• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Analisis

3. Interpelasi subjek

a. Ideologi mengubah warga dan aparat menjadi subjek (punya tempat dan peran pasti) di hadapan Subjek.

Data yang diperoleh menunjukkan bagaimana panitia pembangunan kantor Klasis, dalam hal ini Broto Yudono sebagai subjek yang menempatkan posisi dan perannya di bawah Subjek yaitu aparat negara dengan proses awal perencanaan pendirian kantor klasis. Ia terpanggil memosisikan diri pada tempat dan peran yang pasti di hadapan Subjek, yaitu sebagai warga negara yang tunduk terhadap Negara. Selanjutnya, ungkapan ketertundukan tersebut diwujudkan dengan mematuhi mekanisme dan ketentuan perundang-undangan negara demi mendapatkan ijin. Negara sebagai Subjek menunda penerbitan IMB sehingga pada titik ini kemudian ada proses resistensi subjek atas posisi dan tempatnya yang tunduk kepada negara. Ada proses pengamatan yang berbeda dalam hal poin penafsiran antara ―kantor‖ dengan ―rumah ibadat‖ yang terbaca oleh subjek lalu menganggap negara tidak objektif karena mengamini reproduksi praktik ideologi kerukunan dari masyarakat.

121

Data yang diperoleh menunjukkan keterpecahan atau ketercemaran diri dalam subjek dan bagaimana ini ikut membentuk subjek yang diterangkan di bagian 3.a. Dalam interpelasi tersebut, bisa dikatakan ada panggilan yang didengar untuk meraih pemenuhan posisi dan perannya melalui pengurusan IMB, yang persyaratannya telah ditentukan oleh negara. Dengan kata lain, pemohon menjadi subjek dan termohon menjadi Subjek. Klasis mengikuti tatanan sebagai yang ditentukan Subjek sebagai objek hasratnya.

Perubahan sikap terbaca ketika ada penolakan, negara mengamini kelompok penolak dengan mengabaikan kelengkapan syarat yang sudah dipenuhi oleh subjek. Perubahan sikap itu terbaca dengan ideologi yang menginterpelasi subjek bahwa kelompok penolak seakan menjadi Subjek yang menempatkan posisi dan peran negara menjadi subjek. Hal ini bisa dibaca bahwa negara menggunakan pertimbangan ketertiban dan menghindari konflik sehingga mengubah posisi dan peran negara tersebut, dari Subjek menjadi subjek karena tekanan Subjek.

F. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis data dengan tiga bagian dari perspektif ideologi Althusser yaitu konsep Aparatus Represi Negara (Repressive State

Apparatus/RSA) dan Aparatus Ideologi Negara (Ideological State Apparatus/ISA), ISA sebagai situs perebutan dan perjuangan kelompok yang

memiliki ideologi yang berbeda dengan negara, dan ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek, maka disimpulkan gambaran bagaimana ideologi kerukunan membentuk pengalaman kasus penolakan pendirian kantor klasis.

122

Klasis mengekspresikan praktik ideologinya melalui upaya mewujudkan kebutuhan sarana untuk menunjang karya pelayanan di tengah masyarakat dan bersama masyarakat yang plural. Meskipun dalam kenyataan sejarah, masyarakat yang plural dibaca dalam narasi mayoritas-minoritas di mana mayoritas diterima sebagai kekuatan dominan dan minoritas harus tahu diri. Klasis sebagai subjek, menempatkan posisi dan perannya di bawah Subjek yaitu negara dengan proses awal perencanaan pendirian kantor klasis. Klasis memposisikan diri pada tempat dan peran yang pasti di hadapan Subjek, yaitu sebagai warga negara yang tunduk terhadap Negara. Dalam interpelasi tersebut, ada hasrat dalam ketidaksadarannya yang mendalam untuk meraih pemenuhan posisi dan perannya tersebut yang secara ―otomatis‖ dipraktikkan melalui pengurusan IMB yang persyaratannya telah ditentukan oleh negara.

Posisi klasis dinamis, berubah dari mengalami interpelasi yaitu tunduk pada ideologi kerukunan hingga mengubah ketundukkan terhadap Subjek tersebut dengan melawan kebijakan negara lewat jalur hukum. Semula Klasis dalam ideologi kerukunan yang dihayatinya ―ditantang‖ oleh praktik ideologi kerukunan yang menganggap identitas keagamaan yang lain sebagai ―yang harus dilarang‖ dari kelompok penolak. Kontestasi ini dilakukan kelompok penolak dengan gambaran narasi mayoritas-minoritas termasuk melalui dukungan ormas yang diungkapkannya. Ideologi kerukunan beragama telah menginterpelasi subjek kelompok penolak punya tempat dan peran pasti menjadi yang mayoritas. Juga digunakan idiom-idiom etiket Jawa yang dipakai untuk melegitimasi penolakan juga mempersuasi pihak klasis bahkan merepresinya.

123

Di sisi yang lain, terjadi perubahan sikap pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten yang semula memberikan persetujuan melalui tanda tangan dan pernyataan persyaratan yang lengkap menjadi pihak ―netral‖, berubah haluan tunduk pada tekanan penolak. Hal ini terbaca dengan ideologi yang menginterpelasi subjek, kelompok penolak seakan menjadi Subjek yang menempatkan posisi dan peran negara berubah menjadi subjek. RSA-ISA bekerja melalui praktik pemerintah desa, kecamatan, dan Kabupaten yang mereproduksi kerukunan dalam situasi ―konflik‖ melalui pendekatan fasilitasi pertemuan yang diikuti oleh pihak klasis maupun penolak. Reproduksi kerukunan dalam pemahaman pengutamaan ketertiban dan keadaan tanpa konflik juga diikuti oleh pihak klasis melalui ungkapan ―dalam rangka mewujudkan suasana kondusif‖ meskipun ekspresi kontestasi ideologi kerukunan beragama yang berbasis hak kesetaraan warga negara juga disampaikan seperti dalam ungkapan ―mendorong pemerintah menjamin hak-hak konstitusional warga negara.‖

Posisi Kapolsek Karangmojo bisa dikatakan melakukan praktik ideologis RSA dengan cara persuasi dengan mengedepankan kerukunan masyarakat dalam arti kondisi tertib dan aman tanpa konflik. Hal ini terlihat dalam ungkapan dan tindakan antisipasif, utamanya dalam memadamkankan potensi konflik agama. Praktik ideologis dengan mengedepankan pertimbangan kerukunan semakin meminggirkan hak warga negara dengan mengeluarkan surat yang berisi penolakan meski menurut keputusan PTUN hal tersebut akhirnya harus dicabut.

124

BAB V

KESIMPULAN

Bagian kesimpulan ini akan memfokuskan pada empat hal pokok. Pertama, menjawab kembali rumusan masalah penelitian. Kedua, meletakkan kembali kasus ini dalam konteks kerukunan yang lebih besar yaitu dalam sejarah kerukunan di Indonesia. Ketiga, menarik pokok pelajaran penting dari penelitian ini. Selanjutnya, saran kepada pihak terkait dari pelajaran penting hasil penelitian ini. Hal tersebut akan disampaikan secara berurutan.

Pokok pertama yaitu jawaban dari rumusan masalah yang pertama dan kedua dari penelitian ini (Bab I) tentang bagaimana negara memaknai konsep kerukunan beragama lalu bagaimana konsep tersebut menjadi ideologi untuk mengelola kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa konstruksi pemakaian konsep kerukunan beragama berlaku secara berbeda-beda. Pada masa kolonial terlihat ideologi kerukunan beragama digambarkan sebagai konsep yang dipakai aparatus negara kolonial secara represif berfungsi untuk memapankan dominasi dan ketertiban keamanan demi tetap berlangsungnya penjajahan atau demi kapital. Pada masa Orde Lama, ideologi kerukunan beragama digambarkan sebagai pertarungan penentu ideologi dominan negara. Pertarungan yang pada akhirnya ―dimenangkan‖ kubu Kristen dan nasionalis tidak ―mematikan‖ pertarungan tersebut dalam berbagai ekspresi melalui kebijakan-kebijakan selanjutnya, khususnya undang-undang maupun peraturan yang dibuat. Pada masa itu, ideologi Pancasila dikonstruksi mengatasi ideologi-ideologi partikular dalam konteks pembentukan negara bangsa. Konsep kerukunan beragama yang dimapankan melalui RSA maupun ISA berfungsi untuk memobilisasi dan

125

menyatukan kekuatan unsur bangsa atau lebih untuk menguatkan negara bangsa yang baru terbentuk. Berikutnya pada masa Orde Baru, Aparatus Represi Negara terlihat bekerja dengan mengutamakan pendekatan administratif dalam mengelola kerukunan beragama sehingga bisa dikatakan Aparatus Represi Negara (Repressive State

Apparatus/RSA) menggunakan praktik yang bersifat represif-simbolik (administratif).

Namun secara umum, RSA digunakan untuk membatasi ekspresi keagamaan demi kepentingan pembangunan. Sekaligus hal ini berfungsi melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Sedangkan Aparatus Ideologi Negara (Ideological State Apparatus/ISA) bekerja secara masif dalam praktik-praktik penanaman nilai-nilai Pancasila yang dilakukan di berbagai segi kehidupan bernegara. Pada masa Pasca Reformasi, konsep kerukunan beragama ini diperebutkan kembali, khususnya dengan kebebasan berekspresi dari kelompok-kelompok keagamaan yang mengungkapkan dan mempromosikan gagasan-gagasannya. Meski demikian, konsep kerukunan beragama kembali mapan dengan

memelihara ―benih kecurigaan.‖

Selanjutnya, pokok jawaban rumusan masalah yang ketiga dari penelitian ini (Bab I) adalah tentang bagaimana konsep kerukunan beragama dimaknai dan dipertentangkan maknanya oleh Badan Pelaksana Klasis (Bapelklas) GKJ, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, dan kelompok penolak dalam kasus penolakan pendirian kantor Klasis GKJ. Dalam kasus spesifik tersebut, terlihat kontestasi makna kerukunan beragama dilakukan oleh ketiga pihak itu. Pihak Klasis menjalankan konsep kerukunan beragama melalui kebutuhan akan karya klasis di tengah dan bagi masyarakat Gunungkidul yang plural. Klasis merencanakan pendirian kantor melalui proses dan prosedur formal perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang di dalamnya sudah ada unsur pertimbangan relasi dengan tetangga dan pemerintahan. Di pihak yang lain, konsep

126

kerukunan beragama ditunjukkan oleh kelompok penolak dengan praktik ideologi yang menyatakan bahwa yang lain adalah ancaman bagi keberadaannya, khususnya beda identitas agama. Konsep kerukunan beragama berlangsung dengan pengkotak-kotakkan umat beragama. Hal ini terlihat dari narasi mayoritas-minoritas dalam kesepakatan yang tidak mendasarkan pada norma yang ada di atasnya (Negara). Konsep kerukunan dalam kebudayaan jawa yang ideologis juga berlaku di sini. Bahkan dianggap menjadi nilai ideologis yang lebih tinggi dari norma hukum. Sedangkan negara, melalui RSA dalam hal ini kepolisian, mengedepankan kerukunan masyarakat dalam arti kondisi keamanan tanpa konflik terlihat adanya ungkapan dan tindakan antisipasif, utamanya dalam isu potensi konflik agama. Terkait dengan relasi agama dalam konsep kerukunan beragama, pola umumnya sama yaitu polisi merepresi dan mengarahkan yang lemah untuk mengalah yang berarti juga mengalahkan pentingnya administrasi negara. DPMPT menggunakan praktik ideologis dengan mengedepankan pertimbangan kerukunan masyarakat tertentu saja dan mengeluarkan surat yang berisi penolakan meski menurut keputusan PTUN hal tersebut harus dicabut. Di sisi yang lain, terbaca adanya pertukaran posisi yaitu kelompok penolak seakan menjadi Subjek yang menempatkan posisi dan peran negara berganti posisi menjadi subjek. Gambaran ini berarti Klasis memaknai kerukunan beragama dalam arti kondisi rukun dalam kesetaraan warga negara meraih hak dan karyanya di tengah pluralitas agama, namun kelompok penolak memaknai kerukunan sebagai kondisi tidak diganggu identitas agama lain, sedangkan negara memaknai kerukunan sebagai kondisi tanpa konflik dan tertib sehingga sikapnya cenderung menyesuaikan demi kepentingan rukun yang dimaknai itu.

Jika meletakkan kembali kasus ini dalam konteks kerukunan dalam sejarah kerukunan di Indonesia, Aparatus Represi Negara terlihat bekerja dengan mengutamakan

127

pendekatan administratif dalam mengelola kerukunan beragama. Dengan demikian bisa dikatakan Aparatus Represi Negara (Repressive State Apparatus/RSA) menggunakan praktik yang bersifat represif-simbolik (administratif). Hal tersebut juga terlihat bagaimana kontestasi ideologis yang terus berlangsung dan posisi negara yang terus mereproduksi kerukunan dalam makna tanpa konflik atau ketertiban sehingga negara terlihat diinterpelasi oleh kelompok tertentu yang merubah posisinya dari Subjek menjadi subjek.

Pelajaran penting dari penelitian ini, dari sudut pandang teori ideologi Althusser bahwa ideologi bekerja lewat praktik keseharian dengan memapankan kerukunan beragama dalam makna tanpa konflik atau ketertiban. Ideologi dominan yang berlaku ternyata belum tentu ideologi negara. Ada ruang kontestasi terbuka dan beresiko dengan adanya ideologi kelompok yang menginterpelasi Subjek oleh kelompok penekan/mayoritas. Interpelasi memastikan pengenalan antara subjek-subjek dengan Subjek (S huruf besar, berarti ―subjek lain yang absolute‖) dan subjek-subjek akan mendapatkan jaminan (keselamatan) dari hasil pengenalan dan ketundukannya terhadap Subjek.

Terakhir, ada dua masukan kepada pihak terkait, khususnya pemerintah maupun lembaga keagamaan. Pertama, perlunya penguatan posisi dan peran negara sebagai Subjek mendasarkan pada dasar hukum negara meski banyak tekanan. Kedua, perlunya penggunaan RSA maupun ISA yang mendukung kerukunan dalam penghargaan pada aneka perbedaan identitas khususnya identitas agama.

128

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Afrizal. 2015. Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan

Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers

Ahmad, Munawar. 2013. Candy‟s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di

Indonesia, Yogyakarta: SUKA-Press

Ahnaf, Muhammad Iqbal dan Salim, Hairus. 2017. Krisis Keistimewaan: Kekerasan

terhadap Minoritas di Yogyakarta, Yogyakarta: CRCS UGM

Ali, H. Mursyid. 2009. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama Di Berbagai

Daerah Di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Althusser, Louis. 2007. Filsafat sebagai Senjata Revolusi, tr. Darmawan, Yogyakarta: Resist Book

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis,

Cultural Studies, tr. Osli Vinoli Arnof, Yogyakarta: Jalasutra

Althusser, Louis. 2015. Ideology dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-catatan

Investigasi). tr. Mohamad Zaki Hussein, IndoPROGRESS

Badan Pelaksana Sinode XXVIII GKJ. 2015.Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ, Salatiga: Sinode GKJ

Badan Pelaksana Sinode XXVIII GKJ. 2015. Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen

Jawa, Salatiga: Sinode GKJ

Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori dan Pratik, tr. Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana,

Bayo, Longgina Novadona dan Samadhi, Willy Purna. 2018. “Pendahuluan: Melacak

Rezim Lokal di Indonesia”, dalam Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita, Longgina Novadona Bayo dkk. ed. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Budianta, Melani. 2002. “Pendekatan Feminis Terhadap Wacana”, dalam Kris Budiman, ed., Analisis Wacana dari Linguistik sampai Dekonstruksi, Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM

Dwi Rusjiati, Agnes, dkk. 2016. Mengurai Benang Kusut Intoleransi: Sebuah Hasil

Pendokumentasian Kasus Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Aliansi Nasional

Bhinneka Tunggal Ika.

Fachrudin, Azis Anwar. 2016. Polemik Tafsir Pancasila. Yogyakarta: CRCS-UGM Fauzi, Ihsan Ali dkk. 2011. Kontroversi Gereja di Jakarta, Yogyakarta: CRCS

Hasani, Ismail, ed. 2010. Wajah Para „Pembela‟ Islam. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.

129

Hasani, Ismail, ed. 2011. Dokumen Kebijakan Penghapusan Diskriminasi

Agama/Keyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.

Human Rights Watch. 2013. Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas

Agama di Indonesia, United States of America: Human Rights Watch

L., Ferretter.2006. Louis Althuser, London: Routledge Critical Thinker

Laporan Riset 2020. Meninjau Kembali Peraturan Bersama Menteri 2006 dan Peran

Forum Kerukunan Umat Beragama: Temuan dari Pangkalan Data, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina

Latif, Yudi. 2003. Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, Jakarta: Penerbit Mizan

Maarif, S. (ed.). 2016. Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman. Yogyakarta: CRCS-UGM

Pimpinan Sidang LI Klasis. 2019. Akta Sidang Klasis LI Artikel 14 tentang Program

Kerja Bapelklas LI GKJ Gunungkidul, Yogyakarta

Sairin, Weinata, dan Pattiasina, J.M. 1996. Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan

Dalam Perspektif Kristen, Jakarta: Gunung Mulia

Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies. London: SAGE Publications Seo, Myengkyo. 2013. State Management of Religion in Indonesia, USA and Canada:

Routdlegde

Sila, M. Adlin. 2017. “Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Mengelola

Keragaman dari Dalam” dalam Ihsan Ali-Fauzi, Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad

Rafsadi, ed., Kebebasan,Toleransi dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di

Indonesia, Jakarta: PUSAD–Paramadina

Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1: Di Bawah Bayang-bayang

Zending 1858-1948, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen

Subanar, G. Budi, S.J. 2003. Soegijo, Si Anak Betlehem van Java, Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Subanar, G. Budi, S.J. 2005. Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung

Semarang di Bawah Dua Uskup (1940-1981, Yogyakarta: Penerbit Universitas

Sanatha Dharma

Suminto, H. Aqib.1985. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES

Suryo, Djoko. 2007. “Struktur dan Relasi Sosial-Budaya Jawa: Sumber Daya Kearifan

Lokal‖, dalam Ponco Raharjo, ed. Sang Penjaga Budaya jawa: Bunga Rampai Tulisan Tentang Budaya Jawa, Yogyakarta: TPK

Suseno, Franz Magnis.2016. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke

Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia

Sutanto, Trisno. 2011. Negara, Kekuasaan, dan “Agama”: Membedah Politik

Perukunan Rezim Orba. Dalam “Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keberagaman di Indonesia”. Bagir, Zainal Abidir, dkk. Yogyakarta: CRCS dan

130

Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari

Plato hingga Bourdieu, Yogyakarta: Jalasutra

Tim Human Right Resource Centre. 2015. Keeping the Faith: A Study of Freedom of

Thought, Conscience, and Religion in ASEAN, Jakarta: University of Indonesia

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Tim Setara Insitute. 2018. Laporan Tengah Tahun Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia, Jakarta: Setara

Institute

Tim Setara Institute. 2018. Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran Tahun 2018, Jakarta: Setara Institute

Tim The Wahid Institute. 2014. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

Dan Intoleransi, Jakarta: The Wahid Institute

Tim The Wahid Institute. 2016. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

Dan Intoleransi, Jakarta: The Wahid Institute

Tridarmanto, Yusak. 2012. “Damai dan Perdamaian dalam Tradisi Budaya Jawa”, dalam Pdt. Yusak Tridarmanto, ed. Serba-Serbi di Sekitar Kehidupan Orang Jawa

Sebagai Konteks Berteologi, Yogyakarta: TPK

Ukur, Fridolin. 2000. “Wawasan dan Kiprah Sosial-Ekonomi-Politik: Upaya DGI/PGI

menangani masalah-masalah Kemasyarakatan dan Kenegaraan”, dalam Jan S.

Aritonang (peny.), 50 Tahun PGI Gereja di Abad 21: Konsiliasi untuk Keadilan,

Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Ukur, Fridolin. 2015. “Penyesuaian Perumusan dan Penempatan Pancasila sebagai

Satu-satunya Asas dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara dalam Tata Dasar PGI dan Tata Gereja dari Gereja-Gereja Anggotanya”, dalam

Nico L. Kana dan N. Daldjoeni, ed. Ikrar & Ikhtiar dalam Hidup Pdt. Basoeki

Probowinoto, Jakarta: BPK Gunung Mulia

Wahid, K.H. Abdurrahman, ed. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam

Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute

Widiastono, Tonny D.,et.al. 1995. Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman:

Refleksi Keuskupan Agung Jakarta, Jakarta: Penerbit Keuskupan Agung

Jurnal

Haris, Munawir.2017. “Warisan Paradigmatik Kebijakan Politik Kerukunan

Antaragama Kolonial pada masa Reformasi”, Tasamuh: Jurnal Studi Islam

Volume 9, Nomor 1, April 2017, 157-208.

Renhoard, John Musa. 2019. “Politik Identitas Era Orde Baru Di Indonesia Memasuki Era Reformasi”,societas Dei Vol. 06, No. 1, April 2019

Seo, Myengkyo. 2012. Defining „religious‟ in Indonesia: toward neither an Islamic nor

131

Seo, Myengkyo. 2013. ―Falling In Love And Changing Gods: Inter-religious marriage

and religious conversion in Java, Indonesia”,Indonesia and the Malay World

Majalah

Pusham-UIN, “Menakar Toleransi di Kota Budaya”, Pranala, Edisi 13, Januari-Februari 2017

Sunardi, St. “Rekayasa Kerukunan Umat Beragama”, Basis, No. 01-02, Tahun 53, Januari-Februari 2004

Dokumen

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. 2017. Salinan Putusan: Perkara Nomor:

205/B/2017/PTTUN.SBY

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Media online frontjihadislam.or.id http://gunungkidulpost.com/anggota-fli-diserang-ormas-islam/). http://kabarhandayani.com/warga-grogol-unjuk-rasa-tolak-pembangunan-gedung-klasis-gkj/ https://gunungkidul.sorot.co/berita-94350-pemkab-diminta-pertimbangkan-lang-rencana-menempuh-banding.html https://nasional.tempo.co/read/1229982/bupati-bantul-cabut-izin-pendirian-gereja-pantekosta/full&view=ok https://nasional.tempo.co/read/1272094/acara-ki-ageng-mangir-di-bantul-dibubarkan-setara-intoleransi https://nasional.tempo.co/read/1315497/di-balik-penolakan-harlah-nu-di-masjid-gedhe-kauman https://news.detik.com/kolom/d-4502667/mengintip-rahasia-di-balik-aksi-aksi-intoleran?. https://pidjar.com/imb-kantor-klasis-gkj-di-grogol-belum-terbit-dinas-masih-tunggu-berkas-lengkap/8376/ https://regional.kompas.com/read/2018/12/21/08565691/klarifikasi-lengkap-pemotongan-nisan-salib-di-makam-kotagede-yogyakarta

132

https://regional.kompas.com/read/2019/04/03/17294401/slamet-melawan-diskriminasi-agama-berharap-tak-ada-lagi-aturan-serupa?page=all

https://satunama.org/830/pernyataan-sikap-makaryo-untuk-muspida-yogyakarta/

Tesis

Pangrante, Frans. 2015. “Mantunu Tedong Sebagai Situs Ideologi: Analisis Ideologi

dalam Tradisi Pengorbanan Kerbau pada Ritual Pemakaman di Toraja” (Tesis),