• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Kajian Teori

4. Isbat Nikah dan Kaitannya dengan Pencatatan Perkawinan

Perkawinan disebut juga juga dengan pernikahan, secara etimologi adalah persetubuhan atau perjanjian. Sedangkan secara terminologi ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.98

b. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan menjadikan sesuatu yang berpasangan dengan yang lainnya, yang keduanya disebut sepasang (az-zawjain).99Firman Allah yang menjelaskan tentang penciptaan makhluk dalam bentuk berpasang-pasangan seperti dalam surat adz-Dzaariyat ayat 49:

ىفكيرَّكىذىت ْميكَّلىعىل ًْيْىجْكىز اىنْقىلىخ وءْىىش ِّليك نًمىك

Artinya:

dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.100

Perkawinan berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhoan keduanya untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliput rasa kasih sayang dan ketentraman. Firman Allah SWT. dalam Surat ar-Ruum ayat 21 :

98Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet IV, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hlm. 1.

99

Mahmud Al Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Cet. III, (Bandung: 1994) hlm. 1.

100Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, , 1986, hlm. 862.

43

ًوًتَٰىياىءْنًمىك

ٓۦ

نجَٰىكْزىأْميكًسيفنىأْنِّمميكىلىقىلىْنْىأ

ا

نةىْحْىرىكنةَّدىوَّمميكىنْػيىػبىلىعىجىكاىهْػيىلًإاوينيكْسىتِّل

ۚ

ىًفَّنًإ

ىفكيرَّكىفىػتىيومْوىقِّلوتَٰىياىءىلىكًلَٰىذ

Artinya:

dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.101

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.102Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau Miitsaaqan

ghaliidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.103

Perkawinan tidak hanya dinilai sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut

qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul

berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.104

101Ibid. hlm. 644.

102

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

103Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat, 1999), hlm.14.

104Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 76.

44

c. Pentingnya Pencatatan Perkawinan

Kata pencatatan dalam beberapa referensi diartikan sebagai “proses; cara; perbuatan mencatat; pendaftaran.105 Pengertian dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut merupakan proses suatu perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menuliskan sesuatu atau mendokumentasikan suatu peristiwa.106

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui undang-undang untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi melindungi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan dasar hukum yang digunakan dalam pencatatan perkawinan yaitu undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yang mengatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 107

Serta dalam KHI dijelaskan dalam pasal 5 yang berbunyi:

a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.

b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 tahun 1954.108 Kemudian pasal 6 KHI menjelaskan bahwa:

1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

105Departemen pendidikan Nasional, Kamus Bahasa, h.264 dalam buku Helim Abdul Belajar Administrasi Melalui Al-qur‟an Eksistensi Pencatatan Akad Nikah (Yogyakarta:K-Media 2017) h. 57

106 Abdul Helim Belajar Administrasi Melalui Al-qur‟an Eksistensi Pencatatan Akad

Nikah (Yogyakarta:K-Media 2017)ibid h. 57

107Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (Surabaya: Pustaka

Tintamas, t.t), hlm. 8.

108

45

2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.109

Perkawinan yang secara normatif harus dicatatkan merupakan kesepakatan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum, untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian, dan perlindungan hukum. Dengan adanya pencatatan nikah ini akan berupaya melindungi nilai mashlahah mursalah dalam kehidupan rumah tangga. Didalam Al-Qur‟an dijelaskan tentang pentingnya penulisan atau pencatatan yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282 berbunyi:

هبًتاىكْميكىنْػيَّػببيتْكىيْلىك ۚ يهويبيتْكٱىفىِّمىسُّمولىجىأ َٰىلًَإ ونْيىدًب ميتنىياىدىت اىذًإ اوينىماىء ىنيًذَّلٱ اىهُّػيىأَٰىي

يوَّللٱيهىمَّلىعاىمىكىبيتْكىينىأهبًتاىكىبْأىي ىلَىك ۚ ًؿْدىعْلٱًب

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis diantara kau menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.”110

Inilah prinsip umum yang hendak ditetapkan. Maka menulis ini merupakan sesuatu yang diwajibkan dengan nash, tidak dibiarkan manusia memilihnya (untuk melakukannya atau tidak dilakukannya) pada waktu melaksanakan transaksi secara bertempo utang-piutang, karena suatu hikmah yang akan dirasakan manfaatnya. Ayat ini merupakan perintah dari Allah SWT. agar dilakukan pencatatan untuk arsip.111

109Ibid.

110

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000),

111Muh. Nasib Ar Rifa‟I, Taisiru Al Alliyul Qodir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir (Riyadh: Maktabah Am‟arif, 1989. Terjemahan, Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 463.

46

Dengan demikian maka dapat ditegaskan bahwa, pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak. Karena ia memiliki landasan metodologis yang cukup kokoh, yaitu qiyas atau mashlahah mursalah yang menurut Al-Syatibi merupakan dalil qath‟i yang dibangun atas dasar kajian indukif (istiqra‟i)112

dengan pencatatan pernikahan maka akan membentuk dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib dan menjaga kemaslahatan bagi keluarga.

d. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan

Adapun akibat hukum bagi tidak tercatatnya perkawinan yaitu sebagai berikut:

1.) Perkawinan dianggap tidak sah Meskipun perkawinan dilakukan menurut Agama dan kepercayaan, namun dimata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil.

2.) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.Anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibu atau keluarga Ibu (pasal 42 dan 43 undang-undang Perkawinan).113 Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

112

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), h. 121

113Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000)hlm.35

47

3.) Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak dicatat adalah baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinantersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.114

114Mahmud Al Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Cet. III, (Bandung: 1994) hlm. 111

48

Dokumen terkait