• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumhur Ulama Mengharamkan

Dalam dokumen 12 Masjid (Halaman 181-184)

Bab 11 : Bolehkah Mereka Masuk Masjid?

C. Wanita Haidh

2. Jumhur Ulama Mengharamkan

Jumhur ulama dari tiap-tiap mazhab yang muktamad, yaitu Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, seluruhnya telah bersepakat memfatwakan bahwa wanita yang sedang haidh hukumnya haram untuk masuk ke dalam masjid.

Dasar pendapat mereka adalah :

a. Larangan Dalam Al-Quran

Al-Quran Al-Kariem telah dengan tegas mengharamkan orang-orang yang dalam keadaan berjanabah atau berhadats besar untuk masuk ke dalam masjid. Dan wanita yang sedang haidh hukumnya termasuk orang yang sedang berhadats besar, sehingga ikut terkena larangan untuk masuk ke dalam masjid.

ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ

ﻰﺘﺣ ﻯﺭﺎﹶﻜﺳ ﻢﺘﻧﹶﺃﻭ ﹶﺓﹶﻼﺼﻟﺍ ﹾﺍﻮﺑﺮﹾﻘﺗ ﹶﻻ ﹾﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

ﹾﺍﻮﻤﹶﻠﻌﺗ

ﻨﺟ ﹶﻻﻭ ﹶﻥﻮﹸﻟﻮﹸﻘﺗ ﺎﻣ

ﻰﺘﺣ ٍﻞﻴِﺒﺳ ﻱِﺮِﺑﺎﻋ ﱠﻻِﺇ ﺎﺒ

ﹾﺍﻮﹸﻠِﺴﺘﻐﺗ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS. An-Nisa’ : 43)

Di dalam ayat ini disebutkan sebuah pengecualian, yaitu bila orang yang dalam keadaan berjanabah itu (termasuk wanita haidh) masuk ke masjid sekedar lewat. Maka hal itu dibolehkan hukumnya. Sedangkan bila masuk masjid untuk duduk dalam waktu yang lama, maka hukumnya terlarang.

Para ulama membolehkan orang yang sedang berjanabah masuk ke dalam masjid, asalkan dalam keadaan darurat, seperti lari menyelamatkan diri dari kejaran hewan buas, atau dari kejaran pencoleng, atau berlindung dari hawa dingin dan untuk memenuhi rasa haus dengan minum di

dalam masjid.

Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tetap mengharamkan orang yang sedang wanita haidh yang sedang berjanabah untuk masuk ke dalam masjid meski hanya untuk melintas saja. Kecuali bila untuk melakukan thawaf ifadhah, mazhan Al-Hanafiyah membolehkan dengan alasan dharurat.

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah membolehkan wanita haidh untuk melintas di dalam masjid, asalkan dia yakin tidak akan mengotori masjid dengan darah haidhnya yang tercecer.

Sedangkan tuduhan bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang larangan masuk ke masjid, menurut Al-Imam Asy-Syaukani merupakan sebuah kekeliruan. Bahkan menurut beliau, hadits-hadits yang melarang wanita haidh masuk masjid adalah hadits-hadits yang shahih atau hasan, sehingga tetap dapat dijadikan sebagai dalil pelarangan.1

b. Larangan Masuk Masjid Bukan Karena Najis

Anggapan yang keliru tentang haramnya wanita haidh masuk masjid karena takut masjid kotor kena najis. Dan bila aman dari resiko itu hukumnya menjadi boleh. Dalam hal ini, kekeliruan pendapat ini adalah mengaitkan resiko tercecernya najis dengan wanita yang sedang haidh.

Jawabannya adalah bahwa wanita haidh tidak boleh masuk masjid bukan karena dia mengandung najis, ataukah badannya dianggap najis. Tidak demikian. Wanita haidh bukan benda najis, tetapi statusnya berhadats besar. Dan hadats besar bukan hanya karena haidh, tetapi juga karena jima’, keluar mani, meninggal dunia, nifas dan juga melahirkan. Siapa pun dari mereka yang mengalami hal-hal itu, hukumnya berhadats besar. Oleh karena itu mereka tidak

boleh masuk ke dalam masjid.

Buktinya lainnya, wanita yang sedang dalam istihadhah tidak dilarang untuk masuk masjid, padahal dia mengalami persis apa yang dialami oleh wanita haidh, yaitu keluar darah dari rahimnya. Wanita yang sedang mengalami istihadhah tetap wajib untuk shalat, puasa Ramadhan, boleh membaca Al-Quran, menyentuh musfah dan tentunya saja boleh masuk dan beri’tikaf di dalam masjid dalam waktu yang lama.

Tentu kepadanya dianjurkan untuk menjaga selalu kebersihan masjid dari resiko terkotori dari darah istihadhah itu.

c. Yang Diharamkan Hanya di Wilayah Suci

Haramnya wanita haidh masuk ke dalam masjid hanya berlaku di area suci dari masjid. Sebagaimana kita ketahui, tidak semua aset masjid menjadi area suci. Sebab kamar mandi, toilet, wc, tempat wudhu dan sejenisnya adalah bagian dari aset masjid yang harus ada sebagai bagian dari masjid. Namun ditempatkan di area yang bukan area suci.

Dalam hal ini imam masjid punya wewenang dan otoritas untuk membuat batas-batas area suci dari masjid. Misalnya, imam masjid menetapkan bahwa ruangan dalam di lantai dasar dari masjid adalah wilayah suci. Di luar apa yang telah ditetapkan itu berarti wilayah yang tidak mensyaratkan kesucian. Maka bila lantai dua masjid itu ditetapkan bukan sebagai area suci, wanita yang sedang haidh boleh masuk ke tempat itu.

Atau imam masjid berhak juga untuk membagi dua ruang ibadah, sebagian menjadi area suci dan sebagian lagi menjadi arean non suci. Batasnya bisa dibuat misalnya dengan memasang tabir pemisah. Semua adalah wewenang dan otoritas sang imam.

duduk ikut mendengarkan pengajian, menyampaikan pertanyaan, berdialog dalam pengajian itu, bahkan ustadzah yang sedang haidh pun bisa-bisa saja duduk di tempat itu untuk mengajar.

Yang juga biasanya bukan merupakan area suci adalah selasar masjid, teras, ruang-ruang kantor, ruang pertemuan, aula, kelas, atau apa saja yang tidak ditetapkan sebagai area suci, maka disana wanita haidh boleh masuk.

D. Anak-anak

Sebagian kalangan ada yang menganjurkan agar anak-anak yang masih kecil selalu diajak ke masjid. Tujuannya agar sejak dini telah mengenalkan masjid dan ibadah shalat kepada mereka.

Namun ide ini mendapat tentangan dari banyak pihak dengan beberapa alasan yang juga berdasarkan nash-nash syariah. Khususnya bila anak-anak yang dimaksud adalah mereka yang masih di usia bawah tujuh tahun.

Bagi mereka, mengajak anak-anak ke masjid memang bagian dari pendidikan agama sejak usia dini, namun usia mereka setidaknya sudah cukup, sekitar usia tujuh tahun. Mereka anak-anak yang belum cukup matang usianya, kalau diajak ke masjid, bukanya menjadi pendidikan buat mereka, justru yang terjadi malah menggangu jamaah yang lain.

Ada beberapa pertimbangan, kenapa hanya anak yang cukup umur saja yang layak diajak ke masjid :

Dalam dokumen 12 Masjid (Halaman 181-184)

Dokumen terkait