• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjelasan mengenai peranan pemerintah dalam perekonomian dan penentuan kebijakan yang diambil telah menjadi perdebatan yang lama di kalangan pemerhati ekonomi. Intervensi pemerintah pada produksi dan pemasaran produk pertanian merupakan fenomena universal. Beberapa pola intervensi bersifat umum untuk setiap negara terlepas dari latar belakang budaya, sejarah, sosiologis, dan lokasi geografi. Namun demikian terdapat tendensi kebijakan yang mendiskriminasi pertanian di negara berkembang dengan beban perpajakan sementara subsidi yang besar diberikan ke pertanian di negara maju (Swinnen and Zee, 1993). Selain itu lingkungan politik yang melingkupi kebijakan pertanian pada satu negara pun selalu berbeda dari waktu kewaktu seperti halnya perbedaan lingkungan politik antar negara pada waktu tertentu. Oleh karena itu eksaminasi landasan berfikir ekonomi makro dan mikro dari politik kebijakan pertanian tersebut dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan mencolok dalam kebijakan yang diambil.

Kajian ekonomi tentang intervensi pemerintah pada produksi, pemasaran dan harga komoditi pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam dua tradisi pemikiran berbeda (Swinnen and Zee, 1993), sementara Barret (1999) mengelompokkan menjadi tiga dengan menyertakan model mikroekonomi perilaku individual untuk menyelidiki ekonomi kebijakan pertanian. Namun karena model mikroekonomi merupakan model representasi agen (representative

agent model), maka model tersebut umumnya mengabaikan preferensi yang saling bertentangan diantara anggota masyarakat yang heterogen dan hasil kompetisi untuk mengejar kepentingan yang saling berseberangan.

2.1.1. Teori Kepentingan Publik

Tradisi pemikiran pertama berdasarkan ekonomi kesejahteraan Pigovian yang melakukan rekonsiliasi preferensi individu kedalam Teori Kepentingan Publik (Public Interest Theory) dan intervensi pemerintah diperlukan terutama untuk mengatasi persoalan kegagalan pasar yang ditimbulkan karena kompetisi yang tidak sempurna, adanya eksternalitas dan barang publik, serta industri yang memiliki fungsi biaya menurun (decreasing cost industries). Teori ini memandang pemerintah sebagai agen pelayan publik memiliki tujuan mulia untuk memperbaiki kegagalan pasar karena pada kondisi tersebut harga yang terjadi gagal menjelaskan kelangkaan sumberdaya yang digunakan. Namun demikian keterlibatan pemerintah adalah netral dari berbagai kepentingan karena didukung oleh para perencana profesional handal dimana kepentingan politik tidak nampak (Barrett, 1999).

Pendekatan ini menekankan mengapa ekonomi pasar gagal berfungsi secara efisien dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya dan untuk mengatasi kegagalan pasar negara menghasilkan barang publik dengan menginternalisasikan manfaat dan biaya sosial kedalam proses produksi, dan secara efektif mengatur industri yang memiliki struktur biaya menurun serta mendistribusikan manfaat secara optimal. Teori kebijakan ekonomi ortodok yang berlandaskan premis normatif untuk menemukan kebijakan ekonomi optimum

sangat relevan dengan kerangka kerja maksimisasi kemakmuran sosial ini. Namun jika terdapat kebijakan yang non optimal, hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan dan buruknya manajemen pemerintah (Swinnen and Zee, 1993).

2.1.2. Teori Kelompok Kepentingan

Tradisi yang kedua berasal dari teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) yang memusatkan perhatian pada peranan berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan perilaku birokrasi (bureaucratic behavior). Pendekatan ini memberikan penekanan pada ketidaknetralan pemerintah dalam melakukan intervensi, karena seperti pelaku ekonomi lain, pemerintah memiliki interest tertentu sehingga boleh jadi akan melahirkan kebijakan yang gagal. Kehadiran kelompok kepentingan dalam studi merupakan konsekuensi logis dari adanya kepentingan tersendiri dari birokrat, politisi, dan kelompok-kelompok penekan (pressure group). Pendekatan ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap pendekatan pigovian yang menolak anggapan bahwa pemerintah didalam mengatasai ketidaksempurnaan pasar melakukan koreksi dengan cara yang sempurna dan tanpa biaya. Intervensi pemerinah pada pasar mungkin saja gagal memperbaiki ketidaksempurnaan pasar dan bahkan dapat membuatnya menjadi lebih buruk (government failure).

Teori ini memusatkan perhatian pada alokasi sumberdaya publik di dalam pasar politik dengan mengkaji perilaku berbagai kelompok kepentingan, termasuk politisi dan birokrat. Menurut pendekatan ini pemerintah tidak lebih dari sekumpulan lembaga eksekutif dan legislatif yang memilki kekuasaan dan keinginannya sendiri. Pendekatan ini menganalisis bagaimana agen-agen

pemerintah berfungsi pada berbagai aransemen kelembagaan untuk menemukan penjelasan antara apa yang direkomendasikan dengan apa yang dilakukan pemerintah dan menganalisis hasil yang dicapai (Barrett, 1999; Swinnen and Zee, 1993).

Aliran pemikiran teori pilihan publik merupakan salah satu sudut pandang didalam memahami pembuatan keputusan politik. Teori ini menggunakan argumentasi ekonomi (economic reasoning) di dalam persoalan-persoalan politik. Inti persoalan terletak pada perilaku rasional pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan yang melakukan ‘investasi’ untuk meningkatkan kemakmuran. Penyedia manfaat politik (politisi dan birokrat) menawarkan subsidi, manfaat pajak, dan sejumlah regulasi kepada peminat atau demanders (kelompok- kelompok kepentingan) dengan imbalan pemberian suara, kontribusi pada kampanye pemilihan umum, atau imbalan lain (Gardner, 1987). Di banyak negara berkembang dimana birokrat dan politisi tidak dimonitor secara ketat, diskresi kebijakan yang mereka miliki sering memunculkan penyuapan melalui kewenangan alokatif dan ketepatan waktu pelayanan. Peminat yang memberikan penawaran tertinggi akan mendapatkan alokasi dan dilayani tepat waktu. Untuk mendapatkan pelayanan tepat waktu maka besarnya nilai penyuapan tergantung pada marjinal benefit of time dari peminat sementara untuk mendapatkan alokasi tertentu ditentukan oleh perbandingan manfaat marjinal dengan pengeluaran marjinal lobi. Untuk kasus Indonesia, hasil penelitian Kuncoro (2004) menunjukkan bahwa besarnya nilai penyuapan ini terhadap keseluruhan biaya produksi untuk industri agribisnis mencapai 11.3 % sementara untuk industri manufaktur adalah 9.3 %.

Kedua tradisi ini meskipun berbeda secara ideologi dan metodologi, namun keduanya mengkaji persoalan bagaimana kepentingan ekonomi eksogen mempengaruhi keseimbangan politik yang melibatkan berbagai kepentingan. Para kelompok kepentingan bersifat rasional yang dinyatakan sebagai memaksimumkan fungsi tujuan dengan manfaat (lobbies), kemakmuran individu (voters), dan dukungan politik (politiciants) sebagai argumennya. Dengan cara ini maka terdapat kesamaan antara analisis pasar politik dengan pasar ekonomi dimana keseimbangan terjadi ketika manfaat politik marjinal sama dengan biaya politik marjinal. Selain itu terdapat interaksi yang kuat antara kedua pasar tersebut dimana pasar ekonomi dapat menciptakan kemakmuran (wealth) yang dapat memperluas kekuasaan politik, sementara itu pasar politik dapat mendistribusikan kemakmuran yang pada gilirannya dapat memperkuat kekuasaan ekonomi (Swinnen and Zee, 1993).

2.2. Makroekonomi Politik Kebijakan Pertanian

Dokumen terkait