• Tidak ada hasil yang ditemukan

Searle dalam bukunya Act: An Essay in the Philoshopy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur (dlm Rohmadi 2004: 30) yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak tutur perlokusi

(perlocutionary act). Hal ini senada dengan pendapat Austin yang juga membagi jenis tindak tutur menjadi lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Berikut pembahasan ketiganya.

1. Tindak Lokusi

Tidak tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu; tindak

mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu di dalam kamus dan makna kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya (Gunarwan dalam Rustono, 1999: 37). Fokus lokusi adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu. Rahardi (2003: 71) mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Lokusi dapat dikatakan sebagai the act of saying something. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan (Rohmadi, 2004: 30).

Contoh tindak tutur lokusi adalah ketika seseorang berkata “badan saya lelah sekali”. Penutur tuturan ini tidak merujuk kepada maksud tertentu kepada mitra tutur. Tuturan ini bermakna bahwa si penutur sedang dalam keadaan lelah yang teramat sangat, tanpa bermaksud meminta untuk diperhatikan dengan cara misalnya dipijit oleh si mitra tutur. Penutur hanya mengungkapkan keadaannya yang tengah dialami saat itu. Contoh lain misalnya kalimat “Sandy bermain gitar”. Kalimat ini dituturkan semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu apalagi untuk memengaruhi lawan tuturnya.

2. Tindak Ilokusi

Bila tata bahasa menganggap bahwa kesatuan-kesatuan statis yang abstrak seperti kalimat-kalimat dalam sintaksis dan proposisi-proposisi dalam semantik, maka pragmatik menganggap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dan waktu tertentu. Pragmatik menganggap bahasa dalam tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa. Singkatnya, ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan: suatu tindak ujar (Tarigan, 1986: 36). Menurut pendapat Austin (Rustono, 1999: 37) ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan tindak ilokusi adalah “untuk apa ujaran itu dilakukan” dan sudah bukan lagi dalam tataran “apa makna tuturan itu?”. Rohmadi (2004: 31) mengungkapkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan

dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh tindak tutur ilokusi adalah “udara panas”. Tuturan ini mengandung maksud bahwa si penutur meminta agar pintu atau jendela segera dibuka, atau meminta kepada mitra tutur untuk menghidupkan kipas angin. Jadi jelas bahwa tuturan itu mengandung maksud tertentu yang ditujukan kepada mitra tutur. Contoh lain, kalimat “Suseno sedang sakit”. Jika kalimat ini dituturkan kepada mitra tutur yang sedang menyalakan televisi dengan volume yang sangat tinggi,

berarti tuturan ini tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi, tetapi juga menyuruh agar mengecilkan volume atau bahkan mematikan televisi.

3. Tindak Tutur Perlokusi

Tuturan yang diucapkan penutur sering memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (1962: 101) dinamakan perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara segaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujaran dimaksudkan untuk memengaruhi mitra tutur inilah merupakan tindak perlokusi.

Ada beberapa verba yang dapat menandai tindak perlokusi. Beberapa verba itu antara lain membujuk, menipu, mendorong, membuat jengkel, menakut-nakuti, menyenangkan, mempermalukan, menarik perhatian, dan lain sebagainya (Leech, 1983). Contoh tuturan yang merupakan tindak perlokusi: “ada hantu!”

“sikat saja!” “dia selamat, Bu.”

Tiga kalimat tersebut masing-masing memiliki daya pengaruh yaitu menakut-nakuti, mendorong, dan melegakan (Rustono, 1999).

Sehubungan dengan pengertian tindak tutur di atas, tindak tutur digolongkan menjadi lima jenis oleh Searle (Rohmadi, 2004:32; Rustono, 1999: 39). Kelima jenis itu adalah tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Berikut penjelasan kelimanya.

1) Representatif

Representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis tuturan ini adalah: “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab berisi informasi yang penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain adalah: “Tim sepak bola andalanku menang telak”, “Bapak gubernur meresmikan gedung baru ini”.

2) Direktif

Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki tugas ini”. Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.

3) Ekspresif

Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik. Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain adalah “Pertanyaanmu bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok kita didiskualifikasi dari kompetisi ini” (menyalahkan), “Selamat ya, Bu, anak Anda perempuan” (mengucapkan selamat).

4) Komisif

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh tuturan yang lain adalah “Besok saya akan datang ke pameran lukisan Anda”, “Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat ke Solo”.

Tindak tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya utuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.

a) “Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan) b) “Bapak memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)

c) “Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. London: Oxford University Press. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.

Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media. Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Speech Act Theory (teori tindak tutur)

Dalam halaman ini penulis akan mencoba menelaah sejumlah konsep dan teori tentang tindak tutur (speech act) dalam sebuah percakapan (utterance) menurut beberapa ahli bahasa. Yang mana dalam studi sosiolinguistik seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis, yang berarti bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran bahasa, seperti: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon.

Bahasa juga merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Sebagai alat komunikasi yang paling utama, bahasa mampu mengungkapkan beberapa informasi tentang perasaan, pikiran, gagasan, maksud dan emosi secara langsung. Sehingga bahasa mampu mengungkapkan suatu makna bahkan bisa berarti melakukan sebuah tindakan, tindakan itu kemudian dikenal dengan sebutan tindak tutur (speech act). Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J. O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word? tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language.

Sebagaimana dijelaskan oleh Austin bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara kalimat pernyataan (constative) yang mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan di dunia. Sedangkan kalimat perlakuan (performative) tidak

‘mendeskripsikan’ atau ‘melaporkan’ atau ‘menyatakan’ apapun. Kemudian pengujaran kalimat merupakan bagian dari tindakan yang biasanya tidak dideskripsikan sebagai tindakan untuk melakukan sesuatu. (1965:5)

Louise Cummings (2005:6) mendeskripsikan tentang pembedaan ujaran konstatif dan performatif di atas dengan menggunakan contoh kalimat:

(1) She promised to do her homework (2) I promise to be home early

Kalimat (1) menunjukan ujaran konstatif, karena ujaran tersebut merupakan laporan tentang suatu peristiwa yang telah terjadi dan jika dia melakukan pekerjaan itu, maka ujaran ini termasuk ujaran konstatif yang benar. Contoh kalimat (2) menunjukan ujaran performatif, karena pengujaran yang sebenarnya merupakan tindakan berjanji. Dalam pengujaran itu, ujaran performatif ini tidak benar atau salah.

Pembedaan antara ujaran konstatif dan performatif yang dikemukakan oleh Austin kemudian diganti oleh pengklasifikasian rangkap tiga dalam beberapa tindakan. Yakni dalam bertutur, seseorang melakukan tindak lokusi, tindak ilokusi dan bahkan tindak perlokusi. Lebih detailnya Austin dalam Levinson (1983:236) menjelaskan tentang tiga konsepsi dari tindakan secara langsung ditunjukkan sebagai berikut:

(i) Locutionary act: the utterance of a sentence with determinate sense and reference

(ii) Illocutionary act: the making of a statement, offer, promise, etc. in uttering a sentence, by virtue of the conventional ‘force’ associated with it (or with its explicit performative paraphrase)

(iii) Perlocutionary act: the bringing about of effects on the audience by means of uttering the

sentences, such effects on the audience by means of uttering the sentence, such effects being special to the circumstances of utterance.

Dalam (i) tindak lukosi semata-mata adalah tindakan berbicara atau bertindak tutur, yaitu tindakan mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu sendiri (secara harfiah) dan makna sintaksis kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya. (ii) tindak ilokusioner merupakan tindakan melakukan sesuatu. Di sini kita berbicara tentang maksud, fungsi, atau daya ujaran yang bersangkutan, dan bertanya “Untuk apa ujaran itu dilakukan?” (iii) tindak perlokusioner mengacu pada efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Seperti efek bagi pendengar oleh makna ujaran kalimat, kemudian menjadi lebih khusus dalam mengungkapkan keadaan.

Klasifikasi untuk membedakan tindak tutur secara umum dibagi ke dalam dua bagian, yakni

penggolongan berdasarkan fungsi dan penggolongan berdasarkan konteks situasinya. (Searle, 1986). Berdasarkan fungsinya

Tindak tutur deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal atau mengubah keadaan lewat ujaran. Penutur memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ujaran tertentu dalam konteks yang sesuai. Contoh dalam proses pengumuman, perkawinan, penjatuhan vonis, dan lain sebagainya.

Tindak tutur Representatif, tindak tutur ini sering juga disebut atau bersifat asertif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran (yakin) atas apa yang diujarkannya. Yang termasuk ke dalam tindak tutur ini biasanya pernyataan fakta, kesimpulan dan deskripsi mengenai suatu hal.

Tindak tutur ekspresif, tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur ini merupakan pengungkapan perasaan (ekspresi) apa yang dirasakan penutur baik berupa pernyataan psikologis, permintaan maaf dan ungkapan terimakasih.

Tindak tutur direktif/impositif, merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan tersebut yang diinginkan oleh sipenutur seperti melakukan perintah, permintaan, atau saran yang bersifat negatif maupun positif.

Tindak tutur komisif, merupakan tindak tutur yang menerangkan komitmen seorang penutur untuk melakukan sesuatu hal yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Contoh penutur akan melakukan sebuah perjanjian, penolakan, perundingan, dan lain sebagainya.

Berdasarkan Konteks Situasinya

Tindak tutur menurut konteks dan situasinya tebagi ke dalam dua jenis yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang langsung diucapkan penutur sesuai dengan isi dan tujuan ujarannya. Tindak tutur tidak langsung dilakukan penutur saat

dirinya tidak mengeluarkan ujaran yang secara eksplisit mencerminkan apa tujuannya seperti memerintah sesuatu (kalimat imperatif) tetapi menggunakan kalimat introgatif.

References

Austin, J. L. 1965. How to do Things with Word. Oxford: Oxford University Press.

Cummings, Louise. 2005. Pragmatics: A multidisciplinary Perspective. New Jersey: Edinburgh University Press.

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, John R. 1986. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.

Diposkan oleh youth and success di 07.20 Jumat, 03 Mei 2013

Tindak Tutur

Tindak Tutur

J.L. Austin dan J.R. Searly

oleh Diana Mayasari_12706251068 Pengantar

Ada seorang ibu yang berkata pada anaknya, “Penuh sekali rumahnya.... .” kalimat tersebut bisa memiliki maksud kalau rumah dalam keadaan tidak teratur penuh dengan barang yang berceran dimana-mana, atau bisa juga berarti menyatakan perintah kepada anaknya untuk merapikan barang-barang yang berantakan, atau menyatakan bahwa rumah sedang banyak penghuninya. Dalam hal ini pengetahuan tentang tindak tutur penting untuk mengungkap maksud dari tuturan ibu tersebut. Sosiolinguistik mengulas bagian tersebut dalam kajian tindak tutur. Beberapa tokoh terkemuka terkait teori tindak tutur, seperti J.L. Austin, J.R. dan Searle, G.N. Leech. Ulasan ini akan membahas teori tindak tutur dari Austin dan Searle.

Sekilas tentang Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan bagin kecil dari peristiwa tutur guna mencapai tujuan tuturan. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti teori kesantunan berbahasa (politness

theory) dan teori praanggapan. Peristiwa tutur dan tindak tutur merupakan dua gejala yang terdapat dalam satu proses, yakni proses komunikasi. Austin (1962) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pernyataan tersebut kemudian mendasari lahirnya teori tindak tutur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu kesatuan fungsional dalam komunikasi dengan mempertimbangkan aspek situasi tutur dan berada dalam peristiwa tutur (Chaer dan Agustina, 2010: 50).

Tindak Tutur Versi Austin

Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan faka atau ‘state of affairs', yang harus dilakukan secara benar atau secara salah. Padahal, menurut Austin, banyak kalimat deklaratif yang tidak mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun, sehingga tidak bisa dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut adalah (bagian dari) kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya resmikan masjid… .” yang diucapkan oleh ketua takmir masjid di sebuah acara peresmian merupakan “the doing of some action”, dalam hal ini, merupakan tindakan ketua takmir masjid dalam meresmikan bangunan masjid yang telah dibangun bukan sekedar perkataan belaka atau “saying something” (Malmkjer, 2006: 560).

Sumbangan terbesar Austin dalam teori tindak tutur adalah pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi.. Austin (1962), mengemukakan mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadin karena kebanyakn ujaran merupakan tindak tutur yang mempunyai daya-daya. Daya-daya tersebut terangkum dalam tiga tindakan secara bersamaan, yaitu (a) tindak lokusi (locutionary acts), tindak ilokusi (illocutionary acts) dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Daya lokusi suatu ujaran adalah makna dasar dan rerefensi oleh ujaran itu, daya ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh penggunaanya sebagai perintah, ejekan, keluhan, janji, pujian dan

sebagainya. Jadi daya ilokusi merupakan fungsi tindak tutur yang inheren dalam tutur. Sedangkan daya perlokusi adalah efek ujaran terhadap pendengarnya, baik nyata maupun yangdiharapkan. Hal yang disebutkan terakhir ini, menurut Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan manusia. Kendati demikian, ketiga tindak tutur tersebut merupakan satu kesatuan yang koheren di dalam keseluruhan proses tindak pengungkapan bahasa sehingga seharusnya mencerminkan prinsip adanya satu kata dan tindakan atau perbuatan (Sumarsono dan Partana, 2004: 323).

Berikutpenjelasan lebih rinci mengenai lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Malmkjer, 2006)

1. Tindak lokusi, melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu. Tindakan lokusi mengandung makna literal. Contoh ‘Saya kedinginan, seseorang mengartikan ‘Saya’ sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan ‘kedinginan ‘mengacu pada ‘kondisi tubuh yang dingian dan perlu kehangatan’, tanpa bermaksud untuk meminta kehangatan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna yang sesungguhnya. Dalam tindak lokusi, Austin membagi tiga subjenis, yaitu:

b. Tindak fatik (phatic) yaitu adanya phemes, bunyi-bunyi tersebut memiliki kosakata dan mengikuti aturan tata bahasa tertentu (phemes).

c. Tindak retik (rhetic), yaitu adanya makna dan referensi (rhemes)

Semua tindak tersebut dilakukan pada saat melakukan tindak lokusi. Malmkjer (2006) menyatakan bahwa setiap penutur melakukan tindak lokusi, dia juga melakukan tindak ilokusi, misalnya menyatakan, memerintah, memuji dan sebagainya.

2. Tindak ilokusi, melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Pada tindak tutur ilokusi, penutur menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur bertindak sesuai dengan apa yang dituturkanya. Tindakan ini mengandung makna yang berhubungan dengan fungsi sosial. Contoh “ saya kedinginan.” Kalimat bila dituturkanpada ruang ber AC maka selain memberitahu kondisi tubuh yang dingin juga berisi tindakan agar AC nya suhunya diturunkan. Dengan adanya tuturan tersebut mitra tuturakan menjawab “ sebentar AC nya akan saya kecilkan.

Austin membagi tindak ilokusi kedalam lima subjenis sebagai berikut.

a. verdiktif (verdictives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah.

b. Eksersitif (exercitives), tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh c. Komisif (commissives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu.

d. Behavitif (behavitives), tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial atau rasa simpati e. Ekspositif (expositives), tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi, misalnya “bail out” itu ibarat seseorang yang utang-nya kepada seseorang dibayari oleh orang lain yang tidak dikenalrnya.”

3. Tindak perlokusi (Perlocutionary act), melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi menghasilkan efek atau hasil. yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya.

Tindak Tutur Versi Searle

Jhon R Searle (1983) dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of language

mengungkapkan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat tiga macam tindak tutur (Rahardi, 2005: 35-36) sebagai berikut.

1. Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying

something.Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penutur. Jadi, tuturan “kakiku pincang” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu kaki penutur sedang dalam keadaan pincang (Rahardi, 2005:35-36). Malmkjer

(2005)mengemukakan bahwa Austin membagi tiga tindak tutur sedangkan Searle membaginya menjadi empat tindak tutur. Tindak lokusioner khususnya Austin membaginya menjadi tiga, sedangkan Searle membaginya menjadi dua sebagai berikut.

a. Tindak ujar (utterance act), yaitu mengujarkan kata (morfem kalimat). Tindak tutur ini mencakup dua tindak tutur lokusi dari Austin.

b. Tindak preposisi (prepositional act), yaitu merujuk dan memprediksi. Tindak ini merupakan tindak lokusi ketiga pada Austin. Tindak tutur jenis inilah yang kemudian akan diekspresikan melalui tindak ilokusi dan perlokusi.

2. Tindak Ilokusioner

Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula.Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “kakiku pincang” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat

Dokumen terkait