• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3 International Financial Reporting Standard (IFRS)

Laporan keuangan merupakan sarana pengomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Laporan keuangan menampilkan sejarah perusahaan yang dikuantifikasi dalam nilai moneter dan memberikan banyak informasi yang berguna bagi para investor (Kieso, 2008). Sebagai perkembangan ekonomi di dunia, sudah banyak negara yang mulai menerapkan International Financial Reporting Standard (IFRS) sebagai standar Akuntansi untuk menyusun laporan perusahaan. Pengadopsian Standar Akuntansi Internasional ke dalam Standar Akuntansi Domestik bertujuan untuk menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi, persyaratan akan item-item pengungkapan akan semakin tinggi, sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan lebih dapat diperbandingkan dan menghasilkan informasi yang valid untuk aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan, dan beban perusahaan. Standar Akuntansi yang berkualitas sangat penting dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan agar terciptanya informasi keuangan yang akurat dan terpercaya, sehingga dapat membantu para penentu keputusan dalam mengambil keputusan yang tepat bagi kelangsungan suatu usaha.

Indonesia mulai mengadopsi full IFRS pada PSAK tahun 2012, pada tahun 2013 dilakukan revisi beberapa standar dan ditambahkan standar baru yakni PSAK 65,66,67,68 yang akan efektif tahun 2015.

Indonesia memiliki empat pilar Standar Akuntansi,yakni Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik signifikan (SAK ETAP), Standar Akunntansi Syari’ah (SAK Syariah), dan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) berbasis IFRS wajib diterapkan untuk entitas dengan akuntabilitas publik seperti: Emiten, perusahaan publik, perbankan, asuransi, dan BUMN, serta dapat diterapkan oleh entitas lainya. PSAK berbasis IFRS menggunakan basis transaksi, bukan basis industri. Indonesia melakukan adopsi penuh 1 Januari 2012 – tahap 1. Proses adopsi tahap kedua efektif 1 Januari 2015.

SAK ETAP adalah Standar akuntansi keuangan untuk entitas tanpa akuntabilitas publik signifikan. ETAP adalah entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan, dan menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statement) bagi pengguna eksternal.

SAK ETAP Menggunakan acuan IFRS untuk Small Medium Enterprises, sehingga lebih sederhana. Dalam penggunaanya SAK ETAP mengatur : Aset tetap tidak berwujud menggunakan harga perolehan, entitas anak tidak dikonsolidasi tetapi sebagai investasi dengan metode ekuitas, pajak menggunakan konsep pajak terutang bukan pajak tangguhan serta mengacu pada praktik

akuntansi yang saat ini digunakan. Tahun 2011 perusahaan harus memilih menjadi menggunakan PSAK-IFRS atau PSAK-ETAP.

PSAK Syari’ah menggunakan basis transaksi, digunakan oleh entitas yang melakukan transaksi syariah baik entitas lembaga syariah maupun non lembaga syariah. Pengembangan PSAK Syari’ah dengan model PSAK umum namun berbasis syariah dengan acuan fatwa MUI. PSAK Syari’ah terdapat pada PSAK 100 – PSAK 110.

Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Instansi Pemerintah menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan, PP 24 tahun 2005 dan PP 71 tahun 2010. Standar ini disusun oleh Komite Akuntansi Pemerintahan kemudian ditetapkan dengan PP. Diterapkan untuk entitas pemerintah dalam menyusun LKPP dan LKPD yakni, instansi pemerintah pusat, Instansi pemerintah daerah, BLU dikonsolidasikan dengan LKP – menggunakan PSAP dan PSAK, dan BUMN (sbg investasi pemerintah) menggunakan PSAK. Entitas sektor publik selain pemerintah menggunakan PSAK 45 untuk pelaporan dan yang lain mengikuti PSAK / SAK ETAP.

Indonesia bagian dari IFAC, yang harus tunduk pada SMO (Statement Membership Obligation), salah satunya menggunakan IFRS sebagai accounting standard. Konvergensi IFRS adalah salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G20 forum. Hasil dari pertemuan pemimpin negara G20 forum di Washington DC, 15 November 2008 adalah “Strengthening Transparency and Accountability”

Seiring berjalannya waktu sejak 2008 hingga 2015 telah disahkan beberapa PSAK:

I. PSAK disahkan 2008

1. PSAK 16 (revisi 2007) : Aset Tetap (IAS 16)

2. PSAK 13 (revisi 2007) : Properti Investasi (IAS 40) 3. PSAK 30 (revisi 2007) : Sewa (IAS 17)

4. PSAK 14 (revisi 2008) : Persediaan (IAS 2)

II. PSAK disahkan 2009

1. PSAK 1 (revisi 2009) : Penyajian Laporan Keuangan (IAS 1) 2. PSAK 2 (revisi 2009) : Laporan Arus Kas (IAS 7)

3. PSAK 4 (revisi 2009) : Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan keuangan Tersendiri (IAS 27)

4. PSAK 5 (revisi 2009) : Segmen Operasi (IAS 8)

5. PSAK 15 (revisi 2009) : Investasi Pada Entitas Asosiasi (IAS 28) 6. PSAK 25 (revisi 2009) : Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi

Akuntansi, dan Kesalahan (IAS 8)

7. PSAK 48 (revisi 2009) : Penurunan Nilai Aset (IAS 36)

8. PSAK 57 (revisi 2009) : Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi (IAS 37)

9. PSAK 58 (revisi 2009) : Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan (IFRS 5)

III. PSAK disahkan 2010

2. PSAK 23 (2010) : Pendapatan (IAS 8)

3. PSAK 7 (2010) : Pengungkapan Pihak-Pihak yang Berelasi (IAS 24)

4. PSAK 22 (2010) : Kombinasi Bisnis (disahkan 3 Maret 2010) (IFRS 3)

5. PSAK 10 (2010) : Transaksi Mata Uang Asing (disahkan 23 Maret 2010) (IAS 10)

6. PSAK 24 (2010) : Imbalan Kerja (IAS 19)

7. PSAK 60 : Instrumen Keuangan: Pengungkapan (IFRS 7)

8. PSAK 50(Revisi 2010): Instrumen Keuangan: Penyajian (IAS 32) 9. PSAK 53 (Revisi 2010): Pembayaran Berbasis Saham (IFRS 2)

IV. PSAK disahkan 2011

1. PSAK 3 : Laporan Keuangan Interim (IAS 34) 2. PSAK 18 (2010) : Program Manfaat Purnakarya (IAS 26)

3. PSAK 61 : Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah (IAS 20)

4. PSAK 56 : Laba Per Lembar Saham (IAS 33) 5. PSAK 46 : Pajak Penghasilan (IAS 12) 6. PSAK 62 : Kontrak Asuransi (IFRS 4)

7. PSAK 63 : Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi

(IAS 29)

9. PSAK 64 (R2011) : Eksplorasi dan Evaluasi Sumber Daya Mineral

(IFRS 6)

V. PSAK disahkan 2013 dan 2014

1. PSAK 65 : Laporan Keuangan Konsolidasian (IFRS 10) 2. PSAK 66 : Pengaturan Bersama (IFRS 11)

3. PSAK 67 : Pengungkapan Kepentingan Entitas Lain (IFRS 12)

4. PSAK 68 : Pengungkapan Nilai Wajar (IFRS 13)

IFRS yang baru dan masih belum di adopsi PSAK, sebagai berikut:

1. IFRS 9 Financial Instruments (efektif 1 Januari 2018)

2. IFRS 14 Regulatory Deferral Accounts (efektif 1 Januari 2016)

3. IFRS 15 Revenue from Contracts with Customers (efektif 1 Januari 2017)

4. IFRIC 21 Levies (efektif 1 Januari 2014) – dalam pertimbangan DSAK IAI

5. Amandemen IAS 41 Agriculture (efektif 1 Januari 2016)

Industri pertambangan memiliki karakteristik yang unik dibanding industri lainnya. Salah satunya adalah mengenai aktivitas pencarian (eksplorasi) yang bersifat gambling atau untung-untungan. Sejak tahun 1994 hingga tahun 2011 akuntansi minyak dan gas bumi di Indonesia telah diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 29 (revisi 1994): Akuntansi Minyak dan Gas Bumi. Pernyataan tersebut mengatur akuntansi untuk kegiatan eksplorasi,

pengembangan, produksi, pengolahan, transportasi, pemasaran dan lain-lain. PSAK No. 29 diadopsi dari United States Generally Accepted Accounting Principles (US GAAP) yang memperbolehkan perusahaan untuk mengikuti baik metode Successful Efforts (SE) maupun Full Cost (FC) dalam menetapkan perlakuan akuntansi terhadap biaya eksplorasi minyak dan gas bumi.

International Financial Reporting Standard (IFRS) telah dijadikan kiblat standar akuntansi baru bagi banyak negara. Tujuan dari diterapkannya IFRS ini adalah untuk meningkatkan transparansi dan komparabilitas laporan keuangan di seluruh dunia. Sejak tahun 2008 Indonesia mulai melakukan kovergensi IFRS sebagai wujud kesepakatan pemerintah Indonesia atas hasil pertemuan pemimpin negara G20 forum di Washington DC. Salah satu standar akuntansi keuangan yang dikonvergensi terhadap IFRS adalah standar mengenai minyak dan gas bumi. Oleh karena itulah pada 1 Januari 2012 PSAK No. 29 (revisi 1994) yang berlandaskan US GAAP dicabut dan diganti dengan PSAK No. 64 (2011): Aktivitas Eksplorasi dan Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya Mineral yang telah mengadopsi IFRS 6: Exploration for and Evaluation of Mineral Resources.

Dan PSAK No. 33 (1994) diubah menjadi ED PSAK No. 33 (revisi 2011) tentang Pertambangan Umum, namun pada 2015 PSAK 33 resmi dihapus.

2.1.3.2 Dampak Implementasi IFRS

Sejak diadopsinya IFRS oleh Indonesia, maka PSAK No. 29: Akuntansi Minyak dan Gas bumi dan PSAK No.33 (1994) “Pertambangan Umum” dihapuskan dan digantikan dengan PSAK No. 64: Aktivitas Eksplorasi dan

Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya Mineral yang mengadopsi IFRS 6:

Exploration for and Evaluation of Mineral Resources. Tujuan PSAK No. 64 adalah untuk menetapkan pelaporan keuangan atas eksplorasi dan evaluasi pada pertambangan sumber daya mineral. Fokus dalam PSAK ini adalah biaya eksplorasi dan evaluasi dalam industri pertambangan sumber daya mineral. PSAK ini secara khusus mensyaratkan adanya pengembangan terbatas atas praktik akuntansi untuk pengeluaran yang terjadi atas eksplorasi dan evaluasi. Batasan dari pengeluaran eksplorasi dan evaluasi adalah pengeluaran yang terjadi setelah entitas memperoleh hak hukum untuk mengekplorasi suatu wilayah tertentu, dan sebelum dibuktikan adanya kelayakan teknis dan komersial atas penambangan sumber daya mineral yang dapat membuktikan adanya cadangan terbukti, maupun membuktikan bahwa dalam aset tersebut tidak ditemukan cadangan yang komersil.

Biaya yang terjadi atas pengeluaran eksplorasi dan evaluasi diakui sebagai aset eksplorasi dan evaluasi sebesar biaya perolehannya. Pengukuran aset eksplorasi dan evaluasi diatur dalam PSAK No. 64 (2011) paragraf 9, namun pernyataan tersebut tidak mengatur secara spesifik mengenai pengeluaran apa saja yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari aset eksplorasi dan evaluasi, karena itu setiap entitas memiliki kebijakan akuntansi masing-masing dalam menentukan pengukuran awal aset eksplorasi dan evaluasi dan menerapkannya secara konsisten. Setelah pengukuran awal, entitas menerapkan salah satu dari model biaya atau model revaluasi atas pengukuran aset eksplorasi dan evaluasi selanjutnya.

Jenis biaya utama yang masuk dalam aset eksplorasi dan evaluasi dalam perusahaan pertambangan :

1. Biaya-biaya penyelidikan topografi, geologi, dan geofisika, biaya hak untuk mengolah properti yang terkait dengan penyelidikan (topografi, geologi, dan geofisika), gaji dan biaya-biaya lainnya untuk para ahli geologi, petugas geofisik, dan biaya-biaya lain yang terkait dengan penyelidikan tersebut. Biaya-biaya tersebut secara keseluruhan disebut sebagai biaya geologi dan geofisika (biaya G&G).

2. Biaya untuk mempertahankan undeveloped properties, seperti delay rentals, biaya pajak, biaya perijinan untuk mempertahankan kontrak, sertabiaya-biaya untuk merawat dan mencatat lease atau kontrak.

3. Biaya pemboran dan peralatan sumur eksplorasi.

4. Biaya pemboran exploratory type stratigraphic test well (sumur tes stratigrafi).

5. Pengeluaran yang diakui sebagai aset eksplorasi dan evaluasi.

Berdasarkan PSAK No. 64 (2011) paragraf 18, aset eksplorasi akan diuji penurunan nilainya dan diungkapkan sebagai rugi penurunan nilai (IAI, 2011). Menurut PSAK No. 48 (revisi 2009) paragraf 1, Penurunan nilai suatu aset didefinisikan sebagai kondisi dimana jumlah tercatat suatu aset lebih besar daripada jumlah terpulihkannya (IAI, 2009). Sesuai dengan PSAK No. 48 (revisi 2009), aset tidak boleh dicatat melebihi jumlah terpulihkannya. Jika jumlah tercatat aset dinyatakan melebihi jumlah terpulihkan, maka aset dinyatakan mengalami penurunan nilai dan penurunan nilai tersebut akan diakui sebagai rugi

penurunan nilai. Rugi penurunan nilai diukur sebesar selisih antara jumlah terpulihkan dengan jumlah tercatat aset (IAI, 2009).

Berdasarkan PSAK No. 64 (2011) paragraf 15, entitas mengklasifikasikan aset eksplorasi dan evaluasi sesuai dengan sifat aset, yaitu sebagai aset berwujud dan aset tidak berwujud dan menerapkan klasifikasi tersebut secara konsisten (IAI, 2011). Selanjutnya, menurut PSAK No. 64 (2011) paragraf 17 suatu aset akan direklasifikasi saat terjadi kelayakan teknis dan kelangsungan usaha yang komersil atas penambangan sumber daya alam. Sebelum direklasifikasi, aset eksplorasi dan evaluasi diuji penurunan nilainya (IAI, 2011). PSAK No. 64 (2011) paragraf 23 mengatur pengungkapan aset eksplorasi dan evaluasi berupa informasi yang mengidentifikasi dan menjelaskan jumlah yang diakui dalam laporan keuangan yang timbul dari eksplorasi dan evaluasi pada pertambangan sumber daya mineral. Selanjutnya, untuk memenuhi hal tersebut entitas mengungkapkan aset eksplorasi dan evaluasi berdasarkan PSAK No. 64 (2011).

Menurut Tambunan (2014), IFRS memiliki banyak kelebihan sebagai berikut :

1. IFRS dihasilkan oleh suatu lembaga internasional yang independen sehingga pengaruh kekuatan politik dalam penyusunan standar dapat minimal.

2. Proses pembuatan IFRS lebih komprehensif melalui riset yang mendalam. Komentar untuk discussion paper maupun exposure draft keluaran IASB datang dari seluruh dunia sehingga standar yang dihasilkan lebih mencerminkan kebutuhan global dari pada kebutuhan suatu negara tertentu.

3. IFRS adalah standard yang berbasis prinsip (principle based) sehingga pengaturannya lebih sederhana dibandingkan dengan standar pelaporan keuangan keluaran Amerika Serikat yang lebih terperinci dan rumit

4. IFRS mensyaratkan pengungkapan informasi (disclosure) yang lebih detail dan terperinci sehingga membantu pengguna laporan keuangan mendapatkan informasi yang relevan.

5. IFRS semakin diterima oleh banyak negara, terlebih setelah terbukti standar akuntansi Amerika Serikat tidak mampu membentengi skandal-skandal perusahaan besar seperti kasus Enron dan Worldcom.

Dokumen terkait