• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAH PUSTAKA

C. Interaksi Obat

3. Jenis interaksi obat

Jenis-jenis interaksi obat meliputi interaksi farmakokinetik, farmakodinamik dan farmasetis.

a. Interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi salah satu obat atau lebih di dalam tubuh (Hacker, Bachman, and Messer, 2009). Interaksi dapat diukur pada perubahan parameter farmakokinetik meliputi konsentrasi maksimal (Cmax), konsentrasi obat di dalam tubuh persatuan waktu (AUC), waktu paruh eliminasi dan total obat yang diekskresikan lewat urin (CI) (Tatro, 2007).

1) Interaksi pada proses absorpsi

Interaksi pada proses absorpsi terjadi ketika adanya penggunaan dua obat atau lebih pada waktu yang bersamaan sehingga laju absorpsi dari salah satu atau kedua obat mengalami perubahan. Interaksi pada proses absorpsi dapat dipengaruhi oleh perubahan pada pH saluran pencernaan, kelarutan obat, metabolisme saluran pencernaan, flora usus, mukosa usus, adsorpsi, khelasi, perubahan motilitas saluran pencernaan, induksi atau inhibisi dari protein transporter obat, malabsorpsi yang disebabkan oleh obat dan mekanisme kompleks lainnya (Tatro, 2007).

Salah satu obat dapat menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorpsi obat yang lainnya. Hal ini dapat terjadi

dengan cara memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan lambung dengan menambah pH lambung dan dengan membentuk kompleks dengan obat. Laksatif merupakan obat yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan dan usus halus sehingga menurunkan absorpsi obat. Narkotik dan antikolinergik dapat meningkatkan motilitas lambung dan usus halus sehingga dapat menyebabkan peningkatan laju absorpsi obat. Semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi pada usus halus, semakin banyak jumlah yang memasuki sirkulasi sistemik (Syamsudin, 2011).

Interaksi obat pada proses absorpsi terjadi di dalam usus halus. Usus merupakan lokasi utama untuk absorpsi obat karena mempunyai wilayah absorpsi yang sangat luas, daya serap obat yang lebih tinggi dan jumlah aliran darah melalui kapiler usus lebih besar sehingga obat yang diserap dapat diangkut ke sirlukasi sistemik (Syamsudin, 2011). Pada perubahan motilitas saluran pencernaan, respon suatu obat dapat berubah karena terdapat obat lain yang mengubah motilitas saluran pencernaan. Apabila waktu transit obat ke dalam saluran pencernaan mengalami peningkatan atau terjadi penurunan maka obat akan terabsorpsi cepat atau lambat. Metokloporamid, eritromisin dan obat pencahar merupakan obat-obatan yag dapat menurunkan waktu transit di saluran pencernaan (Albert, 2008).

2) Interaksi pada proses distribusi

Setelah obat mengalami proses absorpsi ke dalam darah maka obat tersebut akan bersirkulasi secara cepat ke seluruh jaringan tubuh. Pada saat darah mengalami sirkulasi, obat akan bergerak dari aliran darah kemudian masuk ke jaringan tubuh. Distribusi obat adalah perjalanan obat dari darah dan ke darah serta beberapa jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jaringan otak. Obat yang masuk ke dalam jaringan yang berbeda memiliki kecepatan yang berbeda, di mana tergantung pada kecepatan obat menembus membran (Tatro, 2007).

Dalam fase distribusi, akan terjadi interaksi jika dua obat yang berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu sehingga lebih banyak obat bebas yang bersirkulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat, efek ini dapat menimbulkan toksisitas obat (Syamsudin, 2011). Apabila terdapat dua obat yang berikatan kuat dengan protein yang harus digunakan secara bersamaan, maka perlu adanya pengurangan dosis salah satu atau kedua obat tersebut untuk menghindari terjadinya toksisitas obat (Aronson, 2009) dan (Triplitt, 2006).

3) Interaksi pada proses metabolisme atau biotransformasi

Dalam proses metabolisme, obat yang akan masuk ke dalam tubuh akan diubah menjadi lebih polar agar dapat dieksresikan oleh ginjal dan

menghasilkan metabolit inaktif. Terdapat dua fase pada proses metabolisme obat yaitu fase pertama yang meliputi reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Fase kedua meliputi reaksi konjugasi metabolit atau obat dari reaksi fase pertama dengan substrat endogen seperti asam glukuronat. Tujuan dari reaksi fase pertama yaitu mengubah obat menjadi senyawa yang lebih polar dan reaksi fase kedua bertujuan membuat senyawa menjadi inaktif (Tatro, 2007).

Suatu obat dapat menigkatkan metabolisme obat lain dengan cara menginduksi enzim-enzim di hati. Fenobarbital merupakan contoh obat yang dapat meningkatkan induksi enzim yang disebut sebagai penginduksi enzim (Triplitt, 2006). Penurunan efek obat disebabkan karena adanya proses metabolisme obat yang dapat meningkatkan dan mempercepat proses eliminasi obat dan menurunkan konsentrasi obat di dalam plasma (Syamsudin, 2011).

Inhibitor enzim merupakan cara menginhibisi enzim-enzim dengan menurunkan metabolisme obat lain. Proses metabolisme obat akan menurun dan memperlambat proses eliminasi obat sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan efek obat di dalam plasma (Syamsudin, 2011).

4) Interaksi pada proses ekskresi

Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui urin dan juga melalui empedu. Interaksi obat pada proses ekskresi dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan pH urin,

perubahan ekskresi empedu dalam bentuk siklus enterohepatik, perubahan ekskresi aktif pada tubulus ginjal dan perubahan aliran darah ginjal (Baxter, 2010).

a) Perubahan ekskresi aktif pada tubular ginjal. Penurunan ekskresi obat satu sama lain melalui kompetisi dalam berikatan disebabkan oleh banyaknya obat yang memiliki mekanisme transport yang sama dalam tubulus ginjal (Syamsudin, 2011). b) Perubahan pH urin. Obat adalah suatu asam lemah atau basa

lemah, ketika urin bersifat basa maka obat-obatan basa lemah akan direabsorpsi kedalam tubulus distal. pH urin dapat bervariasi sesuai dengan makanan yang dikonsumsi, variasi pH urin berkisar antara 4,5 – 8,0. Ketika pH urin asam maka obat-obat yang bersifat basa akan lebih mudah diekskresikan. Pada suasana basa atau nilai pH tinggi, obat asam lemah yang memiliki pKa 3-7 sebagian besar berada dalam bentuk terion dan tidak larut dalam lemak, sehingga obat tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan akan tetap berada dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh (Syamsudin, 2011).

Obat yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 7,5-10,5 dalam suasana basa akan berada dalam bentuk tidak terionisasi dan terlarut dalam lemak. Hal tersebut mengakibatkan obat dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan terjadi peningkatan konsentrasi obat. Sebaliknya pada saat suasana urin

asam maka obat yang bersifat basa tersebut akan lebih mudah diekskresikan (Syamsudin, 2011).

b. Interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang dapat menyebabkan efek dari suatu obat mengalami perubahan oleh adanya kehadiran obat lain di tempat kerja atau aksi obat (Baxer, 2010). Interaksi farmakodinamik menimbulkan efek-efek obat yang aditif, sinergis (potensiasi), atau antagonis jika dua obat atau lebih yang mempunyai kerja yang serupa atau tidak serupa diberikan (Tatro, 2007).

1). Efek obat aditif

Interaksi yang terjadi apabila adanya pemberian dua atau lebih obat yang memiliki efek terapeutik yang sama saat diberikan secara bersamaan. Efek yang dihasilkan dari pemberian obat-obat tersebut secara bersamaan merupakan jumlah dari efek kedua obat yang digabungkan secara tersendiri sesuai dengan dosis yang digunakan. Efek yang terjadi tersebut dapat merupakan efek yang diinginkan atau tidak diinginkan. Contoh interaksi aditif yang diinginkan adalah obat analgesik yaitu aspirin dan kodein yang dapat diberikan bersamaan untuk meredakan nyeri (Baxter, 2010). Contoh interaksi aditif yang tidak diinginkan yaitu interaksi aspirin dan alkohol yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan lambung (Syamsudin, 2011).

2). Efek obat sinergisme

Interaksi yang terjadi apabila dua obat atau lebih yang tidak memiliki ataupun memiliki efek farmakologi yang sama diberikan secara bersamaan akan memperkuat efek obat lain dan dapat menimbulkan peningkatan efek yang signifikan. Efek yang dihasilkan dapat merupakan efek yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan dan berbahaya bagi pasien yang mengkonsumsi obat tersebut (Tatro, 2007).

3). Efek obat antagonisme

Efek yang dihasilkan dari interaksi obat yang terjadi antara dua atau lebih obat yang memiliki efek antagonis atau efek farmakologi yang berlawanan. Efek dari obat-obat yang berinteraksi tersebut akan saling meniadakan efek obat satu sama lain jika diberikan secara bersamaan (Syamsudin, 2011). Contoh dari efek antagonis adalah bila perangsang adrenergik beta isoproteronol dan propanolol diberikan bersamaan, maka akan terjadi interaksi obat saling meniadakan dan tidak satupun dari obat tersebut menimbulkan efek terapeutik (Baxter, 2010).

c. Interaksi farmasetik. Interaksi farmasetik merupakan interaksi yang terjadi karena pencampuran obat secara langsung baik fisik atau kimiawi. Hasil dari interaksi tersebut adalah terjadi pembentukan endapan, perubahan

warna dan mungkin dapat tidak terlihat. Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh sebelum obat diberikan (Nah, 2007).

Dokumen terkait