T (n mo l/ min / mg p ro te in )
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 Responden K a da r G S T (n m o l/ m in/ m g pr ot e in)
(2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari terhadap 9 orang responden telah terbukti secara nyata dapat meningkatkan kadar glutation tereduksi (GSH) pada limfosit responden. Keberadaan enzim glutation S-tranferase dan GSH dapat melindungi sel dari bahaya elektrofilik yang reaktif ini sebelum bereaksi dengan sisi nukleofilik dari sel. Glutation dalam bentuk tereduksi (GSH) merupakan substrat yang penting untuk enzim-enzim antioksidan seperti glutation S-transferase dan glutation peroksidase dalam menguraikan berbagai macam peroksida atau lipid peroksida (Stone 1999).
Namun demikian peningkatan aktivitas enzim gluatation s-transferase ini tidaklah bisa semata-mata disebut sebagai akibat dari flavonoid yang terdapat pada minuman bubuk kakao bebas lemak semata. Hal ini dikarenakan, meski secara tidak nyata setelah 25 hari intervensi, aktivitas enzim GST pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan. Peningkatan aktivitas GST yang terjadi juga pada kelompok kontrol ini diduga karena meningkatnya asupan gizi dan membaiknya pola makan responden selama penelitian berlangsung. Kirlin et al (1999) menyebutkan bahwa makanan merupakan hal yang paling berperan dalam menginduksi enzim detoksifikasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa makanan-makanan yang dapat menginduksi enzim detoksifikasi adalah beberapa famili sayuran seperti cruciferae (brokoli, sawi, kubis, kale, kembang kol), leuguminose (buncis), umbelliferae (wortel, seledri), zingiberaceae (jahe), liliaceae (asparagus) dan chenopodiceae (bayam).
Dari hasil pengukuran aktivitas enzim glutation S-transferase dapat diketahui bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan aktivitas enzim ini. Peningkatan aktivitas enzim ini berhubungan dengan aktivitas enzim sitokrom P-450, dimana telah terjadi penurunan kadar sitokrom P-450 secara nyata dalam eritrosit responden yang mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari, ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat menurunkannya produksi radikal bebas dalam tubuh. Sehingga enzim glutation S-transferase yang ada mampu mengurus intermediet yang dihasilkan, akibatnya terdapat sisa GST yang
tidak terpakai. Sisa GST yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses detoksifikasi berikutnya. Menurut Kirlin et al ( 1999) Induksi enzim detoksifikasi glutation S-transferase merupakan mekanisme pertahanan terhadap kanker. Prinsipnya peningkatan enzim GST dapat mereduksi karsinogenesis melalui penguatan pembuangan elektrofil reaktif. Lebih lanjut Donatus (2001) menjelaskan bahwa intermediet yang bersifat elektrofilik dan reaktif dapat membahayakan komponen seluler yang penting.
Penelitian lainnya juga telah banyak dilakukan untuk menggali potensi flavonoid dalam meningkatkan kerja enzim glutation S-transferase, salah satunya telah dibuktikan oleh Uhl (2002) yang menyebutkan bahwa pemberian chrysin (dosis 5-10 μg/ ml) sebagai kemopreventif mampu menekan aktivitas enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan aktivitas GST pada sel hepatoma (HepG2) manusia. Chrysin merupakan komponen biokatif golongan flavonoid yang banyak terdapat pada buah, sayur dan mampu. Senyawa ini diduga kuat memiliki potensi sebagai anti kanker dan tumor. Selanjutnya Patel (2005) juga telah membuktikan bahwa konsumsi buah berry setiap hari terbukti mampu meningkatkan enzim Glutation S-transferase responden laki-laki maupun perempuan. Pada tahun yang sama telah dibuktikan bahwa 15 gram ekstrak teh hijau yang diseduh dalam 1 liter air panas telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim Glutaion S-transferase sebesar 26 % pada hati tikus yang mengkonsumsinya selama 18 hari (El-Beshbishy, 2005).
Aktivitas enzim detoksifikasi glutation S-transferase (GST) pada plasma Glutation s-transferase adalah famili multi gen suatu protein multi fungsi yang mempunyai bentuk dimmer dan diyakini memegang peranan penting dan utama dalam biosinstesis leukotrin tertentu, prostaglandin, katalis konjugasi glutation (GSH) dengan pusat elektrofilik beragam senyawa (misalnya epoksida) sebagai tahap pertama pembentukan asam merkapturat (Martono dan Supardjan, 2002). Enzim ini berperan penting pula dalam detoksifikasi, ditemukan dalam fraksi sitosol. Dalam proses detoksifikasi suatu bahan obat elektrofilik dalam
tubuh ia berperan sebagai katalis pada reaksi antara glutation sebagai senyawa nukleofil dengan senyawa-senyawa elektrofilik (Jann et al, 1995).
Analisis yang dilakukan dengan menggunakan prinsip bahwa glutation dapat berkonjugasi dengan 1-kloro- 2,4-dinitrobenzene (CDNB) dengan adanya katalis enzim glutation S-transferase dan menghasilkan produk yang dapat diukur secara spektrofotometri (Habig et al, 1974). Lebih lanjut Murray et al (1999) menjelaskan bahwa sejumlah xenobiotik elektrofilik yang berpotensi beracun akan terkonjugasi dengan glutation nukleofilik dalam reaksi berikut:
R + GSHO R – S - G
Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Jika xenobiotik yang potensial beracun tidak terkonjugasi maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius.
Aktivitas GST mempengaruhi tingkat toksisitas karena dengan semakin rendahnya aktivitas GST, semakin sulit metabolit hasil reaksi fase I dikonjugasikan dan kemungkinan besar metabolit radikal tersebut bereaksi terlebih dahulu dengan makromolekul seperti protein, DNA, RNA sehingga menimbulkan toksik pada tubuh (Hodgoson & Levi, 2000).
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengukuran rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase pada plasma kelompok perlakuan sebelum intervensi adalah sebesar 0,129 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol rata-rata aktivitas enzim glutation S-transferase sebelum intervensi adalah sebesar 0,126 nmol/ min/ mg protein. Setelah intervensi berlangsung selama 25 hari, pengukuran rata-rata aktivitas GST plasma pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0,293 nmol/ min/ mg protein sedangkan kelompok kontrol menjadi 0,172 nmol/ min/ mg protein. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas GST plasma baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Namun demikian rata-rata peningkatan aktivitas GST plasma pada kelompok perlakuan lebih besar (0,164 nmol/ min/ mg protein) dibandingkan kelompok kontrol yang rata-rata peningkatannya hanya sebesar 0,046 nmol/ min/ mg protein. Hal tersebut diperkuat dengan analisa statistik menggunakan uji t,
dimana terjadi peningkatan aktivitas GST plasma darah secara nyata (p < 0,05) setelah kelompok perlakuan mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari. Sedangkan peningkatan aktivitas GST plasma darah yang terjadi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata (p > 0,05) setelah 25 hari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut.
Gambar 19 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 20 Grafik aktivitas enzim glutation S-transferase (GST) pada plasma kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi
Rata-rata peningkatan = 0,164 nmol/min/mg protein
Rata-rata peningkatan = 0,046 nmol/min/mg protein
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Responden Ka d a r G S T (n m o l/ m in/ m g prot e in)
Sebelum Intervensi Setelah Intervensi
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 K1 K2 K3 K4 K6 K7 K8 K9 Responden Ka d a r G S T (n mo l/ min / mg p ro te in )
Peningkatan aktivitas enzim glutation S-transferase ini menunjukkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama 25 hari pada responden memberikan efek yang positif bagi kerja enzim di fase II. Hal ini menunjukkan bahwa GST mampu mengurus instermediet yang dihasilkan selama proses detoksifikasi, akibatnya terdapat sisa GST yang tidak terpakai. Sisa GST yang tidak terpakai ini dapat digunakan untuk proses detoksifikasi berikutnya. Hodgoson dan Levi (2000) menjelaskan bahwa mekanisme konjugasi terhadap metabolit radikal yang reaktif yang dihasilkan dari reaksi fase I merupakan reaksi eliminasi yang cepat dan merupakan inaktivasi senyawa-senyawa yang berpotensi toksik. Toksisitas seluler merupakan suatu keseimbangan fungsi laju pembentukan metabolit radikal terhadap biotransformasinya sehingga akhirnya dapat dikeluarkan dari dalam tubuh. Penurunan aktivias GST merupakan gejala dimana telah terjadi ketidakseimbangan pembentukan metabolit radikal terhadap reaksi eliminasinya. Hal ini disebabkan tingginya metabolit radikal yang terbentuk dan strukturnya yang tidak mampu dikonjugasikan secara sempurna oleh GST. Metabolit radikal bebas yang tidak terkonjugasikan tadi akhirnya dapat berikatan dengan makromolekul seperti protein, polipeptida, RNA dan DNA yang merupakan pemicu berbagai proses toksik seperti mutagenesis, karsinogenesis, dan nekrosis seluler.
Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Yuliatmoko (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak dapat secara nyata meningkatkan aktivitas antiradikal bebas pada plasma darah responden. Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Stress oksidatif merupakan keadaan ketidakseimbangan antara reaktif oxygen species (ROS) / reaktif nitrogen species (RNS) dan antioksidan (Halliwell & Gutteridge 2001). Jika radikal bebas berada dalam jumlah berlebihan dan jumlah antioksidan seluler tetap atau lebih sedikit maka kelebihannya tidak bisa dinetralkan dan berakibat pada kerusakan sel ( Langseth 1995; Palmer & Paulson 1997). Efek radikal bebas dapat dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang berimbang. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat melindungi sistem
biologis tubuh melawan efek-efek yang potensial dari proses atau reaksi yang dapat menyebabkan oksidasi berlebihan (Papas 1991).
Plasma adalah suatu larutan encer yang terdiri atas elektrolit, zat-zat makanan, metabolit, protein, vitamin, elemen pelacak dan hormon. Plasma mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik, organik yang sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transpor zat-zat lain (Ganong 2000). Darah menyalurkan flavonoid ke jaringan-jaringan tubuh. Apabila terdapat dalam plasma, aglikon dapat memasuki jaringan perifer dengan difusi pasif atau terfasilitasi. Konjugat glukoronida perlu disalurkan ke dalam jaringan perifer karena senyawa tersebut bersifat hidrofilik dan berdifusi melewati membran dengan lambat. Untuk dekonjugasi dalam jaringan, banyak sel memiliki aktivitas β-Glukoronidase dalam fraksi lisosom dan lumen dalam retikulum endoplasma (Meskin et al 2004).
Berbagai penelitian serupa juga menyebutkan bahwa beberapa tanaman yang berpotensi sebagai antioksidan telah terbukti dapat meningkatkan kerja enzim fase II pada proses detoksifikasi. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa ekstrak tanaman widuri yang mengandung senyawa flavonoid jenis sylimarin terbukti mampu meningkatkan aktivitas enzim fase II: glutation S-transferase dan quinone reduktase pada liver, paru-paru dan kulit tikus percobaan dengan dosis 100-200 mg/ hari (Zao dan Agrawall 1999). (Sztanke dan Pasternak (2006) dalam ringkasannya menyebutkan bahwa senyawa astaxanthin dan canthaxanthin terbukti mampu meningkatkan kerja enzim fase II NAD(P)H: quinon reduktase yang mana enzim ini sangat vital dalam proses detoksifikasi senyawa karsinogen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa brokoli, sawi, dan kembang kol telah terbukti juga mampu meningkatkan kerja enzim fase II.
Namun demikian, dalam penelitian ini tidak bisa disimpulkan bahwa peningaktan aktiviatas enzim fase II dalam hal ini glutation S-transferase semata-mata hanya disebabkan oleh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak yang diberikan terhadap responden selama intervensi berlangsung. Hal tersebut dikarenakan pada kelompok kontrol hasil penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan aktivitas GST pada plasma darah responden yang tidak
mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak selama intervensi yang berlangsung 25 hari tersebut. Ini diduga karena responden mengalami perbaikan dalam menu makan juga pola makannya dibandingakan dengan kebiasaan mereka sebelumnya. Pada saat intervensi berlangsung, pola makan dan menu makan dari responden menjadi perhatian penting, hal ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang seseragam mungkin sehingga bias yang besar bisa dihindari semaksimal mungkin. Selama intervensi berlangsung, responden mendapatkan menu makan yang terdiri dari karbohidrat, lemak, protein serta serat yang cukup. Zakaria (2004) menyebutkan bahwa sayur, buah dan beberapa komponen bioaktif yang terdapat pada tanaman seperti flavonoid, klorofil, antosianin, karetonoid, terpenpoid, isothiosianat mampu menekan produksi radikal bebas dalam tubuh sehingga mampu menekan resiko terserang penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, stroke, diabetes dan penyakit degeneratif lainya. Seperti yang telah dibuktikan oleh Semiz dan Sen (2007) bahwa buah semangka mentah mampu meningkatkan aktivitas enzim GST sampai 50% pada liver, ginjal dan paru-paru tikus, juga menurunkan aktivitas enzim sitokrom P-450. Tanaman semangka mentah tersebut diberikan selama 16 hari dengan dosis 200 mg/ kg berat badan setiap 4 hari sekali. Tanaman semangaka komponen bioaktif berupa triterpen, pistein dan steroid. Selain faktor makanan, faktor lainnya yang penting adalah pola makan, status gizi, pencemaran makanan (akibat bahan tambahan kimia), udara, sinar matahari (UV) dan juga gaya hidup seseorang.