• Tidak ada hasil yang ditemukan

THEORY OF POVERTY

LIBERAL AND NEO LIBERAL

5.3. Kerentanan Rumah Tangga Miskin

5.3.1. Jenis Kelamin

Hasil pendugaan variabel jenis kelamin menunjukkan bahwa kerentanan atau peluang rumah tangga yang kepala keluarganya laki-laki untuk menjadi miskin adalah 0.29 kali dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah tangganya perempuan, ceteris paribus. Dengan perkataan lain, bahwa rumah tangga yang kepala keluarganya adalah perempuan memiliki kerentanan atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin dibanding dengan rumah tangga yang kepala keluarganya laki-laki.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan adalah kemampuan atau kapasitas perempuan yang relatif lebih rendah dibanding laki-laki. Hasil survei yang dilakukan ditemukan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan di Kabupaten Barru hanya 3,25 persen yang tamat SD sedangkan selebihnya adalah tidak tamat SD (96,8 %) dan kemampuan baca tulis hanya mencapai 52,8 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa kepala rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan tidak ada yang menamatkan pendidikan menengah (SMP ke atas), sehingga kemampuan dan kapasitas kepala rumah tangga perempuan jauh lebih rendah dibanding dengan kepala rumah tangga laki-laki.

Selain itu, kepala rumah tangga perempuan yang berumur di atas 55 tahun adalah 62 kepala rumah tangga (dari 123 KRT) atau sekitar 50,41 persen, dan yang mengalami sakit sehingga tidak dapat bekerja lagi adalah 26,02 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kepala rumah tangga perempuan yang tidak produktif kalau dilihat dari tingkat umur dan sakit adalah tinggi, sehingga menyebabkan mereka hidup dalam kemiskinan kronik. Di sisi lain, keterbatasan perempuan dalam pengambilan kebijakan merupakan salah satu faktor penyebab rentannya terhadap kemiskinan. Dari dokumen perencanaan desa lokus penelitian ditemukan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan (musrenbangdes) pada tiga wilayah (pesisir, dataran rendah dan pegunungan)

rata-130 rata di bawah 5 persen. Selain itu, jenis pekerjaan yang digeluti oleh kepala rumah tangga perempuan lebih banyak pada sektor non formal sehingga secara finansial sangat terbatas dan kurang stabil.

Kondisi ini juga menyebabkan posisi tawar perempuan dalam pengambilan keputusan dalam lingkungan masyarakat yang terbatas. Kenyataan ini turut mempersempit sumber-sumber keuangan bagi kaum perempuan, sehingga posisi mereka secara finansial kurang stabil apabila dibandingkan dengan kaum pria. Implikasinya bahwa, kepala keluarga perempuan adalah kemampuan untuk mendapatkan pendapatan (income) dalam keluarga adalah relatif rendah, karena keterbatasan jenis pekerjaan yang sesuai dengan perempuan. Di samping itu, mobilitas untuk mendapatkan pekerjaan relatif sulit, baik di daerah perdesaan maupun di daerah perkotaan (Makmun, 2003).

Beberapa kajian yang relevan seperti Amiruddin dan Purnama (2005), menyebutkan bahwa sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak hanya secara ekonomi mereka terkebelakang akan tetapi juga dalam hal keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan, dan partisipasi merekapun kurang diberi tempat, baik dalam pengambilan keputusan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Hal ini relevan dengan Bank Dunia (2006), yang menyatakan bahwa secara umum peran wanita sebagai kepala rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya biasanya akan mengalami banyak kendala dibanding dengan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Hal ini berkaitan dengan kodrat wanita yang harus berperan ganda di dalam rumah tangga sebagai pencari nafkah dan ibu yang harus melahirkan, merawat dan membesarkan anak-anaknya. Cherchye et al. (2008) menyebutkan bahwa perempuan yang menjadi janda yang diakibatkan oleh suami meninggal dan menjadi kepala rumah tangga tidak mampu memenuhi dan menyeimbangkan pengeluaran keluarganya dibanding dengan laki-laki.

Selain itu, sumber dari permasalahan lainnya yang dihadapi oleh perempuan sebagaimana disampaikan oleh Muhajir (2005), terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti tercermin dalam

131 kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi sumberdaya yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminatif, marjinalisasi, eksploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.

Sedangkan Todaro dan Smith (2006), menyebutkan bahwa kelemahan-kelemahan perempuan, biasa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti (i) rendahnya kesempatan dan kapasitas mereka dalam memiliki pendapatan sendiri; (ii) terbatasnya kesempatan untuk menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor formal, dan berbagai tunjangan sosial; dan (iii) terbatasnya akses ke program-program penciptaan lapangan kerja oleh pemerintah (bias gender policy).

Di sisi lain, hasil temuan ini mengisyaratkan bahwa keterbatasan perempuan dalam segala aspek tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena bisa berdampak pada generasi yang akan datang, maka perlu dilakukan pemberdayaan perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam aktivitas sosial, politik dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan beberapa ekonom yang menyatakan bahwa, ketika pemberdayaan perempuan dapat ditingkatkan dalam aktivitas ekonomi, maka pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara optimal (Yunus, 2007). Demikian halnya dengan Hayami (2001), yang menyebutkan bahwa kontribusi perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga sangat tinggi, sehingga peran perempuan dalam pengambilan kebijakan, aktivitas non pertanian dan perdagangan perlu ditingkatkan. Salah satu cara untuk meningkatkan peran perempuan dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi keluarga adalah peningkatan kualitas pendidikan perempuan dan peningkatan partisipasi dalam proses pembangunan dan pengambilan kebijakan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa tingkat pengembalian (rate of return) dari pendidikan perempuan lebih tinggi daripada tingkat pengembalian pendidikan laki-laki. Peningkatan pendidikan kaum perempuan tidak hanya menaikkan produktivitasnya, tetapi meningkatkan partisipasi tenaga kerja,

132 fertilitas yang lebih rendah, dan perbaikan kesehatan serta gizi anak-anak. Kesehatan dan gizi anak-anak yang lebih baik serta ibu yang lebih terdidik akan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap kualitas anak bangsa pada generasi yang akan datang. Bahkan diyakini bahwa perbaikan yang signifikan dalam peran dan status perempuan melalui pendidikan dapat mempunyai dampak penting dalam memutuskan lingkaran setan kemiskinan.

Dari hasil pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, usia lanjut, dan rendahnya partisipasi dalam proses pembangunan diindikasikan sebagai penyebab utama tingginya kerentanan atau peluang rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan untuk menjadi miskin. Di samping itu, budaya patriarki, diskriminasi dalam kepemilikan asset dan kurangnya desain program yang pro jender, serta kurangnya kesempatan yang dimiliki untuk terlibat dalam pengambilan keputusan menjadi penyebab lain rentannya perempuan untuk menjadi miskin dibanding dengan laki-laki.