BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MILIK ATAS
C. Jenis-Jenis Hak yang Timbul atas Tanah dalam Islam
Hak-hak yang timbul atas tanah berdasarkan ketentuan syariat, antara lain:
1. Hak Milik (Al-Milkiyah)
Kepemilikan manusia atas suatu benda terbatas pada legalitas pengelolaan dan pemanfaatannya saja serta dibatasi dengan aturan yang telah ditetapkan Allah sebagai pemilik sebenarnya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ma‟idah: 5/120
ُُۢش٠ِذَل ٖء َٟۡش ًُِّو ٍَََٰٝع َُٛ٘ َٚ ََِّّۚٓٙ١ِف اَِ َٚ ِع ۡسَ ۡلْٱ َٚ ِخ ََٰٛ َََّّٰغٌٱ ُهٍُِۡ ِ َّ ِلِلّ ﴿
ٕٔٓ
﴾
Terjemahan:
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.10
Konsep hak milik dalam Islam dikenal dengan sebutan milkiyah. kata milkiyah diambil dari kata َهٍََِ– ُهٍَِّْ٠- ٌهٍِِْyang berarti hadirnya hubungan antara harta yang telah ditetapkan oleh syariat dengan manusia, sehingga pemegang hak milik dapat mengelolah dan menikmati hasil dari harta itu sesuai dengan kehendaknya.
Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk memiliki, mengelolah dan menikmati hasil yang telah diusahakannya di muka bumi ini. Syariat tidak melarang untuk memperkaya diri selama dalam prosesnya tidak merugikan dan berdampak buruk terhadap manusia lainnya. Islam memandang kemaslahatan umum jauh lebih penting dibanding keuntungan pribadi.
10 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahan, Hal. 170
Dalam hukum Islam hak milik dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Al-Milk Al-Tam (َارٌا هٌٍّا)
Milk Tam berarti memiliki suatu benda sekaligus mendapatkan manfaatnya.
Jenis kepemilikan ini merupakan bentuk kepemilikan sempurna karena pemiliknya memiliki otoritas untuk menguasai benda/materi sekaligus manfaatnya. Hak milik ini tidak dapat di gugurkan oleh hak milik orang lain dan tidak mempunyai batas waktu.
b. Al-Milk Al-Naqis (ضمٌٕا هٌٍّا)
Milk Naqis merupakan jenis hak milik tidak menyeluruh. Hal ini dikarenakan penguasaan seseorang hanya pada bendanya saja sedangkan manfaat yang di miliki benda tersebut diserahkan kepada orang lain atau sebaliknya, hak pemamfaatannya hanya dimiliki oleh sedangkan hak miliknya dikuasai oleh orang lain.
2. Sewa-Menyewa (Ijarah)
Dalam Fiqih Sunnah, sewa-menyewa dikenal dengan istilah Ijarah. Kata Ijarah diambil dari kata Al-ajru yang secara bahasa berarti al-'iwadhu atau ganti. Sedangkan menurut istilah syara‟, ijarah merupakan jenis akad yang dilakukan untuk untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Syariat menghalalkan Ijarah atau sewa berdasarkan dengan dalil QS. Al-Baqarah: 2/233
َحإَُج َلاَف ٖس ُٚاَشَذ َٚ إَُِِّّٙۡ ٖعا َشَذ َٓع ًلَاَظِف اَدا َسَأ ِْۡاَف ...
َْأ ُُّۡذد َسَأ ِْۡئ َٚ ًۗاَِّٙۡ١ٍََع
ََّلِلّٱ ْاُٛمَّذٱ َٚ ًِۗفٚ ُشۡعٌَّۡٱِت ُُرۡ١َذاَء ٓاَِّ ُُر ٍََّّۡع اَرِئ ُُۡىۡ١ٍََع َحإَُج َلاَف ُُۡوَذٌََٰ َۡٚأ ْا ُٓٛع ِػ ۡشَر ۡغَذ ْا ٍَُّٓٛ ۡعٱ َٚ
ٞش١ ِظَت ٍََُّْٛۡعَذ اَِّت َ َّلِلّٱ ََّْأ
ٕٖٖ
﴾
Terjemahan:
22
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.11
Sedangkan Ijarah atau sewa disahkan syariat berdasarkan sunnah, antara lain:
a. Hadist Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
ُُٗل َشَع َّف ِجَ٠ َْْأ ًَْثَل ُٖ َشْجَأ َش١ ِجَلْا اُٛطْعَأ
“Berikan upah buruh (orang sewaan) sebelum keringatnya kering.”
b. Hadist Rasulullah ﷺ dari Said bin Abi waqqash r.a.
ٍٝع اّت عسلْا ٜشىٔ إو:يال صلى الله عليه وسلم الله يٛعس ْا صالٚ ٝتا ٓتذعع ٓع
.قسٚ ٚأ ة٘زت اٙ٠شىٔ ْا أشِاٚ هٌر ٓع صلى الله عليه وسلم الله يٛعس ٕٝٙف عسضٌا ِٓ ٝلاٛغٌا
ٖاٚس{
ٛتا ,ذّدأ
}ٝئاغٌٕا ٚ دٚاد
Artinya:
Dari Sa‟ad bin Abi Waqqash sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan memmbayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami dengan cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang, emas dan perak.
Dalam praktek Ijarah dianjurkan untuk tidak melakukan transaksi ini pada benda yang dipersengkatakan dan juga benda yang berasal dari hasil rampasan. Hal ini dikarenakan dapat merugikan pihak penyewa yang tidak dapat sepenuhnya mengelolah dan mengambil mamfaat dari benda yang disewa.
Transaksi Ijarah dilakukan pada benda yang dapat memberikan mamfaat kepada pihak penyewa seperti tanah yang disewa untuk digarap dan diambil mamfaatnya dengan memberikan bayaran berupa uang ataupun yang lainnya yang dapat bernilai harta.
11 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahan, Hal. 47
3. Muzara’ah
muzara'ah mempunyai arti akad transaksi pengolahan tanah atas apa yang dihasilkannya. Transaksi ini memuat suatu kesepakatan antara yang memegang hak milik atas tanah dengan yang akan menggarap tanah. Kesepakatan tersebut mengenai perjanjian bagi hasil baik itu bagi hasil setengah atau sepertiga atau lebih tinggi atau lebih rendah disesuaikan dengan kesepakatan yang terjadi antara pemilik tanah dan yang akan menggarap tanah tersebut.
Praktik muzara'ah ini pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat setelahnya. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ mempekerjakan penduduk khaibar untuk menggarap tanah dengan memberikan mereka upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan yang dihasilkan dari tanah khaibar. Sedangkan pada masa sahabat Umar r.a pernah melakukan transaksi muzara'ah dengan penduduk Najran yang pemiliknya diusir. Oleh kareana itu, Muzara’ah merupakan suatu tradisi yang tidak dapat dihapuskan begitu saja.
4. Ihya- al-mawat
Ihya-Al mawat berarti lahan mati yang belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal dan bercocok tanam.
Perolehan hak milik melalui cara ini memberikan kesempatan kepada satiap orang untuk menggarap tanah mati atau tanah kosong yang tidak ada pemiliknya sehingga tanah itu dapat di mamfaatkan oleh manusia untuk ditempati atau dikelola dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana dalam Al-Baqarah: 2/164
ِه ٍُۡفٌۡٱ َٚ ِسإٌََّٙٱ َٚ ًِۡ١ٌَّٱ ِفٍََِٰر ۡخٱ َٚ ِع ۡسَ ۡلْٱ َٚ ِخ ََٰٛ َََّّٰغٌٱ ِكٍَۡخ ِٟف َِّْئ ﴿
ٖءٓاَِّ ِِٓ ِءٓاََّّغٌٱ َِِٓ ُ َّلِلّٱ َي َضَٔأ ٓاَِ َٚ َطإٌَّٱ ُعَفَٕ٠ اَِّت ِش ۡذَثٌۡٱ ِٟف ٞ ِش ۡجَذ ِٟرٌَّٱ
24
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.12
Yang dmaksud dengan tanah baru ialah tanah yang belum pernah dikerjakan oleh siapapun, berarti tanah yang belum pernah dipunyai orang atau tidak diketahui siapa pemiliknya. Hukum membuka tanah baru adalah Jaiz (boleh) bagi orang islam dan sesudah dibuka, tanah itu menjadi miliknya13. Didalam Islam tanah-tanah yang tidak didiami maupun tidak dimiliki oleh seseorang dianggap sebagai tanah negara.
Untuk menjamin kesejahteraan masyarakatnya, pemerintah dapat memberikan tanah-tanah negara tersebut kepada rakyat yang membutuhkan (Iqta’)14. Penerapan ihya al-mawat ini sebagai langkah untuk memamfaatkan segala yang telah diberikan oleh Allah di muka bumi ini.
Rasulullah telah memberi ketentuan megenai tata cara menghidupkan tanah mati atau terlantar, walaupun demikian tata cara itu tetap menyesuiakan dengan adat kebiasaan. Menurut kebiasaan yang berlaku menghidupkan tanah yang mati atau kosong dapat terjadi melalu cara 5 cara, antara lain:
a. Pemulihan tanah dan pengurusan surat-surat bukti pemilikan tanah b. Pembersihan lahan dan pengolahannya untuk siap tanam
12 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahan, Hal. 31
13 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1976) Hal. 319
14 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yokyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002).hal. 237.
c. Pembangunan tembok sekeliling tanah itu
d. Menggali parit yang dalam yang menjadikan orang lain dapat melihatnya selain pemiliknya
e. Menghidupkan tanah berarti memakmurkannya, mengelolanya sehingga memberikan manfaat bagi manusia.15
Semangat mengelola lahan yang terlantar (tidak mempunyai pemilik) ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja pemerintah dan perundang-undangan harus akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. Ketentuan penggarapan tanah tersebut menurut Jumhur Ulama tidak berlaku bagi yang dimiliki oleh orang lain, atau kawasan yang apabila digarap akan mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum;
misalnya tanah yang rawan longsor atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan berubahnya aliran air.16
Pengaturan tentang penerapan syariat Ihya al-Mawat dinegara Indonesia haruslah kondusif. Seperti yang dilakukan khalifah Umar Bin Khattab yang membuat aturan bahwa pengambilalihan tanah dilakukan apabila pemiliknya tidak menggarap tanah yang dimilikinya selamat 3 tahun. Sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ
ا يٛعس يال :يال طٚٚاؽ ٓع
Dari Thawwus Rasulullah bersabda, “tanahtanah tua yang pernah ditinggali manusia menjadi milik Allah dan Rasul-Nya. Kemudian untuk kalian sesudah itu. Siapa orang yang
15 Abubakar Muhammad terj. Subulussalam As-Shan’ani, Subulus Salam, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt) h.296
26
menyuburkan tanah yang tandus, maka tanah itu menjadi milikinya dan tidak ada hak lagi bagi orang yang nengabaikan tanah itu lebih tiga tahun”.
5. Hak Gadai Atas Tanah. (Rahn)
Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Rahn atau Al-Habs. Secara etimologi, Rahn berarti tetap atau lestari sedangkan Al-Habs berarti penahanan.
Istilah Al-Habs dapat dilihat dalam firman Allah QS. Al-Muddassir: 74/38
ٌحَٕ١ِ٘ َس ۡدَثَغَو اَِّت ُِۢظۡفَٔ ًُُّو ﴿
ٖ٣
﴾
Terjemahan:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.18
Objek gadai dalam syariat islam adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai harta baik itu benda yang bergerak atau tidak. Gadai merupakan transaksi akad pinjam-meminjam dengan memberikan barang sebagai bentuk jaminan. Defenisi gadai yang ada dalam syariat Islam memiliki sedikit perbedaan dengan pengertian gadai yang tertuang dalam hukum perdata dan hukum adat. Pengertian gadai menurut syariat Islam adalah kombinasi pengertian gadai yang terdapat dalam hukum perdata dan hukum adat terkhusus menyangkut objek perjanjian gadai. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya gadai tidak membedakan benda yang dijadikan objek gadai dalam Islam.
Istilah yang dikenal dalam transaksi gadai menurut syariat Islam, antara lain:
a. Pemilik barang (yang berhutang) atau penggadai dikenal dengan istilah
“rahin”.
b. Orang yang menerima gadai atau mengutangkan barang diistilahkan dengan
“murtahin”.
c. Objek atau barang yang digadaikan diistilahkan dengan “rahn”.19
18 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahan, ,Hal. 851
Dalil dalal Al-qur‟an yang dijadikan dasar hukum untuk transaksi gadai kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.20
Dari kalimat “hendaklah ada barang tanggungan” dapat diartikan sebagai gadai.21Transaksi gadai disyariatkan dilakukan oleh pihak atau orang yang dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Cakap dalam hukum islam berarti berakal dan baliq. Orang yang tidak memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan hukum menurut hukum islam adalah orang yang tidak sehat akal dan pikirannya, anak yang masih dibawa umur dan juga orang yang boros.
Para ulama sepakat bahwa hukum Perjanjian gadai ialah Mubah. Namun terjadi Hilaf diantara para ulama mengenai waktu dibolehkannya transaksi gadai.
Menurut sebagian ulama gadai hanya diperbolehkan pada waktu bepergian saja, berdasarkan QS. Al-Baqarah: 2/282
19 Chairuman Pasaribu dan Surahwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
28
َُُّٖۚٛثُر ۡوٱَف ٝ َّّٗغُِّ ًَٖجَأ ٌََِٰٓٝئ ٍٓۡ٠َذِت ُُرَٕ٠اَذَذ اَرِئ ْا َُِٕٓٛاَء َٓ٠ِزٌَّٱ اَُّٙ٠َأََٰٓ٠ ﴿ ...
Terjemahan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya . . . .22 Sedangkan sebagian jumhur ulama (kebanyakan ulama) sepakat memperbolehkan gadai baik dalam waktu bepergian atau berada di tempat domisilinya. Hal ini dilandaskan pada praktik gadai Rasulullah ﷺ pada saat berada di Madinah. Para ulama berpendapat bahwa ayat yang mengkaitkan gadai dengan bepergian tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai melainkan hanya menggambarkan bahwa gadai umumnya dilakukan pada saat bepergian. Menurut ijma ulama, hukum melakukan gadai adalah mubah. Adapun syarat sah gadai, diantaranya:
1) Berakal sehat 2) Dewasa
3) Barang yang digadaikan telah ada pada waktu gadai 4) Barang gadai bisa diserahkan/dipegang oleh Pegadai23
Dan inilah hak-hak atas tanah yang terdapat di dalam Syari‟at islam.
D. Pengaturan tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dalam Islam