• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Jenis-jenis Alat Pembayaran Non Tunai

Alat pembayaran non tunai yang ada saat ini terdiri dari berbagai jenis, berikut uraian masing-masing :

a. Cek dan Bilyet Giro

Instrumen pembayaran non tunai dalam bentuk cek dan bilyet giro merupakan instrumen pembayaran yang sudah lama digunakan oleh masyarakat untuk bertransaksi. Walaupun dalam kurun waktu lima tahun ini telah muncul beragam instrumen pembayaran baru yang lebih praktis dan efisien, terlihat masih terdapat segmen tertentu dalam masyarakat yang masih memilih untuk menggunakan cek dan bilyet giro. Hal ini terlihat dari peningkatan penggunaan cek dan bilyet giro. Sebagai contoh, di Indonesia pada periode 2007-2008, penggunaan cek dan bilyet giro meningkat 6,1 %. Jumlahnya naik dari 39 juta transaksi menjadi 42 juta transaksi. Dari sisi nilai, juga melonjak 23,9 %, dari Rp. 900 triliun menjadi Rp. 1.200 triliun.

Dari jumlah tersebut, porsi cek sebesar 12,4 % dan sisanya adalah bilyet giro. Adapun dilihat dari pertumbuhannya, dibanding tahun sebelumnya pertumbuhan cek lebih tinggi dibanding bilyet giro. Volume cek yang dikliringkan mencapai 3,6 juta transaksi dengan nilai Rp. 153,7 triliun, atau meningkat 8,8 % (volume), dan 25,1 % (nilai). Sementara itu disisi bilyet giro, volume yang dikliringkan mencapai 38,2 juta transaksi dengan nilai sebesar Rp. 1.077,9 triliun, atau mengalami peningkatan 5,9 % disisi volume dan 23,9 % disisi nominal.

b. Kartu Kredit

Kartu kredit merupakan salah satu transaksi non tunai yang dananya berasal dari kredit perbankan. Jenis alat transaksi ini berkembang cukup pesat. Di Indonesia kartu kredit mulai berkembang sejak dekade 90-an. Kartu kredit

umumnya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Selain menawarkan keuntungan yang tinggi, segmen penggunanya merupakan kalangan atas dimana eksposur risiko gagal bayar dianggap relatif kecil. Hal ini semakin menarik minat banyak bank untuk masuk dalam industri kartu kredit tersebut.

Industri kartu kredit berkembang pesat seiring dengan banyaknya bank yang menjadi penerbit kartu kredit. Bank-bank yang semula tidak terjun ke kredit konsumsi retail mulai ikut merambah ke bisnis kartu kredit. Iming-iming potensi

keuntungan yang besar walaupun sebenarnya hal tersebut untuk meng-cover risiko

yang sangat tinggi, tidak menyurutkan minat bank untuk menjadi penerbit kartu kredit. Bahkan beberapa bank yang fokus bisnisnya sebagai corporate banking

atau UMKM mulai mencari celah di pangsa kredit retail khususnya kredit

konsumsi ini.

Dorongan bank untuk memasuki industri kartu kredit juga disebabkan oleh pangsa pasar di Indonesia yang masih terbuka untuk pengembangan kartu kredit. Salah satu faktor untuk melihat potensi pasar tersebut adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah pemegang kartu kredit. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa dari 230 juta penduduk Indonesia terdapat 127 juta penduduk yang tergolong dalam usia produktif (usia 20-50 tahun). Sementara itu, jumlah kartu kredit per Desember 2008 mencapai 11,5 juta kartu. Asumsi, 1 orang memiliki 2 kartu kredit, maka saat ini jumlah pemegang kartu kredit di Indonesia dibandingkan dengan potensi pasar yang ada (jumlah penduduk usia produktif) baru mencapai 4,5 %. Berdasarkan kondisi tersebut, pasar di Indonesia tentunya masih menarik untuk bisnis kartu kredit.

Potensi pengembangan bisnis kartu kredit juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti gaya hidup dan tuntutan kemudahan serta kenyamanan dalam bertransaksi. Image memiliki status yang tinggi bagi pemegang kartu kredit turut mendorong

masyarakat untuk memiliki uang plastik ini. Fenomena gaya hidup uang plastik ini dengan cepat menjadi trigger bagi berbagai lapisan masyarakat untuk memiliki

kartu kredit. Selain itu, upaya marketing yang gencar dan iming-iming hadiah atau promosi apabila seseorang memiliki kartu kredit baru juga sangat berperan dalam mendorong diterimanya kartu kredit sebagai alternatif instrumen pembayaran oleh masyarakat. Saat ini bila kita ke pusat perbelanjaan banyak sekali dijumpai tenaga pemasaran penerbit kartu kredit yang gigih menawarkan produknya.

Pesatnya pertumbuhan kartu kredit tercermin pada trend peningkatan jumlah

kartu beredar tiap tahunnya. Pada tahun 2003 jumlah kartu baru sekitar 4,5 juta kartu, saat ini telah mencapai 11,5 juta kartu, atau rata-rata pertumbuhan per tahun waktu 5 tahun tersebut turut pula mendorong peningkatan penggunaannya. Disisi volume pertumbuhan per tahun mencapai 20,7 %, sementaraitu disisi nilai mencapai 30,5 %.

c. Account BasedCard (Kartu ATM dan Debet)

Account based card adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang

dananya berasal dari rekening (account) nasabah. Jenis kartu yang masuk dalam

kategori ini adalah kartu ATM, kartu debet atau perpaduan ATM dan debet. Pada awalnya perkembangannya, jenis account based card, yang banyak dipakai adalah

murni kartu ATM. Ini karena tujuan awal teknologi ATM hanya sebagai pengganti fungsi teller untuk meningkatkan efisiensi overhead cost, seperti

penyediaan kantor cabang baru dan penambahan penggunaan sumber daya manusia. Fitur yang ada pada waktu itu pun baru sekadar untuk tarik tunai, cek saldo, dan transfer antar rekening pada bank yang sama.

Dalam perkembangannya, infrastruktur jaringan ATM makin diperluas penggunaannya. Bank yang memiliki basis teknologi relatif maju mulai menjajagi pengembangan kartu debet sekaligus membuat perusahaan yang menangani infrastruktur switching transfer dana antar bank. Mulailah muncul bank yang

menawarkan metode pembayaran di merchant dengan menggunakan kartu ATM

yang notabene telah ditambahkan fungsi sebagai kartu debet. Pada awalnya perkembangan kartu debet tidak sepesat kartu ATM, karena waktu itu merchant

yang bisa menerima pembayaran dengan kartu debet masih terbatas. Selain itum penggunaan kartu debet memerlukan investasi tambahan berupa penyediaan mesin pembaca atau Electronic Data Capture (EDC) di setiap merchant, yang

pada saat itu nilainya cukup mahal. Awareness masyarakat akan kemudahan yang

ditawarkan dan kepercayaan masyarakat terhadap uang plastik ini pun masih kurang sehingga pada waktu itu masyarakat masih lebih memilih menggunakan uang tunai sebagai alat bayar.

Penggunaan kartu debet mulai masif digunakan semenjak munculnya beberapa perusahaan penyedia jasa switching. Bank yang hanya memiliki sedikit

mesin ATM dapat bersinergi untuk sharing penggunaan infrasrukturnya

bersama-sama dan diintegrasikan ke jariangan antar bank yang disediakan oleh perusahaan switching tadi. Keuntungan dari sinergi tersebut adalah efisiensi biaya investasi

tambahan di ATM khususnya untuk transfer dana dan fasilitas pembayaran di berbagai merchant.

Perkembangan penggunaan kartu account based semakin meningkat lagi

ketika jumlah bank yang menjadi acquiring semakin banyak menyediakan

infrastruktur EDC di merchant. Perkembangan tersebut ikut mendorong account

based card memiliki pertumbuhan paling tinggi diantara jenis instrumen

pembayaran lainnya. Dalam kurun waktu lima tahun saja, rata-rata pertumbuhan jumlah kartu per tahun mencapai 16,1 %, sedangkan disisi nilai tumbuh lebih tinggi lagi yaitu 60,3 % dan disisi volume mencapai 22,9 %. Jumlah tersebut masih dimungkinkan untuk tumbuh lebih pesat lagi mengingat persentasi kartu per penduduk produktif masih 31,5 %.

Ada tiga faktor yang menyebabkan pertumbuhan account based card ini

lebih tinggi dari istrumen pembayaran lain. Pertama, dari tahun ke tahun terjadi

peningkatan jumlah penabung yang signifikan. Kondisi ini selain didukung oleh upaya perbankan dalam memasarkan produknya juga ditunjang oleh awareness

masyarakat yang semakin baik.

Kedua, semakin beragamnya fitur atau manfaat yang ditawarkan kepada

pemegang kartu. Mesin ATM yang dulu hanya sebagai pengganti teller, saat ini

telah menawarkan kemudahan transfer dana antar rekening bahkan antar rekening pada bank yang berbeda, pembayaran berbagai kebutuhan rutin seperti telepon, listrik, air, kartu kredit, dan lain sebagainya. Masyarakat tidak perlu lagi mengantri di bank atau tempat-tempat pembayaran yang tersebar di lokasi

berbeda, mereka cukup datang ke satu ATM dan melakukan kebutuhan pembayaran rutinnya melalui mesin ATM. Selain itu, penyebaran infrastruktur seperti penempatan mesin ATM juga sudah semakin merata di seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, fungsi kartu account based untuk pembayaran di merchant semakin

meningkat. Selain karena jumlah EDC dan merchant semakin bertambah banyak,

dari survey yang dilakukan pada Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

tahun 2005 menunjukkan bahwa baik masyarakat maupun merchant lebih

memiliki preferensi untuk menggunakan kartu ini dibanding jenis instrumen lain untuk melakukan pembayaran. Masyarakat menilai instrumen ini lebih aman dan nyaman karena tidak perlu membawa uang secara tunai. Selain itu, dari sisi biaya, penggunaan instrumen ini dipandang lebih murah karena pemegang tidak dikenakan biaya pada saat bertransaksi di merchant dan biaya lainya seperti

annual fee pada kartu kredit. Sementara disisi merchant pun lebih menyukai

menerima pembayaran dengan account based card karena selain aman, dapat

efektif pada hari yang sama.

Pola penggunaan account based card juga dapat menunjukkan

perkembangan tingkat awareness masyarakat akan istrumen pembayaran non

tunai, atau dengan kata lain dapat menunjukkan perkembangan less cash di

masyarakat. Hal ini dilihat dari porsi penggunaan kartu sebagai alat bayar dan transfer sebagai indikator less cash dibandingkan dengan porsi penarikan tunai

Disisi volume, porsi penarikan tunai masih jauh lebih besar, yakni selama kurun waktu lima tahun terakhir selalu diatas 70 %. Namun demikian, apabila dilihat perkembangannya, porsi tersebut semakin menurun dari tahun ke tahun. Apabila tahun 2004 porsi penarikan tunai masih sebesar 74,8 %. Kondisi yang sama terlihat pula pada sisi nilai dimana pada tahun 2004 porsi penarikan tunai mencapai 52,7 % dan porsi tersebut selalu menurun hingga mencapai 33,9 % pada tahun 2008. Penurunan transaksi penarikan tunai mengindikasikan bahwa tingkat kenyamanan dan kepercayaan masyarakat terhadap alat pembayaran non tunai semakin meninngkat, artinya upaya Bank Indonesia dalam mendorong less cash

society mulai menunjukkan hasilnya.

d. Uang Elektronik

Meskipun kehadiran uang elektronik masih relatif baru namun uang digital ini cukup mendapat tempat di masyarakat. Selama kurang lebih satu setengah tahun sejak pertama terbit pada April 2007, jumlah uang elektronik telah mencapai 430.000. Berbeda pada awal penerbitannya, uang elektronik saat ini tidak hanya diterbitkan dalam bentuk chip yang tertanam pada kartu atau media

lainnya (chip based), namun juga telah diterbitkan dalam media lain yaitu suatu

media yang saat digunakan untuk bertransaksi akan terkoneksi terlebih dulu dengan server penerbit (server based). Begitu pula dari sisi penggunaannya,

hampir dari seluruh uang elektronik yang diterbitkan tidak lagi bersifat single

purpose namun sudah multi purpose sehingga dapat diterima di banyak merchant

Aktivitas pengguaan uang elektronik pada tahun 2008 mencapai 2,5 juta transaksi atau meningkat 77,1 % dari tahun sebelumnya dengan nilai transaksi sebesar Rp. 76,7 miliar atau meningkat 93,1 % dari tahun sebelumnya. Bertambahnya penerbit uang elektronik telah mendorong pesatnya perkembangan transaksi instrumen pembayaran ini. Hingga akhir 2008, terdapat sembilan penerbit uang elektronik yang telah mendapatkan izin. Berharap trend ini terus

berlanjut, sehingga pertumbuhan uang elektronik yang semakin luas akan mengurangi penggunaan uang tunai untuk bertransaksi. Dalam skala yang lebih besar, diyakini penggunaan uang elktronik secara luas di masyarakat akan meningkatkan efisiensi biaya transaksi ritel, terutama dalam mengurangi biaya cash handling.

Sebagai alat pembayaran, perolehan dan penggunaan uang elektronik pun cukup mudah. Calon pemegang hanya perlu menyetorkan sejumlah uang kepada penerbit atau melalui agen-agen penerbit dan nilai uang tersebut secara digital disimpan dalam media uang elektronik. Untuk chip based, pemegang dapat

bertransaksi secara off-line melalui uang elektronik tersebut (dalam bentuk kartu

atau bentuk lainnya). Sedangkan pada server based, pemegang akan diberi sarana

untuk dapat akses ke “virtual account” melaui handphone (sms), kartu akses, atau sarana lainnya, sehingga transaksi diproses secara on-line. Transaksi melalui uang

elektronik khususnya transaksi yang diproses secara off-line sangat cepat hanya

memerlukan waktu kurang lebih 2-4 detik. Pada tahap awal ini nilai uang yang dapat disimpan dalam uang elektronik dibatasi tidak lebih dari Rp. 1 juta, karena

fungsinya memang ditujukan sebagai alat pembayaran untuk transaksi yang bernilai kecil.

Namun batasan tersebut nantinya dapat saja disesuaikan dengan melihat perkembangan dan kebutuhan industri. Dalam mekanisme uang elektronik, apabila pemegang tidak lagi berminat menggunakan uang elektronik atau ingin mengakhiri penggunaan elektronik, nilai uang yang ada pada uang elektronik dapat di-reedeem sesuai tata cara yang diatur oleh masing-masing penerbit.

Reedem adalah penarikan seluruh nilai uang yang ada di media uang elektronik, biasanya

reedem ini dipakai apabila orang tidak akan menggunakan uang elektronik tersebut.

e. Interbank Transfer

Sistem ini merupakan sistem transfer dana non tunai yang bisa dikatakan paling lama. Ini karena sudah ada sejak mekanisme transfer antar nasabah dalam suatu bank. Adapun sistem yang dianut tergantung teknologi di tiap-tiap bank. Bagi bank yang memiliki sistem core banking terintegrasi di seluruh kantor

cabang sehingga seluruh database nasabah dapat diakses, mekanisme transfer

dananya pastilah sudah online real time. Untuk bank yang sudah memiliki

teknologi tersebut ada dua macam, yaitu yang memungkinkan nasabah untuk melakukan sendiri perpindahan dananya atau dalam istilah sistem biasa disebut strait trough processing (STP) atau yang masih memerlukan campur tangan

pegawai bank untuk melakukan proses tertentu dalam melaksanakan pemindahan dana, biasanya teller.

Sementara itu, beberapa bank yang teknologi core banking-nya belum maju

antar nasabah mereka dilakukan secara off-line, biasanya menggunakan faks atau

telepon. Namun demikian, dengan pesatnya perkembangan teknologi perbankan saat ini, yang tentunya juga semakin murah, bank tipe ini sudah mulai meninggalkan teknologi core banking secara off-line. Disamping tidak efisien baik

disisi sumber daya maupun waktu, sudah barang tentu secara pencitraan akan mempengaruhi preferensi nasabah untuk memilih jenis bank ini.

f. Sistem Host to Host

Sistem pembayaran non tunai untuk jenis host to host transaction juga

semakin meningkat. Host to host disini dapat diartikan sebagai sistem pembayaran

non tunai yang menghubungkan dua atau beberapa host/server langsung dengan

core banking system. Biasanya jenis transaksi yang menggunakan sistem host to

host adalah untuk pembayaran rutin dan bersifat gabungan (bulk), seperti listrik,

telepon, air, dan pembayaran sejenis lainnya. Perusahaan yang memiliki konsumen dengan jenis pembayarab rutin biasanya juga memiliki sistem internal untuk mencatatkan penagihannya.

Dengan teknologi host to host tersebut, sistem penagihan tersebut dapat

dihubungkan ke core banking bank. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan

tersebut tidak perlu membuat perjanjian dengan banyak bank untuk menerima pembayaran nasabah mereka pada masing-masing bank. Hal tersebut menyebabkan perusahaan-perusahaan tersebut harus mengadopsi berbagai jenis standar dan aturan, selain tentunya masalah besarnya biaya.

g. Delivery Channel

Kemajuan teknologi informasi semakin mendorong kemudahan pelaksanaan transfer dana. Teknologi seperti internet, mobile phone maupun telepon dapat

dimanfaatkan menjadi saluran pembayaran yang menghubungkan jalur sistem pembayaran yang ada. Misalnya ketika akan melakukan transfer dana, media konvensional yang digunakan adalah melalui perantara teller di bank, atau lebih

modern lagi dengan menggunakan mesin ATM. Sekarang dengan kemajuan teknologi, kita tidak perlu datang antri ke bank ataupun gerai ATM untuk melakukan instruksi transfer, cek saldo, atau melakukan pembayaran karena saat ini semua transaksi tersebut dapat dilakukan melalui internet, mobile phone atau

telepon tanpa harus pergi ke suatu tempat tertentu.

Disisi perbankan, penggunaan teknologi ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu penggalian sumber dana murah terutama untuk keperluan intermediasi. Apabila masyarakat merasakan manfaat yang besar dari kemudahan transaksi, maka mereka akan terdorong untuk berhubungan atau selalu berhubungan dengan perbankan. Hal ini tentunya akan meningkatkan penghimpunan dana masyarakat pada perbankan yang notabene merupakan dana murah bagi perbankan. Selanjutnya, bank juga memperoleh fee based income yang akhir-akhir ini

menjadi andalan perbankan untuk memperoleh laba.

Memang pada awalnya upaya ini memerlukan investasi yang lumayan besar, tapi apabila perputaran transaksinya tinggi, bukan tidak mungkin biaya investasi tersebut akan tertutup oleh fee based income yang diperoleh. Keuntungan lain

50 % nasabah tidak lagi menggunakan jalur konvensional untuk datang ke kantor kas, maka bank tidak harus membuka jaringan kantor cabang lebih banyak lagi, dan pada gilirannya tidak perlu pula menyediakan biaya sumber daya manusia dan operasional lain yang lebih besar.

Selain perkembangan berbagai instrumen pembayaran diatas, peningkatan aktivitas pembayaran non tunai juga dapat diindikasikan oleh rasio nilai konsumsi swasta terhadap uang kartal yang diedarkan di masyarakat yang menunjukkan perkembangan meningkat. Hasil penelitian Bank Indonesia mengenai Peranan Pembayaran Non tunai dalam Perekonomian dan Kebijakan Moneter tahun 2005 tahun 2005 menunjukkan bahwa besarnya rasio tersebut cenderung meningkat dari 14 pada 1997 menjadi 17 pada 2005. Hal ini mengindikasikan tren semakin menurunnya penggunaan uang tunai dalam mendukung aktivitas konsumsi masyarakat.

Indikator lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan perkembangan pembayaran non tunai adalah rasio uang kartal terhadap giro dan transaksi pembayaran berbasis kartu. Dalam periode 2000 – 2006, perkembangan rasio uang kartal terhadap giro dan pembayaran berbasis kartu di Indonesia cenderung turun dari 0,6 pada tahun 2000 menjadi 0,4 pada 2005. Pengunaan transaksi pembayaran berbasis kartu pada perhitungan rasio ini dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran perkembangan pembayaran non tunai yang lebih baik. Dari sisi teknis perhitungan, rasio ini memiliki kelemahan karena digunakannya jenis data yang berbeda yakni data flow pada transaksi pembayaran dan jenis data stok pada giro dan depositi. Namun demikian, hal tersebut diperkirakan hanya

akan berpengaruh pada perbedaan besaran (magnitude) rasio yang dihasilkan.

Sementara arah dari perkembangan rasio tersebut masih dapat digunakan untuk memberikan gambaran perkembangan pembayaran non tunai. Semakin kecil rasio tersebut mengindikasikan semakin tingginya aktivitas pembayaran non tunai. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan beberapa indikator lainnya yang menggambarkan tren peningkatan preferensi masyarakat terhadap pembayaran non tunai.

2.4. Perkembangan Sistem Pembayaran Non tunai

Perkembangan sistem pembayaran non tunai sebenarnya didorong oleh beberapa hal. Pertama, ini yang paling berperan adalah teknologi. Perkembangan

teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi mendorong penggunaan berbagai alat pembayaran. Salah satu contoh dalam transaksi dengan menggunakan cek atau bilyet giro. Bisa kita bayangkan bila sekarang belum dikenal reader sorter dan pay in slip atau alat pembaca kode, dapat dipastikan

penyelesaian warkat kliring akan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Apabila kita merujuk pada peraturan transaksi di wilayah Jakarta, dengan rata-rata per hari mencapai sekitar 150.000 warkat saja, paling tidak personel yang ditugasi mengurusi kliring menjadi sangat besar kalau tidak ingin lembur setiap hari. Enabler lain yang paling signifikan mendorong penggunaan instrumen non

tunai tidak lain adalah pemanfaatan teknologi informasi dengan segala variannya oleh masyarakat. Sebagian masyarakat yang sudah menjadi nasabah bank sadar ataupun tidak pastilah sudah memanfaatkan teknologi informasi dalam melakukan

aktivitas ekonominya, minimal dalam melihat atau menanyakan jumlah saldo rekeningnya atau bisa juga pada saat kita menarik uang tunai dari anjungan tunai mandiri. Pemanfaatan teknologi yang lebih maju lagi pada saat kita melakukan transfer dana atau pada saat kita melakukan pembayaran.

2.5. Penelitian Terdahulu

Dokumen terkait