• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA, STUDI SEMANTIK

2.2 Studi Semantik

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna dalam Semantik

Makna merupakan salah satu kajian dalam semantik yang merupakan bagian terpenting dalam melakukan percakapan.

Dalam KBBI ( 2008: 703) dijelaskan makna adalah 1. arti, 2. maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Sedangkan menurut Kridalaksana (1982:132), makna adalah: 1. Maksud pembicara; 2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; 3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antar bahasa atau antar ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya; 4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna adalah arti atau maksud dari suatu tindak tutur.

Menurut Chaer (1994: 59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara lain sebagai berikut.

a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial.

c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan makna khusus.

e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.

Berikut pengertian makna-makna tersebut satu per satu.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (1994: 60) makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata.

Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 辞書的意味 „jishoteki imi‟ atau 語 彙 的 意 味 „goiteki imi’ . Dalam bahasa Jepang misalnya kata 猫 „neko‟ yang berarti „kucing‟ dan 学 校 „gakkou‟ yang artinya „sekolah‟. Makna leksikal dari kata „kucing‟ adalah hewan berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata „sekolah‟ adalah bangunan tempat para siswa belajar.

Makna gramatikal menurut Chaer (1994: 63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 文法的意味 „bunpouteki imi‟ . Dalam bahasa Jepang, 助 詞 „joshi‟ (partikel) dan 助 動 詞 „jodoushi‟ (kopula) tidak memiliki makna

leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 忙 い„isogashii‟ dan 食 „taberu. Bagian gokan : (isogashi) dan (tabe) memiliki makna leksikal yaitu „sibuk‟ dan „makan‟, sedangkan gobi-nya, yaitu {い/ i} dan { / ru} sebagai makna gramatikal, karena akan berubah sesuai dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel „ni‟ , yang secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan dalam kalimat seperti : メダン 住 い „Medan ni sunde iru‟ yang bermakna „tinggal diMedan‟.

2. Makna Referensial dan Makna Non referensial

Menurut Chaer (1994: 63), perbedaan makna referensial dan makna non referensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna non referensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang bermakna non referensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Chaer (1994: 65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif, dan sering disebut dengan istilah

„makna sebenarnya‟. Sedangkan menurut Sutedi (2008:107), makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan 明 示 的 意 味 „meijiteki imi‟ atau 外 延 „gaien‟ . Sedangkan makna konotatif menurut Chaer (1994: 67) adalah makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.

Selanjutnya menurut Sutedi (2008: 107), makna konotatif disebut 暗示的意味 „anjiteki imi‟ atau 内包 „naihou‟ , yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata 父 „chichi‟ dan

親父„oyaji‟ kedua-duanya memiliki makna denotatif yang sama, yaitu „ayah‟, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata „chichi‟ terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata „oyaji‟ terkesan lebih dekat dan akrab. Contoh lainnya adalah kata

化 粧 室 „keshou-shitsu‟ dan 便 所„benjo‟ . Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. „ Keshou-shitsu‟ terkesan bersih, sedangkan „benjo‟ terkesan kotor dan bau.

4. Makna Umum dan Makna Khusus

Chaer (1994: 71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas dibandingkan dengan kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar, raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase Tuhan yang maha Agung‟ dapat diganti dengan „Tuhan yang maha Besar‟ ; frase „rapat

akbar‟ dapat diganti dengan „rapat besar‟ ; frase „hari raya‟ dapat diganti dengan „hari besar‟ ; dan frase „film kolosal‟ dapat diganti dengan „film besar‟. Sebaliknya, frase „rumah besar‟ tidak dapat diganti dengan „rumah agung‟, „rumah raya‟ ataupun „rumah kolosal‟.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer (1994: 72), makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna „suci‟ atau „kesucian‟ ; kata merah berasosiasi dengan makna „berani‟ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna „indah‟.

Sedangkan makna idiomatik menurut Chaer (1994: 75) adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah pada frase „membanting tulang‟ dan „meja hijau‟. „Membanting tulang‟ adalah sebuah leksem dengan makna „bekerja keras‟, dan „meja hijau‟ adalah sebuah leksem dengan makna „pengadilan‟.

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi (2008: 108).

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 頭 „atama‟ (kepala), 腕 „ude‟ (lengan), serta „michi‟ (jalan) yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini.

頭 いい atama ga ii [kepandaian]

ude ga agaru [kemampuan]

日本語教師 nihongo-kyoushi e no michi [cara/ petunjuk] b. Dari ruang ke waktu

Kata 前„mae‟ (depan), dan 長い„nagai‟ (panjang), yang menyatakan arti ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.

年前 sannen mae [tiga tahun yang lalu]

長い時間 nagai jikan [lama]

c. Perubahan penggunaan indera

Kata 大 い„ookii‟ (besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada 大 い声 „ookii koe‟ (suara keras). Kemudian pada kata 甘い „amai‟ (manis) dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam 甘い子„amai ko‟ (anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Kata 着 物 „kimono‟ yang semula berarti pakaian tradisional Jepang, digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum 服„fuku‟ dan sebagainya.

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi

Kata 花 „hana‟ (bunga secara umum) dan 卵 „tamago‟ (telur secara umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.

花見 hana-mi [bunga Sakura]

卵 食 tamago o taberu [telur ayam] f. Perubahan nilai positif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah kata 僕 „boku‟ (saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.

g. Perubahan nilai negatif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah kata 貴 様 „kisama‟ (kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata

あ „anata‟ (anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari, (Chaer, 1994: 11). Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka mungkin akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan

menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti.

2.2.2 Kesinoniman

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007: 297). Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redudansi).

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007: 267). Akan tetapi meskipun bersinonim, maknanya tidak

akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 類 義 語„ruigigo‟ . Menurut Sutedi (2003: 115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang memiliki relasi atau hubungan kesinoniman 類 義 関 係 „ruigi-kankei‟ dapat ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti „naik‟, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.

: 或経路 焦 合わ 移動

Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui

あ : 到 焦 合わ 移動

Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 焦 „shoutengerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan 到 „toutatsutendalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan noboru menekankan pada jalan yang dilalui 経 路 „keiro‟ dari gerak tersebut (proses). Kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Keraf (2006: 24) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolok ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Berdasarkan konsep dari pilihan kata di atas, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.

BAB III

ANALISIS MAKNA VERBA TETSUDAU DAN TASUKERU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

Sebelumnya pada bab II penulis telah memaparkan pengertian dan makna verba tetsudau dan tasukeru. Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dituangkan pada bab I, maka pada bab ini penulis melakukan analisis terhadap makna verba tetsudau dan tasukeru yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat pada komik Pastel Kazoku, kumpulan cerita pendek Aozora, film animasi (anime) Zetsuen no Tempest, Inu to Boku, dan drama First Class, sesuai dengan pendapat dari beberapa ahli linguistik yang telah dipaparkan sebelumnya.

3.1 Verba Tetsudau Kutipan (1):

礼 人形 売 手伝 あ !(Komik Pastel

Kazoku: 40)

(Gohan o kureta orei ni shiori ga oningyo uru no o tetsudatte ageru!)

“Sebagai ucapan terimakasih karena sudah memberi makanan, Shiori akan membantu menjual boneka-boneka ini!”

Analisis:

Kalimat (1) diambil dari cuplikan komik Pastel Kazoku seri 40. Diawali adegan ketika Mayo dan Yukari sedang menjual boneka-boneka milik mereka. Tidak lama berselang waktu, Shiori chan datang. Lalu, Mayo dan Yukari membagi bekal mereka kepada Shiori chan. Karena merasa senang menerima makan siang dari Mayo dan Yukari,

dan sebagai ucapan terima kasih Shiori chan bermaksud memberi bantuan kepada mereka untuk ikut menjual boneka-boneka.

Makna verba tetsudau pada kalimat tersebut adalah „membantu‟, dan penggunaannya sudah tepat. Sesuai dengan pengertian verba tetsudau menurut Shibata dan Yamada, Tian serta apa yang disebutkan juga dalam kamus Daijisen, bahwa verba tetsudau memiliki makna „pekerjaan yang dilakukan bersama-sama dengan pelaku utama dan peran orang yang membantu hanya untuk meringankan pekerjaan pelaku utama‟. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa porsi pekerjaan yang dilakukan oleh Shiori chan tidak lebih banyak dari yang dilakukan oleh Mayo dan Yukari. Shiori chan hanya meminjamkan tenaga kepada Mayo dan Yukari yang sudah mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjual boneka-boneka tersebut. Situasi awal yang digambarkan dari komik tersebut ikut mendukung analisis di atas, dimana sebenarnya Mayo dan Yukari mampu menjual boneka-boneka tanpa bantuan orang lain. Shiori chan menawarkan bantuan agar pekerjaan tersebut lebih cepat selesai.

Kutipan (2):

兄 物 捨 手伝 あ (Komik Pastel Kazoku: 35)

(Oniichan ga mono o suteru no o tetsudatte ageru yo.) “Saya akan membantu Kakak membuang barang-barang.”

Analisis:

Kalimat (2) adalah kalimat yang diucapkan oleh Mayo kepada Oniichan yang bernama Takuo. Situasi yang digambarkan adalah pada saat itu Takuo terlihat sangat tekun membaca buku di kamarnya. Mayo masuk ke kamar melihat tumpukan barang-barang yang sudah tidak terpakai, berinisiatif ingin membantu Takuo membuangnya.

Makna verba tetsudau pada kalimat tersebut adalah „membantu‟, dan penggunaannya sudah tepat. Meskipun pekerjaan tersebut tidak dilakukan bersama-sama, tapi dari jenis pekerjaan yang dibantu adalah yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga, sama halnya seperti membereskan kamar, mencuci piring dan lain-lain, maka dapat dikatakan juga bahwa sebenarnya pemilik pekerjaan mampu untuk melakukan pekerjaannya sendiri. Hanya saja Mayo menawarkan bantuan agar pekerjaan Takuo menjadi cepat selesai. Peran Mayo dalam hal ini hanya bersifat membantu untuk meringankan pekerjaan Takuo. Meskipun keadaannya, tanpa ditolong oleh Mayo, Takuo mampu melakukannya sendiri.

Makna „membantu‟ dalam kalimat di atas sejalan dengan pengertian verba tetsudau yang salah satunya seperti yang disampaikan oleh Tian, yaitu meminjamkan tenaga pada orang yang telah mempunyai kekuatan yang cukup, dan berperan sebagai asisten pembantu.

Kutipan (3):

( う 素気 い返 ひ 父 感情 害 い 今晩 酒

手伝 い (http://www.aozora.gr.jp/cards/000247/files/1333_20664.html)

(Kyoozo no sokkenai henji ga hidoku chichi no kanjou o gaishita rashii. Soreni konban wa sake ga tetsudatteiru)

“Sepertinya jawaban dingin Kyozo telah melukai perasaan ayah. Selain itu, sake juga turut membantu malam ini.”

Analisis:

Kalimat (3) di atas diambil dari kumpulan cerita pendek Aozora yang berjudul Tegami’. Pada cerita tersebut dikisahkan Kyozo yang baru pulang kerumah setelah

beberapa hari pergi karena suatu keperluan. Sebelum masuk ke kamarnya, ia bertanya kepada ayah dan ibu tentang keberadaan surat atau telepon untuknya. Ibu memberitahukan Kyozo bahwa ada surat untuknya di atas meja di kamar. Kyozo lalu masuk dan membaca surat tersebut. Tak lama kemudian dia keluar dari kamar. Ayah yang melihat Kyozo keluar dari kamarnya, langsung bertanya tentang surat tersebut. Kyozo hanya menjawab singkat semua pertanyaan ayahnya. Ayah merasa sensitif dengan jawaban dingin Kyozo. Sebelumnya Ayah memang sedang minum sake. Perasaan yang sensitif dan mudah tersinggung adalah dampak negatif akibat minum sake atau minuman keras lainnya.

Pengertian verba tetsudau menurut Koizumi dkk. dalam Nihongo Kihon Doushi Jiten menyebutkan „penyebab atau alasan lain yang mengakibatkan terjadinya suatu perkara‟. Sejalan dengan pemikiran ini, dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yorei Jiten juga mengindikasikan hal yang sama. Makna verba tetsudau pada kalimat di atas, adalah „membantu‟. Dalam hal ini, sake yang diminum ayah, membantu menjadi penyebab dan turut andil membawa pengaruh hingga membuat perasaannya menjadi sensitif. Ditambah lagi oleh jawaban anaknya yang terkesan menghindari percakapan yang panjang dengan sang ayah. Hal tersebut membuat perasaan ayah terluka. oleh karena itu penggunaan verba tetsudau pada kalimat di atas sudah tepat.

Kutipan (4):

目的地 着い いう安心 手伝 T- 入 口 頃

飢 え 疲 彼 雪 ぶ う

(http://www.aozora.gr.jp/cards/000008/files/1083_53475.html)

koro ni wa, ue to tsukare to de kare wa sono mama soko no yuki no ue ni buttaoresoudatta)

“Karena perasaan tenang setelah sampai di tujuan turut membantu, ia hampir terjatuh begitu saja diatas hamparan salju karena rasa lapar dan lelah begitu tiba di gerbang masuk kota T”

Analisis:

Pada kalimat (4) di atas, disebutkan bahwa seorang pemuda baru saja melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Begitu sampai ke tempat tujuan dan menemukan sebuah warung kecil, ia merasa lega. Ini berarti bahwa ia dapat beristirahat setelah sebelumnya menempuh perjalanan panjang, dan hanya bisa makan sedikit saja pada malam sebelumnya.

Pada kalimat ini, makna verba tetsudau adalah „membantu‟, dan penggunaannya sudah tepat. Hal ini sesuai dengan pengertian verba tetsudau seperti yang disampaikan oleh Tim Bunkacho, yaitu „menambahkan penyebab lain dalam suatu kejadian‟. Dengan kata lain sesuatu yang membantu mempengaruhi terjadinya suatu hal. Dalam hal ini,

Dokumen terkait