Percobaan permiasi dilakukan terhadap lapisan karet silikon mempergunakan pelarut yang diabsorbsi oleh membran. Sistim ini memperlihatkan perubahan kecepatan permiasi dan pengurangan waktu tunda (lag time). Konstribusi relatip

untuk mengubah fluks sebab perubahan dalam partisi dan difusivisitas berhubungan dengan ukuran molekul dari molelcul pelarut yang dimasukkan dan affinitasnya untuk zat terlarut. Ternyata, pelarut yang tidak interaktip (air dan poliol) tidak berpenetrasi terhadap membran PMDS. Senyawa ini bekerja secara sederhana untuk menyampaikan molekul zat terlarut, dengan partisi, pada permukaan membran; kemudian berdifusi melalui membran mengikuti hukum fick's. Untuk sistim ini, steady-state fluks dari bahan yang terpermiasi merupakan hanya fungsi dari aktifitas pelarut.

Larutan jenuh menghasilkan aktifitas unit dari zat yang terlarut dan sebagai hasil nilai ekuivalen fluks steady-state. Pelarut interaktip, secara defenisi, mempengaruhi sifat membran sehingga satu atau lebih karakteristik permiasi membran berubah dari sifat alamiah membran. Telah diketahui (dicatat) beberapa perbedaan dalam perilaku permiasi dari alkohol, yang diminum oleh membran PDMS, dan pelarut yang tidak interaktip. Fluks dari alkohol larutan alkohol jenuh beberapa kali lebih tinggi daripada suspensi berair. Sebagai contoh pertama adalah theohylline, yang berpermiasi dengan sangat lambat pada sistim yang tidak interaktip, sehingga jumlah permiasi signifikan adalah pada alkohol. Kedua, kelarutan membran paraben dari beberapa sistim alkohol tersusun sebagai berikut; methyl > propyl > butyl , dan bertentangan untuk sistim tidak interaktip. Ketiga, fluks dari alkhol tidak merupakan fungsi liner dari konsentrasi zat terlarut. Alkohol tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap koefisien difusi dari beberapa zat terlarut melalui PDMS.

Koefisien partisi adalah berhubungan liner dengan jumlah alkohol yang diabsorbsi membran. Hubungan ini telah diamati untuk seluruh sistim interaktip, campuran 1propanol/paraben pada berbagai konsentrasi, dan untuk sistim zat terlarut yang sangat encer . Fluks adalah terbesar untuk sistim yang memberikan absorbsi alkohol dengan tingkatan yang tertinggi. Penambahan konsentrasi zat terlarut akan mengurangi aktifitas pelarut, bahan ini di uptake oleh membran dan, sebagai akibat, koefisien partisi zat terlarut. Sebagai hasil, fluks meningkat dengan konsentrasi zat terlarut, tercapai puncak, dan kemudian menurun. Interaksi pelarut-zat terlarut juga dapat menjelaskan ketidakcocokan pada pemeriksaan konsentrasi membran paraben. Sebab fluks dimodifikasi oleh interaksi membran-pelarut, maka hal ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi pelarut sehingga dapat diantisipasi bagaimana variasi pelarut untuk

mempengaruhi permiasi dan melakukan pemilihan yang baik dari pembawa untuk penyampaian obat. Secara optimal, informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dari urutan percobaan yang menggunakan zat yang terpenetrasi tunggal dan kemudian digunakan terhadap berbagai pelarut lain.

Untuk sistim alkohol/PDMS, hal ini dimungkinkan untuk memberi batasan seperti kuantitas, yang diberi tanda indeks pelarut. Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada larutan encer, nilai dari indeks pelarut merupakan fungsi dari hanya sifat pelarut (derajat sorbsi) dan tidak tergantung pada zat terlarut (solute).

Pemeriksaan fluks untuk berbagai zat terlarut, pada konsentrasi campuran, pada alkohol tunggal memberikan prediksi fluks dari berbagai alkohol lainnya dengan indeks pelarut. Sebaliknya, bila perbandingan fluks dilakukan berdasarkan kesamaan aktifitas zat terlarut, maka peningkatan faktor adalah tergantung zat terlarut, dengan sebaliknya berhubungan dengan acuan fluks.

4. EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT YANG DIBERIKAN

Dokumen terkait