• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN

B. Tindak Pidana Korupsi

4. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi sering berkaitan dengan masalah tentang perekonomian negara karena yang sering disalahgunakan oleh para koruptor adalah keuangan negara sehingga penyalahgunaan kekuasaan sangat marak terjadi. Apalagi berkenaan dengan masalah proyek-proyek perusahaan yang memerlukan izin dari pejabat yang memiliki wewenang memberikan izin.

Beberapa jenis tindak pidana korupsi yang sering dijadikan modus oleh para koruptor dalam menjalankan aksinya dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek kejahatan yang berkenaan dengan masalah bisnis dan penyalahgunaan kekuasaan yaitu:

a. White Collar Crime

Istilah “white collar crime” sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kejahatan kerah putih” ataupun “kejahatan berdasi”. “White collar crime” ini pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin Hardin

Sutherland (1883 – 1950) di awal decade 1940-an, yang dikemukakan

dalam suatu pidato dari Sutherland yang selalu dikenang dan saat itulah pertama kali muncul konsep white collar crime, yaitu pidatonya tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society di Philadelphia dalam tahun 1939 (J.E. Sahetapy, 1994: 1).35

Dari istilah di atas dapat dikatakan bahwa kejahatan kerah putih merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas sebagai pemegang kebijakan yang strategis sehingga dapat dijadikan sebagai alat tawar-menawar kepentingan.

Selain itu lebih parahnya lagi kejahatan ini sering dijumpai bahwa pelakunya dapat dikatakan mempunyai pendidikan yang tinggi, sehingga membuat para aparat penegak hukum menjadi agak segan untuk menindak pelaku karena status sosial dan juga jabatan diemban pelakunya.

b. Kejahatan Korporat

Dewasa ini, dalam ilmu hukum pidana telah diterima, baik di kalangan akademisi maupun di kalangan praktisi, suatu kejahatan khusus

35

Munir Fuady, Bisnis Kotor Anotomi Kejahatan Kerah Putih, Pt. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2004, hlm. 1.

yang melibatkan perusahaan yang disebut dengan corporate crime (kejahatan korporat). Kadang-kadang untuk kejahatan korporat ini disebut juga dengan istilah “kejahatan korporasi” atau “kejahatan organisasi” (organizational crime). Kejahatan organisasi (organizational crime) harus dibedakan dengan “kejahatan teorganisisr” (organized crime), karena dengan organized crime yang dimaksudkan adalah kejahatan yang terorganisir, yaitu kejahatan yang mempunyai sindikat kejahatan, seperti yang dilakukan oleh para mafia.36

Hal ini diperkuat dengan adanya pepatah latin yang menyebutkan Universitas Delinquere Nonprotest (Badan Hukum Tidak Dapat Dipidana). Sehingga mempertegas bahwa suatu perbuatan pidana tidak dapat dilekatkan kepada korporasi.

Salah satu masalah yang ditemui dalam menjerat korporasi yang nakal adalah mengenai mekanisme sanksi yang dapat diterapkan terhadap korporasi yang melakukan tindak kejahatan. Pemberian sanksi merupakan kesulitan yang ditemui oleh para aparat penegak hukum dalam memberikan efek jera pada korporasi yang melanggar. Hal ini dikarenakan ketentuan pidana yang sangat terbatas dalam untuk dapat menghukum korporasi. Misalnya pada pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada ketentuan pidana pokoknya hanya menyebutkan beberapa jenis pidana yang dapat diterapkan seperti: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan serta pidana denda.

36

Muladi mengemukakan bahwa pidana penjara, pidana mati tidak dapat dijatuhkan dan dikenakan pada korporasi. Sanksi yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah :37

1. Pidana denda;

2. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadian; 3. Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian

perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan dan tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan dibawah pengampuan yang berwajib;

4. Sanksi perdata (ganti kerugian).

Andi Hamzah, sehubungan dengan sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi menyatakan :

Untuk sekarang ini terbuka kemungkinan untuk menuntut perdata kepada korporasi yang merusak lingkungan hidup. Begitu pula tindakan administratif seperti pencabutan izin, lisensi, dan sebagainya oleh pemerintah daerah. Patut pula diingat bahwa korporasi itu tidak mungkin dipidana badan, oleh karena itu jika ditentukan bahwa delik-delik tertentu dapat dilakukan oleh korporasi, harus delik itu diancam dengan pidana alternative berupa pidana denda. Apabila korporasi dapat

37

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Croup, Jakarta, 2013, hlm. 162.

dipertanggungjawabkan untuk seluruh macam delik, maka seluruh rumusan delik di dalam KUHP harus ada ancaman pidana alternative denda sebagaimana halnya dengan W.v.S. Belanda sekarang ini.38

c. Kejahatan Terorganisir (Orgnanized Crime)

Kejahatan Terorganisir atau yang disebut dengan organized crime sering dogolongkan ke dalam salah satu bentuk white collar crime. Kejahatan terorganisir adalah suatu jenis kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh para mafia dalam suatu jaringan yang teorganisir rapi dalam suatu organisasi bawah tanah, baik dia mafia preman maupun mafia intelek (nonpreman), dengan melakukan berbagai jenis kejahatan dengan tujuan akhir adalah mencari uang, baik dilakukan dengan bisnis gelap, setengah gelap, atau bisnis terang-terangan, dimana dalam menjalankan pekerjaannya tersebut dapat berbuat sadis, seperti membunuh, mengancam, membajak, melakukan pengeboman, dan membakar rumah atau pasar, meskipun ada jaringan mafia, terutama mafia nonpreman, yang dalam menjalankan tugasnya tidak pernah berlaku kasar sama sekali.39

Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kejahatan terorganisir dilakukan oleh dua kelompok, yaitu kelompok preman dan kelompok nonpreman. Kelompok preman cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksinya sedangkan kelompok nonpreman tidak menggunakan kekerasan dalam menjalankan aksinya, akan tetapi

38

Ibid, hlm. 159.

39

menggunakan strategi dan perencanaan yang matang agar kejahatan yang dilakukan tidak diketahui oleh aparat penegak hukum. Kalaupun perbuatannya terdeteksi maka pelaku utamanya tidak dapat diketahui karena modus kejahatan yang dilakukan sangat tersembunyi.

Contoh kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh mafia preman adalah perdagangan obat bius, perdagangan senjata api secara gelap, pem-backing-an perjudian, gedung bioskop, rumah pelacuran dan tempat- tempat hiburan, jasa penagihan piutang secara sadis, pembunuh bayaran, mafia perparkiran kendaraan bermotor, mafia keamanan pertokoan dan pasar tradisional, mafia pendemo bayaran, dan lain-lain.40

Sedangkan contoh dari kejahatan teroganisir yang dilakukan oleh mafia nonpreman adalah mafia peradilan, kejaksaan, kepolisian dan pengacara/calo perkara, mafia tanah, mafia pemalsu dokumen seperti kartu kredit dan surat milik kendaraan bermotor hasil kejahatan, mafia pembobolan bank, mafia pencucian uang (money laundering), dan lain- lain.41

d. Money Laundering

Istilah money laundering ini dalam bahasa Indonesia sering juga diterjemahkan dengan istilah “pemutihan uang” atau “pencucian uang”. Hal ini adalah terjemahan yang wajar mengingat kata launder dalam bahasa inggris sendiri berarti “mencuci”. Oleh karena itu, sehari-hari dikenal kata “laundry” yang berarti cucian. Uang yang diputihkan atau

40

Ibid, hlm. 42.

41

yang dicuci tersebut adalah uang dari hasil kejahatan, misalnya uang hasil jual beli narkotika atau hasil korupsi, sehingga diharapkan setelah pemutihan atau pencucian tersebut, uang tadi tidak terdeteksi lagi sebagai uang hasil kejahatan dan telah dan telah menjadi uang seperti uang-uang bersih lainnya. Untuk itu, yang utama dilakukan dalam kegiatan money laundering adalah menghilangkan atau menghapuskan jejak dan asal-usul uang tersebut.42

Masalah penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) jelas bukan masalah hukum dan penegakan hukum semata- mata melainkan juga merupakan masalah yang berkaitan langsung dan berdampak terhadap masalah keuangan dan perbankan nasional termasuk masalah investasi nasional. Penegakan hukum terhadap TPPU memiliki efek signifikan terhadap kondisi perekonomian nasional di Indonesia yang sampai saat ini sangat labil dan bersifat fluktuatif. Di sisi lain, sarana hukum yang berhubungan dengan masalah keuangan dan perbankan serta pasar modal telah diatur dalam peraturan perundang- undangan khusus diperkuat oleh ketentuan mengenai sanksi, meliputi sanksi administratif, sanksi keperdataan sampai pada sanksi keperdataan sampai pada sanksi pidana. Peraturan perundang-undangan pidana tersebut termasuk “lex specialis systematic”.43

e. Kejahatan Perbankan

42

Ibid, hlm. 83.

43

Romli Atmasasmita, Buku 1 Kapita Selekta Kejahatan Bisnis Dan Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2013, hlm. 66.

Urusan dengan bank identik dengan berurusan dengan uang. Karena itu, tidak mengherankan jika bank selalu diincar oleh para penjahat yang tergiur dengan uang tersebut, tetapi tanpa mau berusaha untuk mendapatkannya secara halal dan wajar. Di sepanjang sejarah sejak saat manusia mengenal system perbankan, sejak saat itu pula kejahatan perbankan terus berkembang mengikuti perkembangan kecanggihan dunia perbankan itu sendiri.44

Tindak pidana perbankan atau disebut juga dengan kejahatan perbankan (banking crime) adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan, baik dengan sengaja maupun tidak disengaja, yang hubungannya dengan lembaga, perangkat, dan produk perbankan, hingga menimbulkan kerugian materil dan atau immaterial bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya.45

Aktivitas perbankan berpedoman pada kepercayaan (trust) sedangkan korupsi berpedoman pada ketidakpercayaan atau prasangka (buruk). Namun jika kedua aktivitas tersebut dilihat dari perspektif kontekstual dan relevansi tujuan membangun sistem pemerintahan yang baik dan berwibawa (good governance) seharusnya tidak perlu

44

Munir Fuady, Op.cit, hlm. 73.

45

dipersoalkan lagi karena kedua konsep berpikir tersebut lahir dari kepentingan pemegang kekuasaan.46

Masalah lain dalam kaitan dengan aktivitas perbankan terkait korupsi, bahwa sejalan dengan prinsip kehati-hatian yang dianut sistem perbankan di Indonesia, ketentuan mengenai rahasia bank (bank’s secrecy) merupakan ketentuan strategis kecuali dalam hal tertentu. Berlakunya kekecualian yang diperluas terhadap ketentuan mengenai rahasia bank praktis ketentuan tersebut tidak lagi efektif melindungi hak privasi nasabah, sekalipun kekecualian terhadap rahasia bank merupakan mandate konvensi internasional.47

Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu. Prinsip ini diterima secara umum karena tindak kejahatan tersebut dianggap sebagai tindakan yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan.

Melihat pada perkembangan kejahatan perbankan yang begitu pesat dengan modus operandi yang terus berkembang pula, maka penegakan hukum (law enforcement) terhadap bidang ini mestilah diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Disamping itu, agar pencegahan dan penanggulangan kejahatan perbankan dapat diatasi dengan baik, perlu diperbaiki dan disempurnakan aturan main yang ada, baik aturan perbankan, aturan pidana, maupun aturan yang berkenaan dengan profesi

46

Romli Atmasasmita, Op.cit, hlm. 147.

47

bankir. Di samping itu , kualitas dan moral dari para penegak hukum perlu segera diperbaiki di samping perlu juga secara terus menerus perbaikan moral dari para bankir itu sendiri, sebab sebagian besar dari kejahatan perbankan dilakukan dengan melibatkan orang dalam bank itu sendiri48

Dari uraian di atas kejahatan korupsi sering terjadi pada lembaga dan instansi pemerintahan sehingga dapat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan. Selain itu modus kejahatan korupsi yang bervariasi juga mempengaruhi pertumbuhan perekonomian negara sehingga berbagai program pembangunan yang direncanakan pemerintah dalam anggaran perencanaan belanja negara (APBN) menjadi terhambat disebabkan uang negara yang sering disalahgunakan, banyaknya pejabat yang tersandung kasus korupsi juga semakin menambah daftar kerugian negara yang timbul dari tingkah laku para pejabat tersebut. Sehingga banyak instansi pemerintahan yang harus membenahi kondisi internal dari instansi mereka, karana apabila hal ini tidak segera dibenahi maka akan semakin menambah daftar para koruptor yang dijerat dengan pidana korupsi. Karena mustahil menjalankan roda pemerintahan apabila kondisi internal instansinya saja bermasalah.

Aparat penegak hukum pun harus lebih berani dan tidak pandang bulu dalam menindak para oknum pejabat pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangnya, terutama para pejabat yang memiliki kedudukan yang strategis di pemerintahan sehingga membuat aparat

48

penegak hukum berpikir dua kali untuk menindak perilaku menyimpang dari para pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar dalam menjalankan tugasnya baik itu kepolisian, kejaksaan maupun KPK tidak diintervensi apabila melakukan suatu penindakan terhadap tindak tidana korupsi yang sangat meresahkan.

Dokumen terkait