• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

A. Interpretasi hasil penelitian dan diskusi

Seksualitas memiliki makna yang lebih luas mencakup daya tarik seksual dan karakteristik yang bersifat biologis maupun sosial, seksualitas bersentuhan dengan wilayah sosial yang mengkonstruksi sifat, karakter, perilaku sosial dari masing-masing jenis kelamin (Munfarida, 2009). Seksualitas salah satu isu kesehatan yang essensial dan menjadi sesuatu yang kurang diketahui bagi remaja sehingga pelayanan kesehatan seksual masih dihindari dikarenakan ketidaknyamanan remaja untuk membicarakannya dan merupakan sesuatu hal yang masih tabu (Berg, 2001).

Perkembangan seksualitas remaja diawali ketika terjalinnya interaksi antar lawan jenis, baik itu interaksi antar teman maupun interaksi ketika berkencan (Taufik & Anganthi, 2005). Sarwono (2005) menjelaskan bahwa karakteristik seksualitas remaja mencakup pada karakteristik seksual primer dan sekunder. Seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja, selanjutnya muncul hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar pada remaja, karena secara alamiah dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk menyalurkan kasih sayang antara dua insan, sebagai fungsi

Hasil penelitian ini melaporkan beberapa makna seksualitas bagi remaja merupakan suatu hubungan intim. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jackson dan Scoot dalam Munti (2005) menyatakan bahwa seksualitas sebagai suatu fenomena psikologis dan biologis manusia. Selanjutnya Munti (2005) memaparkan kembali bahwa seksualitas secara umum memiliki makna yang lebih luas, meliputi hasrat-hasrat erotis, praktik-pratik dan identitas-identitas erotis yang mencakup perasaan-perasaan dan hubungan seksual. Sebuah revolusi global seksualitas dalam konteks ini terjadi diwilayah intim.

Makna seksualitas dalam penelitian ini hanya mengarah pada aspek biologis yaitu yang berkaitan dengan reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual saja bukan mencakup keseluruhan, seperti halnya menurut Munfarida (2009) menyatakan bahwa seksualitas memiliki makna yang lebih luas yang mencakup daya tarik seksual dan karakteristik yang bersifat biologis maupun sosial, seksualitas bersentuhan dengan wilayah sosial yang mengkonstruksi sifat, karakter, perilaku sosial dari masing-masing jenis kelamin. Hal ini juga sesuai dengan beberapa dimensi seksualitas yaitu, dimensi biologis, dimensi psikososial, dimensi perilaku, dimensi sosial dan dimensi Kultural. Dimensi biologis yang berkaitan dengan reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi. Dimensi psikososial yang erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis yang meliputi faktor psikis yaitu emosi, pandangan, dan kepribadian, yang berkolaborasi dengan

59

faktor sosial, yaitu bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya secara seksual.

Dimensi sosial yang dilihat yaitu bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seksual. Dimensi perilaku yang menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukan perilaku seksual menjadi budaya yang ada di masyarakat dan menekankan pada konstruksi kultural terhadap seksualitas yang menjadikan makna dan norma-norma seksualitas berbeda dari budaya yang satu dengan budaya yang lain. Dimensi klinis menangani persoalan-persoalan fisik seperti penyakit, trauma dan masalah-masalah perasaan atau psikis, seperti kecemasan, rasa bersalah, malu, depresi dan konflik, yang dapat mengganggu fungsi reproduksi dan seksualitas (Kesrepro, 2010; Negara, 2007 & PKBI, 2000).

Seks dan seksualitas seharusnya dibedakan, seks merupakan hal yang mencakup alat kelamin dan seksualitas merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperibadian sebagai laki-laki atau sebagai perempuan, dan seks merupakan bagian dari seksualitas (Hadiwardoyo, 2010). Seksualitas selalu terpaut dengan status manusia sebagai bagian inti keluarga dan manusia yang memiliki fungsi seksual dalam arti yang mendasar dan tidak hanya diindentikan pada lingkup hubungan seksual. Seksualitas selalu ditempatkan dalalm konteks seluruh pribadi manusia sebagai makhluk yang memiliki badan, jiwa dan roh yaitu bagaimana cara

menjalin hubungan dengan sesama dan cara bereaksi terhadap sesama (Chang, 2009).

PKBI (2010) menyatakan bahwa seksualitas merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang kehidupan manusia, dimulai dari saat lahir sebagai bayi hingga secara fisik menjadi mandiri, lepas dari ibunya dan akan berakhir ketika seorang meninggal dunia. Ilmu yang mempelajari seksualitas adalah seksologi yang terdiri dari aspek sosial budaya, biologis, klinis, psikososial, dan perilaku. Seksualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia, baik pria maupun perempuan.

Pemahaman holistik tentang seksualitas merumuskan kembali seksualitas sebagai suatu kekuatan hidup yang penting, yang bersifat organik dan melekat kepada totalitas pribadi seseorang, filsafat holistik menegaskan bahwa pengungkapan seksualitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya melalui alat kelamin saja, seksualitas juga dapat diungkapkan melalui peran sosial, peran gender, dan peran keluarga. Misalnya afeksi, kasih, dan keakraban yang bersifat non-genital (bukan alat kelamin) memang diungkapkan juga secara erotis, sensual, dan genital (Krabil, 2008). Hal ini sesuai dengan beberapa dimensi seksualitas yaitu, dimensi biologis, dimensi psikososial, dimensi perilaku, dimensi sosial dan dimensi cultural. Dimensi biologis yang berkaitan dengan reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual (Kesrepro, 2010; Negara, 2007 & PKBI, 2000).

Makna seksualitas lainnya dalam penelitian ini merupakan suatu rangsangan. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan Chang (2009)

61

mengungkap bahwa seksualitas merupakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perasaan, fantasi seksual, rangsangan-rangsangan serta hubungan persebadanan untuk kesenangan atau mengahasilkan keturunan. Ambiguitas seksualitas terletak pada pelayanan terhadap kelahiran, serta pelayanan terhadap perwujudan cinta kasih antara suami istri. Sesuai dengan tahapan seksual yang meliputi hasrat, eksitasi, plateau, orgasme dan resolusi. Eksitasi merupakan hasrat seks dengan terangsang. Dua orang yang tertarik satu sama lain akan merasakan keterangsangan menjalar ditubuh mereka (Kesrepro, 2008). Wujud rangsangan juga bervariasi meliputi khayalan, bau, suara, dan fisik seperti sentuhan dan belaian (Heffner dan Schust, 2005).

2. Perilaku seksual pada remaja

Rasa ingin tahu remaja terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis, karena dengan matangnya fungsi-fungsi seksual maka timbul pula dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan untuk pemuasan seksual. Remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan yang merupakan kesempatan para remaja melakukan sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk melakukan aktifitas seksual bahkan untuk melakukan hubungan seksual (Soetjiningsih, 2004).

Perilaku seksual merupakan perilaku yang melibatkan sentuhan fisik dari masing-masing anggota tubuh antara laki-laki dan perempuan dan segala yang mencakup tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik

dengan lawan jenis maupun sesama jenis (Noor, 2004). Perilaku seksual tercermin dalam bentuk-bentuk tingkah laku yang beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik kepada lawan jenis seperti berkencan, bercumbu dan senggama atau bersetubuh (Mu’tadin, 2010).

Perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja dalam penelitian ini meliputi berpegangan tangan, berciuman, sentuhan dan oral seks. Hal-hal yang dasar seperti berpegangan tangan merupakan awal untuk melakukan aktivitas yang lain. Hal itu sesuai dengan salah satu bentuk perilaku seksual menurut Wahyudi dalam Purnawan (2004), yang menyatakan bahwa berpegangan tangan merupakan aktivitas yang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas yang lain. Irawati (2002) juga memaparkan bahwa remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual yang beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yang dimulai dari berpegangan tangan.

Penelitian dari BKKBN (2005) memaparkan perilaku seksual remaja meliputi, berpegangan tangan (16%), berpelukan (13%), mencium pipi (12%). Perilaku yang sudah menjurus pada hubungan seks awal (foreplay) meliputi cium pipi (9%), necking (mencium leher) (9%), meraba organ seksual (4%), petting (2%) dan hubungan seksual (1%). Hal itu menunjukan bahwa berpegangan tangan merupakan perilaku seksual yang sering dilakukan oleh remaja dengan persentase 16%.

Partisipan telah melakukakan perilaku seksual sejak di bangku SMP yang meliputi cium bibir, Salah satu partisipan utama mengungkapkan bahwa pernah, mencium dada, meraba-raba dada perempuan dan oral seks. Hal tersebut dilakukan atas kesepakatan bersama kedua belah pihak.

63

Perilaku seksual yang terjadi dipengaruhi oleh perilaku-perilaku teman sebayanya agar tidak merasa ditolak dan dibaikan oleh teman sebayanya. Soetjiningsih (2006) memaparkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah hubungan remaja dengan orang tuanya, tekanan negatif kelompok sebaya, pemahaman tingkat agama dan penerimaan informasi dari berbagai media tentang seksualitas yang mempengaruhi perilaku seksual. Salah satu aspek paling kritis dalam masa remaja adalah menyangkut pergaulan, baik pergaulan sesama jenis maupun lawan jenis, jika tidak berhati-hati dalam bertindak, maka pergaulan remaja akan menjurus ke hal-hal yang negatif seperti perilaku seksual yang menyimpang.

Perilaku seksual tidak terjadi dengan sendirinya melainkan di motivasi oleh faktor-faktor internal yang tidak dapat diamati secara langsung (tidak kasat mata), sehingga individu tergerak untuk melakukan perilaku seksual yang bebas. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Motivasi tertentu akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Pada seorang remaja, perilaku seksual bebas dapat dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas atau karena pengaruh kelompok. Remaja ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya, dalam hal ini kelompoknya telah melakukan perilaku seksual bebas. Faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks bebas karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Ini merupakan ciri-ciri remaja pada

umumnya. Remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman mereka sendiri (Sarwono, 2008).

3. Sumber dan informasi seksualitas pada remaja

Remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dalam mencari sumber informasi terkait dengan seksualitas cenderung didapatkan dari berbagai macam media, diantaranya media internet, majalah, koran, telepon genggan dan media televisi. Pada penelitian ini memaparkan bahwa remaja mendapatkan informasi meliputi media dan teman sebaya.

Rokhmawati (2008) memaparkan bahwa paparan media massa, baik cetak maupun elektronik mempunyai pengaruh terhadap remaja untuk melakukan perilaku seksual yang menyimpang. Hal ini mengakibatkan remaja cenderung menggunakan media informasi elektronik secara negatif, padahal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 4 menyebutkan bahwa informasi yang didapatkan bertujuan untuk, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

65

Informasi seksualitas dari media massa (baik cetak maupun elektronik) yang cenderung bersifat pornografi dan pornoaksi dapat menjadi referensi yang tidak mendidik bagi remaja, karena remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru yang dilihat dan didengarnya dari media massa tersebut, maka dari itu sumber yang lain baik dan bertanggung jawab diperlukan oleh remaja, agar remaja tidak salah dalam mendapatkan informasi. Orang yang memberikan informasi berupa video porno ke dalam media elektronik internet merupakan tindakan yang tidak boleh dilakukan, hal ini sesuai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat 1, yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Media televisi seperti iklan, infotainment, hiburan/musik, dan film mempunyai kontribusi terhadap perilaku seksual dikalangan remaja. Media lain seperti majalah, buku, internet, dan VCD ternyata juga mempunyai andil yang besar terhadap perubahan perilaku seksual dikalangan remaja. Disarankan kepada orang tua dan pendidik (guru) kiranya, sejak dini memberikan bimbingan, pengawasan dan pelajaran kepada anak-anaknya dari pengaruh buruk media. Pemilik TV swasta hendaknya menyiarkan acara-acara yang memiliki nilai pendidikan (Purba, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Kenneavy et al. (2006) media massa adalah sumber informasi yang sangat penting dalam memberikan informasi mengenai perilaku seksual kepada remaja. Pengaruh yang kuat antara media massa dan perkembangan remaja juga telah dijelaskan oleh hasil penelitian

yang dilakukan oleh Baumgardner et al. (2004) yaitu, perilaku kekerasan yang diperoleh dari media massa (video game, televisi, film dan internet) merupakan kontributor utama dalam menciptakan sikap agresif dan perilaku kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.

Suryoputro (2006) yang memaparkan remaja mendapatkan suatu pendapat atau saran tentang seks dari teman sebayanya, remaja cenderung menerima, karena remaja itu mempunyai ketakutan atau kecemasan bila tidak melakukannya akan di asingkan dalam suatu kelompok tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Gunarsa (2004) bahwa bila suatu kelompok remaja sudah menuntut hak bertindak kolektif yang membatasi kebebasan individu, maka hilanglah kesempatan emansipasi dalam kelompok. Dalam kelompok-kelompok dengan kohesi yang kuat, berkembang norma-norma kelompok tertentu, remaja akan lebih mementingkan perannya sebagai anggota kelompok daripada mengembangkan pola dirinya sendiri.

Menurut Santrock (2007) fungsi utama dari teman sebaya yaitu memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga, sehingga hubungan dengan teman sebaya yang baik dapat membawa anak ke perilaku yang baik dan begitu sebaliknya. Dampak negatif dari kelompok teman sebaya dan media massa yaitu dapat membawa remaja terlibat dalam kenakalan remaja seperti terlibat narkoba, free seks, tawuran serta ketidakmampuan untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain (Santrock 2007; Goleman 2007). Pengaruh negatif dari teman sebaya dan media massa yang besar menuntut setiap individu

67

agar dapat menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar (Desmita, 2009).

Bester (2007) memaparkan bahwa kurangnya waktu luang remaja untuk berinteraksi dengan lingkingannya dapat memberikan dampak negatif terhadap perkembangan sosial dan kepribadian remaja karena kelompok teman sebaya akan menciptakan lingkungan sosial yang mengajar dan mengasah tanggung jawab sosial. Meijs (2010) juga memaparkan bahwa interaksi yang positif dengan teman sebaya dapat membantu remaja membangun perasaan menjadi anak populer dan kemudian berdampak pada tindakan prososial seperti kemampuan memecahkan masalah sosial, membangun hubungan pertemanan, dan memiliki perilaku sosial yang positif. White (2010) menyebutkan bahwa remaja yang memiliki tingkat agresivitas tinggi dengan teman sebaya akan lebih mudah terlibat dalam perilaku seksual Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2009) pada remaja fase akhir, menyebutkan bahwa keterampilan sosial yang dimiliki oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh keikutsertaannya dalam organisasi. Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruhidawati (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar remaja lebih memilih menghabiskan waktunya dengan kelompok teman sebayanya dan menceritakan masalah yang dihadapi dengan kelompok teman sebaya daripada dengan orang tua (Ghozali, 2004).

Informasi seksual yang benar dapat berfungsi sebagai instrument pencegahan pernikahan dini sekaligus berfungsi sebagai alat propaganda program keluarga berencana (KB) yang murah, namun efektif. Sebagai contoh, penjelasan tentang bahaya pernikahan dini atau kehamilan dini dan

penerangan tentang usia ideal untuk menikah akan mendorong para remaja menunda pernikahan dini karena menyadari kekeliruan yang berpotensi mengancam kesehatan, baik bayi yang mereka lahirkan maupun mereka sebagai orang tua (Surbakti, 2009).

Informasi dan sumber yang didapatkan semua partisipan tidak memaparkan bahwa informasi yang mereka dapat berasal dari orangtua. Padahal Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seksual kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksualnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma atau peraturan yang berlaku di masyarakat, mencakup apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Sarwono, 2008).

69

Dokumen terkait