• Tidak ada hasil yang ditemukan

Judicial Review UU Sisdiknas

„

Ajukan Pengujian UU Sisdiknas

Ajukan Pengujian UU SisdiknasAjukan Pengujian UU Sisdiknas

Ajukan Pengujian UU SisdiknasAjukan Pengujian UU Sisdiknas

A

sosiasi Badan PenyelenggaraPerguruan Tinggi Swasta (Asosi-

RUANG SIDANG

harus pula memenuhi persyaratan bahwa penyelenggaraannya berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial.”

Selaras dengan itu ada pula ketentuan yang mengatur bahwa yayasan merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Menurut Bakhtiar, jika penyelenggara pendidikan hanya yang berbentuk badan hukum pendidikan seperti yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, maka yayasan tidak diperbolehkan lagi sebagai penyelenggara pendidikan dan hak hidupnya telah dicabut secara paksa (Hak hidup yayasan diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan).

Apabila yayasan tidak diperkenankan lagi menyelenggarakan pendidikan formal, maka akan terjadi kekosongan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi swasta. Sebab aset dan kemampuan yayasan tidak dapat dialihpindah- tangankan kepada pihak lain, kecuali ke yayasan yang memiliki kegiatan yang sama. “Dengan kata lain, aset dan ke- mampuan yayasan tidak dapat dialihkan ke badan hukum lainnya termasuk ke badan hukum pendidikan. Jika yayasan yang bergerak di bidang penyelenggaraan pendidikan tidak diperkenankan lagi menyelenggarakan pendidikan, berarti yayasan tersebut harus bubar atau mem-

bubarkan diri,” kata Bakhtiar.

Selain kerugian para pemohon tersebut, kuasa hukum pemohon, Leonard P. Simorangkir, S.H. menyampaikan kerugian masyarakat. Masyarakat khususnya peserta didik dan orang tua peserta didik akan menderita kerugian akibat Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, yaitu: pertama, peserta didik akan kehilangan atau sekurang-kurangnya mengalami pengurangan hak memperoleh pendidikan yang baik, karena yayasan sebagai penyelenggara pendidikan harus berhenti sebagai penyelenggara pendidikan. Kedua peserta didik akan kehilangan tempat untuk belajar, karena aset yayasan sebagai penyelenggara pendidikan formal dilarang untuk dialihkan ke pihak lain dan hanya dapat dipergunakan untuk tujuan yayasan sebagaimana tadi diatur UU No. 28 Tahun 2004 Jo. UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Ketiga, civitas akademika akan meng- alami kesulitan untuk memperoleh atau membangun kampus baru atau untuk memproses penggunaan aset yayasan sebagai badan hukum penyelenggara pendidikan formal selama ini, yang kemudian dialihkan kepada sebuah badan baru yang berbentuk badan hukum pendidikan yang notabene belum memiliki aset. Keempat, masyarakat akan meng- alami stagnasi dalam menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan formal yang selama ini diselenggarakan oleh yayasan, karena harus membangun suatu tatanan baru

dalam penyelenggaraan pendidikan formal, termasuk membangun sarana dan prasarana pendidikan.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H. mempertanyakan legal standing para pemohon, dikarenakan status Asosiasi BPTSI dan YPLB PGRI belum jelas sebagai badan hukum bagaimana, meng- ingat Pasal 51 UU MK yang memper- syaratkan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan, kesatuan bernegara hukum, badan hukum publik atau privat, lembaga hukum”.

Natabaya juga mempertanyakan kerugian konstitusional yang diper- masalahkan akibat berlakunya Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, mengingat ada Pasal 72 UU Sisdiknas yang berbunyi, “Penyelenggara dan atau satuan pendidik- an formal pada saat undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan dan sebagaimana dimaksud Pasal 53, tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan”. Artinya, tidak ada yang dirugikan dengan Pasal 53 UU Sisdiknas. “Karena seandai- nya umpamanya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan itu menghilangkan yayasan, ini baru menjadi persoalan,” kata Natabaya.

Melengkapi penjelasan Natabaya, Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. meminta para pemohon mempelajari Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penye- lenggara dan/atau satuan pendidikan antara lain berbentuk badan hukum milik negara. Laica mengandai-andai, frase “antara lain” itu tidak hanya berbentuk badan hukum milik negara, tetapi juga dimungkinkan bentuk lain, termasuk badan hukum ke- perdataan, misalnya stichting (yayasan). “Apalagi dalam Pasal 53 itu sendiri, dikemukakan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat,” ungkap Laica. Sidang ditutup dengan diberikan- nya kesempatan kepada para pemohon untuk memperbaikan permohonan paling lambat 14 hari. (Lwe)

RUANG SIDANG

Advokat yang bermaksud memohon pengujian Pasal 12 ayat (2) UU No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN) terhadap Pasal 28 huruf I UUD 1945. Kasdin, dkk. merasa keberadaan Pasal 12 ayat (2) UU PUPN sangat merendahkan atau meremehkan profesi advokat karena bersifat diskriminatif.

Pasal 12 ayat (2) UU PUPN me- nyebutkan, “Dalam hal seperti dimaksud- kan dalam ayat (1) pasal ini, maka dilarang menyerahkan pengurusan piutang negara kepada pengacara.” Kaitan dengan itu, Pasal 12 ayat (1) UU PUPN menyebutkan, “Instansi-instansi peme- rintah dan badan-badan negara yang dimaksudkan dalam Pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang- piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.”

Pasal 12 ayat (2) UU PUPN tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 huruf I UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlaku- an yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan per- lindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif tersebut.”

Dalam sidang pemeriksaan pen- dahuluan perkara 023/PUU-IV/2006 yang berlangsung Jumat (3/11) di Ruang Sidang MK, Yan Ricardo, S.H., salah seorang pemohon prinsipal menjelaskan definisi diskriminasi yaitu merupakan

suatu tindakan pembedaan yang dilakukan secara tidak adil. Lebih lanjut Yon mengutip Pasal 1 angka 3 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang mendefinisikan diskriminasi merupakan setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Menurut Yon, diskriminasi yang terjadi akibat

Diskriminasi kepada Advokat

Diskriminasi kepada AdvokatDiskriminasi kepada Advokat

Diskriminasi kepada AdvokatDiskriminasi kepada Advokat

Dokumen terkait