• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Struktur Komunitas Makrozoobentos

4.4.1. Jumlah taksa (spesies) makrozoobentos

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan September 2010 ditemukan 6 kelas makrozoobentos, yaitu Polikaeta, Krustasea, Echinoida, Nematoda, Bivalvia, dan Gastropoda. Makrozoobentos yang ditemukan terdiri atas 5 filum, 6 kelas, 55 genus, dan 58 spesies. Masing-masing kelas terdiri atas 32 spesies untuk Polikaeta, 17 spesies untuk Krustasea, 6 spesies untuk Bivalvia, dan masing-masing 1 spesies untuk Nematoda, Echinoida dan Gastropoda. Pada bulan Januari 2011 makrozoobentos yang ditemukan terdiri atas 5 filum, 6 kelas, 40 genus, dan 43 spesies. Masing-masing kelas terdiri atas 22 spesies untuk

5 5 15 25 30 25 30 30 15 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 6 14 22 7 8 15 16 23 24 % Stasiun

43 51% 30% 3% 2% 12% 2% Polychaeta Crustacea Nematoda Sipunculida Bivalvia Gastropoda

Polikaeta, 13 spesies untuk Krustasea, 5 spesies untuk Bivalvia, dan masing- masing 1 spesies untuk Nematoda, Sipunculida dan Gastropoda.

Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa presentase jumlah spesies terbesar pada bulan September 2010 adalah dari kelas Polikaeta, dengan proporsi masing- masing Polikaeta 55%, Krustasea 29%, Bivalvia 10%, serta Nematoda, Echinoida, dan Gastropoda masing-masing sebesar 2%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gray & Elliott (2009) bahwa pada umumnya komposisi hewan makrozoobentos yang umum ditemukan antara lain didominasi oleh kelompok Polikaeta, diikuti dengan Moluska bivalvia, Amphipoda dan Decapoda dari Crustasea, Echinodermata, dan terkadang dijumpai anemon.

Sama halnya dengan bulan September 2010, pada bulan Januari 2011 presentase jumlah spesies makrozoobentos terbesar adalah kelas Polikaeta. Gambar 9 memperlihatkan proporsi masing-masing presentase makrozoobentos, yakni Polikaeta 51%, Krustasea 30%, Bivalvia 12%, Nematoda 3%, dan Sipunculida serta Gastropoda sebesar 2%. Pada bulan Januari 2011 ini tidak ditemukan kelas Echinoida seperti bulan September 2010.

(a) (b)

Gambar 9. Komposisi jumlah taksa makrozoobentos yang ditemukan berdasarkan kelas pada bulan (a) September 2010 dan (b) Januari 2011

Spesies yang mendominasi pada bulan September 2010 dari kelas Polikaeta adalah Notomastus latericeus. Menurut beberapa literatur antara lain Grall et al.

(2006), Sarkar et al. (2005), dan Borja et al. (2000) yang diacu dalam Taurusman 2007, menyatakan bahwa Notomastus latericeus merupakan sub (surface) deposit feeders. Larva menetap dari Notomastus latericeus pada laut subtropis biasa

55% 29% 2% 2% 10% 2% Polychaeta Crustacea Nematoda Echinoidea Bivalvia Gastropoda

44

ditemukan antara bulan Agustus hingga Oktober. Polikaeta spesies ini menyukai habitat berlumpur atau berpasir di atas pecahan cangkang kerang serta sulit beradaptasi pada habitat dengan salinitas rendah (Bellan 2011). Spesies ini merupakan famili dari Capitellidae yang merupakan spesies yang kurang sensitif terhadap kontaminasi bahan pencemar (Belan 2003).

Selain Notomastus latericeus, spesies Lumbrineris sp. dan Syllis cornuta

juga ikut mendominasi perairan. Kedua spesies tersebut juga tergolong spesies

deposit feeders seperti halnya Notomastus latericeus (Grall et al. 2006 in

Taurusman 2007). Pada kelas Krustasea spesies yang mendominasi pada bulan September 2010 adalah Paramoera suchaneki dan Corophium sp. Percy (1999) menyatakan bahwa Corophium sp. merupakan tipe makrozoobentos deposit feeders maupun filter feeders. Spesies ini juga pada umumnya mengalami masa pemijahan di Teluk Fundy Kanada, sekitar bulan Mei hingga September.

Spesies yang mendominasi pada bulan Januari 2011 antara lain Notomastus latericeus dan Syllis cornuta. Barba et al. (2003) menyatakan bahwa famili Syllidae, termasuk Syllis cornuta di dalamnya, sering berada dalam lingkungan habitat yang tersembunyi atau samar, seperti di sekitar spons maupun karang mati. Famili ini adalah kelompok fauna terbaik yang mewakili dalam hal kekayaan spesies. Spesies yang mendominasi lainnya pada bulan Januari 2011 adalah

Corophium sp. dari kelas Krustasea dan Nematoda.

Pada Gambar 10, diperoleh nilai jumlah spesies makrozoobentos yang berbeda pada setiap stasiun dan habitatnya. Pada bulan September 2010 stasiun yang memiliki jumlah spesies tertinggi berada pada stasiun 8 yakni stasiun yang berada di habitat reef crest sebesar 27 spesies, sedangkan jumlah spesies terendah terdapat pada stasiun 18 yakni berada di habitat mangrove sebesar 12 spesies. Pada bulan Januari 2011 diperoleh nilai jumlah spesies makrozoobentos yang berbeda pada setiap stasiun, namun tidak jauh berbeda pada setiap habitatnya. Stasiun yang memiliki jumlah spesies tertinggi berada pada stasiun 21 yakni stasiun yang di habitat lamun sebesar 21 spesies, sedangkan jumlah spesies terendah terdapat pada stasiun 1 di kawasan mangrove sebesar 6 spesies.

Habitat yang memiliki jumlah spesies tertinggi pada bulan September 2010 adalah pada lokasi pengamatan habitat lamun, yakni sebesar 45 jenis. Jumlah

45

spesies terendah berada pada lokasi pengamatan habitat mangrove sebesar 33 jenis. Jumlah spesies makrozoobentos yang ditemukan pada bulan Januari 2011 antara habitat lamun dan reef crest adalah sama, yakni sebesar 32 spesies, namun habitat mangrove memiliki jumlah spesies terendah yaitu 28 spesies (Gambar 10).

(a)

(b)

Gambar 10. Jumlah spesies makrozoobentos pada bulan September 2010 dan Januari 2011 berdasarkan (a) stasiun dan (b) habitat (n mangrove & n lamun = 9; n reef crest = 6)

0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 9 10 11 17 18 19 4 5 6 12 13 14 20 21 22 7 8 15 16 23 24 Ju m lah sp e si e s Stasiun

Bulan September 2010 Bulan Januari 2011

Mangrove Lamun Reef crest

n = 3 Bulan September 2010 = 18,25 3,93 Bulan Januari 2011 = 15,5 3,92 0 10 20 30 40 50 60

Mangrove Lamun Reef crest

Ju m lah sp e si e s Habitat

Bulan September 2010 Bulan Januari 2011

n mangrove & lamun = 9; n reef crest = 6 Bulan September 2010 = 39 6 Bulan Januari 2011 = 30,67 2,31

46

Pada bulan September 2010, analisis SIMPER yang dilakukan di masing- masing stasiun menunjukkan bahwa pada stasiun 8 spesies makrozoobentos didominasi oleh Syllis cornuta dari kelas Polikaeta dan Corophium sp. dari kelas Krustasea dengan kontribusi masing-masing sebesar 27,67% dan 24,68%. Pada stasiun 18 spesies yang mendominasi adalah Lumbrineris sp. dan Syllis cornuta

dengan kontribusi masing-masing sebesar 51,17% dan 20,47%. Pada bulan Januari 2011, analisis SIMPER yang dilakukan menunjukkan bahwa stasiun 21 didominasi oleh Notomastus latericeus dari kelas Polikaeta dan Nematoda dengan kontribusi masing-masing sebesar 36,30% dan 16,02%. Pada stasiun 1 spesies yang mendominasi adalah Notomastus latericeus dengan kontribusi sebesar 99,29%.

Semakin besar jumlah spesies yang diperoleh berdasarkan habitat pengamatan, disebabkan oleh semakin besar pula dari akumulasi jumlah spesies makrozoobentos di setiap stasiunnya. Jumlah spesies antara bulan September 2010 dan Januari 2011 memiliki nilai yang berbeda. Spesies dari kelas Polikaeta mendominasi makrozoobentos pada kedua bulan tersebut. Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah spesies pada bulan Januari 2011 lebih sedikit daripada bulan September 2010. Pada bulan September 2010 tidak ditemukan makrozoobentos dari kelas Sipunculida, sedangkan pada bulan Januari 2011 makrozoobentos dari kelas Echinoida tidak ditemukan. Spesies yang ditemukan pada lokasi cenderung didominasi oleh spesies oportunistik, seperti Polikaeta.

Perbedaan jumlah spesies yang terlihat pada Gambar 0 dapat disebabkan oleh perbedaan curah hujan yang terjadi di Pulau Pramuka. Musim hujan di Kepulauan Seribu pada umumnya terjadi antara bulan Oktober – April dengan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus hingga September (Departemen Kehutanan 2008). Curah hujan tersebut akan mempengaruhi suhu, salinitas, DO, dan arus perairan. Faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi makrozoobentos antara lain salinitas, oksigen, suhu, arus perairan, konsentrasi polutan dalam air, dan sedimen perairan (Nybakken 1988).

Pada bulan September 2010 tingginya ketersediaan makanan bagi makrozoobentos yaitu berupa bahan organik yang berasal dari daratan secara

47

langsung (limbah domestik) maupun dari hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati di suatu habitat (Effendi 2003) terakumulasi di substrat dasar perairan. Sedangkan pada bulan Januari 2011 yang merupakan puncak dari musim hujan, terjadi penggelontoran sebagian besar bahan organik di perairan yang menyebabkan ketersediaan makanan bagi makrozoobentos pun menjadi lebih rendah.

Berdasarkan habitat, jumlah spesies tertinggi terdapat pada lokasi pengamatan habitat lamun baik pada bulan September 2010 maupun bulan Januari 2011, meskipun tidak terlalu berbeda secara signifikan terhadap habitat reef crest. Sementara itu jumlah spesies terendah terdapat pada habitat mangrove. Semakin menjauh dari daratan, jumlah spesies makrozoobentos juga akan menjadi lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh luasnya dimensi lingkungan pada laut lepas dibandingkan dengan dimensi lingkungan laut yang berdekatan dengan daratan. Penelitian yang dilakukan oleh Groenewald (2010) juga turut mendukung hal tersebut, yang menyatakan bahwa jumlah spesies makrozoobentos lebih banyak ditemukan pada kawasan perairan subtidal daripada perairan intertidal pada estuari Mngazana, Afrika Selatan. Currie & Small (2005) in Groenewald (2010) juga melakukan penelitian serupa di daerah estuaria Australia dengan hasil yang diperolah adalah kekayaan spesies dan kepadatan makrozoobentos menurun secara signifikan pada transek di daerah intertidal dibandingkan dengan transek yang diletakkan di kawasan subtidal. Ini menunjukkan bahwa semakin menuju perairan lepas (reef crest), maka jumlah spesies makrozoobentos akan semakin tinggi.

4.4.2. Kepadatan Makrozoobentos

Secara umum kepadatan makrozoobentos pada bulan September 2010 lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan makrozoobentos pada bulan Januari 2011. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan curah hujan yang terjadi. Bulan September 2010 merupakan musim kemarau, sedangkan bulan Januari 2011 merupakan musim hujan dimana terjadi curah hujan terbesar. Makrozoobentos yang ditemukan di Pulau Pramuka pada bulan September 2010 sebanyak 252.634 individu sedangkan pada bulan Januari 2011 adalah sebanyak 155.185 individu.

48

Berdasarkan pengamatan per stasiun bulan September 2010, diperoleh nilai kepadatan tertinggi pada stasiun 3 sebesar 33.251 individu m-2, sedangkan kepadatan makrozoobentos terendah terdapat pada stasiun 24 yakni sebesar 2.428 individu m-2. Pada bulan Januari 2011, nilai tertinggi terdapat pada stasiun 12 sebesar 13.909 individu m-2, sedangkan kepadatan makrozoobentos terendah terdapat pada stasiun 5 yakni sebesar 1.358 individu m-2 (Gambar 11).

Melihat kepadatan makrozoobentos berdasarkan habitat pada Gambar 11, nilai tertinggi pada bulan September 2010 terdapat di habitat mangrove, sebesar 13.969 individu m-2, kemudian semakin menurun ke arah habitat reef crest, yakni sebesar 7.524 individu m-2. Pada bulan Januari 2011 diperoleh nilai kepadatan makrozoobentos tertinggi pada habitat lamun, sebesar 7.247 individu m-2, serta nilai kepadatan terendah pada habitat reef crest yakni sebesar 5.185 individu m-2. Tingginya nilai standar deviasi pada habitat mangrove diduga karena adanya migrasi secara vertikal beberapa spesies di stasiun tertentu pada saat pengambilan contoh makrozoobentos. Hal ini menyebabkan kepadatan makrozoobentos di setiap stasiun menjadi beragam.

(a) 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 1 2 3 9 10 11 17 18 19 4 5 6 12 13 14 20 21 22 7 8 15 16 23 24 In d iv id u m -2 Stasiun

Bulan September 2010 Bulan Januari 2011

Mangrove Lamun Reef crest

n = 3

Bulan September 2010 = 10526 8490 Bulan Januari 2011 = 6466 3043

49 (b)

Gambar 11. Kepadatan makrozoobentos pada bulan September 2010 dan Januari 2011 berdasarkan (a) stasiun dan (b) habitat

(n mangrove & n lamun = 9; n reef crest = 6)

Pada bulan September 2010 stasiun dengan kepadatan makrozoobentos tertinggi adalah stasiun 3 yang merupakan habitat mangrove, sedangkan stasiun 24 dengan kepadatan makrozoobentos terendah merupakan habitat reef crest. Di samping itu, stasiun yang berada di lokasi perbatasan habitat, seperti stasiun 4 dan 7, memiliki nilai kepadatan makrozoobentos yang cukup tinggi. Stasiun dengan kepadatan makrozoobentos tertinggi (stasiun 12) pada bulan Januari 2011 merupakan habitat lamun, sedangkan stasiun 5 dengan kepadatan makrozoobentos terendah juga merupakan habitat lamun.

Pulau Pramuka pada bulan September 2010 memiliki pola kepadatan makrozoobentos yang tinggi pada habitat mangrove dan semakin rendah ke arah habitat reef crest. Hal ini dapat disebabkan oleh habitat mangrove (dekat daratan) bersifat lebih terlindung dari perairan terbuka dan lebih banyak terdapat makanan disana, seperti bahan organik bagi kehidupan makrozoobentos. Nybakken (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos di mangrove tinggal di dalam lubang-lubang di lantai hutan mangrove yang berlumpur. Melalui cara ini mereka terlindung dari perubahan temperatur dan faktor lingkungan lain akibat adanya pasang surut di daerah hutan mangrove. Selain itu, mangrove memiliki fungsi sebagai daerah mencari makan bagi makrozoobentos karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon (Knox & Miyabara 1984). Pada habitat mangrove juga ditemukan beberapa

0 10000 20000 30000 40000 50000

Mangrove Lamun Reef crest

In d iv id u m -2 Habitat

Bulan September 2010 Bulan Januari 2011

n mangrove & lamun = 9; n reef crest = 6 Bulan September 2010 = 10193 3362,11 Bulan Januari 2011 = 6324 1047,76

50

spesies kepiting yang menempel pada batang mangrove serta larva ikan dan ikan dewasa yang berlindung pada akar mangrove.

Pulau Pramuka pada bulan Januari 2011 memiliki pola kepadatan makrozoobentos yang rendah di habitat mangrove, lalu mengalami sedikit peningkatan pada habitat lamun, kemudian kembali menurun saat berada di habitat reef crest. Habitat lamun juga merupakan salah satu habitat yang paling disukai oleh biota laut, khususnya makrozoobentos. Hal tersebut disebabkan oleh fungsi habitat lamun sebagai daerah tempat berlindung yang melindungi biota dari sengatan sinar matahari, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi berbagai jenis biota laut (Hemminga & Duarte 2000). Hal ini terbukti dengan ditemukan pula berbagai jenis alga, larva ikan, ikan dewasa, dan teripang di habitat lamun.

Pada kedua bulan dapat dilihat bahwa di habitat mangrove kepadatan makrozoobentos akan lebih tinggi dibandingkan dengan habitat lamun dan reef crest. Hal ini terkait dengan melimpahnya ketersediaan bahan organik sebagai makanannya di daerah dekat daratan. Posisi mangrove di pinggir laut berfungsi sebagai penjebak (trapping) sebagian besar bahan organik tersuspensi yang berasal dari daratan menuju laut lepas. Sisa dari bahan organik yang tidak terjebak atau lolos dari mangrove akan sampai ke habitat lamun hingga habitat reef crest. Ini menyebabkan bahan organik melimpah pada habitat mangrove dan semakin berkurang menuju ke arah laut lepas. Pearson & Rosenberg (1978) serta Gray et al. (2002) in Taurusman (2007) menyatakan bahwa masukan makanan yang tinggi dan ketersediaan oksigen yang cukup pada area dekat mulut sungai (dekat daratan) dapat menjadi alasan tingginya pula kepadatan hewan bentik di dalamnya. Berdasarkan habitatnya, reef crest memiliki nilai kepadatan makrozoobentos terendah dibandingkan habitat lainnya yang disebabkan oleh karakteristik dari terumbu karang yang sensitif terhadap endapan atau sedimentasi (Nybakken 1988). Karakteristik sensitif tersebut menyebabkan sedikitnya bahan organik yang tersedia dan tentunya mempengaruhi keberadaan makrozoobentos. Pada habitat reef crest ditemukan banyak tersebar bulu babi, alga, larva ikan, dan ikan dewasa.

51

Berdasarkan analisis kelompok (dendogram similaritas kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun) bulan September 2010 pada Gambar 12, diketahui bahwa stasiun yang terletak pada habitat mangrove terbagi menjadi dua pola kelompok, yakni pada stasiun S1, S9, S3, dan S4 yang merupakan habitat dimana hanya tumbuh vegetasi mangrove saja, serta kelompok S10, S17, S11, S18, dan S19 yang merupakan habitat tumbuhnya vegetasi mangrove dan lamun secara berdampingan. Habitat lamun dan reef crest yang terdiri atas stasiun S20, S16, S7, S8, S5, S6, S2, S12, S13, S15, S21, S14, S22, S23 tidak membentuk pola pemisahan kelompok yang jelas antar habitat. Hal ini disebabkan oleh adanya zona transisi antara lamun dengan reef crest yang digambarkan melalui hubungan kesamaan kepadatan makrozoobentos antar stasiun. Kelompok S24 dipisahkan karena hanya memiliki kesamaan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok lain, menunjukkan bahwa terdapat sebuah komunitas yang berbeda akibat kondisi substrat dasar yang didominasi oleh pecahan karang saja.

Berdasarkan stasiun, hasil analisis SIMPER menunjukkan kontribusi persen dari masing-masing spesies makrozoobentos yang berbeda pada setiap kelompoknya di bulan September 2010. Secara umum makrozoobentos pada lokasi pengamatan Pulau Pramuka bulan September 2010 terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan hasil analisis SIMPER. Kontribusi tertinggi menentukan karakteristik spesies di setiap kelompok dan sebagian besar anggota kelompok- kelompok tersebut berasal dari lokasi yang berdekatan. Lokasi-lokasi yang berdekatan cenderung memiliki struktur komunitas yang hampir sama.

Kelompok 1 (stasiun S1 dan S9) dinyatakan dengan kepadatan yang tinggi dari Notomastus latericeus lebih dari 70% dan hanya ditemukan kelas Polikaeta, sedangkan kelompok 2 (stasiun S3 dan S4) dinyatakan dengan kepadatan yang tinggi dari Notomastus latericeus sebesar 30-42% dan ditemukan beberapa spesies Arthropoda dan Nematoda. Kelompok 3 (stasiun S2, S5, S6, S7, S8, S12, S13, S15, S16, dan S20) dicirikan dengan kepadatan dominan yang tinggi dari Syllis cornuta, Notomastus latericeus, Corophium sp. dan Paraonis gracilis, serta ditemukan pula beberapa spesies Arthropoda, Nematoda dan Moluska. Kelompok 3 ini agak unik karena terdiri atas stasiun pengamatan yang jaraknya berjauhan pada garis transek A, B dan C (lihat Gambar 4) dan mencakup tiga habitat

52

(mangrove, lamun dan reef crest). Kelompok 4 (stasiun S10, S11, S14, S17, S18, S19, S21, S22, dan S23) dicirikan dengan ditemukannya spesies Pseudoeurythoe

sp., Sigambra tentaculata dan Lumbrineris sp. cukup tinggi, serta ditemukan pula beberapa spesies Moluska, Nematoda dan Echinoida. Seperti halnya kelompok 3, pada kelompok 4 stasiun pengamatan jaraknya agak berjauhan pada garis transek B dan C (lihat Gambar 4) dan mencakup tiga habitat (mangrove, lamun dan reef crest). Kelompok 5 (stasiun S24) dicirikan dengan kepadatan tinggi dari Syllis cornuta sebesar 70%.

Dendogram similaritas kepadatan makrozoobentos pada Gambar 12 juga membagi habitat lokasi pengamatan Pulau Pramuka pada bulan September 2010 menjadi dua kelompok besar. Kelompok besar tersebut dibedakan berdasarkan kepadatan dan komposisi jenis makrozoobentos di habitat tersebut. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok habitat mangrove dan lamun. Kelompok ini dikelompokkan bersama ke dalam satu set karena mereka berkelompok bersama secara erat dan lebih dari 75% memiliki kesamaan terkait komposisi jenis makrozoobentos di dalamnya, yakni dicirikan dengan kepadatan tinggi dari spesies Notomastus latericeus. Kelompok reef crest dipisahkan karena hanya memiliki kesamaan lebih dari 70% dengan kelompok lain yang menunjukkan bahwa spesies yang mendominasi adalah Syllis cornuta serta komunitas makrozoobentos yang berbeda yakni terdapat kelas Echinoida.

53 (b)

Gambar 12. Dendogram kepadatan makrozoobentos di Pulau Pramuka pada bulan September 2010 berdasarkan (a) stasiun dan (b) habitat

Berdasarkan analisis kelompok (dendogram similaritas kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun) bulan Januari 2011 pada Gambar 13, dapat diketahui bahwa stasiun yang terletak pada habitat mangrove sendiri terbagi menjadi dua pola kelompok, yakni pada stasiun J1, J2, J9, dan J10 yang merupakan habitat dimana hanya tumbuh vegetasi mangrove saja serta kelompok J3, J4, J5, J11, J17, J18 yang merupakan habitat tumbuhnya vegetasi mangrove dan lamun secara berdampingan. Habitat reef crest dan lamun yang terdiri atas stasiun J15, J19, J12, J20, J22, J21, J18, J7, J23, J6, J13, J24 tidak membentuk pola pemisahan yang jelas antar habitat. Hal ini disebabkan oleh adanya zona transisi antara lamun dengan reef crest yang digambarkan melalui hubungan kesamaan kepadatan makrozoobentos antar stasiun. Stasiun J8 dan J16 yang merupakan habitat reef crest mengelompok secara jelas karena habitat tersebut hanya terdiri atas pecahan karang saja.

Hasil analisis SIMPER berdasarkan stasiun menunjukkan kontribusi persen dari masing-masing spesies makrozoobentos yang berbeda pada setiap kelompoknya di bulan Januari 2011. Secara umum makrozoobentos pada lokasi pengamatan Pulau Pramuka bulan Januari 2011 terbagi menjadi 4 kelompok berdasarkan hasil analisis SIMPER. Kontribusi tertinggi menentukan karakteristik spesies di setiap kelompok. Kelompok 1 (stasiun J1) dinyatakan dengan kepadatan yang tinggi dari Notomastus latericeus mencapai kontribusi lebih dari

54

98%, sedangkan kelompok 2 (stasiun J2 dan J9) dinyatakan dengan kepadatan yang tinggi dari Notomastus latericeus sebesar 62 - 93% serta ditemukan beberapa spesies Moluska. Kelompok 3 (stasiun J3, J4, J6, J7, J8, J11, J12, J13, J14, J15, J16, J17, J18, J19, J20, J21, J22, J23, J24) dicirikan dengan kepadatan dominan yang tinggi dari Notomastus latericeus sebesar 20 – 60%, Syllis cornuta, dan Lumbrineris sp., serta beberapa spesies dari Arthropoda, Nematoda, Moluska, dan Sipunculida. Kelompok 3 ini agak unik karena terdiri atas stasiun pengamatan yang jaraknya berjauhan pada garis transek A, B dan C (lihat Gambar 4) dan mencakup tiga habitat (mangrove, lamun dan reef crest). Kelompok 4 (stasiun J5 dan J10) dicirikan dengan kepadatan rendah dari Paraonis gracilis, Notomastus latericeus dan Nereis pelagica.

Dendogram similaritas kepadatan makrozoobentos pada Gambar 13 membagi habitat lokasi pengamatan Pulau Pramuka pada bulan Januari 2011 menjadi dua kelompok besar. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok habitat lamun dan reef crest. Kelompok ini dikelompokkan bersama ke dalam satu set karena mereka berkelompok bersama secara erat dan lebih dari 80% memiliki kesamaan terkait komposisi jenis makrozoobentos di dalamnya, yakni didominasi oleh Notomastus latericeus dengan kontribusi sebesar 30 - 40%. Kelompok mangrove dipisahkan karena hanya memiliki kesamaan lebih dari 70% dengan kelompok lain yang menunjukkan bahwa terdapat sebuah komunitas makrozoobentos yang berbeda, yakni didominasi oleh Notomastus latericeus

dengan kontribusi di atas 60%.

55 (b)

Gambar 13. Dendogram kepadatan makrozoobentos di Pulau Pramuka pada bulan Januari 2011 berdasarkan (a) stasiun dan (b) habitat

Pada Gambar 14, dapat diketahui bahwa pada bulan September 2010 maupun Januari 2011 kelas dari Polikaeta mendominasi di seluruh habitat dengan presentase kepadatan lebih dari 50%. Pada bulan September 2010 di lokasi pengamatan mangrove presentase kepadatan makrozoobentos didominasi oleh Polikaeta sebesar 79%. Nilai tersebut merupakan nilai persen kepadatan makrozoobentos tertinggi dibandingkan dengan habitat lain. Semakin ke arah lepas pantai, persen kepadatan makrozoobentos yang didominasi oleh Polikaeta menjadi lebih rendah, namun kelas Krustasea dan Nematoda menjadi lebih tinggi. Demikian pula dengan kondisi kepadatan makrozoobentos di berbagai habitat pada bulan Januari 2011. Pada bulan Januari 2011, presen kepadatan makrozoobentos didominasi oleh Polikaeta sebesar 89% di lokasi pengamatan mangrove. Nilai tersebut semakin lebih rendah ke arah lepas pantai. Pada habitat

reef crest di bulan Januari 2011 persen kepadatan makrozoobentos berkurang menjadi 62%, sedangkan kelas Krustasea dan Nematoda menjadi lebih tinggi.

Kelas Krustasea yang semakin tinggi pada habitat lamun dan reef crest

dapat disebabkan oleh salah satu pola adaptasi kelas tersebut terhadap perubahan kondisi lingkungan yang terjadi. Khususnya bagi kelas Krustasea yang dapat bergerak mobile, mereka cenderung dapat dengan mudah bergerak menghindari habitat yang kurang sesuai menuju habitat yang lebih sesuai untuk ditempati. Tidak seperti Krustasea yang bersifat mobile, kelas Polikaeta yang sessile

56 89% 5% 5% 1% Polychaeta Crustacean Nematoda Bivalvia 79% 18% 3% Polychaeta Crustacean Nematoda 69% 24% 7% Polychaeta Crustacean Nematoda 67% 14% 19% Polychaeta Crustacean Nematoda

untuk bertahan pada habitat tertentu dengan berbagai pola adaptasi mereka (Nybakken 1988).

Tingginya persen kepadatan makrozoobentos Polikaeta pada bulan September 2010 dan Januari 2011 di habitat mangrove, dikarenakan pola daur hidup makrozoobentos tipe oportunistik seperti Polikaeta yang cenderung mendiami substrat berukuran kecil dan halus. Penelitian yang dilakukan Linton & Taghon (2000) in Groenewald (2010) pada habitat dasar laut subtropis yang lunak menyatakan bahwa munculnya spesies oportunistik sebagai akibat dari proses suksesi, diikuti dengan pengayaan bahan organik maupun terjadinya gangguan pada substrat dasar perairan. Mangrove tinggi akan produksi bahan organik, namun kurang dari 10% diambil oleh herbivora, sisanya digunakan sebagai detritus atau bahan organik yang telah mati. Daun mangrove yang jatuh terjadi menyeluruh sepanjang tahun, dan melalui aktivitas makan-memakan dari mikro dekomposer serta hewan pemakan detritus yang lebih besar, mereka memproses kembali menjadi partikel yang lebih halus (Knox & Miyabara 1984). Tidak diragukan lagi bahwa mangrove merupakan penyumbang bahan organik terbesar yang disebabkan oleh masukan dari daun mangrove itu sendiri (Thwala 2005 dan

Dokumen terkait