• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yelena sampai apartemen ketika salju kembali turun. Udara di luar apartemen perlahan-lahan bertambah dingin. Angin berhembus perlahan dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Yelena langsung masuk kamarnya dan mandi dengan air hangat. Ia merasa sangat lelah. Dari jam dua si- ang sampai jam tujuh petang ia harus melayani tiga klien dengan profesional. Ia kembali merasa dirinya bukan lagi seorang manusia. Setan seakan telah menjamah seluruh tubuhnya, dan kini ia merasa dirinya tak ubahnya adalah setan.

Entah mengapa, dengan mandi, sentuhan air dari ujung rambut sampai ujung kakinya seolah menjadikannya lebih bersih. Seolah bekas-bekas sentuhan setan di sekujur tubuhnya hanyut ter- bawa air. Ia lebih segar, pikirannya lebih terang dan perasaannya sebagai manusia sedikit tumbuh. Dari mantan suaminyalah ia mendapat penget- ahuan mandi untuk menyucikan tubuh dan batin. Meskipun ia tidak percaya kepada Tuhan dan

kepada jenis agama apa pun, tapi ia percaya bah- wa mandi bisa menyegarkan pikiran dan meremajakan otot dan syaraf-syaraf tubuhnya. Dan setelah mandi ia merasa jiwanya sedikit le- bih tenang, perasaannya lebih nyaman. Ia telah membuktikannya. Menurutnya kenyataan itu tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama seperti yang pernah diutarakan suaminya padan- ya, tapi itu adalah satu kenyataan ilmiah. Secara ilmiah air yang bersih dan jernih itu menyehatkan.

Tubuh manusia sangat memerlukan air. Baik untuk minum atau pun untuk membersihkan kulitnya dari berjenis-jenis kotoran yang halus dan rumit. Tak perlu ajaran Tuhan, ilmu penget- ahuan yang menjelaskan semuanya. Begitulah cara berpikir perempuan muda Rusia bernama Yelena ini.

Selesai mandi ia memakai pakaian yang hanya pantas dipakainya di dalam kamarnya saja. Han- ya aurat terpentingnya yang benar-benar tertutup. Ia dan Linor biasa berpakaian seperti itu, apalagi

di musim semi dan musim panas. Mereka berdua dan kebanyakan gadis Rusia memakai pakaian yang rapat menutup seluruh tubuh hanya ketika musim dingin tiba, itu pun ketika keluar dari tem- pat tinggalnya. Ketika di dalam rumah yang se- luruh ruangannya hangat oleh pemanas ruangan, sebagian mereka tetap lebih suka membiarkan bagian-bagian tubuhnya terbuka.

Di puncak musim dingin seperti malam itu, bi- asanya Yelena tetap lebih suka memakai swieter tipis dan celana panjang jika ada di dalam aparte- men. Tetapi malam itu ia memilih memakai pakaian yang membiarkan sebagian besar kulit- nya terbuka. Jika Ayyas pulang, ia ingin ngobrol dengan pemuda dari Indonesia itu, dan ia ingin memamerkan keindahan kulitnya kepada Ayyas lalu mendengar komentarnya, lebih tepatnya ia ingin mendengar pujian darinya.

Yelena duduk lalu rebahan di atas sofa pan- jang, kedua matanya terpaku pada layar kaca televisi. Sesekali tangan kanannya meraih gelas di atas meja berisi vodka martini. Ia melihat jam

dinding, sudah hampir jam sembilan. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa khawatir menelusup ke dalam hatinya, "Jangan-jangan dia tersesat, tidak bisa pulang. Informasi jalur metro tertulis dalam huruf Cyrilic, bukan latin. Jangan-jangan dia tidak bisa membaca huruf itu dan tersesat di bawah tanah tidak bisa keluar di stasiun Smolenskaya. Kasihan anak itu, dia masih baru di sini." Katanya dalam hati.

Yelena bangkit ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Ia mencoba menelpon Ayyas, tapi tidak bisa tersambung. Rasa khawatirnya se- makin kuat. "Atau jangan-jangan ia bertemu kelompok rasialis yang ekstrim, yang tidak menyukai bangsa ber-ras non Rusia. Ia bisa celaka kalau ketemu kelompok itu." Gumamnya dalam hati. Yelena kembali duduk di sofa. Tiba- tiba bel berbunyi. Yelena terkesiap bahagia. "Ini dia yang datang." Pekiknya lirih penuh harap. Terdengar suara pintu terbuka. Ada orang masuk. Dari pintu foyer yang terbuat dari kaca ia bisa

melihat siapa yang datang. Ia sedikit kecewa, ternyata bukan Ayyas, tapi Linor.

"Wah di luar dingin banget. Sudah kembali normal musim dinginnya. Sekitar minus lima be- las derajat mungkin, sudah tidak hangat lagi sep- erti tadi pagi." Kata Linor sambil meletakkan tas berisi biolanya. Gadis itu langsung menuju dapur dan menuangkan vodka ke dalam gelas. Ia lalu duduk di samping Yelena.

"Begitu cepat suhu udara naik turun. Tadi pagi tujuh derajat, malam ini sudah lima belas dera- jat." Sahut Yelena.

"Efek pemanasan global. O ya Yelena si Muslim Brengsek dari Indonesia itu ada di kamarnya?" Tanya Linor.

"Jangan menyebut dia begitu. Kalau terdengar dia tidak enak. Dia mengerti bahasa Rusia. Dan dia tidak brengsek. Dia belum pulang. Tadi dia ke MGU, aku menemaninya." Jawab Yelena.

"Wow, jadi kamu mulai jalan bareng sama or- ang itu? Mulai tertarik pada manusia purba ya?" Tukas Linor dengan nada merendahkan.

"Kau terlalu mengada-ada Linor. Aku hanya berusaha menolongnya. Kasihan dia masih belum tahu apa-apa tentang Moskwa ini."

"Kalau boleh memberi saran, sebaiknya kau jauhi si Brengsek itu. Kau harus ingat masa lalumu. Orang Islam itu di mana-mana kerjanya membuat onar, sangat berbahaya. Mereka seperti tidak punya otak dan belas kasihan. Bahasa mereka bahasa kanibal. Mereka lebih kejam dari tentara Tartar yang membantai umat manusia be- berapa abad yang lalu." Linor berkata serius ke- pada Yelena sambil sesekali meneguk vodkanya.

Yelena mengambil nafas panjang dan men- jawab, "Tapi dia baik. Aku yakin dia baik." Yelena tidak ingin mendebat Linor. Ia tahu persis

sebesar apa ketidaksukaan Linor kepada orang Islam. Dalam beberapa artikelnya di koran, gadis itu sampai membuat kesimpulan orang-orang Islam tidak layak hidup di atas muka bumi. Men- urut Linor, adanya orang Islam hanya membuat kehidupan di atas bumi ini tidak nyaman dan tidak. aman. Maka Yelena hanya menjawab singkat dan samasekali tidak mendebat Linor. Meskipun ia tidak percaya pada agama, tapi men- urutnya manusia di mana-mana sama. Tidak pan- dang ras, warna kulit dan agamanya. Di mana- mana manusia itu sama, ada yang baik dan ada yang tidak baik.

"Terserah kamu. Yang penting aku sudah mengingatkanmu. Dan aku tidak akan diam be- gitu saja jika si Brengsek itu macam-macam di sini!" Tukas Linor.

"O ya, bagaimana rencana konsermu?" Yelena mengalihkan pembicaraan.

"Semakin matang." "Baguslah."

"Baik. Aku masuk kamar dulu. Istirahat."

"Spakoinoi Nochi, (Selamat malam atau selamat tidur) Linor." Sahut Yelena. Linor men- jawab dengan senyum mengembang kepada Yelena lalu masuk dan menutup pintu kamarnya.

Mata Yelena kembali menatap layar kaca yang menyiarkan terjadinya badai salju yang ekstrim di daerah Vyatka. Beberapa pohon tumbang dan ada rumah yang rusak parah. Listrik sempat mati selama empat jam. Tetapi pemerintah kota Vy- atka terlihat sangat tanggap sehingga listrik mati tidak terlalu lama. Jika listrik mati lama, maka bisa dipastikan sebagian penduduk Vyatka akan sangat menderita kedinginan, karena alat peman- as ruangannya tidak bisa menyala. Dan tidak semua rumah siap untuk menyalakan tungku pemanas.

Bel berbunyi lagi. Yelena yakin kali ini pasti Ayyas. Tak lama kemudian pintu terbuka. Dan benar, Ayyas. Ayyas nampak menggigil kedin- ginan. Pemuda bertubuh agak kurus itu melepas sepatunya lalu masuk ke ruang tamu. Ia kaget bukan main ketika melihat Yelena duduk di

ruang tamu dengan pakaian yang tidak genap menutup aurat. Ia langsung menundukkan pan- dangannya. Ia merasa bahwa ruangan itu penuh sesak oleh setan bertepuk tangan menyambutnya.

"Hei, baru pulang, sukses urusannya?" Tanya Yelena sambil tersenyum.

Tanpa melihat Yelena dan dengan tetap ber- jalan menuju kamarnya Ayyas menjawab, "Ya sukses. Spakoinoi Nochi, Yelena!"

Yelena bangkit dan berkata, "Hei tunggu, du- duklah sini sebentar. Hangatkan tubuhmu dengan Vodka ini. Temani aku berbincang-bincang sebentar."

"Maaf Yelena, aku sangat letih, aku harus istirahat."

"Duduklah, lima belas menit saja."

"Maaf Yelena, aku tidak bisa. Sebaiknya kau istirahat saja." Kata Ayyas dengan tetap menahan untuk tidak memandang ke arah Yelena. Ia sebenarnya ingin sedikit mengarahkan mukanya ke wajah Yelena untuk menghormati lawan bi- caranya. Tapi ia tidak berani, karena takut imannya goyang. Begitu selesai mengucapkan kata-katanya Ayyas langsung masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.

"Dasar brengsek!" Umpat Yelena. Ia sangat kecewa pada Ayyas. Sebenarnya ia hanya ingin ditemani ngobrol, dan berbincang tentang banyak

hal. Ya, banyak hal yang lebih manusiawi. Hal- hal yang berbeda dengan rutinitas yang dilaluinya bersama teman-temannya di daerah Tverskaya yang membuat batinnya merintih dan membuat dirinya terasa hampa. Yelena mematikan televisi dan masuk kamar dengan membanting pintunya agak keras.

Ayyas mendengar bunyi pintu yang dibanting itu. Ia yakin itu Yelena yang kesal padanya. Ayy- as tidak mengabaikannya. Ia tidak mau ditert- awakan oleh setan yang menginginkan manusia selalu berbuat maksiat dan menuruti hawa naf- sunya. Ia pemuda yang sehat dan normal. Ia bisa meraba kekuatan imannya sendiri. Iman yang ada dalam dirinya ia rasa belum kuat menghadapi godaan kecantikan perempuan Rusia yang hidup tanpa aturan agama dan moral seperti Yelena. Karena itu ia harus menyelamatkan dirinya dengan segera masuk kamar dan mengunci pintunya kuat-kuat.

Ayyas langsung mandi dengan air hangat. Mengambil wudhu, lalu shalat. Setelah shalat ia

membaca Al-Quran satu halaman. Lalu mere- bahkan dirinya untuk tidur. Ia benar-benar lelah. Ia melakukan perjalanan satu hari penuh. Dari universitas, KBRI, ke masjid Basoi Tatarski yang tidak jauh dari KBRI, setelah itu ke rumah Atase Perdagangan, PakAkmal Hidayat, SE. MBA. yang ia kenal di KBRI. Sekali kenal langsung akrab, karena Pak Akmal ternyata orang Piyun- gan Yogyakarta bertetangga dengan Budenya yang asli Piyungan. Sebenarnya sampai di KBRI ia sudah sangat kedinginan, beruntung Pak Ak- mal meminjaminya mantel palto tebal. Pak Ak- mal punya tiga palto di kantornya. Ayyas sangat bahagia, Pak Akmal yang sudah satu tahun di Moskwa kelihatannya sangat religius dan siap membantu dirinya selama melakukan penelitian di Moskwa.

Ayyas sudah memejamkan kedua matanya. Ia ingin segera lelap. Tetapi bayangan Yelena dengan segala keindahan tubuhnya, yang baru saja dilihatnya meskipun sekejap, seolah hadir di pelupuk matanya. Bayangan wajah cantik

Anastasia Palazzo juga menari-nari di pelupuk matanya. Darah mudanya menghangat: Ayyas berusaha menepis bayangan itu tetapi tidak mudah. Bayangan itu seperti telah tersimpan dan menempel erat di salah satu sudut hatinya. Sep- erti virus di komputer yang tidak mudah dihil- angkan. Ayyas merasa ujian keimanan ini terasa lebih berat dari musim dingin yang paling meng- gigit sekalipun.

Rasa dingin yang menggigil itu bisa hilang be- gitu saja ketika ia masuk di kamarnya yang hangat oleh pemanas. Tetapi virus moleknya Yelena dan cantiknya Anastasia tidak mudah di- hilangkan. Meskipun ia telah shalat dan membaca Al-Quran,

virus itu tidak juga xex-delete sempurna, masih tersisa, hanya bisa dijinakkan. Ayyas membaca istighfar berulang kali. Lebih dari tujuh puluh kali. Dalam istighfar ia teringat pes- an Kiai Lukman Hakim, saat ngaji di Pesantren Kajoran Magelang dulu,

"Eling-elingo yo Ngger, endahe wanojo iku sing dadi jalaran batok toponingporo santri lan sat'rio agung!” Lalu kiai Lukman menguraikan hadis tentang ujian terbesar bagi kaum lelaki ber- iman adalah pesona perempuan.

Ayyas terus berzikir dan beristighfar sampai tertidur. Dalam tidurnya yang pulas, Ayyas ber- mimpi ada dua ekor ular masuk ke dalam kamarnya dan memburunya. Ia mati-matian menghindari patukan dua ular itu. Ia mencari-cari alat untuk bisa membinasakan kedua ular itu tapi tidak ketemu. Akhirnya dengan kehati-hatiannya ia bisa lolos dari sergapan kedua ular itu. Ia kemudian lari ke jalan, dan di jalan juga ia temukan banyak ular. Ia lari menghindari ular- ular itu, hampir ada yang bisa mematuk, tapi ia

bisa melompat. Ia kelelahan, ular-ular itu terus memburu. Ia kehabisan nafas dan kakinya sudah tidak mampu ia gerakkan, ular-ular itu semakin dekat. Ia kehabisan cara untuk menyelamatkan diri. Ketika ular-ular itu hendak mematuk dirinya ia berteriak keras, "Allaahu akbari" Dan seketika ia terbangun dari tidurnya. Ayyas bangun dengan nafas tersengal-sengal. Mimpi itu seolah-olah nyata. Sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin. "Mimpi yang tidak menyenangkan," lirih Ayy- as. Seketika ia teringat ajaran Rasulullah Saw. ketika seseorang bermimpi tidak baik. Ayyas me- ludah ke kiri tiga kali dan membaca isti'adzah, memohon perlindungan Allah dari gangguan setan yang terkutuk. Ayyas lalu bangkit dari tem- pat tidurnya dan melihat jam dinding. Pukul setengah tiga dini hari. Ia bangkit mengambil wudhu lalu shalat Tahajud. Setelah berdoa untuk dirinya, kedua orangtuanya, dan untuk kebaikan umat manusia, Ayyas kembali merebahkan tu- buhnya. Ia memasang alarm di ponselnya.

Ia harus benar-benar detil mempersiapkan segala hal yang membuatnya tidak meninggalkan kewajibannya shalat lima waktu. Jika selama kuliah di Madinah dulu azan berkumandang se- tiap kali masuk waktu shalat, tanpa memasang alarm pun ia bisa terjaga dan sadar untuk shalat. Tetapi di Moskwa tidak ada azan seperti Madi- nah, dia sendiri yang harus berjuang bisa mendi- rikan shalat tepat pada waktunya.

Ia merasa harus semakin merapat kepada Al- lah. Tak ada yang benar-benar mampu menyelamatkan imannya kecuali Allah. Moskwa bukan Madinah. Jika di Madinah aroma kesucian orang-orang saleh begitu terasa, di Moskwa yang ia rasakan adalah aroma perempuan cantik Rusia seperti Yelena dan Anastasia Palazzo yang men- gusik ketenangan jiwa.

***

7. Oh, Puji Untuk-Mu,

Dokumen terkait