• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan pada cara khas (yang diperbolehkan), ciri khas ini

4. Macam-Macam Jual Beli

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, yaitu jual beli yang sah menurut syara‟ dan jual beli yang batal menurut syara‟, serta dapat dilihat dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyyudin bahwa jual dibagi menjadi tiga bentuk,

60

yaitu jual beli benda yang kelihatan, jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan jual beli benda yang tidak ada atau jual beli salam (pesanan).61

Sedangkan jual beli berdasarkan pertukarannya atau objek transaksinya secara umum dibagi menjadi empat macam :

a. Jual beli Salam (pesanan)

Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual dengan cara menyerahkan terlebih yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.

b. Jual beli Muqoyadhah (barter)

Jual beli Muqoyadhah adalah jual beli dengan cara menukar dengan barang, seperti menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

c. Jual beli Muthlaq

Jual beli Muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat tukar, seperti uang.

d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar

Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa disepakati sebagai alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.62

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Jika ditinjau dari hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan pelaku jual beli.

61

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h. 67 62

Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk

1. Jual beli benda yang kelihatan

Adalah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjual belikan ada didepan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperyi membeli beras dipasar.

2. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji

Ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan pada pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.

Salam berlaku semua syarat-syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya seperti berikut :

a) Ketika melakukan akad salam, disebut sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik barang yang dapat ditakar, ditimbang, maupun diukur. b) Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan

memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas, sebutkan jenis kapasnya, kalau kain, sebut jenis kainnya. Pada intinya sebutkan semua identitas yang dikenal oleh orang-orang yang ahli dibidang ini yang menyangkut kualitas barang tersebut.

c) Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang bisa dipasarkan d) Harga hendaknya dipegang ditempat akad berlangsung

Ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari cucian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Sementara itu, merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak diperbolehkan, seperti penjualan buah anggur dan apel serta yang lainnya yang berada didalam tanah adalah batal, sebabhal tersebut merupakan perbuatan

gharar.

Golongan Malikiyah beranggapan bahwa gharar yang terdapat dalam

salam sangat besar bila barang yang dipesannya belum ada contohnya pada saat transaksi dan seakan-akan hal ini menyerupai jual beli barang yang belum pernah terjadi, sekalipun salam itu sudah ditentukan barangnya. Tetapi, barang pesanan ini berada dalam jaminan. Oleh karenanya, hal itu berbeda dengan jual beli barang yang belum pernah terjadi.63

Para ulama sepakat bahwa salam itu hanya berlaku pada barang yang berada dalam jaminan, tidak berlaku pada barang yang ditentukan ditempat tertentu. Akan tetapi, Imam Malik memperbolehkan salam pada barang yang berada didaerah tertentu asalkan terjamin keamanannya. Seakan-akan beliau menganggap jaminan keamanan ini serupa dengan jaminan pengganti.64

Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan.

Akad yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti dengan isyarat merupakan pembawaan

63

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jilid III, terj. Mad‟Ali, Cet I, (Bandung : Triganda Karya, 1997), h. 434

64

alami dengan menampakkan kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.

Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau surat- menyurat sama halnya dengan ijab Kabul dengan ucapan, misalnya is pos dan giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad, tetapi melalui pos dan giro, jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara‟. Dalam pemahaman sebagian ulama, bentuk ini hampir sama dengan bentuk jual beli salam, hanya saja jual beli salam antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majlis akad, sedangkan dalam jual beli via pos dan giro antara penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majlis akad.

Jual beli dengan perbuatan (saling memberi) atau dikenal dengan istilah mu‟athah, yaitu membeli dan memberikan barang tanpa ijab qabul, seperti seorang mengambil sabun yang sudah bertulis label harganya, dibandrol oleh penjual dan kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab Kabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagai ulama Syafi‟iyah tentu hal ini dilarang, sebab ijab Kabul sebagai rukun jual beli. Tetapi sebagian Syafi‟iyah lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab Kabul terlebih dahulu.65

Berdasarkan dari segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian, yaitu :

1) Jual beli yang menguntungkan (al-Murabahah)

2) Jual beli yang tidak menguntungkan yaitu menjual barang dengan harga aslinya (at-Tauliyah)

65

3) Jual beli rugi (al-Khasarah)

4) Jual beli Musawah yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tapi kedua orang yang akad saling meridhai, jual beli seperti inilah yang berkembang pada saat ini.

Karena itu, maka di antara hikmah dihalalkannya jual beli bagi umat manusia adalah untuk menghilangkan kesulitan umat manusia, memenuhi kebutuhannya, dan memberikan nikmat yang diperoleh.66 Namun tidak semua jual beli dibenarkan oleh agama atau syara‟, seperti halnya jual beli barang najis, jual beli gharar, jual beli dengan syarat, macam-macam jual beli tersebut adalah jual beli yang dilarang dan batal hukumnya.

Adapun pula macam-macam jual beli yang dilarang oleh agama namun sah hukumnya dan orang yang melakukannya mendapatkan dosa, jual beli yang dimaksud yaitu jual beli sebagai berikut :

a. Menemui orang-orang Desa sebelum mereka masuk kedalam pasar untuk membeli benda-bendanya dengan harga semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya. b. Menawarkan barang yang sedang ditawarkan oleh orang lain.

c. Jual beli dengan inajasy, yaitu orang yang menambah atau melebihi harga temannya, dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mau membeli barang kawannya.

d. Menjual atas penjualan orang lain.

66

Syeh Abdurrahman As-Sa‟di, Fiqih Jual Beli Panduan Praktik Bisnis Syari‟ah, (Jakarta : Senayan Publishing, 2008), h.260

Dokumen terkait