• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

C. Jual Beli Hewan Yang Diharamkan sebagai Obat

Manusia hidup di dunia ini tidak lepas dari usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mencukupi kebutuhan hidup yang semakin kompleks, maka dalam pemenuhan kebutuhan hidup ditempuh beberapa cara, termasuk di dalamnya dengan jual beli.

Dalam ayat al-Qur‟an dan Hadis atauran tentang jual beli telah telah dijelaskan baik yang berkaitan dengan subyek, sighat dan obyek dalam jual beli.

Sayyid Sabiq menjelaskan beberapa syarat untuk benda atau barang yang diperjualbelikan (ma‟qūd „alaih) boleh diperjualbelikan. Berikut syarat-syarat benda yang dapat diperjualbelikan:37

1. Kesucian barang

34 Hasbiyallah dan Wildan Insan Fauzi, Fikih, (Bandung: Grafindo Mediatama, 2008), h. 93.

35

Ibid.

36

Magdalena dan Pinardi Hadidjadja, Pengobatan Oenyakit Parasitik, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. x.

37 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa: Abdurrahim dan Masrukin, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h.V:163

2. Kemanfaatan barang

3. Kepemilikan orang yang berakad atas barang tersebut 4. Kemampuan untuk diserahterimakan

5. Pengetahuan tentang barang, dan 6. Telah diterimanya barang yang dijual.

Segala perintah agama ditetapkan untuk kebaikan manusia, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Sebaliknya, semua larangan agama ditetapkan semata-mata untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk mafsadat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Prinsip dasar inilah yang menjadi dasar utama setiap hukum yang ditetapan dalam Islam. Karena itu, segala bentuk kebaikan dan kemaslahatan harus terus diusahakan, sedang semua bentuk mudarat dan mafsadat wajib dihindari.38

Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan, baik kesehatan fisik, jiwa, maupun kesehatan lingkungan. Kesehatan adalah keadaan pada makhluk hidup, guna memfungsikan keseluruhan organ tubuh secara harmonis. Dimana salah satu yang menjadi pokok kandungan dalam syari‟at Islam tentang kesehatan adalah masalah kesehatan makanan (nutrition).

Masalah ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

1. Menu makanan yang berfaedah terhadap kesehatan jasmani,seperti tumbuh- tumbuhan, daging binatang darat, daging binatang laut, segala sesuatu yang diahsilkan dari daging, madu, susu dan semua yang bergizi. 2. Tata makanan. Islam melarang berlebih-lebihan dalam hal makanan,

makan bukan karena lapar hingga kekenyangan, diet ketika sedang sakit, memerintahka berpuasa agar usus dan perut besarnya dapat

beristirahat dan tidak berbuka puasa dengan berlebih-lebihan atau melampaui batas.

3. Mengharamkan segala sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan, seperti bangkai, darah dan daging babi. Pada dasarnya semua yang bermanfaat dan hal-hal yang baik adalah halal, termasuk di dalamnya ialah makanan dan minuman, sedangkan semua yang membahayakan dan yang buruk adalah haram. 39

Hukum asal makanan baik dari hewan, tumbuhan, yang di laut, maupun yang di darat adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Segala sesuatunya (termasuk makanan, minuman, dan berbagai jenis binatang) yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dikonsumsi dan boleh dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.40

Pada dasarnya semua makanan dan minuman baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan adalah halal kecuali yang membahayakan kesehatan manusia. Berdasarkan hal ini, maka kemudian makanan dan minuman digolongkan menjadi dua kategori, yaitu makanan dan minuman yang halal, dan makanan dan minuman yang diharamkan.41

39 Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, ed. pertama, cet. ke-2 (Jakarta: Amzah, 2010), h. 187.

40 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis, ed. pertama, cet. ke-3 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51

Menurut Sulaiman Rasjid, yang menjadi pokok haramnya makanan ada lima, yaitu:

1. Ketetapan Nash, dari Al-Qur‟an dan hadis. 2. Karena disuruh membunuhnya.

3. Karena dilarang membunuhnya. 4. Karena keji (kotor).

5. Karena memberi mudharat.42

Sedangkan asas yang menjadi pijakan Islam dalam melakukan kegiatan muamalat menurut Masfuk Zuhdi adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan kesempitan dan kesukaran 2. Sedikit pembebanan

3. Bertahap dalam menetapkan hukum

4. Sejalan dengan kepentingan atau kemaslahatan manusia, dan 5. Mewujudkan keadilan43

Hak hidup merupakan hak yang paling asasi bagi setiap manusia. Dalam kaitanya dengan konteks muamalat yang berimplikasi pada kehidupan manusia, banyak hal-hal yang sebenarnya dalam syari‟at dilarang justru marak diperjualbelikan dalam masyarakat dengan dalih dalam keadaan darurat, sedangkan kemudharatan harus dihilangkan.44

Seperti dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili bahwa tujuan syari‟at adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan.45

42

Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, cet. ke-33 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), h.469.

43 Masfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari‟at, cet. ke-2 (Jakarta: CV. Haji Masa Agung 1991), h. 22.

44

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis..., h. 67

45 Wahbah az-Zuhaili, al-Wajīz fī Uṣ ūl al-Fiqh (Beirūt: Dār al-Fikr, 1999 H/1419 M), h. 217

Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqāṣid asy-Syarī‟ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankanya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Ahmad al-Nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah di atas meliputi lapangan yang luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi fikih yang ada.46

Pengecualian dari kaidah di atas pada prinsipnya adalah pertama,

apabila menghilangkan kemudharatan mengakibatkan datangnya

kemudharatan yang lain yang sama setingkatnya. Kedua, apabila dalam menghilangkan kemudharatan menimbulkan kemudharatan lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatanya.

Selain itu, dalam menghilangkan kemudharatan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan.47 Seperti menyelamatkan diri dari kematian, terpaksa makan makanan yang haram. Itupun dilakukan hanya sekedar agar tidak mati. Harus diusahakan dahulu jalan lain yang dibolehkan. Kecuali apabila tidak ada jalan alternatif lain, maka itulah satu-satunya jalan.

Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:

46

Aḥ mad al-Nadwī, al-Qowā‟id al-Fiqhiyyah, cet. ke-5 (Beirūt: Dār al_Qalam, 1420H/1998 M), h. 287

47 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Pertama, kondisi darurat itu mengancam jiwa dan atau anggota badan, hal ini berdasarkan ayat quran surat Baqarah: 173, al-Maidah:105, al-An‟am:145, artinya menjaga jiwa (ḥ ifẓ al-nafs). Kedua, keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas. Ketiga, tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.

Darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.

Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain. Ahli fiqih yang lain berpendapat bahwa orang tidak boleh makan, melainkan sekedar dapat mempertahankan sisa hidupnya. Barangkali disinilah jelasnya apa yang dimaksud Gaira bāgin walā 'ādin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.48

Adanya batasan ini seharusnya membuat umat muslim tidak serta merta menggampangkan masalah darurat. Konsep darurat yang dimaksud para ulama juga bukan serta merta dapat dilakukan setiap saat sebagai kebiasaan, melainkan hanya untuk menyelamatkan diri saja.

48 Muhammad Yusuf Qordowi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih Bahasa H. Muammal Hamidy (Surabaya: Bina Ilmu, 2010), h. 63.

BAB III

Dokumen terkait