• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan Pengaman/Prosecution (risk of insurance) networks Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup

6.2. Dampak Ekonomi Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup

6.4.1. Jaringan Pengaman/Prosecution (risk of insurance) networks Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup

yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi, yaitu : 1). Ditetapkannya kawasan Taman Nasional yang menggunakan sistem zonasi, 2). Terdapatnnya DPL dari Coremap, 3).Tumpah tindihnya pengeloaan Konservasi oleh Taman Nasional, dan Perikanan oleh DKP sehingga memunculkan praktek-praktek IUU

Fishing yang melekat pada komoditas ikan konsumsi karang hidup.

6.4.1. Jaringan Pengaman/Prosecution (risk of insurance) networks Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup

Jaringan penangkapan yang melibatkan kordinator dan nelayan, semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan penangkapan. Menurut penuturan Gn, (29 Tahun) penjaga keramba Karang Tomia UD. PMB, mengatakan bahwa saat ini yang paling nanyak di tangkap adalah Sunu Hitam. Kebanyakan juga ditangkap dibawah ukuran 600 gram. Hal ini pun di perkuat oleh keterangan dari nelayan, Mtrrng, bahwa dalam menangkap sehari, hampir semuanya adalah susnu hitam, kalau dapat sepuluh, 2 atau 3 ekor masuk ke ukuran super, sedangkan yang lainnya adalah baby.

Akibat menurunnya sumberdaya perikanan karang, sehingga nelayan berani menggunakan alat tangkap apapun termasuk yang bersifat destructive

fishing, yang penting bisa menghasilkan. Terutama pada saat musim timur. Salah

satu adalah My, nelayana Tdd. yang ketika musim timur, menggunakan potassium untuk menangkap ikan dasar, khususnya Napoleon. Di dalam kawasan tidak

tidak diperbolehkan untuk menangkap Napoleon23. Adapun hal ini masih sering dilakukan oleh nelayan, karena ada yang membeking (back up) dalam tindakan tersebut.

Mereka yang berada di belakang tindakan illegal fishing tidak lain ada oknum TNI AL, Polisi Polsek; Koramil dan juga DKP. Salah satu oknum TNI adalah salah satu pembeli ikan karang hidup dan Napoleon dan menjual ke CW (PT. BM). Rt. juga menjadi kordinator untuk Napoloen. Adapun aparat yang ikut melakukan bisnis illegal adalah, kordinator Sr. untuk Tomia yang juga adalah oknum aparat24. Oknum koramil Tomia dan oknum polsek Kaledupa Induk juga ikut berperan dalam bisnis ikan ikan karang tersebut25.

  Permasalahan selanjutnya, bahwa terjadi pengawasan loding yang seharusnya menjadi pengawasan hanya oleh DKP (sub bag pengawasan) pun ikut melakukan tindakan pengawasan. Seperti ketika UD. PMB Loading, Pak Srhmn adalah kepala Karantina Kesehatan Pelabuhan yang berfungsi untuk mengawasi tentang kesehatan awak kapal dan kesehatan makanan (bekal) di dalam kapal. Seharusnya Karantina Kesehatan Pelabuhan tidak ada sangkut pautnya dengan pengawasan loding. Akan tetapi KKP ingin ikut mengontrol loding karena berkaitan dengan alasan kesehatan dan keselamatan awak kapal.

Untuk karamba UD. PMB di Wanci, setiap bulan membayar retribusi ke Desa Liya Bahari untuk retribusi keramba yang di dirikan di wilayah laut desa. Setiap bulan, kami membayar Rp. 350.000,-.26 Setiap kali loding, penjaga keramba membayar harga dasar penetapan ikan untuk dapat mempunyai surat ijin keterangan asal ikan. Setiap mengurus perijinan loding, sudah di masukan volume loding dengan keramba di Tomia. Mereka membayar perijinan penetapan harga ikan 6% dari harga ikan membeli dari nelayan dan perijinan lainnya yang meliputi

      

23

Wawancara dengan My, (20 Tahun) 21 Mei 2012. 24

    Wawancara dengan U. Kn (56 Tahun) (1 Juni 2012).  

25

Wawancara dengan Eff. (50 Tahun) (25 Juni 2012), kepercayaan Ap., pengusaha dari Bali, yang mengatakan bahwa, urusan dengan nelayan semuanya ada di Rt. Eff. menyebutkan siapa saja yang menjadi kordinator ikan hidup dan menyetor kepadanya, diantaranya adalah Tdd, oknum Koramil, oknum Polsek, dan Sr., kordinator dan juga oknum. Eff. menyebutnya dengan orang kita.

26

perijinan ke syahbandar, karantina kesehatan pelabuhan, DKP (masing-masing sebesar Rp. 25.000,-)27.

Hal ini berbeda dengan setiap loding di keramba yang ada di Tomia (UD. PMB). Dalam setiap loding kami selalu membayar kurang lebih Rp. 200.000,- untuk pengamanan dari Syahbandar dari Tomia (Usuku) dan orang pintar (tokoh masyarakat) dari Pulau Lentea (Wawancara dengan Ag., (20 Tahun) 2 Juni 2012). Untuk keramba CV. JM, kadang kami mendapati pemeriksaan, baik dari Jagawana TN. Wakatobi, dari Polisi maupun TNI AL. Dalam pengawasannya tak jarang petugas meminta pengganti bensin atau uang rokok. Hal ini terjadi di setiap keramba milik eksportir. Untukkejadian di keramba CV. JM Tomia, sering didatangi polisi dalam jangka waktu setiap bulan atau dua bulan sekali, terutama dari polsek Tomia. TNI AL, juga sering datang dan Jagawana. Akan tetapi Jagawan lebih sopan daripada TNI atau Polisi (Wawancara dengan Smd (45 Tahun) (24 April 2012) dan Hndr (39 Tahun) (26 April 2012)).

Risk of insurance sebagai biaya tanggap resiko merupakan jejaring pengaman di tahap penangkapan di lapangan sampai pada tahapan distribusi (ekspor ke Hong Kong). Jejaring pengaman pada level penangkapan di lapangang setidaknya ada beberapa aktor/pejabat pemerintah yang terlibat sebagai jaringan pengaman adalah :

Tabel 6.16. Aktor dalam Jaringan Pengaman (prosecution networks) Aktor Peran Besaran

retribusi

Keterangan TNI AL (oknum) Sebagai

pengawas; Adapula yang menjadi kordinator maupun backing pengusaha Uang rokok/pengganti bensin.

Untuk kegiatan pengawasan, AL kadang meminta pengganti bensin/ uang rokok. Kadang meminta ikan beberapa ekor (keterangan dari Hndr (27 April 2012).

Untuk yang menjadi kordinator, terlibat dengan bisnis Napoleon (keterangan dari Ids, 26 April 2012; Udn Knsng (1 Juni 2012). Polisi(oknum) Sebagai pengawas; Ada beberapa yang menjadikordinator maupun backing pengusaha Uang rokok/pengganti bensin

Untuk kegiatan pengawasan, AL kadang meminta pengganti bensin/ uang rokok. Kadang meminta ikan beberapa ekor (keterangan dari Hndr (27 April 2012).

Untuk yang menjadi kordinator terlibat juga sebagai pengaman, terlibat dengan bisnis Napoleon, bisnis ikan dasar dengan

      

27

memainkan harga dengan keramba (keterangan dari Eff., (26 Juni 2012); Slhn dan La Dn (25 Juni 2012).

Karantina Kesehatan Pelabuhan

Sebagai pengawas Rp. 25.000,- Informasi dari Gn (25 Mei 2012), bahwa setiap kali loding; uang untuk syahbandar, Karantina kesehatan; DKP semunya Rp. 25.000,- dan itu semua DKP yang mengatur.

Aktor Peran Besaran

retribusi Keterangan Masyarakat (tokoh

berpengaruh) Keamanan keramba Rp.200.000,- sampai Rp. 350.000,-

Keterangan dari Imam 24 Maret 2012, kami membayar Rp. 350.000,- sebagai retribusi ke Desa Liya Bahari, karena masuk wilayah desa tersebut; pungutan Syahbandar Rp. 50.000,- dan orang pintar Pulau Lentea Rp. 200.000,- ketika setiap loding ikan di keramba Tomia Ag. (2 Juni 2012); 

Syahbandar Sebagai pengawas Rp. 25.000,- (Wanci); Rp. 50.000,- Tomia

Informasi dari Gn dan Ag. DKP (Perijinan dan

penawasan) Sebagai pengawas dan perijinan Rp. 25.000,- Informasi dari Im dan Gn Sumber data: Pengamatan dan Wawancara dengan informan kunci (Maret-Juni 2012).

  Untuk permasalahan perijinan, semuanya tergantung dari lobi antara pengusaha dengan DKP dan di puncak keputusan ada di Bupati. Banyak pengusaha perikanan di Wakatobi terutama kordinator yang berasal dari Wakatobi itu sendiri mengeluh tentang permasalahan perpanjangan perijinan seperti SIPI dan SIUP serta penetapan harga dasar yang merupakan keputusan Kepala Daerah Wakatobi. Untuk pengurusan perijinan maupun perpanjangan perijinan SIPI dan SIUP sangat sulit dan lama. Biaya dalam pengurusan tersebut untuk SIUP Rp. 600.000,-, dan SIPI Rp. 600.000,-. Akan tetapi apabila mau cepat selesai harus ada uang yang melobi agar dipercepat, dan bisa mencapai Rp. 1 juta untuk pengurusan SIUP dan SIPI. Proses ini meliput pendaftaran di DKP, kemudian ke Perijinan dan terakhir ke Bupati. Hal ini yang kadang membuat pengusaha malas untuk mengurus sendiri, dan akhirnya menggunakan jasa perijinan dari DKP28.   Permasalahan yang berikutnya adalah penetapan tentang harga dasar ikan yang merupakan keputusan Bupati. Untuk di Wakatobi, sampai saat ini masih

      

28 Wawancara dengan M. Kll (40 Tahun) (8 April 2012); Rtn (29 Tahun) dan Andr (35 Tahun) (20 April 2012)

memakai penetapan harga menurut keputusan Bupati Tahun 2005, dan belum pernah ada perubahan sampai Tahun 2012. Hal ini menjadi permasalahan untuk pengusaha dan sangat memberatkan, karena ada dua standar harga dasar yang diterapkan di lapangan29.

Dalam usaha komoditas ikan konsumsi karang hidup, mulai dari penangkapan sampai dalam tahapan ekspor itu ada biaya resiko yang diluar ongkos produksi. Menurut, Hr. Prnm (16 Juli 2012); dari mulai penangkapan ada pungutan A sampai Z sampai mau diekspor. Pungutan tersebut sampai puluhan juta jumlahnya. Pejabat-pejabat terutama pejabat TNI atau Polisi mengetahui bahwa komoditas ini adalah komoditas yang bernilai tinggi. Tak jarang aktor-aktor ini meminta uang baik untuk kebutuhan korps nya ataupun kebutuhan pribadinya. Risk of insurance dalam jaringan pengaman ini menjadikan munculnya fenomena rent seeking yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.

      

29 Wawancara dengan staff DKP (2 Juni 2012); kemudian Ids (30 Tahun) (salah satu perwakilan untuk kordinator ikan pelagis, Dd (...), menanyakan tentang permasalahan retribusi yang dilakukan oleh petinggi (kadis) DKP dan Bupati. Dalam diskusi protes tersebut Ids menyakan bahwa aturan yang berlaku tentang retribusi harus direvisi. Penetapan harga dasar sangat memberatkan pengusaha perikanan. Karena tidak mengikuti fluktuasi harga di pasar. Kemudian Ids menjerlaskan tentang permasalahan perijianan menjadi hal yang perlu ditinjau ulang (15 Mei 2012).

Dokumen terkait