• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada milenium kedua ini, Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam

jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,

pemerintah sebenarnya telah mengembangkan gra nd design pendidikan karakter

commit to user

Dalam proses pembelajaran di sekolah sangat penting adanya penguatan

sikap-sikap positif, memotivasi siswa untuk merefleksi sikap mereka sehingga

pengajaran dapat menggiring ke meningkatnya intensitas sikap dan permanensi.

Pendidikan afektif menurut Krathwohl (dalam Dharma Kesuma :55 ) dijelaskan

bahwa taksonomi bidang afektif ditata sesuai dengan prinsip internalisasi.

Internalisasi adalah proses perasaan/sikap terhadap sebuah objek yang berkisar dari

sebuah tingkatan kesadaran yang umum/hanya menyadari sesuatu/ menjadi melek

nilai, ke tingkatan dimana perasaan tersebut terinternalisasi dan secara konsisten

membimbing atau mengontrol tingkah laku seseorang. Adapun susunan taksonomi

afektif menurut Krathwohl digolongkan menjadi lima tingkatan yaitu: (1) Receiving

atau menerima fenomena, (2) Responding atau merespon terhadap fenomena, (3)

Va luing atau menilai, (4) Orga nisa tion atau mengorganisasi nilai, dan (5)

Cha ra cter iza tion atau internalisasi nilai.

Kenyataan di lapangan pendidikan formal maupun informal selama ini belum

memberikan konstribusi yang berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan

pembentukan karakter peserta peserta didik. Kesibukan dan aktifitas kerja orang tua

yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak, pengaruh

pergaulan di lingkungan sekitar, serta pengaruh media elektronik ditengarahi bisa

berpengaruh negatif terhadap perkembangan peserta didik.

Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui

pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan

pendidikan informal di lingkungan keluarga dan pendidikan formal di sekolah. Dalam

hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan

mutu hasil belajar, terutama pembentukan karakter peserta didik sesuai dengan tujuan

commit to user

Pendekatan penanaman nilai ( incluction a ppr oa ch ) adalah suatu pendekatan

yang yang dapat diterapkan dalam pendidikan karakter karena memberikan penekanan

pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut pendekatan ini tujuan

internalisasi nilai adalah diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa dan

berubahnya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan

(Superka, et al.1976 dalam Masnur Muslich : 108 )

1) Pengintegrasian dalam mata pelajaran

Pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa diintegrasikan dalam setiap

kompetensi dasar dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan

dalam silabus dab Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

(a) Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar

Isi untuk menentukan pakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang

tercantum itu sudah tercakup di dalamnya.

(b) Menggunakan tabel yang memperlihatkan keterkaitan antara SK dan KD

dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan.

(c) Mencantumkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel ke dalam

silabus.

(d) Mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP.

(e) Mengembangkan prosespembelajaran peserta didik secara aktif yang

memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi

nilai dan menunjukkan dalam perilaku yang sesuai

(f) Memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan

commit to user

2) Pengembangan Proses Pembelajaran

Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa menggunakan pendekatan

yang berpusat pada peserta didik dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas,

sekolah, dan masyarakat.

(a ) Kelas, melaluiproses pembelajaran setiap mata pelajaran atau kegiatan yang

dirancang sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar mengembangkan

kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu,

tidak selalu diperlukan kegiatan khusus untuk mengembangkan nilai-nilai

pada pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Meskipun demikian untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja

keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air,

dan gemar membaca dapat melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan oleh

guru. Untuk pengembangan nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan,

rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upayapengkondisian sehingga peserta

didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilkau yang menunjukkan

nilai-nilai itu.

(b) Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh peserta didik,

guru, kepala sekolah, dan tenaga administrasi sekolah, direncanakan sejak

awal tahun pelajaran dimasukkan ke dalam kalender akademik dan yang

dilakukan sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah. Contoh kegiatan

yang dapat dimasukkan ke dalam program sekolah antara lain lomba antar

kelas tentang lagu-lagu yang bertema cinta tanah air, pagelaran seni, omba

pidato, lomba olah raga, lomba kesenian dan sebagainya.

(c) Lua r sekola h, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti

commit to user

pelajaran, dimasukkan ke dalam kalender akademik.Misalnya kunjungan ke

tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta tanah air, menumbuhkan

semangat kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat untuk

menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial.

3) Penilaian Hasil Belajar

Penilaian pencapaian pendidikan nilai budaya dan karakter didasarkan pada

indikator indikator yang telah dirumuskan.Agar pelaksanaan pendidikan karakter

berjalan efektif lichona, Schaps dan Lewis dalam Muchlas Samani dan Hariyanto

:168 mengembangkan sebelas prinsip pendidikan karakter yang efektif sebagai

berikut : (a) pendidikan karakter harus mempromosikan nilai-nilai etik inti sebagai

landasan bagi pembentukan karakter yang baik, (b) karakter harus dipahami

secara komprehensip termasuk dalam pemikiran, perasaan, dan perilaku, (c)

pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan yang sungguh-sungguh

dan proaktif, (d) sekolah harus menjadi komunitas yang peduli, (e) menyediakan

peluang bagi siswa untuk melakukan tindakan bermoral, (f) pendidikan karakter

yang efektif harus dilengkapi dengan kurikulum akademis yang bermakna dan

menantang, (g) pendidikan harus secara nyata berupaya mengembangkan motivasi

pribadi siswa, (h) seluruh staf sekolah harus menjadi komunitas belajar dan

komunitas moral yang saling berbagi tanggung jawab, (i) implementasi

pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan moral yang diperlukan bagi staf

sekolah maupun siswa, (j) sekolah harus merekrut orang tua dan anggota

masyarakat sebagai partner penuh dalam upaya pembangunan karakter, (k)

commit to user

fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, sampai pada penilaian terhadap

bagaimana cara siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Ada tiga jenis hasil yang menjadi pusat penilaian pendidikan karakter yaitu :

(a) Karakter sekolah, harus dinilai sejauh mana sekolah telah menjadi komunitas

yang peduli, yang dapat dinilai melalui survei yang bertanya tentang apakah

semua siswa saling menghargai satu sama lain, apakah siswa di dalam kelas

bersikap seperti dalam keluarga dan sebagainya.

(b) Karakter staf sekolah sebagai pendidik karakter.

(c) Karakter siswa, dinilai dengan pertanyaan tentang sejauh mana siswa

mewujudkan pemahamannya, komitmennya, dan tindakannya yang dilandasi

nilai-nilai etik.

Dalam hal ini guru mengamati dengan berbagai cara tentang perilaku

peserta didik baik lisan, tulisan, maupun bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan

itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan

perasaan umum teman sekelas bahkan sampai kepada hal yang bertentangan

dengan perasaan umum teman sekelasnya.

Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas

atau di sekolah. Model anecdotal record ( catatan yang dibuat guru ketika melihat

adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan ) selalu dapat

digunakan guru. Selain itu guru dapat juga memberi tugas yang berisi persoalan

atau kejadian yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk

menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik diminta

menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberi bantuan

terhadap orang kikir, atau hal lain yang bersifat kontroversial sampai kepada hal

commit to user

Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya,

guru dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang pencapaian suatu

indikator atau bahkan semua nilai. Kesimpulan atau pertimbangan itu dapat

dinyatakan dalam pernyataan kualitatif yang terdiri dar empat tingkatan sebagai

berikut ini.

a. BT ( Belum Terlihat ) apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-

tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator.

b. MT (Mulai Terlihat ) apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan

adanya tanda-tanda awal munculnya perilaku yang dinyatakan dalam

indikator, tetapi belum konsisten.

c. MB ( Mulai Berkembang ) apabila peserta didik sudah memperlihatkan

berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten.

d. MK (Mulai Konsisten / Membudaya ) apabila peserta didik terus menerus

memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten

dan telah menjadi kebiasaan.

Pernyataan kualitatif di atas dapat digunakan ketika guru melakukanasesmen

pada setiap kegiatan belajar sehingga memperoleh profile peserta didik

dalam satu semester tentang nilai yang terkait, dan dapat juga menggunakan

hasil tersebut dalam rapor.

Dokumen terkait