• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAMINAN PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Muhtadi, S.H.,M.H.1

A. Pendahuluan

Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam khazanah relasi majikan dan pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan secara spesifik tidaklah mendapatkan rujukan normatif. Bahkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan2 sama sekali tidak menyebutkan eksistensi jenis pekerjaan tersebut sebagai salah satu yang diakui keberadaannya. Sedangkan secara sosiologis, sejarah mencatat bahwa PRT merupakan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang tidak dapat terpisahkan, dari penyebutan yang sangat kasar dan merendahkan martabat manusia, babu, jongos, lalu diperhalus menjadi penata-laksana rumah tangga, dan pembantu rumah tangga lalu menjadi pekerja rumah tangga sebagaimana yang kian marak diperjuangkan kelompok perlindungan PRT, bahkan dunia internasional.

Secara gramatikal, Nomenklatur (Istilah) pekerja dari frase “pembantu rumah tangga” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidaklah diartikan sebagai bagian dari pengertian pekerja, melainkan menggunakan

nomenklatur khusus, yaitu Pembantu Rumah Tangga.3 Pekerja diartikan sebagai 1) orang yang bekerja; 2) orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan.4 Sedangkan pembantu rumah tangga diartikan sebagai 1) orang (alat dsb) yang membantu; penolong; 2) orang upahan, pekerjaannya (membantu) mengurus pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, menyapu, dsb).5 Bertalian dengan makna pekerja tersebut, ditemukan padanannya, yaitu tenaga kerja, yang berarti 1) orang yang bekerja atau mengerjakan sesuatu; pekerja; pegawai; dsb, 2) orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,6 dan secara mutatis mutandis, Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan

1 Staf Pengajar Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila. e-mail : muhtadi.1977@fh.unila.ac.id

2

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003, Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara (LNRI) Nomor 4279.

3 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2002, hlm. 105.

4 Ibid., hlm. 554. 5

Ibid., hlm. 105. 6 Ibid., hlm. 1171.

memberikan batasan arti pekerja sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan menyebutkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Demikian pula bila dikaitkan dengan pengaturan pekerja migran dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri7 sama sekali tidak menyebutkan PRT sebagai bentuk pekerjaan yang diakui, padahal pekerja Indonesia terbesar ke luar negeri bekerja di sektor domestik. Dengan demikian, meskipun secara gramatikal Pembantu Rumah Tangga dipisahkan pengertiannya dari istilah pekerja pada umumnya, seharusnya dikategorikan sebagai bagian maksud pengertian pekerja tersebut.8

Penelitian tim Litbang Metro TV menyebutkan bahwa sepanjang 2012 terdapat setidaknya 227 kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang kemudian meningkat menjadi 327 tahun 2013.9 Data tersebut merupakan kejadian yang dilaporkan korban ataupun masyarakat sekitar yang melihat kejadian, sedangkan angka sebenarnya tidak terdapat kepastian, serupa fenomena gunung es di lautan, apakah lagi jumlah PRT di Indonesia diduga lebih dari 10.000 orang, sedangkan secara global menurut data International Labour Organisation (ILO) sampai tahun 2010 berjumlah sekitar 52,6 juta di seluruh dunia.

Jenis kekerasan yang dialami PRT antara lain tidak terbatas pada kekerasan fisik semata, melainkan non fisik, bahkan secara tidak sadar sering dilakukan majikan secara berkelanjutan terhadap PRT, eksploitasi jam kerja. Diluar kekerasan tersebut, tidak adanya kepastian jam kerja, jenis pekerjaan, standar upah umum, dan bahkan perlindungan hukum yang tidak diberikan oleh norma khusus bagi PRT. Selain itu, negara dan masyarakat masih memberikan stigma dan perlakuan diskriminatif yang ditunjukkan antara lain dengan cara 1) anggapan kuat bahwa pekerjaan rumah tangga tidak/rendah keterampilan, yang mengakibatkan pengabaian hak-hak mereka; 2) anggapan bahwa pekerjaan rumah tangga bersifat domestik dan informal, sehingga tidak perlu diatur dengan perangkat hukum yang menjamin hak dan perlindungan mereka selayaknya pekerja lain di sektor formal; dan 3) Pekerjaan rumah tangga belum diakui sebagai pekerjaan, sehingga perlindungan sangat bertumpu pada kebaikan hati majikan. Hal ini

7 LNRI Tahun 2004 Nomor 133, TLNRI Nomor 4678.

8 Muhtadi, Epilog : Negeri yang Mensejahterakan Pembantu Rumah Tangga, dalam Muhtadi (editor), Negara Hukum Kesejahteraan, (Bandar Lampung: KKPUU-FH Unila, 2013), hlm. 313.

terkesan mengukuhkan perbudakan modern dan menjauhkan hak dasar pekerja rumah tangga akan perlindungan dan pemenuhan hak.10

Program legislasi nasional DPR RI 2009-2014 menentukan Rancangan Undang-undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga sebagai salah satu RUU yang akan dibahas, dan menjadi salah satu RUU yang terdapat dalam Prolegnas 2010. Harapan para penggiat Hak Asasi Manusia (HAM), bertambah besar dengan pengesahan Konvensi ILO No. 189 tahun 2011 tentang Kerja Layak PRT yang diharapkan dapat memberikan perlindungan memadai bagi PRT dan dapat memperbaiki kondisi kerja PRT, yang tentunya diharapkan menjadi salah satu alasan untuk mempercepat pembahasan RUU PRT di DPR. Namun pembahasan RUU tersebut terhenti di Badan Legislasi (Baleg), dan sampai dengan mendekati periode akhir DPR hasil Pemilu 2009, RUU PRT masih belum mendapatkan kepastian masa depannya. Artinya, perlindungan dan masa depan PRT dalam sistem hukum nasional Indonesia merupakan harapan yang tertunda dan menjadi pekerjaan rumah besar bagi aggota DPR hasil Pemilu 2014.

B. Pekerja Rumah Tangga Dalam Pranata Hukum Internasional

Kekosongan hukum nasional yang mengatur secara khusus terhadap PRT tidak berarti konstitusi mengabaikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap kelompok rentan tersebut, melainkan hak-hak konstitusional mereka sebagai manusia adalah serupa dengan hak-hak yang melekat pada setiap orang sebagaimana diatur dalam Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, XA tentang HAM, XI tentang Agama, XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, dan bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan SosialUUD Tahun 1945.

PRT dalam pranata hukum internasional sejatinya telah diakui sebagaimana pengakuan yang diberikan UUD Tahun 1945, umum dan tidak secara spesifik menunjuk pada pekerja kelompok tersebut, melainkan tersembunyi (dan sebenarnya memang tidak untuk pengaturan hal demikian) dalam berbagai Konvensi ILO yang mengatur tenaga kerja, diantaranya No. 94/1949 tentang Konvensi Pekerja, No. 143/1975 tentang pekerja migran, No. 156/1981 Pekerja dan Keluarganya, No. 181/1997 tentang Agensi Tenaga Kerja Swasta, No. 198/2006 tentang Hubungan Kerja.

Perjuangan pengangkatan untuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan PRT dalam ranah internasional mempunyai sejarah panjang, hampir seumur dengan organ internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa

10

http://www.komnasperempuan.or.id / 2011 / 03 / dpr - harus - segera - membahas - dan - mengesahkan - ruu -perlindungan-pekerja-rumah-tangga/, akses terakhir 10 Februari 2013

(PBB), yaitu sejak resolusi mengenai aksi normatif pekerja rumah tangga 1948, 1965, 2002 dan baru tahun 2008 usulan resolusi standar setting situasi kerja layak PRT diterima untuk dibahas ILO, dan pada sesi ke-100 sidang ILO bertemakan “Kerja Layak” diadopsi pada 15 Juni 2011 Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.

Pasal 1 Konvensi ILO No 189 secara tegas mendefinisikan Pembantu Rumah Tangga sebagai Pekerja yang bekerja dalam rumah tangga atau beberapa rumah tangga yang terikat dalam hubungan kerja, relasi antara pekerja-pemilik. Berarti mengurusi rumah tangga adalah salah satu bentuk pekerjaan yang harus dipandang sebagai profesi serupa dengan jenis pekerjaan lainnya.

Konvensi ILO189 menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar, dan mengharuskan negara untuk mengambil langkah mewujudkan kerja layak PRT. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) standar normatif yang diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum PRT. Standar dimaksud meliputi : 1. Hak-hak dasar yang mencakup setidaknya :

a. Promosi dan perlindungan HAM;

b. Penghormatan dan perlindungan prinsip-prinsip dan hak-hak dasar di tempat kerja, antara lain dalam hal :

(a) kebebasan berserikat dan pengakuan efektif terhadap hak atas perundingan bersama;

(b) penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; (c) penghapusan pekerja anak;

(d) penghapusan diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan. c. Perlindungan efektif dari penyalahgunaan, pelecehan dan kekerasan

dalam segala bentuknya

d. Ketentuan kerja yang adil dan kondisi hidup yang layak 2. Informasi tentang syarat dan ketentuan kerja yang dapat dipahami

dengan mudah, dan sebaiknya dibuat dalam bentuk tertulis tidak lazimnya kebiasaan belaka.

3. Jam kerja, mencakup hal-hal mendasar antara lain :

(a)

jam kerja normal, kompensasi lembur, masa istirahat harian dan mingguan, dan cuti tahunan berbayar;

(b)Istirahat mingguan sekurang-kurangnya 24 jam kerja berturut-turut ;

(c)

Peraturan jam siaga (standby di rumah majikan) ;

(d)

menggunakan waktu sekehendak mereka dan diharuskan tetap melayani rumah tangga tersebut untuk menanggapi kemungkinan panggilan;

4. Standar pengupahan, mencakup hak-hak dasar :

(a)

Pemberlakuan upah minimum yang berlaku di daerah setempat;

(b)

Pembayaran upah secara tunai, langsung kepada pekerja, dan

keteraturan tidak lebih lama dari pada satu bulan. Namun pembayaran dapat dilakukan dengan cek, atau jasa perbankan sepanjang diatur undang-undang atau kesepakatan bersama, atau dengan persetujuan pekerja.

(c)

Pembayaran dengan barang diperbolehkan dengan syarat: 1. Proporsi terbatas dari total upah;

2. nilai moneter adil dan wajar;

3. barang atau jasa yang diberikan sebagai pembayaran dengan barang merupakan pemakaian pribadi oleh dan bermanfaat bagi pekerja.

Sehingga seragam kerja yang diberikan kepada PRT

merupakan alat atau bagian dari perlengkapan kerja yang tidak menjadi tanggungan PRT melainkan kewajiban pemberi kerja.

(d)

Biaya yang dikenakan oleh agen ketenagakerjaan swasta tidak

dipotongkan dari upah.

5. Standar keselamatan dan kesehatan kerja, mencakup setidaknya:

(a)

Hak atas lingkungan kerja yang aman dan sehat;

(b)

Adanya langkah-langkah yang menjamin keselamatan dan kesehatan kerja.

6. Jaminan sosial mencakup

(a)

Perlindungan jaminan sosial, termasuk tunjangan persalinan;

(b)

Kondisi kurang menguntungkan daripada kondisi yang berlaku

bagi pekerja pada umumnya;

7. Standar mengenai pekerja rumah tangga anak

(a)

Adanya syarat usia minimal bekerja sebagai PRT; dan

(b)

Apabila PRT berusia 15 tahun tetapi kurang dari 18 tahun pekerjaannya tidak dapat menghalangi mengikuti pendidikan wajib, atau menganggu peluang mereka mendapatkan pendidikan lanjutan atau pelatihan kerja.

8. Standar bagi PRT yang menetap dalam rumah

(a)

Kondisi hidup layak yang menghormati privasi;

(b)

Kebebasan berkontrak dengan majikan atau calon majikan untuk menetap di rumah tangga atau sebaliknya;

(c)

Tidak ada kewajiban tetap berada di rumah tangga atau bersama dengan para anggotanya selama masa libur atau cuti;

(d)

Hak menyimpan sendiri dokumen identitas dan dokumen perjalanan;

(e)

Peraturan jam siaga.

9. Standar bagi pekerja rumah tangga migran

(a)

Adanya kontrak kerja yang bisa ditegakkan di negara tujuan, atau tawaran kerja tertulis, sebelum berangkat;

(b)

Kondisi jelas atas pemulangan di akhir kerja;

(c)

Perlindungan dari pelecehan oleh agen ketenagakerjaan swasta;

(d)

Kerjasama negara pengirim dan penerima untuk menjamin

efektifitas penerapan Konvensi untuk PRT migran. 10. Agen ketenagakerjaan swasta

(a)

Langkah-langkah yang harus diadakan;

(b)

Regulasi operasi agen ketenagakerjaan swasta;

(c)

Ketersediaan perangkat memadai untuk penyelidikan pengaduan;

(d)

Menyediakan perlindungan yang memadai dan pecegahan

pelecehan, dengan berkolaborasi dengan para anggota lain bila dirasa tepat;

(e)

Mempertimbangkan mengikat kesepakatan bilateral, regional atau multilateral untuk mencegah praktik pelecehan dan penipuan. 11. Penyelesaian perselisihan

(a)

Akses yang mudah ke pengadilan, tribunal atau mekanisme penyelesaian perselisihan lain, termasuk mekanisme pengaduan;

(b)

Langkah-langkah harus diadakan untuk menjamin kepatuhan

terhadap undang-undang nasional untuk perlindungan pekerja rumah tangga, termasuk langkah-langkah inspeksi ketenagakerjaan. Dalam hal ini, Konvensi mengakui perlunya menyeimbangkan hak pekerja rumah tangga atas perlindungan dan hak atas privasi anggota rumah tangga.

Koordinator Program Pekerja Migran ILO ASEAN Triangle Project- Indonesia,Albert Bonasehat, menyebutkan bahwa latar belakang dibentuknya Konvensi ILO 189 Tahun 2011 adalah :

Pertama, PRT tidak mempunyai standarisasi dalam undang-undang nasional, sehingga tidak ada kepastian perlindungan. Sektor informal dan definisi yang ambigu berarti tidak mudahnya diregulasi, rendahnya akuntabilitas majikan dan kurangnya transparansi.Kedua, kesenjangan dalam standar. PRT tercakup di bawah standar ketenagakerjaan tetapi secara efektif dan secara khusus terkecualikan dari perlindungan yang diberikan oleh undang-undang nasional kepada pekerja lain. Ketiga, kebutuhan khusus. Meskipun telah ada konvensi-konvensi ILO, tantangan unik muncul yang tidak secara komprehensif tertangani. Keempat, PRT seringkali dilarang berorganisasi, dan mengalami kesulitan berorganisasi yang disebabkan jam kerja tidak jelas dan terisolasi di dalam rumah; dan Kelima, eksploitasi. Sebagai akibat diskriminasi, upah, kondisi kerja dan keseluruhan perlakuan terhadap pekerja rumah tangga merupakan diantara yang terburuk, panjangnya jam kerja, beban kerja, tanggung-jawab dan jenis tugas PRT.11

Sejak pengadopsian konvensi tersebut, sampai 2014 setidaknya terdapat 15 (lima belas) negara yang sudah meratifikasinya, yang berarti bagi negara penandatangan konvensi, PRT merupakan bagian dari pekerja yang wajib dilindungi dan hak-hak mereka adalah serupa dengan hak-hak pekerja pada umumnya. Bagi PRT Indonesia, konvensi No. 189 belum mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai adanya kehendak-kemauan negara meratifikasinya sebagai undang-undang.

C. Penutup

Meskipun norma UUD Tahun 1945 mengakui dan memberikan penghormatan serta perlindungan terhadap setiap orang, termasuk PRT, namun ketiadaan norma yang lebih operatif dengan peraturan perundang- undangan lebih rendah sampai pada daerah yang mengakui eksistensi PRT memposisikan mereka sebagai kelompok rentan. Sebab itu, menjadi kewajiban negara untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tahun 2011, yang sepatutnya disusul dengan pengesahan RUU PRT, yang pada gilirannya memaksa daerah melakukan upaya-upaya adminisitrasi, legislasi dan penganggaran untuk memanusiakan PRT.

11

http://www.beritasatu.com/ekonomi/165893-pembantu-rumah-tangga-perlu-dilindungi-secara- hukum.html, terakhir diakses Maret 2014.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2002.

Muhtadi (editor), Negara Hukum Kesejahteraan, PKKPUU-FH Unila,Bandar Lampung, 2013.

UUD Tahun 1945

Konvensi ILO No. 94 Tahun 1949 Konvensi ILO No. 143 Tahun 1975 Kovensi ILO No. 156 Tahun1981 Konvensi ILO No. 181/1997 Konvensi ILO No. 198/2006 Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003, Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara (LNRI) Nomor 4279.

Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Nomor 4678.)

Primetime News, Metro TV, Senin 7 April 2014, Pukul 19.00 wib1

http://www.komnasperempuan.or.id / 2011 / 03 / dpr - harus - segera - membahas -dan - mengesahkan - ruu - perlindungan - pekerja - rumah-tangga/, akses terakhir 10 Februari 2013

http://www.beritasatu.com / ekonomi / 165893 pembantu - rumah - tangga - perlu - dilindungi - secara - hukum.html, terakhir diakses Maret 2014.

PERANAN SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN