BAB II MENGENAL PENDIDIKAN INKLUSI
F. Isu dan Permasalahan yang Dihadapi Pendidikan Inklusi
Sekalipun perkembangan pendidikan inklusi di negara kita cukup menggem-birakan dan mendapat apresiasi dan antusiasme dari berbagai kalangan, terutama para praktisi pendidikan, namun sejauh ini dalam tataran implementasinya di lapangan masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian Sunardi (2009) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusi di Ka-bupaten dan Kota Bandung, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak bias, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu: pemahaman dan implemen-tasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support sis-tem. Salah satu bagian penting dari suppor sistem adalah tentang penyiapan anak.
Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah se-bagai berikut.
1. Pemahaman inklusi dan implikasinya
a. Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum pahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih di-pahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right and kemudahan access education, and againt discrimination.
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sis-tem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactif dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.
2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak berkelainan, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koor-dinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait.
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam meru-musakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktik bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembel-ajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak.
e. Belum adanya panduan yang jelas tentang sistem penilaian. Sistem penilai-an belum menggunakpenilai-an pendekatpenilai-an ypenilai-ang fleksibel dpenilai-an beragam.
f. Masih terdapat persepsi bahwa sistem penilaian hasil belajar ABK sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti.
4. Kondisi Guru
a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children.
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
c. Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tang-gung jawab masing-masing guru.
d. Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai panduan, serta duku-ngan anggaran yang memadai.
5. Sistem Dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pen-didikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya yang cacat.
c. Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingku-ngannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan geografik.
d. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advo-kasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.
e. LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujud-kan dengan baik.
Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam men-dorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan.
f. Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-guru dalam pelatih-an atau memberikpelatih-an bpelatih-antupelatih-an ypelatih-ang sifatnya fisik atau keupelatih-angpelatih-an, namun jumlahnya masih sangat terbatas dan belum merata.
g. Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang diperlukan untuk mendukung aksesibilitas dan keberhasilan pembelajaran secara memadai.
Hasil-hasil penelitian tentang isu dan permasalahan pendidikan inklusi di atas, sejalan dengan hasil penelitian Juang Sunanto (2009) terhadap dua Sekolah Dasar inklusi di kota Bandung. Pertama, sekolah yang secara alami mengembangkan pendidikan inklusif, tanpa predikat inklusif, misinya kemanusiaan, dan kini me-miliki 10 siswa with disabilities. Kedua, sekolah percontohan inklusif, ditunjuk resmi sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah, dan kini memiliki 32 siswa with disabilities. Hasilnya, dapat diringkas sebagai di bawah ini. Pada sekolah yang se-cara alami mengembangkan pendidikan inklusif, beberapa kecenderungan yang terjadi di lapangan, di antaranya seperti berikut.
1) Secara formal belum berpredikat sebagai sekolah inklusif, bahkan sampai se-karang belum tersentuh proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang pendidikan inklusi
2) Para guru awalnya sempat khawatir akan menurunkan citra sekolah.
3) Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak normal yang tidak naik kelas.
4) Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru tantangan untuk menemukan metode baru (kreatif) melalui kebersamaan, saling diskusi, saling berbagai.
5) Perubahan dan proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus menerus melalui kerja sama, saling memotivasi, saling membantu, saling mendukung, komuni-kasi, dan belajar dari pengalaman.
6) Mengembangkan kerjasama antar guru dan meningkatkan jalinan komunikasi dengan orang tua.
7) Sekalipun diakui menambah beban tambahan, namun diterima sebagai tan-tangan.
8) Pembelajaran children with disabilities dilakukan secara tersendiri, dengan menciptakan suasana yang memungkinkan semuanya dapat belajar, serta pe-nerapan pendekatan perhatian dan kasih sayang.
Sedangkan pada sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah percontohan inklusi, hal-hal menarik yang terjadi di sekolah ini, di antaranya seperti berikut.
1) Awalnya berjalan alami, kemudian ditunjuk resmi sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah. Awalnya mendapat bantuan 1 orang guru pendamping atau guru khusus, tapi kemudian keluar. Akhirnya muncul inisiatif dari orang tua untuk membawa sendiri guru pendamping untuk anaknya dan fenomena ini terus berkembang sampai sekarang dan bahkan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi orang tua.
2) Pembelajaran pada ABK yang awalnya diterima sebagai tantangan oleh guru kelas, kini bergeser kepada ketergantungan pada guru khusus atau guru pendamping. Kondisi ini menjadikan kreativitas guru tidak berkembang.
3) Kebijakan menjadikan sebagai sekolah berpredikat inklusi dan banyaknya pelatihan yang diterima justru menjadikan semakin tidak jelas, bahkan bias.
Penataran/pelatihan yang diterima belum banyak berdampak di kelas dan belum memberi solusi terhadap permasalahan pendidikan yang dihadapi.
4) Motivasi, kerja sama dalam mengatasi masalah tidak tampak, sebab seluruh aktivitas belajar disabled children mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada guru pendamping.
5) Inklusi dimaknai sekedar memasukkan ABK ke kelas regular, belajar dengan materi, guru, dan cara masing-masing. ABK belum ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas dan aktivitas di dalam kelas. Masih sebagai “tamu”, diterima secara pasif.
6) Kebijakan sekolah menetapkan bahwa urusan children with disabilities adalah urusan guru pendamping, sepenuhnya menjadi wewenang guru pendamping.
Pembuatan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi-nya tidak dilakukan melalui kolaborasi dan kerja sama.
Uraian di atas memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia, khususnya di Bandung masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan yang cukup kompleks dan sifatnya masih men-dasar, terutama terkait dengan pemahaman inklusi itu sendiri dan implementasi-nya di lapangan, kebijakan pemerintah dan kepala sekolah, pembinaan profesio-nal guru, proses pembelajaran, sistem dukungan, maupun penyiapan siswa. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa sekolah yang secara resmi telah berpredikat sebagai sekolah inklusi, bahkan sekolah percontohan sekalipun, belum menjamin
bahwa sekolah tersebut telah melaksanakan pendidikan inklusi secara benar dan baik sesuai dengan konsep-konsep pendidikan inklusi yang mendasarinya.
Dengan mempertimbangkan masih banyaknya isu dan permasalahan dalam pendidikan inklusi di Indonesia saat ini, maka penting bagi pemerintah untuk se-gera menindaklanjutinya, di antaranya melalui kegiatan pengkajian (monitoring dan evaluasi) secara menyeluruh terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi di Indo-nesia dan hasilnya dijadikan rujukan untuk membuat langkah-langkah strategis menuju pendidikan inklusi, peninjauan kembali kebijakan di tingkat sekolah, pe-rumusan model-model inklusi, penggiatan program pendampingan, pemberdaya-an LPTK PLB sebagai pusat sumber dpemberdaya-an dalam pendampingpemberdaya-an, menggpemberdaya-anti pola pe-nataran-pelatihan guru dari model ceramah kepada model lesson study atau mini-mal memasukkan lesson study sebagai bagian inti dari penataran-pelatihan guru, pembuatan buku-buku pedoman, serta menggalakkan program sosialisasi dan desiminasi.
BAB III
KURIKULUM DAN BAHAN AJAR PENDIDIKAN INKLUSI
A. Konsep Dasar Kurikulum Inklusi
Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis karena kurikulum di-susun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Melalui kurikulum, sumber daya manusia dapat diarahkan, dan kemajuan suatu bangsa akan ditentukan. Kuri-kulum harus dikembangkan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, kebutuhan pembangunan nasional, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejak akhir milenium kedua ada kecenderungan penyeleng-garaan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.
Pendidikan semacam ini disebut pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pen-didikan yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai ke-butuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari latar belakang etnik/suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, afiliasi politik, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama/ keper-cayaan, dan perbedaan kondisi fisik atau mental. Dalam kebersamaan tersebut perlu ada penyesuaian komponen-komponen pendidikan terhadap kebutuhan khusus peserta didik.
Pendidikan inklusif sebagai wacana baru dalam bidang pendidikan memerlu-kan pedoman dalam sistem penyelenggaraannya. Sehubungan dengan hal ter-sebut perlu disusun pedoman dalam pengembangan kurikulum dalam penyeleng-garaan sekolah inklusi.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan menge-nai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara-an kegiatpenyelenggara-an pembelajarpenyelenggara-an untuk mencapai tujupenyelenggara-an pendidikpenyelenggara-an tertentu. Kurikulum berisi seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah.
Dalam hal ini diversifikasi kurikulum diperlukan mengingat keberagaman ka-rakteristik peserta didik, daerah dan sekolah sehingga cara penyampaian dan pen-capaian kompetensi harus disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah, Jadi, pengertian diversifikasi kurikulum adalah pelayanan pendidikan
dengan cara menyesuaikan, memperluas, dan memperdalam kompetensi dan materi pelajaran dalam rangka untuk melayani keberagaman penyelenggaraan satuan pendidikan, kebutuhan serta kemampuan daerah dan sekolah ditinjau dari segi geografis, budaya, serta kemampuan, kebutuhan dan minat peserta didik.
Diversifikasi kurikulum yang melayani keberagaman kemampuan peserta didik ini dikelompokkan ke dalam: normal, sedang, dan tinggi.
Diversifikasi kurikulum yang melayani minat peserta didik dan kebutuhan daerah dirancang oleh daerah dan sekolah. Diversifikasi kurikulum juga dilaksana-kan untuk melayani peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena adanya kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/
atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Diversifikasi kurikulum juga perlu dilaksanakan untuk melayani peserta didik dari daerah terpencil atau ter-belakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi
B. Kurikulum, Peserta Didik, dan Program Pembelajaran 1. Kurikulum
Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 angka 19 disebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, teknik penilai-an, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pem-belajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pemerintah dalam hal ini Depar-temen Pendidikan Nasional telah menetapkan Standar Isi dan Standar Kompetensi lulusan, yang meliputi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Untuk pengembangan kurikulum selanjutnya diserahkan pada satuan pendidikan masing-masing yang nantinya dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidik-an. Substansi pengembangan kurikulum yang lebih rinci dilakukan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kelompok Mata Pelajaran, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran. Kurikulum ini dikembangkan di tingkat satuan pen-didikan dengan mengingat kondisi daerah dan kondisi kemampuan peserta didik.
2. Peserta Didik
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi memiliki peserta didik yang berbeda dengan sekolah lain pada umumnya. Ada tiga hal yng perlu dibahas sekilas tentang peserta didik sekolah inklusi, yaitu: pengertian peserta didik
ber-kebutuhan khusus dan/ atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa;
karakteristik dan kebutuhan khusus peserta didik; dan tingkat kecerdasan.
a. Pengertian Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan/ per-kembangannya secara signifikan mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dibanding dengan anak-anak lain seusia-nya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Jika peserta didik yang mengalami kelainan atau penyimpangan yang tidak signifikan dan telah dapat dikoreksi dengan alat bantu tidak memerlukan pendidikan khusus, peserta didik tersebut tidak termasuk peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Untuk keperluan pendidikan inklusif, peserta didik berkebutuhan khusus atau yang memiliki kelainan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Tunanetra 2) Tunarungu 3) Tunawicara 4) Tunagrahita 5) Tunadaksa 6) Tunalaras
7) Berkesulitan belajar spesifik 8) Lamban belajar
9) Autistik
10) Gangguan motorik
11) Korban penyalahgunaan narkoba 12) Anak dengan penyakit kronis
13) Gabungan dari dua atau lebih jenis kelainan seperti disebut di atas.
14) Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (pe-serta didik dengan kecerdasan luar biasa, pe(pe-serta didik dengan kreativitas luar biasa, peserta didik dengan bakat seni dan/atau olahraga luar biasa, dan/atau gabungan dari dua atau lebih jenis-jenis kelebihan di atas).
b. Hambatan-hambatan peserta didik berkebutuhan khusus
Setiap peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hambatan tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan hambatan-hambat-an tersebut juga menggambarkhambatan-hambat-an adhambatan-hambat-anya perbedahambatan-hambat-an kebutuhhambatan-hambat-an layhambatan-hambat-anhambatan-hambat-an pen-didikan bagi setiap peserta didik, baik yang berkaitan dengan kemampuan/
kesanggupan maupun ketidakmampuan peserta didik secara individual.
Untuk keperluan pengembangan pengajaran pendidikan inklusi, kebutuhan khusus peserta didik perlu dilakukan asesmen dan identifikasi keunggulan dan hambatan-hambatannya serta kebutuhan khusus peserta didik.
3. Program Pendidikan/ Pengajaran Individual
Guru kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru Pen-didikan Luar Biasa (PLB) atau PenPen-didikan Khusus (PKh) sebelum melaksanakan ke-giatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus terlebih dahulu perlu menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam rencana pembelajaran reguler, modifikasi pembelajaran serta program pengajaran indivi-dual (PPI) untuk anak berkebutuhan khusus.
PPI merupakan rencana pengajaran yang dirancang untuk satu orang peserta didik yang berkebutuhan khusus atau yang memiliki kecerdasan/ bakat istimewa.
PPI harus merupakan program yang dinamis artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik, dan disusun oleh sebuah tim terdiri dari orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus/
PLB, dan peserta didik yang bersangkutan yang disusun secara bersama-sama.
Idealnya PPI tersebut disusun oleh tim terdiri dari Kepala Sekolah, Komite Se-kolah, Tenaga ahli dan Profesi terkait, orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus/PLB, serta peserta didik yang bersangkutan.
Prinsip-prinsip PPI
a. Berorientasi pada peserta didik b. Sesuai potensi dan kebutuhan anak
c. Memperhatikan kecepatan belajar masing-masing
d. Mengejar ketertinggalan dan mengoptimalkan kemampuan Komponen PPI secara garis besar meliputi:
a. Deskripsi tingkat kemampuan peserta didik sekarang
b. Tujuan jangka panjang (umum) dan tujuan jangka pendek (khusus)
c. Rincian layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang terkait, termasuk seberapa besar peserta didik dapat berparti-sipasi di kelas reguler
d. Sasaran e. Metode
f. Ketercapaian sasaran g. Evaluasi
C. Pengembangan Kurikulum Program Inklusi 1. Dasar Pengembangan Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program inklusi pada dasarnya adalah menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum.
Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuh-an khusus sberkebutuh-angat bervariasi, mulai dari yberkebutuh-ang sifatnya ringberkebutuh-an, sedberkebutuh-ang sampai yberkebutuh-ang berat, maka dalam implementasinya di lapangan, kurikulum reguler perlu dilaku-kan modifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Untuk melakukan modifikasi dan pengembangan kurikulum dalam program inklusi harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusi, antara lain sebagai berikut.
a. Undang-Undang Nomor. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khusus-nya:
1) Pasal 5 ayat (1): setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
2) Pasal 5 ayat (2): warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3) Pasal 5 ayat (3): warga negara di daerah terpencil atau terbelakang, serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4) Pasal 5 ayat (4): warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5) Pasal 6 ayat (1) setiap warganegara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
6) Pasal 12 ayat (1.b): setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
7) Pasal 36 ayat (1): pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
8) Pasal 36 ayat (2): kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan di-kembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, serta peserta didik.
9) Penjelasan Pasal 15: Pendidikan khusus merupakan penye-lenggaraan pen-didikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang me-miliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau
be-rupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan me-nengah.
b. Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya:
1) Pasal 1 ayat (13): Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan se-bagai pedoman penyeleng-garaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2) Pasal 1 ayat (15): Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
3) Pasal 17 ayat (1): Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/ SDLB, SMP/
MTS/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK/atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/ karak-teristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
4) Pasal 17 ayat (2): sekolah dan komite sekolah atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan sila-busnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lu-lusan, dibawah supervisi Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK dan Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.
c. Peraturan Mendiknas No. 22/2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Isi un-tuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
d. Peraturan Mendiknas No. 23/2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Kom-petensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
e. Peraturan Mendiknas No. 24/2006 tanggal 2 Juni 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Mendiknas No. 22/2006 dan No. 23/2006.
2. Tujuan Pengembangan Kurikulum
a. Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi ham-batan belajar yang dialami semaksimal mungkin dalam setting sekolah inklusi.
b. Membantu guru dan orang tua dalam mengembangkan program pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di sekolah maupun di rumah.
c. Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan, me-nilai dan menyempurnakan program pendidikan inklusi.
3. Model Pengembangan Kurikulum a. Model kurikulum reguler penuh
Pada model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum reguler sama seperti peserta didik lainnya di dalam kelas yang sama.
Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya.
b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi, media
Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi, media