• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAMISASI ILMU KOMUNIKASI

BAB IV EPISTEMOLOGI ILMU KOMUNIKASI ISLAM

ISLAMISASI ILMU KOMUNIKASI

Pada bab kedua ini, penulis menjelaskan tentang bangunan teori yang berhubungan dengan ilmu komunikasi Islam. Bangunan teori disusun dari tiga konsep dasar yakni epistemologi ilmu komunikasi, epistemologi ilmu dalam Islam, dan Islamisasi ilmu. Ketiga konsep tersebut disusun menjadi satu bangunan yang penulis istilahkan dengan Islamisasi ilmu komunikasi. Maksud dari Islamisasi ilmu komunikasi adalah perpaduan antara ilmu komunikasi dengan ilmu Islam. Perpaduan yang disusun mengarah pada penggabungan antara term-term atau teori-teori yang ada dalam ilmu Islam dengan term-term atau teori-teori yang ada di dalam ilmu komunikasi menjadi satu kesatuan yang tersusun dalam struktur ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu komunikasi Islam.

A. Epistemologi Ilmu Komunikasi 1. Pengertian Ilmu Komunikasi

Dalam memberikan pemahaman tentang arti ilmu komunikasi, alangkah bijak apabila ditelusuri terlebih dahulu dinamika perkembangan ilmu komunikasi, dari semenjak tumbuh di Yunani hingga berkembang saat ini di Eropa dan Amerika. Dalam catatan sejarah, arti ilmu komunikasi senantiasa mengalami perkembangan yang begitu signifikan seiring dengan perkembangan setting social yang mengiringinya. Awal mula ilmu komunikasi berasal dari perkembangan retorika di Yunani (500 SM). Bermula dari kisah orang-orang Syracuse yang dikuasai oleh sistem Pemerintahan Tiran yang menindas rakyat dan menyerobot tanah milik rakyat. Orang-orang Syracuse melakukan pembelaan di pengadilan agar mereka mendapatkan tanahnya kembali. Saat itu, siapa saja yang memiliki ketrampilan berbicara dan berlogika untuk meyakinkan hakim di pengadilan, akan mendapatkan kembali tanahnya. Pada konteks ini, komunikasi diartikan sebagai

alat untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak publik yang tertindas.1

1

Iswandi Syahputra, Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007, hlm. 2.

24

Kemudian pada zaman kaisar Romawi, Gaius Julius Caesar (100-44 SM), mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan senat setiap hari diumumkan kepada masyarakat dengan cara ditempel pada papan pengumuman yang dinamakan Acta Diurna. Kegiatan pemberitaan melalui Acta Diurna tersebut

merupakan cikal bakal lahirnya kegiatan jurnalistik.2 Dalam hal ini, komunikasi

dipahami sebagai penyebaran informasi melalui pemberitaan atau kegiatan tulis menulis.

Selanjutnya, komunikasi yang bermula dari sebuah fenomena, seperti disebutkan di atas, berkembang menjadi kegiatan yang bersifat ilmiah. Pada tahun 1969, Carl I. Hovland dalam karyanya “Social Communication” memunculkan istilah “Science of Communication” yang ia definisikan sebagai suatu upaya sistematis untuk merumuskan dengan cara yang setepat-tepatnya asas-asas

penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap”.3

Sekarang ini, ilmu komunikasi sudah tidak lagi dipahami sekedar praktik berbicara untuk tukar menukar pesan atau hanya bertegur sapa antarmanusia. Luasnya spektrum keilmuan komunikasi membuat ahli komunikasi memahami komunikasi dalam berbagai tradisi komunikasi. Menurut Robert Craig, ada tujuh tradisi komunikasi yang memberi pengaruh terhadap perkembangan ilmu

komunikasi,4 yaitu: tradisi retorika, semiotika, fenomenologis, sibernetika,

sosio-psikologis, sosio-budaya, dan kritis. Berikut ini gambaran tentang ketujuh tradisi

berkaitan dengan teori yang akan dikembangkan dan masalah yang dibicarakan:5

Tradisi Komunikasi Berteori Masalah dalam komunikasi

Retorika Seni dalam praktik

bercakap-cakap

Membutuhkan urgensi social, pertimbangan dan pendapat kolektif

Semiotika Penyelesaian

intersubjektif melalui

Salah paham atau kekosongan antara sudut pandang yang subjektif

2

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2003, hlm. 6.

3 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori,…..hlm. 13.

4

Pendapat Craig dikutip dari Katherine Miller, Communication Theories, (Boston: Mc Grew Hill), 2005, hlm. 13.

5

Elvinaro Ardianto & Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2011, hlm. 34.

25

tanda-tanda

Fenomenologis Pengalaman dari orang lain, dialog

Ketidakhadiran, kegagalan untuk meneruskan, keaslian hubungan antarmanusia

Sibernetika Proses informasi Gaduh; muatan melebihi batas;

muatan berada di bawah batas; kegagalan atau virus dalam system sosiopsikologis Ekspresi, interaksi, dan

pengaruh

Situasi menghendaki adanya manipulasi karena adanya sikap untuk mencapai hasil yang terspesifikasi

Sosio-budaya (Re) produksi dan tata

tertib social

Konflik, alienasi, ketidaksejajaran, kegagalan koordinasi.

Kritis Refleksi yang tidak

berkesinambungan

Ideology hegemoni, situasi pembicaraan yang menyimpang dari susunan yang ada

Ketujuh tradisi yang dikemukakan oleh Craig tersebut, di kalangan ahli komunikasi masih menjadi perdebatan akademik. Karena komunikasi merupakan ilmu interdisipliner, maka orang mendefinisikan atau memahami komunikasi tergantung dari perspektif yang digunakannya, apakah bersumber dari psikologi, sosiologi, semiotika, atau sumber lainnya. Oleh karena itu, amat sulit untuk memahami ilmu komunikasi hanya berdasarkan pada satu sudut pandang saja. Ilmu komunikasi adalah ilmu yang serba ada, serba mencakup, dan serba makna. 2. Objek Ilmu Komunikasi

Semua ilmu yang mempelajari perilaku manusia berada dalam satu lingkaran social dan memiliki keterikatan yang sangat erat satu dengan lainnya. Persamaannya bukan saja karena ia berada dalam satu lingkaran yang sama (sosial), tetapi juga karena ia memiliki objek material yang sama, yakni mempelajari perilaku manusia, baik yang berhubungan dengan aktivitas manusia di sektor ekonomi, pemerintahan, hukum, komunikasi dan sebagainya.

26

Perbedaan antara ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya terletak pada objek formalnya. Objek formal memberikan kriteria secara spesifik dan menjadi pembeda dengan ilmu yang lainnya. Tanpa memiliki objek formal, satu ilmu tidak bisa dikatakan ilmu karena sulitnya untuk dibedakan dengan pengetahuan atau ilmu-ilmu lainnya.

Berkenaan dengan ilmu komunikasi yang notabene menjadi bagian dari ilmu sosial, maka objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yakni mempelajari perilaku manusia. Sementara, Objek formal ilmu komunikasi adalah mempelajari pernyataan manusia dalam situasi berkomunikasi yang mengarah pada perubahan social termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku

individu, kelompok, masyarakat, dan pengaturan kelembagaan.6

3. Proses Penelitian dalam ilmu Komunikasi

Secara substansial, proses penelitian yang ada dalam ilmu komunikasi tidak berbeda dengan proses penelitian ilmu sosial lainnya. Menurut Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, orang terlibat dalam penelitian ketika mereka

mencoba untuk mengetahui sesuatu dengan cara yang sistematis.7 Proses

penelitian yang sistematis dalam ilmu komunikasi menggunakan tiga tahapan: Pertama, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan fakta, data, dan nilai-nilai yang terkandung dari proses komunikasi. Kedua, pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang ada di masyarakat. Ketiga, menyusun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Dalam membuat pertanyaan-pertanyaan penelitian tentu seorang peneliti harus memahami wilayah kajian dalam komunikasi. Dalam perkembangan ilmu komunikasi kontemporer, wilayah kajian komunikasi begitu luas dan terus mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut Deddy Mulyana, kita dapat mengembangkan wilayah kajian komunikasi bukan hanya kajian komunikasi yang sudah ditentukan oleh International Communication Association, seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi, komunikasi massa, komunikasi politik, komunikasi kesehatan, komunikasi pembangunan dan

6

Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat …hlm. 24. Lihat juga Hafied Cangara,

Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 2006, hlm. 64. 7

Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, (Jakarta: Salemba Humanika), 2009, hlm. 10.

27

sebagainya, melainkan juga pada komunikasi lainnya yang seperti komunikasi transcendental, komunikasi antar gender, komunikasi keluarga, komunikasi

lingkungan, dan lain sebagainya.8

Selain itu, seorang peneliti juga perlu memahami teori-teori yang akan dijadikan landasan dalam menyusun hipotesis dan merumuskan permasalahan yang akan diajukan. Teori diperlukan untuk memprediksi, mengendalikan dan menjelaskan realitas atau fenomena social yang menjadi topic penelitian kita.

Di kalangan ilmuwan komunikasi terjadi perdebatan tentang apa yang mendasari sebuah teori yang memadai dalam komunikasi. Perbedaan terjadi bergantung pada bagaimana teori tersebut dihasilkan, jenis penelitian yang digunakan, cara teori tersebut dipresentasikan, dan aspek komunikasi yang disampaikan. Dari perbedaan-perbedaan tersebut muncul beragam teori yang ada dalam komunikasi. Oleh karena itu, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss menyarankan beberapa langkah yang mesti dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan teori-teori yang sistematis, yaitu: Pertama, memahami ruang lingkup dari teori yang akan digunakan. Jangan sampai menggunakan teori yang ruang lingkupnya luas untuk meneliti masalah yang sempit atau sebaliknya menggunakan teori yang memiliki ruang lingkup sempit untuk meneliti masalah yang luas. Kedua, perlunya konsistensi logis antara teori dan asumsinya. Mengingat asumsi disusun berdasarkan satu disiplin ilmu yang sesuai dengan bidang keahliannya. Jika peneliti akan meneliti komunikasi antar individu, maka teori dan asumsinya dibangun dari disiplin ilmu komunikasi antar individu.

Ketiga, teori yang akan digunakan mampu menyelesaikan masalah yang akan diteliti, baik dalam tataran praktis maupun secara teoritis sehingga ilmu yang dihasilkan betul-betul memberikan kemanfaatan bagi pengembangan ilmu dan kemanusiaan. Keempat, validitas teori. Ada tiga criteria dalam validitas teori yaitu dilihat dari nilai kegunaan, kesesuaian, dan bisa digeneralisasi. Kelima, carilah teori yang paling sederhan dan mudah digunakan untuk memecahkan persoalan

8

Deddy Mulyana, “Pengantar: Peluang Mengembangkan Kajian Komunikasi”, Dalam Ujang Saefullah, Kapita selekta Komunikasi: Pendekatan Budaya dan Agama, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007, hlm. iii.

28

penelitian. Keenam, teori tersebut memiliki keterbukaan sehingga dapat dinilai atau dikritisi.9

Setelah peneliti membuat pertanyaan yang sesuai dengan wilayah kajian komunikasi dan didasarkan pada teori yang dipilihnya, tugas selanjutnya adalah melakukan pengamatan terhadap masalah yang telah dirumuskan. Metode-metode pengamatan berbeda-beda dari satu tradisi ke tradisi yang lainnya. Ada yang mengamati catatan-catatan dan artefak-artefak, ada juga yang menggunakan metode keterlibatan secara langsung, dan bahkan ada yang menggunakan alat-alat bantu dan percobaan-percobaan yang dilakukan di laboratorium. Metode apapun yang digunakan, hal yang terpenting bahwa metode tersebut mampu menjawab permasalahan yang sedang diteliti.

Tahap terakhir dalam proses penelitian adalah menyusun jawaban. Pada tahapan ini, peneliti mencoba untuk mendefinisikan, menggambarkan, dan menjelaskan pokok-pokok permasalahan yang sedang diteliti. Dalam menyusun jawaban tentu harus memperhatikan tahapan-tahapan sebelumnya. Kemampuan dalam merangkai kata dan menyusun kalimat merupakan unsur penting dalam menyusun jawaban. Selain itu juga seorang peneliti perlu memiliki kemampuan berpikir logis dan sistematis. Tidak mungkin berhasil menyusun kalimat yang runtut dan berkesinambungan manakala seorang tidak memiliki kemampuan berpikir logis dan sistematis.

Meskipun tahapan penelitian telah dilakukan semuanya, tetapi perlu juga dibangun komitmen dalam diri peneliti bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut perlu dipublikasikan baik dalam jurnal maupun dalam bentuk buku. Hasil publikasi ini akan mendapatkan penilaian dari publik tentang kemanfaatan ilmu yang dikembangkannya dan sekaligus dapat dijadikan bahan penelitian lebih lanjut. Komitmen inilah yang tumbuh dalam tradisi akademik di Barat sehingga ilmu komunikasi terus menerus mengalami perkembangan yang signifikan.

9 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi….hlm. 40-42.

29

B. Epistemologi Ilmu Dalam Islam 1. Hakekat Ilmu Dalam Islam

Dalam Islam, istilah ilmu dan pengetahuan seringkali dipersamakan dengan kata dasar “allama” yang berarti mengetahui. Sementara dalam dunia Barat, istilah ilmu disebut dengan science, sedangkan pengetahuan adalah knowledge. Selain itu, dalam term Barat, pengetahuan dikatakan sebagai science apabila pengetahuan tersebut memiliki objek yang jelas (empiris), tersusun dengan menggunakan metode ilmiah, dan dirangkai atau dijelaskan secara sistematis. Karenanya dalam kacamata Barat, hal-hal yang bersifat supranatural atau metafisika tidak menjadi kajian ilmu (science).

Istilah ilmu yang ada dalam Islam dapat ditemukan dalam sumber ajaran Islam yang otentik, yakni al-Qur’an. Istilah “ilmu” beserta ramifikasinya merupakan istilah yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Ada kurang lebih …..ayat yang memperkenalkan istilah ilmu dan ramifikasinya. Banyaknya istilah ilmu yang disebutkan di dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan tentang pengembangan ilmu dan menempatkan posisi yang mulya bagi orang yang memiliki ilmu. Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan membedakan dengan orang yang tidak memiliki ilmu.

Ilmu dalam Islam amat penting keberadaannya. Selain untuk menjadi bekal manusia dalam menjalani kehidupan, ilmu juga berfungsi untuk mencari jejak

Tuhan di muka bumi ini.10 Dengan berbekal ilmu, seseorang bukan saja sukses

dalam mengarungi dunianya, tetapi ia bisa mendekatkan diri kepada Tuhannya. Orang yang berilmu tinggi, tetapi dirinya jauh dari Tuhan berarti ilmunya belum memberikan kemanfaatan pada dirinya dan orang tersebut belum memahami tujuan dari mencari ilmu yang sesungguhnya.

Ilmu pada hakekatnya merupakan anugerah atau cahaya yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 32 ”Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan/ilmu yang ada pada kami kecuali apa yang telah engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha mengetahui dan Maha Bijaksana”. Untuk mendapatkan anugerah tersebut, manusia telah

10

Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003, hlm. 132.

30

diberikan bekal oleh Allah swt berupa akal yang ada dalam dirinya. Melalui akal itulah manusia bisa berpikir dan mengembangkan ilmu.

Selanjutnya, dalam pandangan Islam, ilmu itu tidak bebas nilai. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmu berbeda dengan fakta. Di dalam ilmu ada fakta dan penjelasan dari sang ilmuwan. Karenanya, ilmu tidak bisa bersifat netral atau objektif dalam arti sebenar-benarnya atau dalam bahasa yang lain, ilmu tidak bisa bebas nilai. Ilmu sangat terkait dengan budaya, paradigma, dan agama dari seorang ilmuwan. Sejak dahulu, ketika ilmu berkembang di sebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologis, dan agama yang

dianut oleh para pemikir dan ilmuwan di wilayah tersebut.11 Bahkan, Menurut

Mujamil Qomar, ilmu dalam Islam meletakkan nilai-nilai di permukaan agar jelas

dan menjadikan nilai –nilai tersebut sebagai aturan main yang harus ditaati.12

Unsur lain yang membedakan ilmu dalam Islam dengan ilmu yang ada d Barat berkaitan dengan sumber dan metode ilmu. Dari sisi sumber, ilmu berasal dari Tuhan. Kemudian Tuhan memberikan potensi kepada manusia untuk menangkap dan menganalisa realitas yang menjadi bahan telaahan ilmu. Manusia oleh Allah diberikan potensi berupa akal, panca indera, dan hati. Ketiga alat tersebut dipergunakan oleh manusia untuk mendapatkan ilmu.

Akal, oleh kalangan rasionalis, dianggap sebagai alat yang kompeten untuk dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan ilmu. Akal memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengkritisi berbagai realitas yang ada dan mungkin ada. Dengan akal, manusia dapat bertanya tentang dimana sebuah “benda” berada, kapan suatu peristiwa terjadi, apa yang menyebabkan peristiwa terjadi, dimana dan bagaimana peristiwa itu terjadi, dan berbagai pertanyaan lain yang tidak bisa dilakukan oleh indera. Menurut Mulyadhi Kartanegara, kelebihan istimewa yang dimiliki oleh akal adalah kecakapan dan kemampuannya dalam menangkap esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya. Selain itu, akal manusia juga dapat mengetahui konsep universal dari suatu objek yang bersifat abstrak. Dengan

11

Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 131.

12 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga), 2005, 106.

31

kemampuan tersebut, akal manusia bisa menyimpan jutaan “makna” atau

“pemahaman” tentang pelbagai objek ilmu yang bersifat abstrak.13

Selain akal, indera juga menjadi alat yang kompeten untuk mendapatkan ilmu, bahkan menurut kalangan empirisisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber ilmu. Indera juga memiliki peran yang signifikan dalam mengenal dunia sekeliling kita dan yang menyebabkan manusia bisa beradaptasi dengan lingkungannya serta bisa survive dalam menjalani kehidupannya. Al-Qur’an dalam beberapa ayat memberikan penekanan tentang pentingnya panca indera manusia dalam melakukan tindakan seperti pendengaran, penglihatan, dan tangan manusia.

Meskipun indera sebagai alat yang bisa diandalkan untuk mendapatkan ilmu, tetapi banyak kritikan dari ilmuwan yang ditujukan kepada keandalan indera dalam memperoleh ilmu. Ada yang berpendapat bahwa pengetahuan empiric yang dihasilkan oleh indera, kualitas kebenaran dari pengetahuan ini tergolong paling rendah. Begitu pula, indera tidak mampu menangkap esensi dari suatu benda atau peristiwa. Indera dapat mengenal bahwa warna bunga matahari itu berwarna kuning, tetapi indera tidak mampu menjawab mengapa warna bunga itu berwarna kuning dan siapa yang menyebabkan bunga tersebut berwarna kuning.

Kelemahan yang dimiliki oleh indera tersebut, bisa ditutupi oleh akal. Akal bisa menjelaskan substansi atau esensi dari suatu benda atau peristiwa. Meski demikian, akal pun juga memiliki kelemahan, diantaranya: Pertama, akal tidak bisa memahami persoalan-persoalan hidup yang berkaitan dengan emosi dan perasaan. Kedua, akal tidak mampu memahami keunikan sebuah moment atau ruang sebagaimana dialami secara langsung oleh seseorang. Ketiga, akal tidak mampu memahami objek penelitiannya. Dia hanya mampu mengenal benda atau sesuatu yang bersifat simbolis.

Untuk menutupi kelemahan yang dimiliki oleh akal dan indera tersebut, manusia diberi potensi oleh Tuhan berupa hati. Hati manusia mampu memahami kehidupan emosional dan perasaan manusia, memahami keunikan-keunikan setiap peristiwa atau kejadian yang dialami manusia, dan hati mampu mengenal objek

13

Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 25.

32

penelitiannya secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan yang diperoleh dari

hati adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman.14 Contohnya, seorang

akan mengerti tentang manisnya cinta manakala orang tersebut mengalami proses percintaan. Jika dia hanya membaca melalui buku-buku atau mendapatkan cerita dari orang lain, maka orang tersebut belum merasakan manisnya cinta.

Implikasi dari perbedaan sumber ilmu antara Islam dengan Barat, maka metode untuk mendapatkan ilmu pun mengalami perbedaan. Barat dalam mengembangkan ilmu menggunakan metode ilmiah yang dikenal dengan istilah hipotetico-verifikasi, yakni metode observasi atau eksperimen dan metode logis atau demonstrative. Sedangkan Islam, selain menggunakan metode observasi (untuk objek-objek fisik) dan demonstratif (untuk objek-objek non fisik), juga menggunakan metode intuitif (irfani) untuk objek-objek non fisik dengan cara yang lebih langsung.

Dengan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat ilmu dalam Islam berbeda dengan arti science yang ada di Barat. Ilmu dalam Islam merupakan anugerah (cahaya) dari Tuhan. Karenanya pencarian, pengembangan, dan penggunaannya pun tidak bertentangan dengan koridor yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan manusia pun dalam mengembangkan ilmu dapat memanfaatkan seluruh potensi yang diberikan oleh Tuhan berupa akal, indera dan hati.

2. Kriteria Kebenaran Ilmu Dalam Islam

Adanya perbedaan konsep ilmu antara Islam dengan Barat berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan kriteria kebenaran. Dalam konsep Islam, kebenaran ada yang bersifat absolut dan ada yang bersifat relatif. Kedua kebenaran tersebut diakui dan digunakan dalam mengembangkan ilmu. Kemudian kedua kebenaran tersebut juga tidak saling bertolak belakang, melainkan saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Apa yang diungkapkan oleh al-Qur’an dalam skala tertentu dapat dibuktikan oleh manusia melalui observasi dan penalaran yang logis. Sebaliknya, apa yang diupayakan oleh manusia dapat disandarkan rujukannya pada al-Qur’an.

14

Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 26

33

Kebenaran yang bersifat absolut adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu atau al-Qur’an. Wahyu memberi kekuatan yang sangat besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan berbagai ajaran normatif-doktriner menjadi teori-teori yang bisa diandalkan. Kemudian wahyu juga memberikan bantuan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan akal dan panca indera. Bahkan wahyu juga bisa mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia.

Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu berangkat dari sikap percaya (iman) terhadap pernyataan-pernyataan wahyu, tanpa koreksi sama sekali, sehingga bersifat apriori. Kebenaran apriori adalah kebenaran yang diberikan (perennial truth) dan bukan kebenaran yang diupayakan (acquired truth) melalui metode ilmiah. Meskipun demikian, dalam memperoleh kebenaran wahyu memerlukan proses berpikir. Manusia dituntut untuk memahami kandungan ayat melalui proses penafsiran ataupun melalui pengalaman langsung sehingga manusia tersebut bisa mendekati pada kebenaran yang absolut tersebut.

Di samping itu, sains Islam juga mengakui adanya kebenaran yang bersifat relatif. kebenaran yang bisa terus menerus ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia terhadap ilmu tersebut melalui metode ilmiah. Kebenaran yang relatif tersebut bisa bersumber dari upaya yang dilakukan oleh akal, indera, maupun intuisi.

Konsekuensi logis dari perbedaan kriteria kebenaran yang ada dalam Islam dengan Barat berdampak pada perbedaan dalam metode pengembangan ilmu. Metode Islam memiliki karakter tersendiri sesuai dengan karakteristik ilmu dan kebenaran yang ada dalam Islam. Oleh karena itu, pada bahasan berikut akan dijelaskan tentang metode pengembangan ilmu dalam Islam.

3. Metode Pengembangan Ilmu Dalam Islam

Di kalangan ilmuwan muslim klasik telah berkembang beberapa metode dalam pengembangan ilmu, diantaranya adalah metode tajribi, istinbath, tarikhi, dan sam’iy. Metode tajribi banyak digunakan oleh ilmuwan muslim dalam mengkaji masalah-masalah alam atau eksakta. Metode istinbath lebih terkait dengan penggalian hukum Islam. kemudian metode tarikhi berkaitan dengan pengungkapan peristiwa-peristiwa masa lampau. Sedangkan metode sam’iy

34

berhubungan dengan wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh indera dan akal manusia. Biasanya banyak digunakan untuk menyampaikan informasi-informasi yang berasal dari wahyu Allah.

Seiring dengan perkembangan zaman dan merespons berbagai metode yang berkembang di dunia Barat, maka beberapa metode tersebut mengalami perkembangan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada tiga metode yang digunakan

Dokumen terkait