5.1. Situasi Umum Kehidupan Nelayan
5.3.5. Jaringan Sosial
Hubungan sosial yang dilakukan nelayan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaannya. Setiap individu nelayan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam hal kuantitas dan kualitas, juga intensitas hubungan sosial yang dilakukannya, sekalipun terbuka luas peluang nelayan untuk melakukan hubungan sosial secara maksimal. Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Hubungan antar individu nelayan tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Jaringan sosial mengacu pada hubungan yang di bangun oleh nelayan dengan berbagai pihak untuk mengantisipasi tekanan-tekanan hidup.
Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan ekonomi. Pada musim tidak menangkap ikan para nelayan (Bidak) biasanya meminjam uang kepada saudara, tetangga maupun teman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapula nelayan yang meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga pada saat musim ikan tiba nelayan tersebut harus bekerja pada juragan tersebut.
”Ning masa paila, biasane kluarga kula gadekaken atawa ngadol prabotan umah kanggo nyukupi kebutuan urip sedina-dina. Lamon ora nyukupi, kluarga kula biasa nyili duit ning sedulur, tangga atawa batur kang dianggep mampu. Pernah kula nyili duit ning juragan kelawan jaminan pegawean, dadi lamon musim miyang teka, kula kudu menggawe ning juragan mau (Rsd/Bidak)”.
(Pada saat masa paceklik, biasanya keluarga saya menggadaikan atau menjual perabotan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila hal itu tidak juga mencukupi, keluarga saya biasa meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu. Pernah juga saya meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga apabila musim menangkap ikan tiba, saya harus bekerja pada juragan tersebut).
Gambar 6. Struktur Jaringan Sosial: Hubungan Bidak, Juragan dan Bakul Keterangan:
: Memiliki hubungan yang terikat : Memiliki hubungan yang tidak terikat
5 1 10 3 4 9 2 8 7 6 11 12 13 14
Berdasarkan gambar di atas, struktur jaringan sosial yang terjadi pada hubungan antara Bidak, Juragan dan Bakul adalah sebagai berikut. Nsd sebagai seorang bakul ia memiliki 2 orang juragan (Dna dan Wrn) yang terikat penjualan hasil tangkapan kepadanya, hubungan yang terikat ini terjadi karena bakul memberikan sejumlah pinjaman uang kepada juragan yang membutuhkan modal untuk membeli atau memperbaiki alat produksi (perahu, mesin, dan peralatan tangkap lainnya). Karena telah terikat penjualan dengan bakul Nsd, maka kedua juragan ini tidak boleh menjual hasil tangkapannya kepada bakul lainnya (Rmd).
Nsd juga memiliki hubungan kerjasama dengan bakul lain (Rmd), kerjasama ini dilakukan untuk menetapkan harga ikan hasil tangkapan nelayan, sehingga tidak ada persaingan harga diantara bakul dan memperkuat posisi bakul dalam transaksi jual beli.
Dna sebagai seorang juragan ia memiliki 4 orang bidak yang semuanya memiliki ikatan kerja kepadanya, sehingga ke empat bidaknya tersebut tidak boleh bekerja kepada juragan lain (Wrn atau Dsn). Ikatan kerja ini terjalin karena juragan memberikan sejumlah uang pinjaman sebagai ikatan kerja kepada para
bidaknya. Apabila salah seorang bidaknya ingin pindah bekerja kepada juragan
lain. Maka ia harus melunasi terlebih dahulu uang ikatan kerja kepada juragan 1. Nsd (Bakul) 2. Rmd (Bakul) 3. Dna (Juragan) 4. Wrn (Juragan) 5. Dsn (Juragan) 6. Usm (Bidak) 7. Ipn (Bidak) 8. Trj (Bidak) 9. Dkm (Bidak) 10. Tlm (Bidak) 11. Tnh (Bidak) 12. Rsd (Bidak) 13. Prd (Bidak) 14. Srn (Bidak)
yang lama (Dna). Perekrutan para Bidak tersebut didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh para Bidak, selain itu juga masih terkait adanya hubungan kekerabatan dan ketetanggaan antara Juragan dan Bidak. Wrn sebagai juragan ia memiliki 3 orang bidak yang terikat hubungan kerja (Tlm, Tnh dan Rsd) dan seorang bidak yang tidak terikat (Prd). Karena tidak memiliki ikatan kerja, Prd dapat bekerja kepada juragan lain (Dna atau Dsn).
Dsn sebagai seorang juragan ia memiliki seorang bidak yang terikat (Srn) dan seorang bidak yang tidak terikat (Prd). Ia dulunya terikat penjualan kepada seorang bakul (Nsd), namun setelah ia mampu melunasi uang pinjamannya kepada bakul tersebut, sekarang ia tidak memiliki ikatan penjualan kepada bakul tertentu, sehingga ia bisa menjual hasil tangkapannya kepada bakul yang ia kehendaki. Diantara para juragan (Dna, Wrn dan Dsn) memiliki hubungan kerjasama dalam penetapan sistem bagi hasil yang berlaku, sehingga sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap juragan relatif sama.
Selain itu, jaringan sosial dimanfaatkan juga oleh para nelayan untuk mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu. Informasi ini diperoleh masyarakat nelayan dari kerabat atau temannya yang tinggal di daerah lain. Informasi tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk memutuskan dalam kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan). Kegiatan bawaan ini dilakukan oleh para nelayan karena di daerah Limbangan sedang tidak musim ikan sedangkan di daerah lain sedang musim ikan. Adapun daerah yang sering menjadi tujuan dalam kegiatan bawaan ini adalah daerah Terungtum, Eretan, Blanakan, Ciasem, dan Muara Angke. Khusus untuk daerah Muara Angke, biasanya para nelayan yang melakukan
bawaan ke daerah ini bersifat perorangan karena apabila berkelompok dan
menggunakan perahu akan memerlukan biaya operasional yang sangat besar karena jaraknya yang relatif sangat jauh dari Desa Limbangan.
Pada saat para nelayan sedang melakukan bawaan, para bakul banyak yang tidak memperoleh pendapatan karena para nelayan yang menjadi langgannya menjual hasil tangkapannya di daerah lain. Namun, terdapat juga
sebagian bakul yang mendatangi daerah-daerah tujuan bawaan nelayan dengan maksud agar para nelayan yang menjadi langgannya tetap menjual hasil tangkapan kepada bakul tersebut. Kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan) ini dapat terlihat pada peta mobilitas nelayan berikut ini:
Gambar 7. Peta Mobilitas Musiman Nelayan di Desa Limbangan
Berdasarkan gambar di atas, pada saat air laut pasang, para nelayan di Desa Limbangan mendaratkan perahunya di sungai, sehingga para nelayan akan melakukan penjualan hasil tangkapan pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI II) karena jaraknya yang dekat dengan sungai tempat mendaratkan perahu nelayan
Ikan Teri Rajungan Udang Ciasem Tempat pendaratan TPI II TPI I Musim kemarau LAUT Muara Angke Terungtum Eretan Blanakan Tempat pendaratan Keterangan:
Nelayan pergi ke laut Nelayan kembali ke daratan
Air laut pasang
tersebut. Sedangkan pada saat air laut surut (musim kemarau) dan sungai tidak bisa digunakan untuk mendaratkan perahu, maka para nelayan mendaratkan perahunya di tepi-tepi pantai dan menjual hasil tangkapannya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI I). TPI I ini dulu merupakan tempat kegiatan lelang terbuka, namun setelah adanya langgan di TPI I ini tidak ada lagi kegiatan lelang terbuka karena para nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang menjadi langgannya, sehingga setiap harinya di TPI I ini relatif sepi.
Penerapan berbagai strategi tersebut dapat terlihat pada contoh-contoh kasus rumahtangga berikut ini:
a. Rumahtangga Bapak Dkm
Bapak Dkm (39 tahun) merupakan seorang nelayan bidak yang kehidupannya sangat sederhana, rumahnya berlantai tanah dan dinding yang terbuat dari anyaman bambu sudah terlihat sangat rusak termakan usia. Kemampuan bekerja sebagai nelayan diperoleh dari orang tuanya yang dulu juga sebagai nelayan bidak. Pada waktu kecil ia hanya bersekolah sampai kelas empat SD, dan setelah itu ia langsung bekerja di laut untuk membantu mencari ikan.
Kehidupan sehari-hari Pak Dkm banyak dihabiskan untuk bekerja di laut dan pada saat-saat tertentu ia bekerja juga sebagai buruh tani. Menurutnya “Kehidupan sebagai nelayan sangat susah karena hasil tangkapannya tidak menentu dan penghasilannya sedikit”. Ketika penulis menanyakan apa maksud penghasilanya sedikit?, Pak Dkm menjelaskan bahwa dalam sekali melaut hasil bersih nelayan bidak setelah bagi hasil misalnya Rp 15.000,00, bisa dibayangkan uang tersebut bagaimana bisa untuk mencukupi kebutuhan
keluarga, belum untuk biaya sekolah anak. “Kalau bapak pendidikannya tinggi mah enak bisa mencari pekerjaan yang penghasilannya tetap”.
Ibu Wnh (35 tahun), istri Pak Dkm ini sempat lulus SD,sehingga ia mempunyai kemampuan untuk baca tulis. Sehari-hari ibu Wnh menghabiskan waktunya untuk bekerja mengurusi pekerjaan rumahtangga, bekerja di pabrik rajungan, menjadi buruh cuci dan pada waktu panen padi ia bekerja juga sebagai buruh tani. Menurutnya ”Orang miskin itu serba susah, makannya saja hanya dengan tempe dan tahu saja, tidak seperti orang kaya makannya dengan lauk yang bermacam-macam”. Selain itu juga ia menjelaskan “kalau hanya mengandalkan penghasilan suami, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga saya juga harus ikut membantu bekerja untuk memenuhi sumber pendapatan keluarga”.
Pasangan bapak Dkm dan ibu Wnh ini telah 19 tahun menikah dan dikaruniai dua orang anak, anak pertamanya Irw (11 tahun) masih duduk di kelas lima SD dan anak keduanya Aln (6 tahun). Irw ditengah kesibukannya bersekolah ia menyempatkan diri untuk membantu keluarga dengan menggorek di tempat pelelangan ikan (TPI) atau meminta alang-alang kepada para nelayan yang baru mendarat. Menurutnya “uang hasil kegiatan tersebut sebagian di berikan kepada orangtua, jajan, dan ditabung untuk keperluan sekolah”.
b. Rumahtangga Bapak Usm
Bapak Usm (50 tahun) adalah seorang nelayan bidak, ia mulai bekerja melaut pada usia 15 tahun, pada waktu kecil ia hanya bersekolah sampai kelas
2 SD, kemampuannya bekerja dilaut didapat dari orangtuanya yang dulu juga seorang nelayan bidak. Kehidupan sehari-hari pak Usm adalah bekerja di laut sebagai buruh nelayan (bidak), selain itu, ia juga membantu usaha dagangan istrinya, dan pada waktu-waktu tertentu ia juga bekerja di pertanian sebagai buruh pemanen padi (nderep). Ketika penulis menanyakan kondisi kehidupannya sebagai nelayan, ia menjelaskan bahwa ”Kehidupan sebagai nelayan banyak susahnya apalagi seorang nelayan bidak seperti saya, kalau hanya mengandalkan dari pekerjaan melaut tidak akan cukup untuk memenuhi keluarga, untungnya istri saya membuka warung kecil-kecilan dan anak perempuan saya juga bekerja di luar negeri sebagai TKW, jadi bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga”.
Ibu Ktn (42 tahun), istri pak Usm mini dalam kehidupan sehari-hari ia banyak menghabiskna waktunya untuk mengurusi pekerjaan rumahtangga dan berjualan. Seminggu sekali ia menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian dan arisan. Menurutnya “ Mengikuti pengajian dan arisan banyak memberikan keuntungan, selain dapat meningkatkan tali silaturahmi diantara istri nelayan juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, misalnya modal warung ini sebagian saya peroleh dari hasil arisan, dan sebagian keuntungan yang diperoleh dari usaha warung ini saya tabung untuk membayar iuran arisan setiap minggunya sebesar Rp. 20.000,00”. Ketika peneliti menanyakan peran anak-anaknya dalam membantu memenuhi kebutuhan keluarga, ia menjelaskan bahwa “ kedua anak gadisnya sudah setahun ini bekerja ke luar negeri sebagai TKW, uang dari hasil kerja anaknya di luar negeri tersebut dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga seperti memperbesar usaha
warung dan membiayai sekolah anak. Selain itu, Hto (12 tahun), anak ketiga dari pasangan bapak Usm dan Ibu Ktn ini, selain sibuk bersekolah juga ikut menggorek di tempat pelelangan ikan atau meminta alang-alang kepada para nelayan yeng baru mendarat.
c. Rumahtangga Bapak Dsn
Bapak Dsn (55 tahun) adalah seorang juragan, ia mulai bekerja di laut pada usia 16 tahun, pada waktu itu ia ikut membantu orangtuanya yang juga sebagai juragan. kehidupan sehari-hari Pak Dsn banyak dihabiskan untuk bekerja di laut, dan apabila sedang tidak melaut Pak Dsn menghabiskan waktunya untuk memperbaiki alat tangkap dan beristirahat. Perahu yang dimiliki Pak Dsn dulunya sebagian modalnya merupakan hasil pinjaman kepada bakul. Namun setelah anak perempuannya bekerja ke luar negeri (Arab Saudi) sebagai TKW, ia dapat melunasi hutangnya. Menurutnya “ Hidup sebagai nelayan sangat susah karena hasilnya tidak dapat dipastikan, kadang dapat hasil banyak, kadang pas-pasan, bahkan kadang-kadang rugi”. Pada waktu musim tidak menagkap ikan (paceklik), Pak Dsn biasanya melakukan bawaan ke berbagai daerah, biasanya daerah yang dituju antara lain Trungtum, Eretan, Blanakan, dan Ciasem.
Ibu Rmn (45 tahun), layaknya sebagai ibu rumahtangga ia mengerjakan tugas rumahtangga dan membantu suaminya menyiapkan peralatan dan perbekalan untuk melaut. Selain itu juga, pada waktu-waktu tertentu ia bekerja dipertanian. Pasangan Bapak Dsn dan ibu Rmn ini telah menikah selama 36 tahun dan telah dikaruniai 6 orang anak. Empat anak
tertuanya telah berkeluarga dan tinggal bersama mertuanya, dan anak ke limanya Ipn (22 tahun) bekerja melaut membantu orangtuanya dan pada waktu-waktu tertentu ia bekerja juga sebagai buruh di pabrik penggilingan padi. Stn (19 tahun) anak ke enamnya ini bekerja di Luar negeri (Abudabi) sebagai TKW, uang hasil kerjanya rutin dikirmkan kepada orangtuanya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga dan menambah modal usaha orangtuanya.
d. Rumahtangga Bapak Rsd
Pak Rsd (60 tahun) adalah seorang nelayan bidak, ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Orangtuanya dulu merupakan seorang pemilik perahu (juragan). Pada waktu kecil, Pak Rsd hanya mampu sekolah sampai kelas dua SD, alasannya karena ia ingin bekerja sebagai nelayan dan dapat menghasilkan uang sendiri. Kehidupannya sebagai nelayan banyak dihabiskan untuk bekerja di laut dan pada saat tidak melaut, ia menghabiskan waktunya untuk beristirahat dengan keluarga dan cucu-cucunya. Menurut ceritanya dulu ia pernah bekerja di saudaranya sebagai buruh pengepakan udang, tapi setelah usaha saudaranya mengalami kebangkrutan, ia terpaksa bekerja di laut, karena dengan pendidikannya yang rendah sulit baginya untuk memasuki pekerjaan di sektor lain. Menurutnya “Hidup sebagai nelayan sangat susah karena sangat tergantung dengan keadaan fluktuasi musim ikan, sehingga hasilnya tidak menentu, tidak seperti kerja di darat hasilnya sudah dapat ditentukan”. Misalnya pekerja kantoran hasilnya sudah ditentukan setiap bulannya berapa, sedangkan bekerja dilaut hasilnya tidak dapat dipastikan.
Susahnya hidup sebagai nelayan sangat dirasakan ketika sedang tidak musim menangkap ikan (paila). Menurutnya “Pada saat masa paceklik, biasanya keluarga saya menggadaikan atau menjual perabotan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila hal itu tidak juga mencukupi, keluarga saya biasa meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu. Pernah juga saya meminjam uang kepada juragan dengan jaminan ikatan kerja, sehingga apabila musim menangkap
ikan tiba, saya harus bekerja pada juragan tersebut”.
Ibu Kltm (53 tahun), istri pak Rsd ini hanya seorang ibu rumahtangga. Setiap harinya banyak menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas-tugas rumahtangga, dan mengurusi cucunya ketika anaknya bekerja di pabrik pengolahan ikan. Menurutnya “Selain sibuk mengurusi pekerjaan rumahtangga, setiap hari Jumat saya biasanya ikut kegiatan arisan dan pengajian ibu-ibu. Besarnya iuran dalam kegiatan arisan ini Rp 20.000,00 dan kalau beruntung bisa mendapatkan uang sekitar Rp 2.000.000,00. Uang tersebut biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membayar tagihan listrik dan air, serta untuk dijadikan modal usaha kecil-kecilan”. Pada saat musim paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kadang-kadang saya meminjam uang kapada Bank harian (bank dinan). Uang pinjaman kepada bank harian ini sebesar Rp 112500,00 – Rp
225.000,00. Besarnya setoran setiap hari untuk pinjaman sebesar 112500,00 adalah Rp 5000,00 sedangkan untuk pinjaman Rp 225.000,00 adalah sebesar Rp 10.000,00.
Dari hasil pernikahannya dengan Ibu Kltm, Pak Rsd dikaruniai tiga orang anak yang semuanya sudah berkeluarga. Hanya seorang anaknya yang masih tinggal bersamanya yaitu Rni (35 tahun). Rni bekerja di pabrik rajungan, pada saat ia bekerja anaknya yang masih balita dititipkannya kepada ibunya. Pada saat gajian rni sering mengasih uang kepada ibunya untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga.
6.1. Kesimpulan
Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan tidak terlepas dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa fluktuasi musim tangkapan, faktor ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para nelayan, sehingga pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan yang dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan menyebabkan susahnya nelayan untuk mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor perikanan. Eksploitasi pemodal berupa ikatan penjualan kepada bakul tertentu dengan harga jauh di bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan (bidak) semakin terpuruk karena sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak juragan saja, sehingga menambah kesenjangan ekonomi antara pemilik perahu
(juragan) dan buruh nelayan (bidak).
Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi memiliki keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan penangkapan ikan tidak lagi bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan dapat lebih intensif untuk pergi melaut (miyang). Namun di sisi lain, penerapan
motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi (TPI), sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang menjadi langgannya. Hal ini telah menyebabkan semakin tingginya ketergantungan para nelayan terhadap para pemodal (bakul). Faktor ini sangat dominan dalam menyebabkan kemiskinan nelayan di Desa Limbangan kerena selain menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga BBM tidak di di barengi dengan kenaikan harga hasil produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pencemaran lingkungan yang diduga disebabkan oleh PT. Pertamina dan PT. Batavindo telah menyebabkan menurunnya hasil tangkapan dan gagalnya usaha tambak nelayan. Sekalipun pencemaran lingkungan ini sudah ditangani, namun sampai saat ini dampaknya masih dirasakan oleh para nelayan yaitu berupa penurunan hasil produksi nelayan. Pada saat musim paceklik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, rumahtangga nelayan seringkali menggadaikan atau menjual harta kekayaan dan perabotan rumahtangga, apabila hal tersebut tidak mencukupi, maka para nelayan akan meminjam uang kepada kerabat, tetangga atau teman yang dianggap mampu, bahkan ada pula sebagian nelayan yang meminjam uang kepada juragan dan rentenir. Pengalokasian uang tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Sebagian nelayan mengalokasikan uang pinjaman ini untuk memenuhi kebiasaan-kebiasaan mereka
berupa minum-minuman keras dan berjudi, sehingga menyebabkan nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Menghadapi situasi kemiskinan tersebut, rumahtangga nelayan berusaha menerapkan berbagai strategi dengan melakukan diferensiasi peranan. Diferensiasi peranan tersebut dapat terlihat dalam berbagai strategi yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan. Strategi-strategi tersebut berupa peranan anggota keluarga (istri dan anak nelayan), penerapan strategi ini terlihat pada peranan anggota rumahtangga dalam membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi anak-anak yang masih kecil biasanya membantu mencari penghasilan dengan menggorek dan meminta ikan kepada nelayan yang baru mendarat (alang-alang). Bagi para istri atau anak gadis membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja menjadi buruh di pabrik pengolahan ikan atau memilih bekerja keluar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sedangkan bagi anak laki-laki biasanya membantu orang tuanya bekerja di laut. Penerapan strategi ini telah membantu menambah pendapatan rumahtangga nelayan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pola nafkah ganda, rumahtangga nelayan berusaha mengalokasikan tenaga kerjanya ke berbagai jenis pekerjaan, seperti menjadi buruh tani, buruh pabrik pengolahan ikan, dan lain-lain. Penerapan strategi ini dimaksudkan untuk menyikapi situasi kemiskinan yang berkaitan dengan hasil tangkapan yang tidak menentu. Penerapan strategi ini telah membantu sumber pendapatan rumahtangga di tengah ketidakpastian hasil tangkapan nelayan. Diversifikasi peralatan tangkap, pada saat-saat tertentu para nelayan menggunakan alat tangkap sesuai dengan jenis ikan yang dapat ditangkap pada waktu itu. Diversifikasi peralatan tangkap
ini dilakukan oleh para nelayan untuk mengantisipasi fluktuasi musim ikan yang tidak menentu.
Pemanfaatan organisasi produktif, untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para istri nelayan di Desa Limbangan ikut aktif dalam kelompok arisan dan kelompok pengajian. Hasil dari kegiatan arisan ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan selain itu, dapat pula dijadikan sebagai modal usaha. Jaringan sosial, para nelayan memanfaatkan jaringan sosial sebagai salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan ekonomi. Selain itu, jaringan sosial dimanfaatkan juga oleh para nelayan untuk mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu. Informasi tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk memutuskan dalam kegiatan mobilitas musiman nelayan (bawaan). Penerapan strategi ini telah membantu rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor penyebab kemiskinan berupa eksploitasi pemodal dan ketimpangan sistem bagi hasil. Dari berbagai strategi yang diterapkan, peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan merupakan strategi yang banyak dilakukan oleh rumahtangga nelayan di Desa Limbangan karena strategi ini relatif mudah dilakukan dan dapat