• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.6 Intervensi Kemanusiaan Menurut Perspektif Hukum Internasional

2.6.2 Intervensi Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional

Mayoritas negara saat ini mendukung perlindungan terhadap hak asasi manusia dan menjamin penegakan hak asasi manusia bagi setiap individu yang berada didalam wilayahnya. Oleh karenanya, negara mengakui adanya kewajiban untuk perlindungan hak asasi manusia. Meskipun demikian hingga saat ini belum ada suatu definisi hukum yang jelas mengenai intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional. Hal ini mengakibatkan intervensi kemanusiaan terbuka untuk diinterpretasi oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Intervensi kemanusiaan juga dapat diartikan sebagai intervensi bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara dengan pertimbangan kemanusiaan. Intervensi ini bukan bertujuan untuk mengganti kedaulatan suatu negara tetapi menyelamatkan para korban perlakuan brutal atau kejam dan tidak manusiawi yang dialami disuatu negara.123

Beberapa pakar dan lembaga mencoba mendefinisikan pengertian intervensi kemanusiaan, sebagai berikut:

a) Danish Institute of International Affairs mendefinisikan intervensi kemanusiaan sebagai :

"coercive action by States involving the use of armed force in another State without the consent of its Government, with or without authorization from the UN Security Council, for the purpose of preventing or putting to a halt

122

Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 649.

123

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford University Press, Oxford, 2003, hlm. 710.

grossand massive violations of human rights or international humanitarian law.”124

b) Robert O. Keohane dan J.L. Holzgrefe mendefinisikan intervensi kemanusiaan sebagai:

“the threat or use of force across state borders by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force is applied.”125

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan empat unsur tindakan intervensi kemanusiaan, yaitu:

1. Menggunakan kekuatan bersenjata (armed force). Dalam melakukan intervensi kemanusiaan didalam wilayah negara lain tempat terjadinya pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional, digunakan kekuatan bersenjata (armed force) untuk melindungi para korban dan menghentikan pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu penggunaan tindakan intervensi yang tidak menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) seperti ancaman atau penggunaan sanksi ekonomi, diplomatik, atau politik atau sanksi lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi kemanusiaan.126 2. Dilakukan dengan tujuan kemanusiaan untuk menghentikan pelanggaran

berat HAM atau hukum humaniter internasional. Dapat dilihat dari pengertian diatas bahwa tujuan utama dari intervensi kemanusiaan adalah untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran berat terhadap HAM atau hukum

124

Hans Corell, To Intervene or Not The Dilemma That Will Not Go Away, Dalam Conference On The Future Of Humanitarian Intervention, 2002, hlm. 2.

125

Robert O. Keohane & J. L. Holzgrefe, Humanitarian Intervention Ethical, Legal,

and Political Dilemmas, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, hlm. 18.

126

humaniter internasional. Dengan demikian maka motif lain selain hal ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah intervensi kemanusiaan.127

3. Dilakukan tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi sebagai mana diakui dalam hukum internasional, suatu negara memiliki kedaulatan dalam batas-batas teritorial yang diakui menjadi miliknya. Oleh karenanya negara memiliki yuridiksi atas benda, orang, ataupun kejadian yang terjadi didalam wilayahnya tersebut. Hal ini memberikan arti bahwa negara juga berdaulat penuh untuk mengatasi pelanggaran berat HAM ataupun hukum internasional yang terjadi didalam wilayahnya. Oleh karena itu sepanjang negara tersebut masih mempunyai kemampuan dan kapasitas untuk mengatasi permasalahan tersebut, negara lain tidak mempunyai hak untuk mengintervensi. Intervensi kemanusiaan mungkin dilakukan tanpa persetujuan negara tempat pelanggaran kemanusiaan terjadi, ketika negara tersebut tidak berkeinginan atau tidak mempunyai kemampuan atau kapasitas yang cukup untuk menyelesaikan permasalahan tersebut atau negara tersebut menjadi pelaku dari pelanggaran berat HAM atau hukum humaniter internasional, contohnya intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia tahun 1992 yang dalam hal ini Somalia dipandang tidak mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang terjadi disana karena dianggap sebagai negara gagal.128

127

Christoher C. Joyner, International Law in The 21st Century, Rowman & Little field Publishers, New York, 2005, hlm. 177.

128

Gerald A.Bunga, Analisis Hukum Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium Dan

Armed Robbery Di Wilayah Laut (Kajian Terhadap Penanganan Piracy Jure Gentium dan Armed Robbery di Selat Malaka-Singapura dan di Perairan Somalia), Universitas Gadjah Mada,

4. Dilakukan dengan atau tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB. Tindakan intervensi kemanusiaan berdasarkan pengertian dari Danish Institute of International Affairs dapat dilakukan dengan atau tanpa otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Saat ini masyarakat internasional lebih bisa menerima suatu intervensi kemanusiaan yang dilakukan dengan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruno Simma dalam Boer Mauna bahwa penggunaan kekerasan untuk tujuan humaniter tidak sesuai dengan tujuan piagam PBB kecuali telah mendapat otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Contohnya adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Somalia, Rwanda, dan Haiti yang dilakukan berdasarkan otoritas Dewan Keamanan PBB sehingga dapat diterima oleh masyarakat internasional.129 Sebaliknya, intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh suatu negara tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB, akan diragukan legalitasnya dan cenderung mendapat penolakan dan kecaman dari masyarakat internasional. Contohya adalah intervensi militer yang dilakukan NATO di Kosovo pada tahun 1999. Intervensi ini oleh sebagian besar dipandang sebagai tindakan unilateral dari NATO tanpa ada otorisasi dari Dewan Keamanan PBB.130 Contoh lainnya adalah intervensi militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat dibeberapa negara seperti di Nicaragua pada Tahun 1989, di Grenada Pada tahun 1983, dan di Panama tahun 1989. Intervensi ini dipandang lebih bertujuan untuk menggulingkan pemimpin

129

Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 652.

130

John Brien, “International Law Routledge Cavendish Humanitarian Intervention and Pretext of War”, American Journal of International Law, New York, 2001, hlm. 108.

totaliter131 dan memungkinkan hidupnya kebebasan memilih secara demokratis di negara-negara tersebut.132

Berdasarkan fakta-fakta tentang intervensi kemanusiaan sangatlah diperlukan bila suatu negara yang sedang mengalami konflik kemanusiaan tidak luput dari otorisasi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB. Fenomena Arab Spring, yang awalnya terjadi lebih dahulu di Tunisia, Yaman, dan Mesir pada awal tahun 2011, akhirnya juga hingga ke Libya.

Demonstrasi terjadi secara masif terhadap rezim Kolonel Muammar Gaddafi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang menginginkan perubahan menuju ke arah negara yang lebih demokratis. Demi mempertahankan kendalinya atas kepemimpinan Libya, Gaddafi tidak segan untuk menggunakan kekuatan militer menghadapi para demonstran. Alhasil, banyak penduduk sipil Libya yang menjadi korban karenanya dan atas dasar itu PBB bertindak. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No. 1970, dilanjutkan Resolusi No. 1973. Resolusi 1973 ini yang kemudian dijadikan legitimasi NATO untuk melakukan intervensi ke Libya, dengan nama intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention).133

Keberadaan NATO di Libya tampak jelas sebagai bentuk perpanjangan tangan Amerika Serikat yang hampir selalu mengatasnamakan hak asasi manusia dan demokrasi sebagai basis instrumen untuk melakukan intervensi. Padahal,

131

bentuk pemerintahan dengan kekuasaan mutlak negara terhadap hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat. kendali pemerintahan biasanya diserahkan kepada satu partai politik dan umumnya dipimpin oleh seorang diktator.

132

Rosalyn Higgins, Problem and Process International Law How We Use It, Clarendon Press Oxford, Oxford, 2001, hlm. 6.

133

http://www.nbcnews.com/id/44229170/ns/business-oil_and_energy/t/restoring-libyan-oil-output-could-take-years/#.UWze-Erddfw, diakses pada 19 januari 2014 pada pukul 20.40 WIB

bukti tentang pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi yang dilakukan Amerika Serikat sesungguhnya tidak sulit ditemukan. Dalam setiap peristiwa kekerasan atau konflik pada umumnya Amerika Serikat selalu mengambil peran. Jika konflik telah meluas menjadi perang terbuka seperti di Libya.134

Alasan lain dari intervensi militer terhadap Libya menjadi jelas jika mempertimbangkan logika terjadinya Arab Spring. Hanya dua bulan sejak diktator Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali digulingkan oleh rakyat, Presiden Mesir Hosni Mubarak pun harus turun tahta. Akibatnya, kekuatan Barat telah kehilangan dua sekutu utama mereka di wilayah ini. Seperti halnya dengan Gaddafi, Amerika Serikat dan Eropa telah bekerja sama erat dengan para diktator ini sampai menit terakhir. Intervensi ke Libya memiliki kepentingan yang sama seperti intervensi NATO di Irak tahun 2003 lalu. Tujuan utamanya adalah untuk mengambil alih cadangan minyak negara itu, destabilisasi perusahaan minyak nasional, dan akhirnya memprivatisasikan industri minyak, dengan transfer kendali dan kepemilikan kekayaan minyak Libya kepada tangan-tangan asing. Terminologi intervensi kemanusiaan di Libya, negara dimana sumber daya energinya telah menjadi obyek intrik imperialis selama beberapa dekade, kini sedang disalah gunakan untuk mengamankan akses minyak.135

Situasi di Libya tidak cukup terlihat serius alasan mengintervensi demi menurunkan rezim Gaddafi, atau lebih tepatnya memaksakan perubahan rezim oleh pihak-pihak eksternal yang mendukung perjuangan pemberontak Libya.

134

http://www.huffingtonpost.com/2011/03/08/newt-gingrich-libya-no-fly-zone_n_832967.html, diakses pada 19 januari 2014 pada pukul 21.00 WIB

135

http://www.nbcnews.com/id/44229170/ns/business-oil_and_energy/t/restoring-libyan-oil-output-could-take-years/#.UWze-Erddfw, diakses pada 19 januari 2014 pada pukul 21.20 WIB

Bahaya dari perubahan rezim lebih besar daripada intervensi kemanusiaan. Banyak dari penduduk sipil tak berdosa akan terbunuh dan kemungkinan terjadinya instabilitas kawasan akan membesar.136

Dokumen terkait