• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan yang menyelenggarakan proses pembelajaran. Secara historis, lembaga ini didirikan dalam rangka menyebarluaskan ilmu-ilmu keagamaan. Dalam perkembangannya, pesantren mengalami perubahan-perubahan, sehingga tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan saja yang diajarkan, tetapi ilmu-ilmu umum.40

Sebagai sebuah pendidikan, keberadaan pesantren Al-Hikam tidak bisa dipisahkan dengan beberapa faktor yang melingkupinya, antara lain kiai, ustadz, santri, pondok, dan lingkungan. Dalam proses pembelajaran, faktor-faktor tersebut akan saling berinteraksi, sehingga terdapat berbagai interaksi yang terjadi di dalam pesantren, baik interaksi santri dengan kiai, santri dengan ustadz, santri dengan sesama santri, maupun santri dengan lingkungan. Interaksi yang terjalin di pesantren ini ada yang bersifat individual maupun kelompok.41

40

Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri…, hal. 121

41

a. Interaksi sosial santri dengan kiai

Menurut Turmudi dalam buku Binti Maunah bahwa dalam proses interaksi sosial di pesantren, kiai merupakan tokoh yang mempunyai posisi startegis dan sentral dalam masyarakat. Posisi sentral kiai ini terkait erat dengan kedudukannya sebagai seorang pendidik dan terpandang di tengah-tengah masyarakat. Sebagai orang yang mendidik, kiai memberikan pengetahuan Islam kepada para penduduk desa dan para santrinya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional adalah merupakan sarana penting untuk melakukan transfer pengetahuan terhadap masyarakat desa maupun para santri. Di sisi lain, para kiai menjadi patron bagi siapa saja, banyak penduduk desa bergantung. Secara khusus, posisi sentral kiai dapat dilihat dalam patronase ini, terutama karena pola ini menghubungkan dan mengikat kiai dengan para santri atau siswanya.42

Interaksi sosial santri dengan kiai merupakan sebuah keharusan. Santri sebagai pihak yang mencari ilmu, sedangkan kiai sebagai pihak yang memberi dan mengajarkan ilmu. Sebagai seseorang yang mencari ilmu, santri harus mematuhi berbagai norma, aturan, tata nilai yang ada di pesantren ; baik norma-norma

42

yang tertulis maupun tidak tertulis, sehingga diharapkan terjadi interaksi sosial yang baik dan harmonis.43

Dalam kajian ini ditemukan adanya keharmonisan hubungan antara santri dengan kiai. Keharmonisan hubungan antara santri dengan kiai tersebut tampak dalam berbagai cara dan kesempatan. Misalnya dalam perkataan maupun sikap atau perilaku, baik ketika kiai ada di pesantren maupun tidak, baik ketika berada di dalam pesantren maupun di luar pesantren, demikian juga secara individual maupun kelompok.44

Berdasarkan berbagai interaksi sosial yang terjadi antara santri dengan kiai, tampak bahwa dalam kenyataannya kiai memiliki perhatian yang cukup besar terhadap mereka. Perhatian itu tidak hanya terbatas pada aspek psikis (perasaan, pemecahan atas permasalahan yang dihadapi) saja, tetapi juga aspek fisik-material. Artinya kiai juga memberikan bantuan kepada santri khususnya, yang mempunyai masalah dalam hal ekonomi dirinya atau keluarganya.45

Interaksi antara santri dengan kiai mempunyai peran yang besar, khususnya pada santri. Karena dengan adanya interaksi tersebut, para santri dapat menjaga keharmonisan antara santri dengan kiai. Perilaku atau interaksi seperti itu tidak hanya berlaku

43 Ibid. 44 Ibid. 45 Ibid., hal.128

pada santri pesantren saja, melainkan dengan santri yang berada di Madrasah Diniyah.

b. Interaksi sosial santri dengan ustadz

Dalam interaksi sosial diantara santri dengan ustadz juga terdapat keharmonisan-keharmonisan. Keharmonisan hubungan tersebut tampak dalam berbagai interaksi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren, secara individual maupun kelompok.46

Interaksi sosial antara santri dengan ustadz merupakan suatu keniscayaan yang harus terjadi, karena keduanya selalu dan lebih sering bertemu. Selain itu juga karena mereka berada di suatu lembaga yang sama ; santri sebagai orang yang belajar, dan ustadz sebagai orang yang memberikan/menyampaikan ilmu pengetahuan. Secara langsung maupun tidak langsung hubungan diantara keduanya terjalin atas berbagai hak dan kewajiban yang ada, terjalin akrab, dan bahkan khusus bagi ustadz yang masih muda, hubungan diantara mereka hampir seperti teman sendiri.47

Keharmonisan hubungan itu dapat dilihat dari berbagai kondisi dan kesempatan ketika diantara keduanya saling berbincang-bincang. Karena dalam perbincangan ini ada banyak masalah yang dibicarakan, mulai dari masalah pribadi, pendidikan dan sosial keagamaan ; seolah-olah ustadz merupakan tempat bagi

46

Ibid., hal.130

47 Ibid.

pengaduan mereka, curhat. Akan tetapi walaupun demikian, dalam interaksi sosial ini, para santri tetap menjunjung tinggi sikap

hormat dan menghargai serta sikap tawadhu’ kepada ustadz.48

Keakraban, kedekatan dan keharmonisan antara santri dengan ustadz seolah-seolah menjadi hubungan mereka sebagaimana teman dekat, seolah-olah tidak ada jarak yang memisahkan mereka. Maka dalam beberapa kesempatan tampak seolah-olah tidak ada perbedaan antara santri dengan ustadz, khususnya antara santri dengan ustadz muda, ustadz yang belum berkeluarga. Lain halnya dengan ustadz yang senior, para santri memberikan penghormatan yang berbeda dengan ustadz muda.49

Interaksi sosial yang terjalin antara santri dengan ustadz ini tidak bisa dipisahkan dengan beberapa hal yang melingkupinya, misalnya adanya kepentingan dari santri, atau santri diminta/dipanggil oleh ustadz, terkait dengan proses pembelajaran, dan lain sebagainya. Pada prosesnya interaksi itu juga tidak bisa dipisahkan dengan masalah yang dibicarakan antara santri dengan ustadz. Misalnya masalah pembelajaran, masalah pekerjaan, keluarga, bahkan masalah pribadi.50

Dalam proses interaksi ini, ustadz tidak meninggalkan keberadaan salah satu fungsinya sebagai motivator. Para ustadz selalu memberikan motivasi kepada para santri, khususnya terkait

48 Ibid. 49 Ibid., hal.131 50 Ibid., hal.132

dengan proses belajar. Bentuk motivasi yang diberikan ustadz kepada para santri ini bermacam-macam ; ada yang dengan cara memberikan saran, nasehat, ada juga yang dengan memberikan tantangan-tantangan untuk diselesaikan oleh para santri maupun dengan berbagai cara lainnya, misalnya dengan bercanda (guyonan) ataupun sindirian. Bahkan motivasi yang diberikan kepada para santri tidak hanya berkaitan dengan proses belajar, tetapi juga terkait dengan masa depan, kemampuan apa yang harus dimiliki santri.51

Jadi, interaksi yang terjalin antara santri dengan ustadz itu lebih sering terjadi daripada berinteraksi dengan kiai. Karena para santri lebih sering bertemu dengan ustadz daripada kiai. Namun, para santri ketika berinteraksi dengan ustadz, baik ustadz tersebut masih muda, ustadz yang sudah berkeluarga, bahkan ustadz yang

sudah senior mereka harus tetap bersikap tawadhu’.

c. Interaksi sosial sesama santri52

Dalam kajian ini juga ditemukan adanya proses hubungan yang harmonis, yang tercipta diantara sesama santri. Keharmonisan hubungan tersebut tampak dalam berbagai interaksi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren, baik secara individual maupun kelompok.

51

Ibid., hal.133

52

Interaksi sosial antar sesama santri ini juga merupakan suatu keniscayaan, karena sesama santri selalu dan sering bertemu, baik pada waktu belajar di kelas, di masjid maupun di kamar. Selain itu juga karena mereka berada di suatu lembaga yang sama ; santri yang satu sebagai orang yang belajar, dan santr lainnya juga demikian. Secara langsung maupun tidak langsung hubungan diantara keduanya terjalin atas kesamaan kedudukan yaitu sama-sama sebagai santri.

Kedekatan dan keakraban hubungan diantara para santri ini menjadikan mereka seolah-olah seperti keluarga, walaupun dalam prosesnya perlu adaptasi terlebih dahulu, dan mereka masih membutuhkan pengarahan-pengarahan. Apalagi, secara umum pola-pola kekeluargaan ini sudah ada dan terjadi di semua pesantren, sehingga interaksi sosial yang terjalin antar sesama santri berjalan dengan harmonis dan secara kekeluargaan. Kebebasan dalam berinteraksi yang diberikan oleh pengelola (kiai), bukan berarti santri-santri bebas, lepas dan semaunya sendiri di pesatren ini ; akan tetapi kebebasan yang diberikan kiai adalah kebebasan yang masih dalam batas-batas etis, sehingga hal-hal yang negatif yang dapat menodai keharmonisan hubungan diantara para santri tidak akan terjadi.

Dalam menjada keharmonisan hubungan tersebut, dalam proses interaksi antar sesama santri sebenarnya ada norma-norma

yang harus ditegakkan. Norma yang perlu ditegakkan di sini adalah norma-norma yang berlaku bagi sesama pemuda (santri), dalam perkataan maupun perbuatan. Walaupun terdapat perbedaan pemahaman tentang norma, akan tetapi hal itu tidak menjadikan para santri untuk tidak berperilaku baik. Keharmonisan hubungan yang terjalin diantara sesama santri ini terwujud, tentu karena perilaku-perilaku yang baik dari para santri, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Di tengah-tengah proses interaksi tersebut ternyata santri juga mempunyai perhatian kepada santri yang lain. Mereka bisa menilai bagaimana perhatian antara santri yang satu dengan santri yang lainnya. Perhatian atau penilaian santri yang satu dengan santri yang lain positif. Perhatian mereka terhadap santri yang lain dapat terwujud dengan berbagai bentuk perilaku, kesetiakawanan sosial yang tinggi, misalnya ketika ada santri yang sakit mereka ikut menjenguk, bahkan ketika salah satu orang tua santri sakit, mereka juga menjenguknya dan ikut menunggu di rumah sakit.

Di samping itu, proses interaksi sosial diantara para santri juga terlihat dalam bentuk atau sikap solidaritas. Solidaritas mereka ini tercermin dalam beberapa sikap, seperti saling tolong menolong dan saling membantu antar sesama santri. Sikap solidaritas yang ditunjukkan oleh para santri ada yang bersifat individual dan ada

yang bersifat kolektif. Sikap inilah yang pada kenyataannya menambah keharmonisan hubungan yang terjalin diantara mereka.

Solidaritas yang ditunjukkan oleh para santri dalam kehidupan sehari-hari tersebut terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan, baik yang terkait dalam bidang pendidikan mulai dari memberikan saran/masukan, pinjam meminjam buku sampai pada penyelesaian suatu tugas belajar ; maupun sosial keagamaan,

seperti ta’ziyah dan lain sebagainya. Sikap solidaritas ini dilakukan oleh para santri baik secara individual maupun kelompok.

Secara khusus, dalam bidang pendidikan (pembelajaran), sikap saling membantu tersebut pada akhirnya juga berlanjut dalam bentuk pemberian motivasi-motivasi. Motivasi-motivasi yang diberikan oleh para santri ini merupakan motivasi yang bersifat positif dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran dan prestasi. Ada beberapa cara yang digunakan para santri dalam memberikan motivasi ; adakalanya dengan perkataan semata, dan adakalanya juga dengan bercanda (gojlokan). Motivasi-motivasi yang diberikan oleh para santri itu akan berpengaruh pada diri santri, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung. Walaupun dalam kenyataannya dalam kajian ini ditemukan tidak semua santri memberikan motivasi.

Walau demikian, ada hal menarik yang perlu diperhatikan bahwa masalah yang terjadi diantara sesama santri tersebut selalu

diselesaikan dengan cara ishlah, diselesaikan bersama-sama. Pada sisi lain, proses penyelesaian atas suatu masalah yang terjadi di antara para santri, pernah suatu ketika diserahkan kepada ustadz atau pengurus. Penyelesaian yang dilakukan oleh ustadz biasanya dalam bentuk sindiran-sindiran, dan adakalanya ustadz memanggil santri yang sedang bermasalah tersebut.

Demikianlah interaksi sosial yang terjadi diantara sesama santri dalam bentuk kehidupan sehari-hari, baik ketika di dalam pesantren maupun di luar pesantren ; dalam proses pembelajaran maupun tidak ; baik ketika ada masalah maupun tidak ; termasuk bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut. Demikian juga dengan berbagai dukungan, perhatian dan motivasi serta rasa solidaritas yang diberikan antar sesama santri sehingga interaksi diantara mereka berjalan dengan baik. Hubungan baik yang terjalin di antara mereka, pada akhirnya akan menjadikan mereka sebagai santri yang berakhlak mulia, mengerti tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya.

d. Interaksi sosial santri dengan lingkungan53

Dalam kajian ini diperoleh gambaran mengenai adanya keharmonisan yang tercipta dalam hubungan santri dengan lingkungan. Keharmonisan hubungan tersebut tampak dalam berbagai hal, mulai dari perkataan maupun sikap atau perilaku, baik

53

ketika santri mengadakan kegiatan di masyarakat maupun tidak, ketika bertemu di dalam pesantren maupun tidak ; demikian juga secara individual maupun kelompok.

Sebagaimana interaksi sosial lainnya, keharmonisan hubungan antara santri dengan lingkungan merupakan suatu keharusan. Santri sebagai individu maupun kelompok yang hidup dan menuntut ilmu di pesantren, tidak bisa memisahkan diri dari lingkungan masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan keberadaan pesantren tidak bisa dipisahkan dari lingkungan masyarakat di mana pesantren itu berada. Lebih dari itu, keharmonisan hubungan santri di dalam pesantren, baik dengan kiai, ustadz, maupun sesama santri akan banyak berpengaruh terhadap interaksi sosial santri terhadap lingkungan. Oleh karena itu, santri mau tidak mau harus berinteraksi dengan lingkungan dan menjaga hubungan baik dengan lingkungan tersebut.

Terlepas adanya perbedaan persepsi diantara para santri, dalam proses interaksi dengan lingkungan terdapat norma-norma yang harus diindahkan oleh para santri dan tidak boleh ditinggalkan. Karena norma-norma inilah yang dapat menjadikan hubungan diantara keduanya berjalan dengan akrab dan harmonis. Apabila dalam berinteraksi tidak ada norma-norma yang ditegakkan, maka bisa dipastikan interaksi yang berjalan diantara keduanya adalah interaksi yang kurang akrab.

Dalam kajian ini ditemukan ada perbedaan persepsi sesama santri tentang norma-norma yang perlu dijaga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dalam persepsi para santri, terdapat norma-norma yang harus diindahkan dalam berinteraksi dengan masyarakat (lingkungan). Norma-norma dalam berinteraksi tersebut merupakan norma-norma yang berlaku di masyarakat pada umunya. Apa yang dipahami oleh para santri sebagai sesuatu hal yang baik, itulah yang dipraktekkan. Norma-norma tersebut antara lain ketika bertemu mereka saling tegur sapa, kalau bertamu mengucapkan salam, berjabat tangan, dan ramah tamah serta saling menghormati. Bahkan para santri biasanya menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada di masyarakat, sehingga hubungan diantara mereka berjalan dengan baik dan harmonis.

Sementara itu, bagi beberapa santri ada yang menganggap bahwa norma-norma dalam berinteraksi dengan masyarakat tidak ada. Hal ini sebagaimana anggapan beberapa santri di atas, bahwa mereka merasa kurang akrab dengan masyarakat. Maka tidak ada norma-norma yang perlu ditegakkan karena hal itu sudah merupakan kebiasan. Pada akhirnya hal ini juga berimplikasi pada kerenggangan hubungan antara santri dengan masyarakat.

Pada tahap selanjutnya, untuk meningkatkan hubungan (interaksi) antara santri dengan masyarakat dibutuhkan semacam adanya perhatian, sikap saling memperhatikan. Sikap saling

memperhatikan ini tidak hanya sekedar bahwa santri memperhatikan perilaku masyarakat, atau sebaliknya masyarakat memperhatikan perilaku santri di dalam dan di luar pesantren ; tetapi sikap saling memperhatikan ini diharapkan berlanjut dan berimplikasi pada adanya sebuah penilaian. Sebuah perhatian dan penilaian yang diharapkan dapat menambah serta meningkatkan keharmonisan hubungan antara santri dengan masyarakat.

Beberapa sikap yang ditunjukkan oleh santri maupun masyarakat, seperti bagaimana perhatian masyarakat terhadap pesantren dan santri sendiri, bagaimana juga perhatian santri dengan kontribusinya terhadap masyarakat, dan dalam bentuk-bentuk penilaian lain ; adalah merupakan bukti nyata atas perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap pesantren, dan sebaliknya. Hal itu juga merupakan sikap positif dari masyarakat terhadap pesantren (santri) dan sikap positif dari santri terhadap masyarakat.

Perhatian dan penilain itu kadang-kadang berupa statemen-statemen yang negatif atas berbagai perilaku yang ditunjukkan oleh santri atau masyarakat. Dalam hal ini, terdapat sesuatu yang kurang baik yang dipraktekkan oleh santri atau pesantren dan mungkin juga lingkungan. Hal-hal yang negatif ini menjadi perhatian dan bahan pertimbangan bagi masyarakat atau santri dalam menilai keharmonisan hubungan yang terjalin diantara keduanya.

Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa dalam berinteraksi dengan siapa pun, dimana dan kapan pun, seseorang atau lembaga tidak akan pernah bisa menghindari diri dari berbagai maslaah yang akan dihadapi. Artinya, masalah-masalah apa pun akan muncul dalam proses interaksi. Demikian juga dengan interaksi yang dilaksanakan antara santri dengan lingkungan, bisa juga menghadapi berbagai masalah.

Dalam kajian ini ditemukan bahwa interaksi sosial yang terjalin antara santri dengan masyarakat selama ini belum pernah terjadi konflik. Kalau pun ada, misalnya dalam pertandingan sepak bola, tetapi hal itu bukanlah merupakan konflik, karena dalam anggapan mereka hal itu merupakan suatu hal yang biasa dalam sebuah pertandingan. Ketika pertandingan itu selsai, masalah pun juga selesai, tidak pernah sampai berlarut-larut. Proses penyelesaian masalah itu ditangani oleh para santri sendiri, dan tidak pernah sampai kepada pengurus.

Jadi, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa interaksi sosial antara santri dengan masyarakat berlangsung akrab dan harmonis. Keakraban dan keharmonisan itu tampak dalam berbagai kegiatan, kesempatan dan proses interaksi lainnya sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Dokumen terkait