• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Terkini

Dalam dokumen Unduh IERO | Macroeconomic Dashboard (Halaman 29-40)

Sejarah Berulang

Untuk kesekian kali, pasca reformasi, bangsa Indonesia terjebak pada dilemma penurunan subsidi BBM. Berbagai road map penurunan subsidi BBM telah dibuat oleh para birokrat sejak tahun 2008, namun berbagai road map tersebut bukanlah apa yang

1

Oleh Dr. Rimawan Pradiptyo

Menunda Bukanlah Pilihan; Perekonomian Tersandera “Bom Waktu” Subsidi BBM yang Terus Tumbuh

1 Dr. Deputi Penelitian dan Koordinator Publikasi & Data Penelitian Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) FEB UGMDr. Rimawan Pradiptyo adalah

diinginkan oleh para politisi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pemerintah berencana melakukan pengaturan konsumsi BBM di tahun 2010 dan mulai dilakukan terbatas di Jakarta pada 2011, dan diharapkan terlaksana di seluruh Indonesia pada akhir 2013. Meski demikian rencana ini kandas di tahun 2011 setelah diketahui banyak SPBU mengalami keterbatasan lahan untuk instalasi tambahan tanki timbun, ditambah penolakan dari DPR terhadap hasil penelitian tiga Universitas UGM-ITB-UI.

Tim peneliti UGM-ITB-UI menyatakan bahwa proposal para birokrat untuk mengatur konsumsi BBM bersubsidi, ataupun keinginan para politisi untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi, adalah tidak efisien dan tidak efektif. Biaya pelaksanaan kedua kebijakan tersebut diestimasi lebih tinggi daripada manfaat penurunan subsidi BBM yang akan diperoleh. Di sisi lain, kedua rencana tersebut berpotensi menciptakan konflik horizontal di tiap-tiap SPBU, antara konsumen dengan pihak pengelola SPBU. Kedua rencana tersebut memiliki implikasi negatif yaitu pengalihan potensi konflik dan demonstrasi dari depan Istana Negara dan gedung DPR/MPR ke SPBU dari Sabang sampai Merauke.

Tim peneliti UGM-ITB-UI mengusulkan penurunan subsidi BBM sebesar Rp500 rupiah dan dan terus dilakukan secara bertahap (misalnya 6-12 bulan sekali) hingga harga Premium mencapai harga keekonomian disertai kompensasi subsidi ke keluarga miskin. Angka Rp500/liter ditentukan untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi dan juga politik pada saat yang bersamaan. Rencana ini

ditolak oleh DPR, dan para stake holders, termasuk partai politik yang

berkuasa, belum memberikan dukungan yang penuh terhadap usulan ini.

Di awal 2012, mencuat kembali masalah beban keuangan negara yang diakibatkan oleh subsidi BBM. Kembali tiga universitas diminta melakukan kajian kali ini adalah Tim Unpad-ITB-UI dan diusulkan harga Premium naik Rp1500/liter. Usulan ini ditentang banyak kalangan, terutama mahasiswa, dan timbullah aksi demonstrasi di berbagai kota menentang rencana tersebut. Maraknya reaksi masyarakat saat itu adalah akibat tidak dipertimbangkannya faktor politik dalam rencana penetapan kenaikan harga Rp1500/liter. Hal ini berbeda dengan rekomendasi Tim UGM-ITB-UI yang mempertimbangkan unsur politik dalam

rekomendasi mereka sehingga usul yang diajukan peningkatan harga Premium sebesar Rp500/liter dan dilakukan pengurangan subsidi secara berkala.

Kembali, di tahun 2012, partai yang berkuasa ragu-ragu dalam mengambil kebijakan, dan akhirnya rencana peningkatan harga subsidi BBM tidak jadi dilakukan. tingginya intensitas diskusi mengenai rencana peningkatan harga Premium tanpa realisasi yang jelas, justru memicu laju inflasi yang didasarkan pada expected inflation yang terbentuk di tingkat pelaku ekonomi, khususnya pedagang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pradiptyo dkk (2010) yang menunjukkan bahwa informasi utama pembentuk asa

inflasi (expected inflation) di tingkat pedagang adalah isu tentang

kenaikan harga BBM.

Sejak bulan Februari 2013, kembali beban subsidi BBM terhadap anggaran pemerintah kembali menyeruak. Defisit APBN di tahun 2011 dan 2012 berturut-turut adalah 1,1% dan 1,84% dari PDB, lebih rendah daripada pagu maksimal 3% dari PDB. Tahun ini, jika tidak ada kebijakan penurunan subsidi BBM, maka defisit APBN diperkirakan mencapai 3,83% dari PDB. Di sisi lain, fakta bahwa Indonesia adalah negara net importir minyak sejak 2004, peningkatan konsumsi BBM bersubsidi tentu akan meningkatkan tekanan terhadap neraca pembayaran karena impor Pertamax tentu

2

akan meningkat .

Meski masalah subsidi BBM berulang minimal selama tiga tahun terakhir, upaya penurunan subsidi BBM ternyata tidak mudah dilakukan. Pola penanganan selama tiga tahun tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, yaitu selalu bersifat myopic dan

kebijakan didasarkan lebih pada anecdotal evidence (mitos)

dibandingkan dengan hard evidence (realitas).

Kebijakan subsidi BBM pada dasarnya adalah kebijakan yang memanjakan konsumsi masyarakat golongan menengah ke atas, dengan dalih melindungi masyarakat berpenghasilan rendah.

Konsumsi BBM bersubsidi adalah fenonema compensated

consumption, artinya berapapun konsumsi BBM bersubsidi, untuk

Subsidi BBM adalah Bom Waktu yang Tumbuh

2. Di pasar international, standar minimum untuk bensin adalah RON 92 atau setara dengan Pertamax. Dengan demikian, untuk menutup kekurangan produksi dalam negeri, pemerintah perlu mengimpor Pertamax.

kegunaan apapun dan oleh siapapun, akan selalu dipenuhi oleh pemerintah. Berapapun volume BBM bersubsidi yang keluar dari tanki Pertamina, di akhir tahun pasti akan ditutup pendanaannya oleh Pemerintah.

Fenomena compensated consumption dapat digambarkan sebagai

berikut. Bayangkan jika anda memiliki kartu kredit dengan nilai

3

kredit yang tidak terbatas . Lalu berikan kartu kredit tersebut kepada seorang remaja, yang di pagi hari, remaja tersebut diantar ke

4

mall yang paling mewah di negeri ini . Berilah pesan kepada remaja tersebut, bahwa yang bersangkutkan diperkenankan membeli barang apapun dengan harga berapapun dengan kartu kredit tersebut, dan nantinya seluruh tagihan kartu kredit akan ditanggung oleh anda. Di malam hari, ketika mall tersebut akan tutup dan si remaja anda jemput dan anda mengumpulkan bukti pembelian dari remaja tersebut, adakah ada orang di muka bumi ini yang mampu mengestimasi dengan tepat nilai pembelian yang dilakukan remaja tersebut selama sehari itu? Tentu saja jawabannya adalah negatif. Ilustrasi ini menggambarkan kompleksitas yang dihadapi oleh birokrat dalam mengestimasi konsumsi BBM bersubsidi yang selalu meningkat. Tidaklah mengherankan jika setiap tahun kuota BBM bersubsidi tidak mudah diperkirakan dan cenderung selalu melebihi kuota yang telah ditetapkan.

Permasalahannya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM bersubsidi? Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM bersubsidi adalah: 1) peningkatan aktivitas ekonomi akibat pertumbuhan ekonomi; 2) kenaikan harga minyak dunia; 3) penguatan nilai tukar mata uang asing; 4) pengalihan konsumsi dari Pertamax ke Premium; 5) peningkatan aktivitas pasar gelap untuk keperluan industri; dan 6) penyelundupan BBM bersubsidi ke negara lain.

Dari enam faktor di atas, hanya faktor pertumbuhan ekonomi yang merupakan faktor endogen, yang dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Selain itu, kelima faktor lain merupakan faktor eksogen yang tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah sama sekali. Artinya, tanpa perubahan kebijakan terhadap subsidi BBM, maka beban subsidi BBM bukanlah dalam kendali pemerintah, namun justru

3 Jenis kartu kredit seperti ini biasanya berwarna hitam dengan nomor akun yang tidak panjang seperti layaknya kartu kredit biasa. Keberadaan kartu seperti ini biasanya dimiliki oleh nasabah-nasabah tertentu saja.

dikendalikan oleh pasar internasional, perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi BBM bersubsidi dan bahkan oleh perilaku pelaku di pasar gelap dan penyelundup BBM bersubsidi. Artinya, upaya mempertahankan subsidi BBM justru meletakkan kedaulatan penyusunan anggaran pembangunan (APBN) kepada pihak asing dan bahkan kepada para pelaku pasar gelap serta para penyelundup BBM bersubsidi. Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah, bagaimana dengan upaya meningkatkan kemandirian bangsa dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan?

Tidak berlebihan kiranya jika pertumbuhan beban subsidi BBM terhadap keuangan negara dapat digambarkan sebagai 'bom waktu yang terus bertumbuh dan siap meledak kapan saja'. Dalam menghadapi masalah kompleks seperti ini, tentu saja berdiam diri bukanlah strategi yang optimal, mengingat dampak subsidi BBM terhadap APBN akan terus tumbuh dan membebani perekonomian. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi BBM bersubsidi menciptakan kerentanan ekonomi karena permintaan terhadap Pertamax impor akan meningkat sehingga akan memberikan tekanan terhadap neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah.

Permasalahan menjadi semakin kompleks, ketika BBM bersubsidi tersedia di mana saja dan bisa diakses siapa saja. Tentu saja semakin tinggi kemampuan daya beli seseorang, semakin besar konsumsi terhadap bahan bakar, sehingga tidak pelak subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan rendah.

5

Berbagai hasil penelitian menunjukkan fakta nyata (hard evidence)

bahwa subsidi BBM meningkatkan ketimpangan pendapatan. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh: 1) pemilik mobil (53%) dibandingkan pemilik motor (47%); 2) masyarakat di Jawa dan Bali (59%); dan 3) angkutan darat (89%). Tercatat 25% rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77% subsidi BBM dibandingkan dengan 25% rumah tangga berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15% subsidi BBM (Kementerian Keuangan, 2008). 111

Fakta menunjukkan volume konsumsi BBM bersubsidi dan besarnya subsidi BBM juga ditentukan oleh aktivitas di pasar gelap

dan penyelundupan BBM bersubsidi. Kensekuensi dari fakta ini adalah, semakin besar subsidi BBM yang dikucurkan, semakin besar subsidi yang diterima oleh para penyelundup dan pelaku di pasar gelap.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa subsidi BBM adalah salah sasaran. Tidaklah berlebihan jika setiap upaya mempertahankan subsidi BBM dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan subsidi kepada rumah tangga berpendapatan menengah ke atas, dan juga mempertahankan subsidi kepada para penyelundup dan pelaku pasar gelap BBM bersubsidi. Hal ini sekaligus menepis anggapan bahwa menaikan harga BBM bersubsidi adalah mendzolimi rakyat. Fakta menunjukkan masyarakat miskin hanya menikmati sebagian kecil dari subsidi BBM. Fakta di atas juga menunjukkan bahwa segala upaya untuk mempertahankan kebijakan subsidi BBM yang tidak tepat sasaran tersebut justru mencederai dan sekaligus mengabaikan rasa keadilan.

Pradiptyo dan Sahadewo (2012) melakukan laboratory-based survey kepada 335 rumah tangga di Yogyakarta, baik yang tidak memiliki kendaraan bermotor apapun hingga yang memiliki mobil lebih dari satu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek yang tidak memiliki kendaraan bermotor, yang notabene berpendapatan rendah, lebih mudah menerima penurunan subsidi BBM daripada subyek yang memiliki mobil. Bagi subyek yang tidak memiliki kendaraan bermotor, penurunan subsidi BBM secara bertahap ataupun seketika tidaklah menjadi masalah asal realokasi penurunan subsidi tersebut dilakukan pada program-program subsidi spesifik (misalnya vaksin, infrastruktu dan transportasi) yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh rumah tangga. Sebaliknya, subyek yang memiliki mobil tidak peduli bagaimana realokasi yang dihasilkan dari penghematan subsidi BBM, yang mereka pentingkan adalah kebijakan penurunan subsidi BBM harus dilakukan secara bertahap. Dapat disimpulkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan yang tinggi, yang notabene menikmati lebih banyak BBM bersubsidi, lebih sulit menerima kebijakan penurunan subsidi BBM daripada rumah tangga dengan pendapatan rendah. Pradiptyo (2012a,b) melaporkan bahwa ternyata, di Indonesia, para koruptor-pun menikmati 'subsidi' akibat hukuman maksimal dalam UU Anti Korupsi yang terlalu ringan. Didasarkan pada putusan MA

dari tahun 2001-2012 diperoleh hasil bahwa biaya eksplisit korupsi adalah Rp 168,19 triliun, sementara nilai hukuman finansial hanyalah Rp 15,09 triliun (harga konstan 2012). Dengan demikian, selisih diantara kedua nilai tersebut, yaitu sebesar Rp 153,1 triliun, harus ditanggung oleh masyarakat atau dengan kata lain di negeri ini para koruptor disubsidi oleh masyarakat

Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Indonesia, terutama mereka yang memiliki penghasilan menengah ke bawah. Idealnya, subsidi diberikan kepada kelompok masyarakat yang kurang beruntung dengan pendapatan rendah. Namun fakta di Indonesia justru sebaliknya. Kebijakan subsidi BBM telah membuat rumah tangga berpendapatan menengah ke atas, para pelaku pasar gelap dan penyelundup BBM bersubsidi menikmati sebagian besar subsidi BBM. Di sisi lain, akibat UU Anti Korupsi, para pembayar pajak yang budiman, harus menyubsidi para koruptor, yang notabene berpenghasilan menengah ke atas.

Beban subsidi BBM terhadap perekonomian sebenarnya bisa diminimasi jika pemerintah dan terutama partai politik memiliki komitmen kuat untuk memandirikan perekonomian bangsa ini. Upaya untuk memandirikan perekonomian negara, seringkali ditundukkan oleh kepentingan politik yang berorientasi jangka pendek. Di tahun 2005 pemerintah telah meningkatkan harga Premium hingga 160%, namun di tahun 2008 menjelang Pemilu 2009, harga Premium dikembalikan lagi ke posisi semula yaitu Rp4500 hingga saat ini.

Adalah akibat faktor kepentingan politik pulalah yang menjadi pemicu utama mengapa rekomendasi Tim Peneliti UGM-ITB-UI ditolak oleh DPR di tahun 2011 dan tidak ada komitmen lebih lanjut dari partai yang berkuasa untuk memperjuangkannya. Hal serupa berulang lagi di tahun 2012. Saat inipun, upaya untuk menurunkan subsidi BBM masih terkendala perbedaan pandangan antar partai politik di Senayan, sehingga prosesnya berlarut-larut dan beresiko kehilangan momentum yang tepat untuk menurunkan subsidi tersebut.

Marilah kita berhitung, berapa nilai subsidi yang bisa dihemat apabila rekomendasi Tim Peneliti UGM-ITB-UI, yaitu peningkatan

harga BBM bersubsidi sebesar Rp500/liter dan dilakukan kenaikan bertahap setiap tahun (misalnya setiap tanggal 1 April)? Jika kebijakan ini dilakukan mulai tahun 2011, maka pada saat ini, harga Premium tidak lagi Rp4500/liter namun sudah mencapai Rp6000/liter. Apabila kebijakan ini ditempuh, dengan mempertimbangkan bahwa elastisitas premium adalah -0,16, dan diasumsikan elastisitas yang sama terjadi untuk solar, maka total susbidi yang bisa dihemat mencapai Rp134,23 triliun, dengan catatan hingga Desember 2013 pemerintah tidak melakukan kebijakan apapun terkait dengan harga BBM bersubsidi. Apabila di bulan Juli 2013 Pemerintah meningkatkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6000/liter, baik untuk solar dan premium, maka penerapan peningkatan harga Rp500/liter sejak 2011 akan menghemat sebesar Rp97,42 triliun.

Mari kita bandingkan potensi penghematan tersebut dengan subsidi pangan dan subsidi pupuk, yang di APBN 2013 berturut-turut hanya dialokasikan sebesar Rp17,2 triliun dan Rp16,2 triliun. Biaya operasional UGM sebagai Universitas terbesar di Indonesia dengan jumlah mahasiswa lebih dari 52.000 mahasiswa, dari D3 hingga S3, hanyalah sebesar Rp2 triliun/tahun. Marilah kita asumsikan bahwa biaya operasional ini dinaikkan menjadi Rp3 triliun/tahun untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan agar UGM memiliki kemampuan bersaing dengan universitas-universitas di negara maju. Didasarkan scenario ini, hanya diperlukan Rp30 triliun/tahun untuk membuat 10 universitas terbaik di negeri ini berskala sama dengan UGM mampu menyelenggarakan pendidikan dari D3 hingga S3 gratis!! Bayangkan, hanya dengan Rp30 triliun per tahun, 520 ribu mahasiswa terbaik di negeri ini akan mengenyam pendidikan gratis!! Inilah biaya minimal yang harus ditanggung oleh perekonomian akibat keragu-raguan para pengambil keputusan di negeri ini.

Waktu yang paling tepat untuk menurunkan subsidi BBM adalah pada bulan Maret, April dan Mei. Didasarkan pada pola inflasi dari tahun ke tahun, di bulan April tingkat inflasi mencapai titik terendah, dan mulai meningkat di bulan Mei. Dengan demikian, di kedua bulan itulah dampak inflasi dari penurunan subsidi BBM paling layak dilakukan.

Saat ini, upaya penurunan subsidi BBM rencananya akan dilakukan di bulan Juni, yang sebenarnya bukanlah momen yang ideal untuk menurunkan subsidi BBM mengingat bulan Ramadhan sudah dekat. Namun demikian, defisit terhadap APBN dan tenanan neraca pembayaran tidak lagi memberikan ruang gerak bagi pemerintah untuk menunda kembali penurunan subsidi BBM untuk ketiga kalinya berturut-turut. .

Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2013 menghadapi banyak ujian baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri yang meningkatkan instabilitas ekonomi makro. Aroma pertempuran politik menghangat dalam pengambilan kebijakan ekonomi sehingga pemerintah maju mundur dalam memutuskan penurunan subsidi BBM sampai pertengahan Juni 2013 (batas akhir cetak IERO), menimbulkan banyak ketidak pastian dalam perekonomian, menyandera ekonomi Indonesia. Suasana seperti itu ibaratnya seperti “bom waktu yang tumbuh” menurut Dr. Rimawan Pradiptyo yang disampaikan dalam Current Issue kali ini. Apalagi menghangatnya ekonomi politik domestik ditengah kondisi ekonomi global yang menghadapi ketidak pastian tentang kelanjutan kebijakan moneter longgar dari bank sentral AS ataupun Jepang, serta ketidak pastian ekonomi Eropa telah memberikan dampak yang negatip pada ekonomi Indonesia. Apalagi Bank Dunia memangkas lagi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2013 dari 2,4% pada Januari 2013 menjadi 2,2% pada Juni 2013, demikian juga ekonomi RRC yang menjadi motor penggerak utama ekonomi dunia dipangkas proyeksi laju pertumbuhannya dari 8,4% menjadi 7,7% pada periode yang sama, proyeksi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diturunkan dari 6,3% menjadi 6,2%.

Ditengah-tengah ketidak pastian ekonomi domestik dan global,

GAMA Leading Economic Indicator masih mempredik penurunan laju

pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek ini. Nampaknya proses penurunan laju pertumbuhan ekonomi masih berlangsung, seperti proyeksi GAMA LEI pada dua kuartal berturut-turut yang lalu telah tepat memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang merosot. Demikian juga proyeksi indikator ekonomi utama hasil konsesus akademisi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM selaras dengan GAMA LEI mempredik memburuknya ekonomi

Indonesia, dimana instabilitas ekonomi meningkat dan laju pertumbuhan ekonomi menurun. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung akan membahayakan pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pemerintah diharapkan segera mengambil keputusan terkait dengan harga BBM bersubsidi, agar segera bisa menghentikan ketidak pastian yang telah menimbulkan berbagai spekulasi yang membawa dampak negatif pada perekonomian. Selain itu otoritas ekonomi serta semua otoritas yang terkait diharapkan lebih fokus dalam menjaga stabilitas ekonomi makro dalam jangka pendek ini, jangan sampai suasana politik yang mulai gaduh merembet ke ekonomi yang berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi makro dan pemburukan ekonomi.

MACROECONOMIC DASHBOARD

Dalam dokumen Unduh IERO | Macroeconomic Dashboard (Halaman 29-40)

Dokumen terkait