HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Jumlah pelarut yang digunakan 10 mL
Recovery Bilangan Penyabunan (mg KOH/L) 212 ppm (616 x 10-3 mg) 0,5 gram 20,95 ppm (12,57 x 10-3 mg) 1,98 % 74,18 274,31 ppm (548,62 x 10-3 mg) 89,06 % 320,55 1,0 gram 45,68 ppm (36,544 x 10-3 mg) 5,75 % 95,43 309,61 ppm (526,34 x 10-3 mg) 82,76 % 235,88 2,0 gram 80,88 ppm (88,968 x 10-3 mg) 13,99 % 132,04 320,28 ppm (480,57 x 10-3 mg) 75,56 % 212,85 4,0 gram 131,36 ppm (249,584 x 10-3 mg) 40,52 % 260,44 339,75 ppm (271,80 x 10-3 mg) 42,74 % 146,64 Keterangan :
1. Jumlah biodiesel minyak sawit yang digunakan 3,0 gram
2. Jumlah pelarut yang digunakan 10 mL
4.2. PEMBAHASAN
4.2.1. Pembuatan Kalsium Maleat – grafting – HDPE
a. Pembuatan maleat anhidrida – grafting – HDPE
Maleat anhidrat – grafting – HDPE dihasilkan melalui reaksi :
Gambar 4.1. Reaksi pembuatan maleat anhidrida – grafting – HDPE menurut Ghaemy (2003)
Hasil reaksi yang diperoleh mempunyai derajat grafting 12 %, dimana derajat grafting yang diperoleh ini jauh lebih kecil dibandingkan derajat
lebih besar jika dibandingkan oleh hasil grafting yang dilakukan oleh Sitepu (2009) yakni sebesar 8 %. Hal ini sebabkan karena perbedaan jenis proses yang dilakukan. Grafting yang dilakukan secara homogen dengan kondisi atmosfir dan perbandingan yang sesuai akan memberikan derajat grafting yang optimal (Ghaemy, 2003).
Senyawa maleat anhidrida – grafting – HDPE yang diperoleh berwarna kuning kecoklatan dan mempunyai titik lebur berkisar 142 – 145oC (titik lebur maleat anhidrida 57 - 60oC dan titik lebur HDPE 135oC), data ini menunjukkan bahwa telah terjadi grafting dan reaksi pengikatsilangan antara polietilena dengan maleat anhidrat. Ghaemy (2003) mempublikasikan bahwa maleat anhidrida – grafting – HDPE dengan derajat grafting lebih besar dari 10% akan berwarna kecoklatan dan tidak larut dalam aseton panas.
b. Spektroskopi FT – IR senyawa maleat anhidrida - grafting - HDPE
Berdasarkan hasil analisis gugus fungsi dengan spektrofotometer FT-IR terlihat puncak serapan pada bilangan gelombang 2919 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-H sp3 pada -CH2- dan puncak pada bilangan gelombang 1733 cm-1 menunjukkan vibrasi gugus C=O. Adanya vibrasi gugus C=O menunjukkan telah terbentuk senyawa maleat anhidrida – grafting – HDPE. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Zhang (2010) bahwa jika maleat anhidrida – grafting – HDPE telah terbentuk, akan muncul suatu vibrasi simetrik dan asimetrik C=O (karbonil) pada bilangan gelombang sekitar 1786 cm-1 dan 1863 cm-1.
Ghaemy (2003) memberikan penjelasan tentang struktur maleat anhidrida – grafting – HDPE sebagai berikut :
CH2 - CH - CH2
O O
O
maleat anhidrida - grafting - HDPE
CH2 - CH - CH2
Dijelaskan pula bahwa, maleat anhidrida - grafting – HDPE ini akan memberikan serapan pada daerah 1779 cm-1 dan 1859 cm-1 yang berasal dari uluran cincin C=O (karbonil) pada anhidrida siklik serta pada bilangan gelombang 1221 cm-1 yang merupakan uluran C-O dari cincin maleatnya.
Sementara, menurut Yang (2003) suatu maleat anhidrida - grafting – HDPE yang memberikan serapan pada daerah 1864 – 1819 cm-1 (uluran asimetrik gugus karbonil), 1786 – 1784 cm-1 (uluran simetrik gugus karbonil), 1224 cm-1 (uluran cincin asimetrik =C-O-C= ) dan 1064 cm-1 serta1051 (uluran simetrik =C-O-C=) adalah karakteristik denga suatu eter. Adanya cincin maleat yang siklik akan memberikan serapan pada daerah 919 cm-1 yang mungkin tumpang tindih dengan 2 buah pita uluran pada 867 cm-1 dan 892 cm -1
menandakan uluran C=C, sedangkan gugus –O-C(=O)-R akan memberikan serapan pada bilangan gelombang 1722 cm-1. Dari data ini, Yang (2003) memberikan beberapa struktur yang mungkin dari maleat anhidrida - grafting – HDPE yakni : CH CH O O O H C O O O m Struktur 1 CH CH O O O CH H2 C O O O m Struktur 2 O O n + m + 2 Struktur 3
Gambar 4.3. Struktur maleat anhidrida - grafting – HDPE menurut Yang (2003)
Dari hasil data FT-IR yang dihasilkan, maka disimpulkan bahwa struktur maleat anhidrida - grafting – HDPE yang kami peroleh adalah mendekati struktur yang diberikan oleh Ghaemy (2003).
CH2 - CH - CH2
O O
O
maleat anhidrida - grafting - HDPE
+ CaO
CH3OH
CH2 - CH - CH2
O
O
kalsium maleat - grafting - HDPE
O Ca O
CH2 - CH - CH2 CH2 - CH - CH2
c. Pembuatan Kalsium Maleat – grafting – HDPE
Kalsium maleat – grafting – HDPE dihasilkan melalui reaksi antara maleat anhidrat – grafting – HDPE dengan CaO dalam metanol dimana CaO yang reaktif akan menyerang dan mengadisi cincin maleat. Adapun reaksinya diramalkan sebagai berikut :
Gambar 4.4. Reaksi pembuatan kalsium maleat – grafting - HDPE
Senyawa kalsium maleat – grafting – HDPE yang dihasilkan mempunyai karakteristik berwarna putih, berbentuk layaknya resin (selulosa organik) yang tidak larut dalam metanol, etanol, air, heksan, kloroform, xylan dingin ataupun panas, dan juga dalam aseton serta benzene. Penambahan H2SO4 (P) menyebabkan senyawa menjadi rusak dan mulai menjadi karet jika dipanaskan pada suhu diatas 150oC.
d. Spektroskopi FT – IR senyawa maleat anhidrida - grafting - HDPE
Hasil analisis gugus fungsi dengan spektrofotometer FT-IR terhadap senyawa ini menunjukkan puncak-puncak serapan pada bilangan gelombang 1794 cm-1 menunjukkan vibrasi gugus C=O (karbonil) yang terlihat lemah, hal ini disebabkan karena adanya pengaruh logam Kalsium yang terikat pada cincin dimana karbonil tersebut terikat. Puncak serapan pada bilangan gelombang 2919 cm-1 dan 2850 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-H sp3 dari CH2, yang didukung oleh puncak serapan pada bilangan gelombang 1339 cm-1 menunjukkan vibrasi tekukan dari C-H sp3.
Puncak serapan pada bilangan gelombang 1456 cm-1 diduga adalah serapan ion karboksilat. Anion karboksilat mempunyai dua buah ikatan karbon ke oksigen yang terkopel dengan kuatnya serta kuat-ikatannya diantara C=O dengan C-O. Ion karboksilat memberikan dua pita : sebuah pita uluran takasimetrik yang muncul di dekat 1650 – 1550 cm-1 (6,06 – 6,45 µm) dan sebuah pita uluran simetrik yang muncul di dekat 1400 cm-1 (7,15 µm).
Hasil ini juga diperkuat dengan munculnya serapan vibrasi pada bilangan gelombang 713 cm-1, 1456 cm1 dan 822 cm-1, dimana menurut Zhang (2010) bahwa pembentukan ikatan Ca – O akan memberikan serapan – serapan khas pada daerah bilangan gelombang 1420 cm-1, 870 cm-1 dan 711 cm-1 serta muncul serapan didaerah dekat 2415 cm-1 yang merupakan serapa dari C=C.intensitas serapan ini akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya jumlah ikatan Ca-O yang terbentuk.
Pengubahan suatu asam karboksilat menjadi sebuah garamnya dapat memberikan pengukuhan (konfirmasi) perihal struktur asam (Silverstein, 1986).
4.2.2. Studi Pemisahan Karotenoid dari Biodiesel Minyak Sawit
a. Studi pengaruh jumlah etanol terhadap proses adsorpsi karotenoid
Pemisahan karotenoid dari biodiesel minyak sawit dengan menggunakan adsorben sintetis kalsium maleat – grafting – HDPE dengan pelarut etanol menghasilkan konsentrat karotenoid yang berada dalam filtrat proses adsorpsi dan filtrat proses desorpsi.
Dari data yang diperoleh, dilihat bahwa semakin banyak etanol yang digunakan pada proses adsorpsi, maka akan semakin mudah emulsi karotenoid – metil ester untuk terpecahkan sehingga makin mudah untuk memisahkan karotenoid dari metil ester, akibatnya karotenoid akan tertarik ke fase adsorben lebih kuat dan metil ester akan tertarik ke fase etanol. Adapun profilnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :
Gambar 4.5. Grafik hubungan antara jumlah etanol dengan % penjumputan karotenoid
Gambar 4.6. Grafik hubungan antara jumlah etanol dengan % recovery karotenoid
Pelarut mempunyai faktor yang penting dalam suatu proses adsorpsi. Suatu proses sorpsi (penempelan) akan berlangsung lebih baik dalam medium yang memberikan ruang yang lebih besar bagi molekul zat terlarut untuk bergerak. Semakin encer larutan, maka ruang gerak dari molekul zat terlarut akan semakin bertambah sehingga proses sorpsi akan semakin meningkat.
Data bilangan penyabunan menunjukkan penurunan jumlah metil ester yang ikut terjerap pada adsorben seiring dengan meningkatnya jumlah etanol yang digunakan. Karena jumlah etanol semakin banyak, dan molekul zat terlarut mempunyai ruang gerak yang cukup besar, maka arus difusi metil ester ke fase etanol juga akan semakin meningkat, akibatnya jumlah metil ester dalam fase etanol akan bertambah dan bilangan penyabunan semakin meningkat. Jumlah Etanol (mL) % Penjumputan Karotenoid 5 1,97 10 5,68 15 8,35 Jumlah Etanol (mL) % Recovery Karotenoid 5 77,98 10 84,12 15 82,95
b. Studi pengaruh jumlah adsorben terhadap proses adsorpsi karotenoid
Pemisahan karotenoid dari biodiesel minyak sawit dengan adsorben sintetis kalsium maleat – grafting – HDPE sangat dipengaruhi oleh banyaknya jumlah adsorben yang digunakan.
Semakin meningkatnya jumlah adsorben yang digunakan akan menyebabkan semakin mudah emulsi karotenoid-metil ester terpecahkan, karena interaksi ikatan rangkap dengan adsorben akan lebih kuat. Adapun profilnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :
Gambar 4.7. Grafik hubungan antara jumlah adsorben dengan % penjumputan karotenoid
Gambar 4.8. Grafik hubungan antara jumlah adsorben dengan % Recovery karotenoid
Dari strukturnya, karotenoid bersifat relatif lebih non polar daripada metil ester. Houghton (1998) menyebutkan bahwa polaritas suatu senyawa ditentukan oleh adanya cincin aromatik, ikatan ganda, dan atom-atom yang memiliki elektron tidak berpasangan (atom-atom elektronegatif) seperti nitrogen, oksigen, klor, dan halogen lainnya. Tingkat penjumputan yang rendah dari karotenoid dapat diduga karena kekuatan interaksi antara metil
Jumlah Adsorben (gr) % Penjumputan Karotenoid 0,5 1,98 1,0 5,75 2,0 13,99 4,0 40,52 Jumlah Adsorben (gr) % Recovery Karotenoid 0,5 89,06 1,0 82,76 2,0 75,56 4,0 42,74
H
C HC
LOGAM
3do
ester dengan karotenoid lebi besar dibandingkan kekuatan interaksi antara karotenoid dengan adsorben (Ari Surya, 2009)
Adsorpsi hidrokarbon jenuh dalam substrat logam didasarkan pada konsep orbital terdepan, dimana interaksi ditunjukkan dengan adanya donasi
muatan dari orbital π tertinggi yang terisi dai logam dan substansi
backdonation dari muatan logam yang terisi ke orbital π terendah yang tidak
terisi (Nilson, 2008). Adapun mekanismenya ditunjukkan sebagai berikut :
Gambar 4.9. Interaksi antara ikatan π olefinik dengan logam
Kemampuan adsorben mengadsorpsi karotenoid dan metil ester dipengaruhi oleh kemampuan ion Ca2+ mempolarisasi rantai olefinik, dimana dengan adanya orbital 3d kosong dengan energi yang cukup rendah sehingga
mampu mengikat kuat ikatan π pada karotenoid dan metil ester hidrokarbon tidak jenuh. Namun didasarkan pada jumlah ikatan π, karotenoid akan lebih terikat kuat karena interaksi yang lebih besar dibandingkan dengan metil ester tidak jenuh dengan 2 atau 3 ikatan rangkap. Kation dengan kemampuan mempolarisasi yang tinggi mempunyai muatan positif dengan kerapatan yang tinggi, sehingga akan menghasilkan interaksi yang kuat. Ion dengan ukuran kecil bermuatan tinggi akan memiliki kekuatan ikatan yang tinggi (Nur, 2007)
20
Ca
2+= 1s
22s
22p
63s
23p
63d
0Gambar 4.10. Orbital Kosong atom Ca yang menjadi asseptor elektron π dari hidrokarbon tak
3do 1 2 3 4 5 6 16 17 7 8 9 10 11 12 13 14 15 15' 14' 13' 12' 11' 10' 9' 8' 7' 6' 5' 4' 3' 2' 1' 16' 17' eg t2g
Gambar 4.11. Donasi elektron π hidrokarbon tak jenuh terhadap orbital kosong atom logam Ca
C
CH
-Ca
Interaksi orbital phi dari karoten terhadap orbital d logam yang kosong
Gambar 4.12. Interaksi orbital π olefinik dengan orbital d kosong logam Ca
Selain karena pengaruh ion logam, kemampuan adsorben untuk mengikat lebih kuat karotenoid dibanding metil ester tidak jenuh adalah karena faktor panjang rantai karbon. Dimana karotenoid mempunyai rantai hidrokarbon yang lebih panjang dibandingkan dengan rantai hidrokarbon metil ester. Dengan panjangnya rantai hidrokarbon ini, karotenoid akan lebih senang berada pada fase adsorben yang juga mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dibandingkan berada membentuk emulsi dengan metil ester.
Kemudian perlu juga diperhatikan bawa gugus ester dari metil ester dapat berikatan ionik dengan mineral pada adsorben sehingga meyebabkan metil ester akan teradsorpsi sementara.
Pada penelitian ini juga diduga bahwa adsorpsi yang terjadi adalah molekul yang teradsorpsi yaitu karotenoid dan metil ester tak jenuh berkompetisi memperebutkan sisi aktif dari adsorben, dan juga pelarut dan adsorben berkompetisi merebutkan adsorbat yang teradsorpsi. Banyaknya permukaan aktif adsorben yang berinteraksi dengan sampel dan tersedianya permukaan interaksi yang lebih luas menyebabkan jumlah sampel yang sedikit
menghasilkan konsentrat karotenoid dengan konsentrasi yang tinggi (Arisurya, 2009)
Recovery yang tinggi terjadi karena karotenoid tidak terjerap optimal
akibat ketidakmampuan adsorben mengadsorpsi komponen karotenoid dan non karotenoid. Hal ini diduga terjadi karena permukaan aktif adsorben yang berinteraksi dengan bahan yang diadsorpsi semakin sedikit (Gortner, 1953)
Interaksi yang terjadi pada proses sorpsi menurut Robands et al (1994) biasanya berupa ikatan antar molekul yang lemah, misalnya ikatan van der walls dan ikatan hidrogen dan pada beberapa kasus terjadi ikatan ionik.
BAB 5