• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Kajian Pustaka

1. Internalisasi Nilai

Internalisasi ialah proses penyerapan nilai-nilai dan norma-norma oleh masyarakat, dan proses belajar untuk beradaptasi terhadap kondisi, keadaan, dan lingkungan. Internalisasi juga bisa diartikan sebagai proses memasukan nilai atau memasukan sikap ideal yang sebelumnya dianggap di luar, agar tergabung dalam pemikiran, keterampilan dan sikap pandang hidup seseorang.9 Sedangkan nilai menurut Frankel, nilai adalah standar tingkaj laku, keindahan, keadilan, kebenaran, dan efesiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya untuk dijalankan dan dipertahankan.10

Sedangkan pengertian internalisasi menurut Reber dalam Mulyana, mengatakan bahwa Internalisasi merupakan menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan aturan-aturan baku pada diri seseorang.11 Sedangkan Menurut Mulyasa dalam Munif mengatakan bahwa internalisasi nilai merupakan upaya menghayati dan mendalami nilai agar tertanam dalam diri setiap manusia dimana teknik pendidikannya dapat dilakukan melaui peneladanan, pembiasaan, penegakan aturan, dan pemotivasian.12

9 Akhmad Satori & Wiwi Widiastuti, “Pola Internalisasi Nilai Multikultural Pada Pendidikan Pesantren Tradisional Dalam Mencegah Ancaman Radikalisme Di Tasikmalaya,” in Prosiding Seminar Nasional Pkn-Unnes, 2017, halm 5.

10 Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai (Jakarta: P3G.Depdikbud, 1980) halm 32-35.

11 Rohmat Mulyana, ‘Mengartikulasikan Pendidikan Nilai’ (Bandung: Alfabeta, 2004) halm 21.

12 Muhammad Munif, ‘Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Pai Dalam Membentuk Karakter Siswa’, Edureligia; Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1.2 (2017) halm 3.

16

Maka dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa internalisasi nilai adalah proses menjadikan nilai sebagai bagian dari diri seseorang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses tersebut tercipta dari pendidikan nilai dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu terciptanya suasana, lingkungan dan interaksi belajar mengajar yang memungkinkan terjadi proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan.

Jadi internalisasi nilai merupakan sebuah proses menghayati hal-hal yang disampaikan sehingga membangun kesadaran penerima dan hal-hal yang disampaikan tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, baik itu internalisasi nilai atau penanaman nilai bahwa keduanya merupakan proses dalam menjadikan satu nilai-nilai tertentu untuk bisa dimiliki oleh seseorang yang menjadi target internalisasi atau penanaman nilai itu sendiri.

Proses internalisasi nilai menurut Thomas Lickona, terdapat tiga tahap:13 a. Moral knowing

Moral knowing (pengetahuan moral) berhubungan dengan bagaimana seorang individu mengetahui nilai yang abstrak. Pada komponen ini juga memiliki enam dimensi, antara lain:

1) Moral awareness (kesadaran moral)

2) Knowing moral values (pengetahuan nilai moral) 3) Perspective taking (memahami sudut pandang lain) 4) Moral reasoning (penalaran moral)

13 Thomas Lickona, Education for Character How Our School Can TeachRespect and Resposbility. (New York: Bantam Books, 1992).

17

5) Decision making (membuat keputusan) 6) Self knowladge (pengetahuan diri) b. Moral feeling

Moral feeling lebih menekankan pada aspek perasaan/afektif, dimana peserta didik dapat merasakan dan mempercayai akan apa yang telah mereka terima ada komponen pertama. Pada komponen ini memiliki lima dimensi, antara lain:

1) Consciense (nurani) 2) Self-esteem (harga diri) 3) Empathy (empati)

4) Loving the good (cinta kebaikan) 5) Humility (rendah hati)

c. Moral action

Setelah peserta didik berada pada komponen kedua, selanjutnya moral feeling yang telah dimiliki diarahkan untuk dapat masuk pada komponen ketiga, yaitu moral action (perilakku moral) merupakan aspek pada tahap pelaksanaan atau pengaplikasian sebuah ilmu pengetahuan dalam kegiatan sehari-hari. Moral action (perilaku moral) ini dibangun atas 3 komponen:

1) Competence (kompetensi) 2) Will (keinginan)

3) Habit (kebiasaan)

Adapun menurut Muhaimin terdapat tiga tahap internaslisasi nilai yaitu:14

14 Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar. (Surabaya: Citra Media, 1996) halm 153.

18 a. Transformasi nilai

Transformasi nilai merupakan suatu tahap, di mana peserta didik diberikan pemahaman nilai yang baik dan yang kurang baik, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal.

b. Transaksi Nilai

Transaksi nilai merupakan suatu tahap pendidikan nilai dengan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi yang bersifat interaksi timbal balik. Kalau dalam transformasi nilai, komunikasi masih dalam bentuk satu arah, tatapi dalam interaksi ini sudah sama-sama memiliki peran.

Penekanan dari komunikasi ini masih menampilkan sosok fisiknya dari pada sosok mentalnya. Dalam hal ini, informasi tentang nilai yang baik dan yang buruk dilaksanakan dan diberikan contoh amalan yang nyata dengan meminta peserta didik untuk memberikan respon.

c. Transinternalisasi Nilai

Tahap ini lebih dalam dari pada sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan pendidik di hadapan peserta didik bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap kepribadianya. Demikian pula peserta didik merespon kepada pendidik bukan hanya gerakan fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadianya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi nilai adalah komunikasi dan kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif.

19

Sedangkan menurut pandangan ajaran Islam proses penanaman nilai terdapat tiga tahapan juga yaitu:15

a. Tahap Takhalli

Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Takhalli juga berarti mengkosongkan diri dari ahlak tercela, salah satu ahlak tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak tercela lainya adalah ketergantungan pada kenikmatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuk dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.

Menurut kaum sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi menajdi dua yaitu, maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir, seperti tangan, mulut, dan mata.

Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh angota batin, yaitu hati.

Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan dunia serta mamatikan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi modern berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi, yaitu sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian juga dengan pematian hawa nafsu, cukup sekedar “dikuasai” melalui pengaturan disiplin kehidupan. Berdasarkan

15 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2012) halm 2012-220.

20

keterangan di atas menunjukan bahwa aliran sufi modern tidak meminta agar manusia secara total melarikan diri dari problem duniawi dan tidak pula memerintahkan untuk menghilangkan hawa nafsu. Melainkan golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya denagn mengontrol dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaaan.

Sementara itu, kelompok sufi ekstrim berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan racun pembunuh kelangsungan cita-cita sufi.

Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karena itu, nafsu yang betedensi duniawi harus “dimatikan” agar manusia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki. Bagi mereka, cara memperoleh keridhoan tuhan tidak sama dengan memperoleh kenikmatan material. Pengingkaran ego dengan cara meresapkan diri pada kemauan tuhan merupakan perbutan utama.

b. Tahalli

Tahalli ialah upaya menghiasi diri dengan ahlak terpuji. Tahapan Tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari ahlak-ahlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat “luar”

maupun yang bersifat “dalam”. Kewajiban yang bersifat “luar” adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti solat, puasa, dan haji. Adapun

21

kewajiban yang bersifat “dalam” contohnya iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Allah SWT.

Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap Takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental yang buruk dapat dilalui (Takhalli), usaha itu harus berlanjut ketahap selanjutnya yang disebut Tahalli. Sebab apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segera di isi dengan kebiasaan baru yang baik.

c. Tajalli

Tajalli merupakan hilangnya hijab dari sifat-sifat ke-Basyariyah-an (kemanusiaan), jelasnya nur yang sebelumnya ghoib, dan fananya segala sesuatu ketika tampaknya wajah Allah.

Kata Tajalli bermakna terungkapnya nur ghoib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika melakukan Takhalli dan Tahalli tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu di hayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaraan dan rasa cinta, jika hal tersebut berhasil dilakukan maka dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.

22 2. Pendidikan Miltikultural

Secara konseptual pendidikan multikultural merupakan gabungan dari dua kata; pendidikan dan multikultural. Menurut Koentjaraningrat, Pendidikan biasa diartikan sebagai usaha untuk mengalihkan adat istiadat dan seluruh kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru.16 Namun menurut Aly

“pendidikan” merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, pertumbuhan,dan cara-cara yang mendidik.17

Sementara itu, kata “multikultural” merupakan kata sifat yang dalam bahasa inggris berasal dari dua kata yaitu “multi” dam “culture”. Secara umum, kata “multi” mempunyai arti banyak, ragam dan atau aneka. Multi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi memiliki arti “banyak (bermacam-macam)”.18 Sedangkan kata “culture” mempuyai beberapa makna, yaitu kebudayaan, kesopanan, dan atau pemeliharaan.Multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Adapun masyarakat multikultur adalah masyarakat yang mampu menekankan dirinya sebagai arbitrer, yaitu

16 Muhammad Thoyib, Model Pengembangan Pendidikan Islam Multikultural Di Indonesia, 2016 halm 15.

17 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), halm. 108.

18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/multi, diakses pada 20 November 2020, Pukul 08.45 WIB.

23

sebagai penengah bagi proses rekonsiliasi ketika proses dialektika tersebut menemui kejumudan atau titik jenuh.19

Secara etimologi pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang memperhatikan keragamaan budaya peserta didik. Tobroni dalam Kuswaya, menyatakan bahwa “Pendidikan Multikutural” adalah pendidikan yang memberikan kesempatan pada semua siswanya tanpa memandang jenis kelamin , kelas sosial, etnis, ras, agama, dan budayanya.20 Sedang menurut zaenal dalam jurnalnya mengatakan bahwa Pendidikan multikultural juga disebut dengan pendidikan multibudaya. Yang mana pendidikan multibudaya dalam pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai kepribadian. Dengan demikian Penanaman pendidikan multikultural/

multibudaya bagi siswa dapat menjadi sarana pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai dan saling menghormati.21

Nilai-nilai inti pendidikan multikultural menurut H.A.R Tilaar, yaitu:22 a. Demokratis, dalam konteks pendidikan dapat diartikan sebagai

pembebasan pendidikan dan manusia dari struktur dan sistem perundang-undangan yang memposisikan manusia sebagai komponen.

19 Ngainun Naim dan Achmadi Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) halm 126.

20 Kuswaya Wihardit, ‘Pendidikan Multikultural: Suatu Konsep, Pendekatan Dan Solusi’, Jurnal Pendidikan, 11.2 (2010), 96–105.

21 Zainal Arifin, “Jurnal Pendidikan Islam Tadzikrah,” Tadzkirah 2 (2008): halm 92.

22 Ngainun Naim dan Achmadi Sauqi, halm 171.

24

b. Pluralisme, merupakan sikap toleransi atau saling menghormati atas adanya keragaman etnik, budaya, agama, idiologi yang terdapat pada kelompok-kelompok kultural dalam suatu Negara.

c. Humanisme, merupakan martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemamuan alamiyahnya (fisik atau nonfisik) secara penuh.

Sedangkan menurut Aly, nilai-nilai inti pendidkan multikultural yaitu:23 a. Toleransi

Toleransi merupakan kemampuan untuk dapat menghormati adanya perbedaan yang terdapat dalam masyarakat, kelompok-kelompok atau lembaga. Selain itu, toleransi juga dipahami sebagai sikap adanya saling menghargai, membiarkan atau membolehkan pendirian orang lain yang bertentangan dengan kita. Atau dengan kata lain, hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dan saling menghargai diantara keragaman (mutual reapect).

b. Demokrasi

Demokrasi merupakan adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan dan kebebasan serta kemerdekaan yang diberikan atau dipertahankan dan dimiliki oleh warga negara, adanya sistem perwakilan yang efektif dan akhirnya adanya sistem pemilihan yang menjamin dihormatinya prinsip ketentuan mayoritas. Jika nilai demokrasi ini dibawa

23 Aly Abdullah, “Pendidikan Multikultural Di Pesantren: Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta” (Surakarta, 2007) halm 11.

25

ke ranah pendidikan maka mengandung pengertian adanya pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsung nya proses belajar mengajar antara pendidikan dan peserta didik serta keterlibatan lembaga pendidikan

c. kesamaan/kesetaraan

Kesamaan/kesataraan berasal dari kata dasar setara dan dapat disinonimkan dengan kesederajatan yang berasal dari sederajat. Kemudian jika nilai ini dimasukkan kedalam pendidikan yaitu adanya proses yang tidak memperlakukan peserta didik satu lebih spesial dengan yang lainnya, ataupun sebaliknya lebih merendahkan salah satu dari yang lainnya dengan alasan apapun.

d. Keadilan

Keadilan memiliki dasar adil atau dalam bahasa Arab al-adl. Kata ini memiliki arti sama atau seimbang. Yang berarti pengakuan dan perlakuan yang sama antara hak dan kewajiban. Dalam hal ini, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang - orang atau kelompok dengan status yang sama, misalnya semua peserta dengan kompetensi yang sama berhak mendapatkan nilai yang sama dalam mata pelajaran yang sama.

Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya.

Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk

26

membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.24

Adapun beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin juga harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya,

Dengan memperhatikan definisi pendidikan multikultural yang dibahas di atas, terdapat nilai-nilai pendidikan multikultural yang harus ditanamkan dalam diri peserta didik. Keseluruhan rangkaian kegiatan yang ditanamkan pada diri peserta didik mengandung beberapa nilai pendidikan multikutural, yaitu demokrasi, keadilan, kerjasama, saling menghargai, bertanggung jawab, belajar hidup bersama atau berdampingan dengan kelompok lain, saling tolong-menolong, toleransi antar dan lain sebagainya.25 Nilai-nilai tersebut dapat dikelompok dalam tiga kategori, yakni:26

24 Ahmad Khairuddin and M Si, ‘Epistemologi Pendidikan Multikultural Di Indonesia’, Ijtimaiyah, 2.1 (2018) halm 11.

25 Zulqarnain, "Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Di Pondok Pesantren D DI-AD Mangkoso Baru Sulawesi Selatan", Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 1.2 (2017), 193–205.

26 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), halm. 109.

27

a. Berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan. Ini merupakan hal yang mendasari pendidikan multikultural, baik pada level ide, proses maupun gerakan. Ketiga prinsip ini menggarisbawahi bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dalam perspektif Islam, pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan ini ternyata kompatibel dengan doktin-doktrin Islam. Adapun doktrin Islam yang mengandung prinsip tersebut, antara lain ditemukan keberadaannya dalam Qur’an surat Sura’ (42): 38, al-Hadid (57): 25, dan al-A’raf (7): 181.

b. Berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian. Untuk mengembangkan prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan masyarakat, diperlukan orientasi hidup yang universal, diantaranya adalah kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian. Dengan demikian, pendidikan multikultural menentang adanya praktik-praktik hidup yang menodai nilai-nlai kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian seperti kekerasan, permusuhan, konflik, dan individualistik. Orientasi pertama bagi pendidikan multikultural adalah orientasi kemanusiaan, hal ini relevan dengan konsep hablum min al-na>s. Orientasi kedua pendidikan multikultural adalah kebersamaan, yang dipahami sebagai sikap seseorang terhadap orang lain, atau terhadap kelompok. Orientasi ketiga adalah kedamaian (peace), yakni bertugas untuk membentuk mindset peserta didik atas pentingnya membangun kehidupan sosial yang harmonis tanpa adanya permusuhan, konflik, kekerasan dan sikap

28

mementingkan diri sendiri. Dalam perspektif Islam, hal tersebut kompatibel dengan doktrin Islam tentang al-sala>m, yakni visi hidup yang harmonis dan damai.

c. Mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman.

Dalam hal ini diperlukan sikap sosial yang positif. Dengan demikian, pendidikan multikultural menolak sikapsikap sosial yang cenderung rasial dan bersangka buruk kepada orang atau kelompok lain yang berbeda suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Dalam perspektif Islam, gejala keragaman yang harus diterima, diakui dan dihargai ini menurut Muhammad Imarah, bermakna sama dengan konsep al-ta’addudiyat (pluralisme) dan tanawwu’

(keragaman) dalam Islam.

Pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural, menekankan pada bagaimana memperlakukan siswa yang berbeda latar belakang sosial budaya dan kepentingannya. Siswa dilatih untuk berpikir kritik, analitik, dan demokratis sehingga mereka dapat menemukan konsep, prinsip, dan nilai.27 James A. Banks menyatakan bahwa dalam pendidikan multikultural terdapat empat pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 28

a. Pendekatan kontributif. Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan seleksi terhadap buku-buku teks wajib atau anjuran dan aktifitas-aktifitas tertentu seperti hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan dari berbagai macam kebudayaan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan

27 Kuswaya Wihardit, ‘Pendidikan Multikultural: Suatu Konsep, Pendekatan Dan Solusi’, Jurnal Pendidikan, 11.2 (2010), 96–105.

28 Rif’atul Ashari and Mohammad Yahya Ashari, ‘Religi : Jurnal Studi Islam.’, Religi:

Jurnal Studi Islam, 6.1 (2015), 100–129.

29

mengenai keragaman kelompok, sehingga dapat dikembangkan dengan cara menawarkan muatan khas yang dapat diakui dalam berbagai varian pendidikan multikultural, misalnya menggabungkan peringatan hari-hari besar keagamaan dengan hari kepahlawanan nasional.

b. Pendekatan aditif, yaitu dengan penambahan muatan-muatan, tema-tema, dan perspektif-perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya. Dengan kata lain, pendekatan ini melibatkan upaya memasukkan literatur oleh dan tentang masyarakat dari berbagai kebudayaan ke dalam kurikulum. Misalnya, memanfaatkan muatan khas multikultural seperti tema-tema tentang koeksistensi, pro eksistensi, saling menghargai, saling memahami sebagai pemerkaya bahan ajar.

c. Pendekatan transformatif. Pada pendekatan transformatif ini, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang di desain dengan memasukkan konsep-konsep, isu-isu, serta permasalahan-permasalahan terkait multikultural yang didekati dengan pendekatan muqaran (perbandingan) untuk memperbaharui pemahaman dan berbagai perspektif serta sudut pandang. Adapun tujuan dari pendekatan ini adalah untuk membuka perspektif kelompok-kelompok yang berbeda secara budaya (outsider) untuk memberi komentar dan penjelasan terhadap materi yang dibahas.

d. Pendekatan aksi sosial. Pendekatan aksi sosial ini merupakan gabungan dari pendekatan trasformatif dengan berbagai aktivitas yang berorientasi pada perubahan sosial, yang bertujuan memperkaya keterampilan peserta didik dalam melakukan aksi sosial seperti resolusi konflik, rekonsiliasi

30

keberagaman, dan perbedaan budaya. Penerapan pendekatan ini tidak hanya mengikutsertakan peserta didik untuk memahami dan mempertanyakan isu-isu sosial, melainkan sekaligus juga dilibatkan dalam melakukan sesuatu yang penting berkenaan dengan isu tersebut.

Nilai multikultural dalam Islam diimplementasikan atas toleransi agama dan pluralisme, yang secara tegas keduanya dibangun di atas pilar-pilar agama yang jelas dan tegas sebagai the guiding principle yaitu menghargai, mengakui dan mengajarkan bertoleransi terhadap keragaman agama. Relasi yang dibangun bila tidak satu agama (ukhuwah islamiyah), setidaknya satu ideologi Negara (ukhuwah wathaniyah), bila tidak satu negara mereka masih satu bangsa manusia (ukhuwah basyariyah).29

Wacana multikulturisme dalam agama Islam diperkenalkan melalui konsep rahmatan lil’alamin (QS 21:107), yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai kedudukan yang sama secara lahiriyah. Jadi, tidak ada istilah diskriminasi atas perbedaan jenis kelamin, suku, ras, dan budaya.30 Perbedaan kultur ditanggapi secara positif sebagai sesuatu yang given dari Allah SWT dan Dia telah mendesain kehidupan yang beragam bukan tanpa sebab. Justru perbedaan sebagai rahmat yang harus dijunjung tinggi dan dilestarikan.31 Pendidikan Multikultural juga senada dengan tujuan agama yang berbunyi: “

29 Suheri and Yeni Tri Nurrahmawati, “Model Pendidikan Multikultural Di Pondok Pesantren,” Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman 05, no. 1 (2018): 57–72.

30 Heri Cahyono, "Pendidikan Multikultural Di Pondok Pesantren: Sebagai Strategi Dalam Menumbuhkan NilaiKarakter", At-Tajdid : Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam, 1.01 (2017), 26–43.

31 Suheri and Yeni Tri Nurrahmawati, ‘Model Pendidikan Multikultural Di Pondok Pesantren’, Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman, 05.1 (2018), 32–48.

31

Tujuan umum syari’ah Islam adalah mewujudkan kepentingan umum melalui perlindungan dan jaminan kebutuhan-kebutuhan dasar (al-daruriyyah) serta pemenuhan kepentingan (al-hajiyyat) dan penghiasan (tahsiniyyah) mereka”32

Dokumen terkait